Tag: Andi Surya

  • Andi Surya, ‘Hantu PT. KAI’ ini Sambangi Warga Kotabumi yang Tinggal di Bantaran Rel Kereta Api

    Andi Surya, ‘Hantu PT. KAI’ ini Sambangi Warga Kotabumi yang Tinggal di Bantaran Rel Kereta Api

    Lampung Utara (SL) – Memasuki masa reses, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Andi Surya, melakukan kunjungan kerja dengan menyambangi puluhan warga Kotabumi Kabupaten Lampung Utara yang tinggal di bantaran rel kereta api.

    Kegiatan reses itu dilakukan di aula Kantor Kecamatan Kotabumi, Selasa, (26/12), dengan dihadiri Camat Kotabumi, Nujum Masya, serta tokoh masyarakat dan warga dari berbagai elemen lainnya.

    Dalam pertemuan itu, Andi Surya menyoroti empat persoalan penting yang ada di Prov. Lampung, yakni masalah register, hak pengolahan lahan, Hak Guna Usaha, serta masalah bantaran rel kereta api. “Terkait persoalan bantaran rel kereta api, selama ini belum ada advokasi yang mendampingi warga. Hal ini mejadi salah satu program kerja saya saat terpilih menjadi anggota DPD RI Periode 2014-2019,” jelasnya.

    Dikatakannya, selama ini dirinya menerima pengaduan masyarakat terkait adanya konflik masalah tanah antara PT. Kereta Api Indonesia (KAI). “Grondkaart atau konflik masyarakat dengan PT. KAI banyak ditemukan di Lampung, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Jawa Barat, Sumatera Utara, serta beberapa provinsi lainnya,” papar Andi Surya.

    Dalam hal menjembatani persoalan tersebut, kata Andi Surya, DPD RI melihat ada proses hukum yang dilalaikan oleh para pendahulu dalam lingkup PT. KAI, yakni DKA, PNKA, PJKA, dan Perumka. “Ditambah lagi adanya pembiaran atau penelantaran tanah. Ketika itu, tanah belum punya nilai strategik dan komersial. Relatif masih berupa hutan atau semak belukar, rawa-rawa, terpencil dan jauh dari keramaian,” urainya.

    Dijelaskan Andi Surya, seiring berjalannya waktu, pihaknya mulai melakukan pengkajian dan memberikan pendampingan hukum (advokasi) guna mengatasi persoalan warga dengan PT. KAI, terkait hak kepemilikan lahan bantaran rel kereta api.

    Sementara itu, Camat Kotabumi, Nujum Masya, menyampaikan ungkapan terima kasih atas perhatian Andi Surya kepada warga yang tinggal di bantaran rel kereta api. “Dengan penjelasan yang disampaikan Bapak Andi Surya tentunya dapat memberikan pengetahuan dan pedoman kepada warga,” ujar Nujum Masya. (ardi)

  • Andi Surya: Mangkraknya Perumahan Buruh Pelabuhan, Koperasi TKBM Panjang Perlu Dibekukan

    Andi Surya: Mangkraknya Perumahan Buruh Pelabuhan, Koperasi TKBM Panjang Perlu Dibekukan

    Bandarlampung (SL) – “Menguaknya kasus baru Koperasi TKBM terkait belasan miliar dana perumahan buruh Pelabuhan Panjang diduga raib menambah daftar panjang indikasi kerusakan sistem manajemen koperasi buruh di sini”. Sebut Senator Lampung, Andi Surya ketika menyinggung masalah perburuhan di Pelabuhan Panjang. “Saya mendapat informasi berita hari ini, bahwa ada dugaan 14 miliar rupiah yang berasal dari buruh untuk pembangunan 1000 perumahan macet di tangan oknum pemborong kerja, pengembang dan Koperasi TKBM”, ungkap Andi Surya.

    Disebutkan olehnya, merunut daftar kerusakan manajemen Koperasi TKBM ini, dari mulai fakta Ketua Koperasi Sdr. Sainin Nurjaya yang menjadi tersangka 9 tahun di Polda Lampung, indikasi penggelapan upah, macetnya dana BPJS buruh, sistem dinasti dalam kepengurusan koperasi, serta yang terakhir dugaan penggelapan dana perumahan buruh. “Semakin memperkuat kebenaran fakta-fakta yang dilaporkan Forum Bersatu Buruh Pelabuhan Panjang kepada Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI beberapa waktu lalu. Oleh karenanya, pasca masa reses awal tahun depan, kami akan tindaklanjut hasil temuan Tim Analisis BAP DPD RI saat rapat di Kantor Pemprov Lampung terkait masalah TKBM ini awal Desember lalu. Karena ini menyangkut nasib orang banyak yaitu buruh panjang, maka kami himbau pihak Kepolisian dalam hal ini Polda Lampung melanjutkan klarifikasi status hukum terkait tersangka 9 tahun ini. Kami terus memantau masalah ini”, jelas Andi Surya.

