Tag: APJII

  • APJII Tidak Dilibatkan dalam Proses Relaksasi Kebijakan DNI

    APJII Tidak Dilibatkan dalam Proses Relaksasi Kebijakan DNI

    Jakarta (SL)  – Pemerintah baru saja mengeluarkan paket kebijakan baru melalui
    Kebijakan Ekonomi XVI tentang dibukanya 54 bidang usaha dari Daftar Negatif Investasi (DNI). Dari 54 bidang usaha itu, 25 di antaranya terbuka untuk asing 100 persen. Di sektor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), sebanyak 8 bidang usaha yang masuk ke dalam 25 bidang usaha yang 100 persen dibuka untuk asing.

    Dikutip dari beberapa media, 8 bidang usaha itu ialah;
    1. Jasa sistem komunikasi data
    2. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi tetap
    3. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi bergerak
    4. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi layanan content
    5. Pusat layanan informasi atau call center dan jasa nilai tambah telepon lainnya
    6. Jasa akses internet
    7. Jasa internet telepon untuk kepentingan publik
    8. Jasa interkoneksi internet (NAP) dan jasa multimedia lainnya

    Dimana mayoritas pelaku usaha di ke 8 bidang usaha tersebut adalah seluruhnya anggota APJII.

    Melihat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
    (APJII) berkeberatan dengan keputusan tersebut, karena APJII tidak pernah dilibatkan dalam diskusi
    apapun terkait relaksasi DNI ini. “Relaksasi ini memiliki beberapa kelemahan dari beberapa sudut pandang setidaknya terkait kedaulatan digital bangsa dan perlindungan bagi pelaku usaha lokal khususnya tingkat kecil dan menengah. Memang relaksasi DNI ini akan mengundang investasi luar negeri ke pelaku usaha terkait, namun itu hanya akan memberikan manfaat kepada segelintir pelaku usaha khususnya yang berskala besar. Sedangkan yang lain atau sekitar 400an pelaku usaha lainnya akan tergilas habis, oleh segelintir pelaku usaha tersebut yang semakin mendapatkan empowerment dari investasi asing ini. Sehingga, hal itu jelas memiliki potensi untuk ‘membunuh’ pelaku usaha di sektor ini yang berskala UKM. Apalagi, sebagian besar anggota APJII adalah UKM. Belum lagi kalo kita bicara mengenai ancaman beberapa perusahan asing yang mempunyai konsep Global ISP” tanpa bekerjasama dengan ISP lokal. Dengan relaksasi DNI ini, konsep Global ISP ini semakin dimudahkan. Dan ini tentu saja tidak baik bagI kelangsungan bisnis mayoritas dr 450 ISP Indonesia. Apakah hal-hal ini telah dipertimbangkan pada saat melakukan kajian relaksasi DNI tersebut?”, tungkas Henri.

    Terkait Kedaulatan Digital Bangsa, Ketua Umum APJII, Jamalul Izza, mengatakan “Jika jasa interkoneksi internet (NAP) diperbolehkan dimiliki 100% oleh asing, maka itu sama saja menyerahkan gerbang-gerbang perbatasan digital kita 100% kepada pihak asing. Bayangkan apabila kita menyerahkan gerbang perbatasan konvensional kita untuk dikelola 100% asing, apa jadinya negara kita ini. Kami di industry tidak habis pikir, apakah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan ini, para pemangku kebijakan ini benar-benar memahami situasi dan kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan. Baru saja issue PP82 dimana data Indonesia boleh diletakan di negara asing yang masih ramai diperdebatkan dan belum tuntas, sekarang kebijakan Relaksasi DNI yang dimana seluruh industri digital lokal termasuk didalamnya boleh diserahkan 100% ke asing malah diterbitkan. Apakah masa depan digital bangsa kita akan kita serahkan 100% ke Asing ?”.

    Belum lagi, isu ancaman keamanan negara dan kedaulatan siber apabila kebijakan tersebut benar-benar diterapkan. Tidak hanya leluasa memantau segala informasi yang bersifat digital, tetapi juga aset-aset siber yang krusial milik negara seperti infrastruktur jaringan telekomunikasi, transportasi, satelit, dan listrik, semuanya akan dimonitoring asing.

    Sebelumnya, pemerintah berencana akan melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE), salah satu poin pembahasan yang akan direvisi adalah pengklasifikasi penempatan data center di Indonesia. Rencana ini juga ditentang oleh APJII dan organisasi internet lainnya, seperti MASTEL, FTII, IDPRO, ABDI, dan
    lain sebagainya. Jelas hal ini sama saja melemahkan kedaulatan siber Tanah Air.