    Dirinya juga menyerukan, indikasi laporan dugaan penyelewengan anggaran 1000 unit perumahan buruh agar dilakukan penyelidikan aparat hukum secara ‘clear and clean’ baik terhadap Koperasi TKBM, Pemborong (anemer) dan Pengembang-nya (developer) sehingga masyarakat Lampung khususnya buruh panjang peroleh rasa keadilan, sebutnya.

    Melihat ‘track record‘ Koperasi TKBM seperti ini, ada baiknya evaluasi terhadap Koperasi ini segera dilakukan instansi terkait; Pemprov Lampung melalui Dinas Koperasi, Dinas Tenaga Kerja, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja dan Manajemen Pelindo II, tukas Andi Surya. “Pembekuan sementara kepengurusan koperasi sebelum kerusakan lebih dalam dari sistem pengelolaan dan manajemen perburuhan Pelabuhan Panjang perlu dipikirkan”, tutup Andi Surya. (rls)

  • Andi Surya: HPL Way Dadi dan Way Lunik Panjang Dikembalikan Kepada Rakyat

    Andi Surya: HPL Way Dadi dan Way Lunik Panjang Dikembalikan Kepada Rakyat

    Jakarta (SL) – Rapat Dengar Pendapat (RDP) masalah HPL Way Dadi dan Way Lunik berlangsung hangat pagi tadi (17/12/2018) yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat kedua wilayah di ruang rapat Komite 1 DPD RI, Senayan, Jakarta, menghasilkan kesepakatan yang cukup melegakan penghuni HPL Way Dadi dan Way Lunik.

    Benny Rhamdani, Ketua Komite 1 DPD RI membuka rapat, setelah meminta masukan dari seluruh insitusi yang diundang, menyebutkan: “Tidak ada dalam aturan baik UU maupun PP yang menyebutkan HPL bisa diperjual-belikan apalagi kepada rakyat sendiri, kami meminta kepada semua institusi pemerintah khususnya Kementerian ATR/BPN dan Kanwil BPN Provinsi Lampung untuk menggunakan rumusan pengembalian lahan rakyat ini dengan model pembatalan karena HPL yang muncul ini cacat prosedur baik yuridis maupun data fisik” sebutnya.

    “Saya akan langsung meminta Presiden Jokowi untuk memproses lahan HPL ini sesuai misi reformasi agraria. Untuk itu agar Pemerintah Provinsi dan Kanwil BPN menghentikan proses sosialisasi pelepasan HPL. Oleh karena keputusan HPL ini dikeluarkan BPN Pusat maka masalah ini ditangani oleh pemerintah pusat. Saya menjamin Presiden RI Jokowi akan menyelesaikan masalah ini”. Tegas Benny.

    Senator Lampung, Andi Surya, menjelaskan: “Kesimpulannya, lahan-lahan yang bermasalah itu dikembalikan kepada rakyat dan dimasukkan dalam program redistribusi lahan pemerintah sebagaimana yang dikehendaki dalam reformasi agraria Jokowi, segera dikaji Kementerian ATR/BPN, ditindaklanjuti dengan merunut UU dan Peraturan Pemerintah yang mengarah pencabutan HPL karena ada kekeliruan prosedur”. Sebut Andi Surya ketika menanggapi hasil rapat tersebut.

    Direktur Sengketa Lahan, Marbun yang mewakili Dirjen Kementerian ATR/BPN, menyatakan, “kami akan formulasikan agar proses evaluasi HPL ini benar-benar sesuai dengan peraturan yang berlaku dan proses pelepasan lahan HPL ini merujuk pada mekanisme administratif baik pada Kemenkeu, Kemen ATR/BPN dan Pemprov Lampung”.

    Saprul Alam, Kabag Aset yang mewakili Gubernur Lampung menyatakan secara prinsip ikut keputusan pemerintah pusat dan kami akan mengkomunikasikan hasil rapat ini kepada Gubernur Lampung, sebutnya.

    Direskrimun Polda Lampung, Kombes Pol Bobby Marpaung, memberi pernyataan, “Tugas Polda Lampung lebih kepada aspek pengamanan keamanan dan ketertiban dan akan selaras dengan kesepakatan rapat ini dalam posisi mendorong penyelesaian terbaik untuk masyarakat Lampung”. Sebutnya.

    Di akhir rapat, Andi Surya mengingatkan, pertama, rapat ini adalah kesepakatan yang bersifat kenegaraan dengan demikian agar semua pihak menghormati, “Kedua, agar Tim Sosialisasi tidak lagi melakukan pendataan di wilayah Way Dadi karena masalahnya sudah disepakati ditangani Pemerintah Pusat. Dan Ketiga, agar Polda Lampung ada pada posisi netral sebagai penegak keamanan dan ketertiban”. Pungkasnya.

    RDP Komite 1 ini selain dihadiri perwakilan masyarakat Way Dadi dan Way Lunik, diikuti pula oleh Kementerian ATR/BPN, Kemenkeu, Pemprov Lampung, GM Pelindo II Panjang, Polda Lampung, dan seluruh Pimpinan dan anggita Komite 1 DPD RI. (red)

  • Andi Surya: Pelepasan dan Pengalihan HPL Way Dadi Dapat Berakibat Hukum di Kemudian Hari

    Andi Surya: Pelepasan dan Pengalihan HPL Way Dadi Dapat Berakibat Hukum di Kemudian Hari

    Bandarlampung (SL) – “Sebuah alas hak yang kuat harus bisa memberi ketegasan atas penguasaan lahan. Jika ada satu alasan saja yang melemahkan maka alas hak tersebut bisa dipersoalkan secara regulasi dan hukum” Sebut Andi Surya ketika menyikapi masalah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Way Dadi Panjang yang saat ini menjadi sorotan masyarakat karena akan dilepas oleh pemegang hak yaitu Pemprov Lampung.

    “Pertama, secara perundang-undangan, konsep HPL tidak memiliki sandaran UU yang cukup kuat karena dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960 secara tegas dan spesifik tidak menyebut adanya HPL. Dalam UUPA ini hanya mengatur Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai”. Sebut Andi Surya.

    Yang kedua, surat keputusan HPL Way Dadi dikeluarkan manakala sebagian besar lahan-lahan tersebut telah ditempati warga masyarakat jauh hari sebelumnya. Diduga ketika SK HPL ini diterbitkan Kantor BPN tidak melalui pertimbangan data yuridis maupun data fisik lahan sesuai Peraturan Menteri Agraria No. 9/1998 tentang tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara dan hak pengelolaan. Secara fisik wilayah Way Dadi, Way Dadi Baru dan Perumahan Korpri pada waktu itu dikuasai oleh petani penggarap pasca berakhirnya HGU NV. Way Halim, beber Andi Surya

    “Ketiga, sebelum dan setelah diterbitkan SK HPL, dari pihak pemegang (subjek) HPL tidak memiliki rencana kegiatan yang jelas sehingga tidak ada pemeliharaan dan pengusahaan lahan sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah No. 8/1953 tentang HPL”. Sebut Andi Surya

    Mengacu PP di atas, Bab II pasal 8, ayat (1, 2 , 3) disebutkan, jika badan negara atau jawatan yang mengelola tanah negara ternyata keliru atau tidak tepat lagi serta luas penguasaannya ternyata melebihi keperluan dan lahan tersebut tidak dipelihara sebagaimana mestinya maka wajib dikembalikan kepada negara, urai Andi Surya.

    “Keempat, Fraksi Golkar telah mengeluarkan pernyataan menolak pelepasan dan pengalihan lahan HPL Way Dadi dijadikan sebagai sumber PAD dalam RAPBD 2019 yang disampaikan dalam rapat paripurna DPRD Lampung, Rabu, 21/11/2018, dengan alasan Warga Way Dadi dan Way Dadi Baru belum sepenuhnya sepakat dan akibatnya akan berpotensi membebani APBD 2019 jika tidak terwujud”. Terang Andi Surya.

    “Kelima, terdapat yurisprudensi, Kementerian ATR/BPN atas dasar masukan DPD RI dan DPR RI mengeluarkan surat No. 571/37.3-800/IX/2018. Point 3 surat tersebut menyatakan HPL No. 1/Way Lunik Panjang dibatalkan kemudian diproses ulang sesuai ketentuan yang berlaku. Keputusan BPN ini menjadi contoh untuk membatalkan sebuah HPL karena kekeliruan termasuk pembatalan HPL Way Dadi”. Jelas Andi Surya.

    “Keenam, Peraturan Menteri Agraria No. 9/1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara secara tegas sama sekali tidak mengatur pengalihan atau pelepasan tanah negara dalam bentuk mengalihkan kepada pihak ketiga (warga masyarakat) secara berbayar untuk dijadikan potensi PAD guna penerimaan APBD, kecuali mengembalikan HPL tersebut kepada pemiliknya yaitu Negara”. Imbuh Andi Surya.