    Jamal pun kembali mengungkapkan terkait dengan relaksasi kebijakan ekonomi baru itu. Menurutnya,
    relaksasi kebijakan itu seakan muncul begitu saja tanpa ada diskusi dengan para pemangku kepentingan. APJII sebagai organisasi internet terbesar di Indonesia, tidak dilibatkan dalam proses
    rencana pengambilan keputusan ini. “APJII tidak pernah dilibatkan dalam proses keluarnya relaksasi kebijakan tersebut,” tegas Jamal.

    Sebagaimana diketahui, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan
    alasan mengapa mengeluarkan kebijakan relaksasi DNI itu. Salah satu di antaranya adalah evaluasi
    pemerintah terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 tahun 2016 tentang DNI.

    Dari hasil evaluasi itu, beberapa bidang usaha masih belum menunjukan ketertarikan investor untuk
    masuk. Meski sudah boleh dibuka untuk asing. Maka itu, munculah kebijakan relaksasi DNI tersebut.
    APJII, kata Jamal, memahami apa yang menjadi dasar keputusan pemerintah melalui relaksasi
    kebijakan tersebut. Namun seyogyanya pemerintah juga harus memikirkan nasib mayoritas pelaku
    usaha lokal juga aspek kedaulatan digital Merah Putih kita ini. (rls)

  • APJII Sikapi Kebocoran Data Pengguna Facebook

    APJII Sikapi Kebocoran Data Pengguna Facebook

    Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga APJII Tedi Supardi Jakarta, Senin (2/4/2018)

    Jakarta (SL) – Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengeluarkan sikap mengenai krisis kebocoran data 50 juta pengguna Facebook. APJII menilai krisis yang mendera facebook melibatkan Cambridge Analytica terkait upaya pemenangan Presiden Trump di AS itu harusnya bisa menjadi momentum mengevaluasi Facebook sebagai media sosial terbesar di dunia. Selain itu, perlu didorong bangkitnya media sosial yang dikreasi anak bangsa.

    Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga APJII Tedi Supardi Muslih mengatakan, berdasarkan hasil survei lembaganya, jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2017 telah mencapai 143,26 juta jiwa dari total 262 juta jiwa penduduk Indoesia. Kebanyakan dari jumlah itu menggunakan internet untuk berinteraksi di media sosial.

    “Kebocoran data itu adalah momentum untuk mengevaluasi Facebook. Apalagi, Facebook juga tercatat sebagai pemilik Whatsapp dan Instagram. Sebaiknya ini juga jadi momentum kebangkitan media sosial Indonesia. Jangan sampai masyarakat Indonesia hanya jadi pengguna saja,” ujar Tedi Supardi Muslih dalam perbincangan dengan wartawan, di Jakarta, Senin (2/4/2018).

    Tedi memaparkan, bedasarkan hasil riset lembaganya pada 2017, pertumbuhan penetrasi internet di Indonesia di sepanjang 2017 menunjukkan separuh pengguna teknologi internet adalah milenial (49,52 persen). Menurut survei tersebut, pengguna teknologi internet bukan hanya dinikmati oleh yang berada di perkotaan. Bila dirunut berdasarkan wilayah, terungkap bahwa penetrasi pengguna internet terbesar ternyata ada di Pulau Kalimantan dengan penetrasi hingga 72 persen, jauh di atas Pulau Jawa yang hanya 58 persen populasi penduduk. Ini berarti, ada akses yang relatif sama bagi milenial di seluruh Indonesia.

    “Dengan jumlah pengguna internet sebanyak itu, Indonesia tercatat sebagai negara pengguna Facebook terbanyak ke-4 di dunia. Jadi, dengan potensi pelanggan sebanyak itu harusnya bisa muncul media sosial khas Indonesia, kita tidak hanya menjadi konsumen,” ujar Tedi yang pemilik dan pendiri PC24 Group, yakni bisnis grup yang bergerak dibidang komputer IT solution.

    Menurut Tedi, Indonesia sebaiknya bisa mencontoh China yang bisa melaju di dunia internet dengan media sosial seperti Baidu, Weibo, dan Wechat.

    Senada dengan Tedi, ahli digital forensik Rubi Alamsyah menanggapi kasus kebocoran data Facebook itu sebagai pembelajaran mengenai pentingnya kehati-hatian dan privasi di media sosial.

    “Media sosial ini kita gunakan secara gratis, banyak manfaat yang kita dapat. Tapi sejak mendaftar dan instal, sering kali orang banyak yang lupa mengenai kehati-hatian membagikan data-data yang bersifat pribadi,” ujar Rubi.

    Menurut Rubi, pengguna media sosial di Indonesia masih perlu diedukasi mengenai pentingnya perlindungan data pribadi agar tidak disalahgunakan oleh pihak ketiga.

    “Di Amerika, kesadaran mengenai privasi sudah sangat tinggi. Berbeda dengan di Indonesia, kita masih sangat rendah. Kita menggunakan media sosial, seringkali kebablasan membagikan data yang bersifat pribadi secara sukarela, padahal itu penting,” tegas Rubi.