    Dalam pasal 6 Permenag itu menyebutkan pemegang HPL hanya bisa merencanakan peruntukan keperluan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian lahan HPL sebagai hak pakai yang berjangka 6 tahun dan bisa menerima uang pemasukan dari situ, tetapi bukan untuk dilepas atau dialihkan haknya. Pengalihan hak hanya bisa dilakukan dengan cara mengembalikan kepada negara bukan untuk dilepas sebagai sumber pemasukan PAD dalam APBD, jelas Andi Surya.

    Dari enam alasan di atas, rencana pelepasan HPL Way Dadi berpotensi berlanggar Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agraria dan berseberangan dengan hasil rapat paripurna DPRD Lampung yang belum bulat karena salah satu fraksi-nya menolak pelepasan. Jika tetap dipaksakan akan berpotensi masalah hukum di belakang hari bagi pejabat pembuat keputusan, Sebut Andi Surya

    “Oleh karenanya, saya menyarankan agar Pemprov Lampung dapat bersabar soal HPL Way Dadi, apalagi persoalan ini telah ditangani dan dimediasi lembaga tinggi parlemen DPD RI melalui Badan Akuntabilitas Publik. Di samping itu, direncanakan Senin 17 Desember 2018 Komite 1 DPD RI mengundang kementerian ATR/BPN, Pemprov Lampung, Polda Lampung dan perwakilan masyarakat Way Dadi terkait masalah ini. Dengan demikian seluruh pihak agar dapat menghormati mediasi yang sedang dilakukan oleh DPD RI ini”. Tutup Andi Surya.

  • Andi Surya Sebut HPL Way Dadi dan Way Lunik Dapat Dicabut

    Andi Surya Sebut HPL Way Dadi dan Way Lunik Dapat Dicabut

    Bandarlampung (SL) – Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960 hanya mengatur secara jelas tentang hak eigendom, erpacht, gebruik recht dan opstal yang merefleksikan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, namun tidak dinormakan adanya Hak Pengelolaan Lahan (HPL), sehingga dari kacamata undang-undang, HPL ini cenderung lemah”. Jelas Senator Lampung, Andi Surya, dalam silaturahmi dengan tokoh-tokoh masyarakat kecamatan kediamannya, (09/12/2018).

    Memang sebelum terbitnya UUPA terdapat PP No. 8/1953 tentang penguasaan tanah negara dan dilanjutkan Peraturan Menteri Agraria No. 9/1965 yang mengatur konversi tanah negara, didalamnya terdapat pengertian hak-hak pengelolaan lahan. Namun PP dan Permen ini tidak memiliki sandaran kuat terhad gyap UU sehingga masih bisa diperdebatkan kekuatan mengaturnya, karena UU Pokok Agararia tidak mengatur secara spesifik konsep HPL, lanjut Andi Surya. “Pada persoalan HPL Way Dadi dan Way Lunik Panjang, dari sisi kronologis bisa dikatakan bermasalah. Diduga munculnya kedua HPL ini mengabaikan verifikasi lapangan. Sebagian besar lahan tersebut jauh sebelumnya telah ditempati dan dikuasai masyarakat maupun penggarap. Salah satu syarat terbitnya HPL status lahan harus bersih dari potensi penguasaan pihak lain”. Kata Andi Surya.

    Mengacu PP No. 8/1953, Bab II pasal 8, ayat (1, 2 , 3) PP No. 8/1953 disebutkan, jika badan negara atau jawatan yang mengelola tanah negara ternyata keliru atau tidak tepat lagi serta luas penguasaannya ternyata melebihi keperluan dan lahan tersebut tidak dipelihara sebagaimana mestinya maka wajib dikembalikan kepada negara, sebut Andi Surya. “Sebagai contoh, baru-baru ini atas desakan DPD RI dan DPR RI, BPN menerbitkan surat No. 571/37.3-800/IX/2018. Point 3 surat tersebut menyatakan HPL No. 1/Way Lunik Panjang dibatalkan kemudian diproses ulang sesuai ketentuan yang berlaku. Intinya, HPL bisa di revisi bahkan dicabut”. Tutup Andi Surya. (lsn)

  • Andi Surya : Sebaiknya Nomenklatur Dana Otsus Dirubah Supaya Berkeadilan

    Andi Surya : Sebaiknya Nomenklatur Dana Otsus Dirubah Supaya Berkeadilan

    Jakarta (SL) – Rapat kerja antara Komite 1 DPD RI dengan Menteri Dalam Negeri, Tjahyo Kumolo dan Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo (03/12/2018), dihadapkan dengan persoalan klasik penerima dana otonomi khusus (otsus) Aceh, Papua dan Papua Barat, yang disebutkan Ketua Komite 1, Benny Rhamdani; “Masih terdapat masalah di wilayah penerima dana otsus, antara lain; kemiskinan, indeks pembangunan manusia yg relatif belum bergerak, pelayanan publik yg belum maksimal dan persoalan kewenangan relasi pusat, provinsi, kabupaten/kota”. Sebutnya.

    Menyikapi persoalan ini, Andi Surya, Senator Lampung yang juga Anggota Komite I, menyatakan masalah yang masih tertinggal dan belum bisa diminimalisir oleh anggaran otsus, “Saya melihat masih terdapat problem kompetensi SDM, program-program yang belum terstruktur dan selaras dengan kebutuhan daerah otsus, serta pengawasan yang belum maksimal sehingga diduga masih terdapat inefisiensi anggaran otsus plus dan masih terjadi penyelewengan dan korupsi”, sebut Andi Surya.

    “Kami setuju saja jika Dana Otsus ini dilanjutkan setelah berakhir di 2021 mendatang. Namun perlu diketahui, bahwa Dana Otsus ini menyebabkan rasa kecemburuan wilayah provinsi lain. Karena provinsi lain juga memposisikan diri sebagai wilayah yang juga istimewa dan butuh perhatian khusus dari pemerintah pusat”, lanjut Andi Surya.

    “Salah satu formula untuk mengurangi derajat kecemburan, perlu ditelaah nomenklatur Dana Otsus, jika perlu diganti saja dengan nomenklatur “Anggaran Afirmasi” atau “Anggaran Stimulasi Daerah Terluar”, sehingga terkesan adil dan sama dengan wilayah lain, tidak ada yang khusus-khusus. Selain itu perlu dievaluasi apakah harus mencapai sebesar 20% dari Dana Alokasi Khusus”, ujar Andi Surya.

    Dalam raker ini, Tjahyo Kumolo menyatakan; “Evaluasi 10 tahun dana otsus dilalukan secara rutin antar kementerian. Daerah otsus meminta agar dapat dipertahankan dana otsus, intinya untuk meningkatkan pertumbuhan daerah, oleh karenanya perlu koordinasi dan rapat khusus antar penerima dana otsus dengan seluruh ‘stakeholder’ pemerintah dan parlemen”, Urainya.

    Sementara Wamenkeu Mardiasmo menyatakan; “Kemenkeu sedang melakukan evaluasi secara menyeluruh dengan kondisi riel. Jika dari sisi anggaran otsus naik terus, harusnya ada korelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat Aceh, Papua dan Papua Barat”, tutupnya. (rls-TeAm)

  • DPR RI Beri Jangka 1 Bulan Ke Polda Lampung Usut Kasus Koperasi TKBM Panjang

    DPR RI Beri Jangka 1 Bulan Ke Polda Lampung Usut Kasus Koperasi TKBM Panjang

    Bandarlampung (SL) – Terkait tidak adanya kepastian hukum atas dugaan kasus penyimpangan pengelolaan dan keuangan oleh pengurus Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) di Pelabuhan Panjang, Kota Bandarlampung yang telah mandek selama kurun 10 tahun. DPD RI memberi tenggat satu bulan kepada Polda Lampung. Dilansir rilislampung.id Kamis, (29/11/2018).

    Menurut anggota DPD RI Andi Surya, perkara ini harus ada kejelasan, penetapan tersangka harus ada follow up nya. Jangan sampai nasib orang digantung, kalau memang tidak bersalah maka dilepaskan dan direhabilitasi. “Keadilan itu harus diterapkan. Sehingga dengan demikian dia harus diputuskan. Makanya kita kasih batasan waktu kepada Polda sebulan,” ungkap Andi yang didampingi anggota DPD RI Charles Simaremare, saat mendengarkan keluhan dari karyawan Pelabuhan Panjang di Ruang Abung, lingkungan Pemprov Lampung, Kamis (29/11/2018) sore.

    Senator asal Lampung itu menilai bahwa akuntabilitas Koperasi TKBM yang memonopoli wadah koperasi buruh di Pelabuhan Panjang non akuntabel. Ada perputaran keuangan miliaran rupiah setiap tahun, tapi tak jelas kontribusinya terhadap kesejahteraan buruh.

    Selain itu, Koperasi TKBM menunggak dana BPJS untuk buruh sejumlah Rp1.6 miliar. “Kasus pimpinan koperasi TKBM Sainin Nurjaya ini sudah 10 tahun mandek di Polda Lampung, makanya kita minta tidak tindaklanjutnya saat ini seperti apa,” tegas Andi, yang mencalonkan kembali jadi DPD asal Lampung untuk periode 2019-2024.

    Jika sampai Polda tidak kunjung juga menjelaskan perkaranya hingga satu bulan kedepan sejak hari ini, 29 November 2018, maka DPD RI akan meminta Mabes Polri untuk memeriksa Polda Lampung. “Karena kita juga pernah dulu melakukan hal seperti itu supaya memeriksa Kapolda nya,” kata dia.

    Sementara itu dari Perwakilan Polda Lampung, Rohim dari Divisi hukum, mengaku pihaknya akan melaporkan hasil bertemu dengan anggita DPD RI hari ini terkait dengan tenggat waktu sebulan menyelesaikan perkara tersebut. “Saya dari Divisi hukum Polda Lampung, mewakili Kapolda Lampung.  Bidang kami adalah yang membawahi MoU dan penyuluhan hukum atau advokad. Memang seharusnya yang lebih kompeten itu dirkrimsus, tapi ini nanti kita sampaikan,” jelasnya.

    Dia menceritakan bahwa kasus TKBM itu memang sejak tahun 2008, namun sejauh ini belum tahu perkaranya sudah sejauh mana. “Perkaranya sudah 10 tahun. Sementara tahun depan kita (Polda Lampung) sudah pindah ke Kota Baru. Takutnya nanti berkasnya tidak ketahuan dimana disposisinya saat ini. Makanya nanti kita lihat. Sebulan siap,” katanya. (Mediafakta)

  • Andi Surya: HPL Panjang Pidada dan Way Dadi Bisa Dibatalkan

    Andi Surya: HPL Panjang Pidada dan Way Dadi Bisa Dibatalkan

    Bandarlampung (SL) – Berkait dengan konflik lahan warga masyarakat dengan pemegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) PT. Pelindo di Kecamatan Panjang Pidada dan Pemerintah Provinsi Lampung di Way Halim Way Dadi, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960 secara spesifik tidak menyebutkan adanya Hak Pengelolaan Lahan, demikian dijelaskan Senator Lampung, Andi Surya ketika menyikapi persoalan HPL Way Dadi dan Pelindo Panjang Pidada.

    Walaupun UUPA tidak mengatur, namun Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953 tentang penguasaan tanah negara masih tetap berlaku yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1965 tentang konversi penguasaan tanah negara yang didalamnya terdapat pengertian hak-hak pengelolaan lahan, lanjut Andi Surya.

    “Berhubungan dengan kedua HPL itu, berdasar kronologis, HPL diterbitkan manakala lahan-lahan yang menjadi objek HPL sebelumnya telah diduduki oleh masyarakat, hal ini bisa saja terjadi karena UUPA No. 5/1960 dan peraturan turunannya membolehkan. Disebutkan dalam UUPA, lahan negara afkir dan terlantar dapat dimiliki warga masyarakat”. ucap Andi Surya.

    “Saya mendapat bukti baru, atas desakan DPD RI dan DPR RI, Kementerian ATR/BPN mengeluarkan surat No. 571/37.3-800/IX/2018 tentang SHPL No. 1/1989 Way Lunik Panjang Pidada. Dalam point 3 surat tersebut menyatakan HPL No. 1/Way Lunik Pajang dibatalkan kemudian diproses ulang sesuai ketentuan yang berlaku. Artinya, SK. HPL bisa dicabut atau direvisi oleh sebab sebelum HPL diterbitkan terdapat legalitas lahan hak-hak milik warga yang wajib dihormat” Jelas Andi Surya.

    Ini merupakan contoh, dimana HPL bisa saja digugat masyarakat dan dicabut oleh BPN oleh sebab cacat administrasi atau disebabkan karena di dalamnya terdapat cluster yang telah dikuasai masyarakat, Urainya.

    Dalam kasus HPL Pemprov Lampung di Way Dadi, Berdasar Keppres No 32 Tahun 1979 dan SK Mendagri cq. Dirjen Agraria no.  224/DJA/1982 tanah hak Erfach Ex. NV. Way Halim Rubber and Cofee Estate seluas 1.000 ha terdapat Peruntukan Petani Penggarap seluas 300 ha di mana di dalamnya terdapat 110 ha lahan peruntukan petani tersebut diterabas BPN dengan mengeluarkan SK HPL no. 01/SI, 02/SI, 03/SI tahun 1994.

    “Seharusnya sebelum keputusan HPL dikeluarkan untuk Pemprov Lampung di Way Dadi maupun PT. Pelindo di Panjang Pidada, instansi BPN melakukan prosedur verifikasi guna klarifikasi status lahan. Jika menilik SK Kemendagri Cq. Dirjen Agraria di atas, maka diduga ada kekeliruan administratif dalam hal keputusan HPL dimaksud”. Ujar Andi Surya.

    Selanjutnya Andi Surya menghimbau, oleh karena lahan-lahan HPL ini awalnya merupakan lahan negara, ada baiknya Kementerian ATR/BPN melakukan revisi ulang terhadap surat-surat keputusan HPL yang diduga bermasalah, dan sebisanya UUD45 pasal 33 dapat menjadi rujukan, yaitu; tanah, air dan yang terkandung di dalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, pungkas Andi Surya. (Team)

  • Andi Surya : Grondkaart Hanya Bisa Dinalar Lewat Pendekatan Hukum, Bukan Sejarah Belanda

    Andi Surya : Grondkaart Hanya Bisa Dinalar Lewat Pendekatan Hukum, Bukan Sejarah Belanda

    Bandarlampung (SL) – Pendekatan hukum positif Republik Indonesia yang diupayakan oleh Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI dalam menelaah permasalahan grondkaart PT. KAI merupakan aspek legal formal dari kehadiran perundang-undangan dan peraturan turunannya, bukan melalui pendekatan sejarah, apalagi dengan embel-embel peristiwa zaman Belanda sebelum republik ini merdeka, demikian sebut Andi Surya, Anggota DPD RI, ketika menyikapi persoalan lahan bantaran rel kereta api yang menjadi tuntutan warga pinggiran rel KA untuk disertifikasi.

    “Tidak bisa disebutkan melalui pendekatan hukum lalu terjadi anakronisme dalam menalar persoalan grondkaart, karena pendekatan sejarah penjajahan Belanda menjadi tidak kontekstual ketika kita dihadapkan oleh alam kemerdekaan RI yang di dalamnya negara telah memproses norma perundang-undangan sebagai aturan yang melekat dalam segala aspek kehidupan termasuk fakta grondkaart adalah dokumen daluwarsa Belanda yang tidak pernah tersebutkan dalam sistem hukum agraria kita. Apalagi ketika Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) no. 5/1960 diterbitkan, dengan jelas memerintahkan segenap hak-hak barat harus dikonversi, namun ternyata tidak dilakukan oleh PT. KAI yang dahulu bernama Djawatan Kereta Api (DKA)”. Jelas Andi Surya.

    Dr. Kurnia Warman, Dosen Ahli Hukum Agraria Universitas Andalas, dalam pernyataan kesaksiannya di Pengadilan Negeri Padang terkait sengketa tanah antara PT. KAI dengan Group Perusahaan BASKO Padang, menyatakan sejak 24 September 1980, tepat setelah 20 tahun UUPA diterbitkan, maka seluruh tanah eigendomverponding berstatus sebagai tanah negara. Pihak-pihak yang telah menempati atau menggarap tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu diprioritaskan untuk mendapatkan hak atas tanah yang telah ditempati itu.

    “Pribumi yang menempati tanah itu tinggal mengajukan permohonan hak kepada pejabat berwenang. Sekarang pengajuannya ke BPN. Sebelum1988 itu pengajuannya ke Dirjen Agraria Kementerian Dalam Negeri. Untuk menyesuaikan dengan aturan dalam UUPA, maka muncullah konversi hak atas tanah. Jika lembaga pemerintahan yang mengajukan permohonan, maka akan jadi hak pakai selama itu digunakan. Jika selain lembaga pemerintah yang mengajukan, maka akan jadi hak pengelolaan,” ucapnya (Haluan Padang, 15/11/2018)

    Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia, Prof. Dr. Ny. Arie S. Hutagalung SH, MLI, dalam Fokus Grup Diskusi yang diselenggarakan oleh Badan Akuntabilitas Publik DPD RI pada Maret 2018 yang lalu, di ruang rapat BAP DPD RI Senayan, dengan tegas menyatakan bahwa grondkaart yang menjadi pegangan PT. Kereta Api Indonesia dalam mengklaim asset lahannya bukan merupakan alas hak.

    “Grondkaart hanya berupa gambar situasi atau semacam surat ukur, jadi tidak bisa dikatakan sebagai alat menegaskan fomal yuridis kepemilikan lahan. Apalagi, secara bukti fisik grondkaart tidak ditemukan aslinya. Yang ada hanyalah salinan. Dengan demikian grondkaart bukan merupakan alas hak formil yuridis kepemilikan PT. KAI” Tandas guru besar UI ini.

    Atas dasar pendapat kedua ahli ini, Andi Surya menyatakan secara legal formal hukum dan perundang-undangan RI, wilayah peta grondkaart bantaran rel KA menjadi lahan negara bebas yang bukan milik siapa-siapa tetapi telah diduduki warga, hal ini juga disebutkan oleh UU Perkeretaapian no. 23/2007 yang diperkuat oleh PP no. 56/2009 dengan tegas mengatur, ruang milik keretaapi adalah enam meter kiri dan kanan rel, tidak lebih dari itu, sebutnya.

    “Oleh karenanya, pemerintah dalam hal ini Kementerian ATR/BPN, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan dan Aparat Penegak Hukum agar tidak lagi melihat grondkaart sebagai sejarah belanda yang menunjukkan kepemilikan BUMN PT. KAI yang dahulu bernama Staatspoorwegen (SS), namun sesuai amanat undang-undang menjadi lahan negara bebas yang bisa dimiliki siapa saja termasuk warga masyarakat yang telah menempati lebih dari 20 tahun diprioritaskan mendapat kemudahan sertifikasi lahan sesuai amanat UUPA 5/1960”, pungkas Andi Surya. (TeAm)

  • Paripurna DPRD RI Andi Surya : Konflik Lahan Makin Mendera Provinsi Lampung

    Paripurna DPRD RI Andi Surya : Konflik Lahan Makin Mendera Provinsi Lampung

    Bandarlampung (SL) – Sidang Paripurna DPD RI ke-6 masa sidang ke II ke tahun sidang 2018 – 2019 berlangsung di Gedung Nusantara V MPR/DPR RI cukup hangat yang dihadiri sekitar 80% dari seluruh anggota parlemen independen (12/11/2018). Sidang paripurna ini beragenda; pembukaan masa sidang, pidato pembukaan dan laporan anggota, dipimpin oleh Wakil Ketua DPD RI Nono Sampurno.

    Andi Surya, Senator Lampung, memaparkan dihadapan seluruh anggota DPD RI, secara umum Provinsi Lampung masih terbelenggu oleh konflik lahan yang cukup menyebar dan melebar hampir di segala sudut kabupaten kota. “Laporan yang masuk ke kami, antara lain; lahan register yang telah berubah penggunaannya dari kawasan hutan berproses menjadi desa (rural) bahkan urbanisasi (pengkotaan), tersebar di Kabupaten Lampung Selatan, Mesuji dan Lampung Timur dengan tuntutan agar dilepas menjadi lahan pemukiman untuk rakyat dan disertifikasi. Kedua, konflik lahan grondkaart bantaran kereta api antara warga bantaran yang telah menempati lahan negara rerata lebih dari 50 tahun dengan BUMN PT. KAI, dengan tuntutan sertifikasi. Ketiga, Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pemprov Lampung di Way Dadi dan HPL Pelindo di Pidada Panjang yang berbuntut tuntutan warga agar HPL dibatalkan, dan keempat, masalah HGU perusahaan-perusahaan privat yang tersebar di Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, Lampung Tengah, Lampung Utara dengan problem tuntutan ukur ulang karena dianggap telah menyerobot lahan rakyat”, sebut Andi Surya

    Menurut Andi Surya dalam pemaparan di sidang paripurna tersebut, menguraikan; pertama, konflik lahan ini muncul lebih diakibatkan karena kasadaran rakyat akan hak-hak agraria mereka selama ini terabaikan sehingga di zaman reformasi demokrasi tuntutan tersebut semakin nyaring. Kedua, kurang tegasnya pemerintah dalam menyikapi persoalan lahan sehingga terjadi akumulasi permasalahan karena minimnya upaya penyelesaian, ketiga, disadari atau pun tidak terjadi sengkarut administrasi pada birokrasi pertanahan bahkan terjadi mal-administrasi yang dibuktikan adanya fenomena tumpang tindih hak-hak kepemilikan lahan sehingga menciptakan ketidakpastian.

    “Saya melihat, fenomena ini berkait dengan minimnya keberanian Pemerintah untuk memutuskan perkara konflik yang berkiblat pada kepentingan rakyat, seperti tuntutan sertifikasi hak-hak warga di bantaran rel KA yang tertunda padahal persoalan grondkaart yang digadang-gadang BUMN PT. KAI tidak memiliki dasar hukum dan tidak selaras dengan amanat UUPA 5/1970 dan UUKA 23/2007”. Sebut Andi Surya

    Selanjutnya, Andi Surya menyebutkan langkah-lanhkah yang perlu diambil, perkara lahan register yang telah berproses ruralisasi dan urbanisasi sebaiknya pemerintah segera melepaskan lahan register hutan itu menjadi pemukiman dan disertifikasi untuk rakyat karena faktanya lahan register tersebut telah berubah menjadi hutan manusia yang notabene rakyat Indonesia. Ketiga, terkait HPL di Bandar Lampung agar pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian ATR/BPN dapat mencabut HPL-HPL yang bermasalah tersebut dan dilepas saja kepada warga karena berdasar kajian ihwal munculnya HPL ini juga memiliki persoalan alas hak. Terakhir, terkait HGU, segera pemerintah dapat melakukan daftar dan ukur ulang batas-batas lahan hak perusahaan privat ini agar tidak mengganggu lahan-lahan hak ulayat dan adat yang memang merupakan hak dari seluruh masyarakat adat Lampung. (rls)