Tag: BNPT

  • Insan Pers di Lampung Ikuti Workshop Pencegahan Paham Radikalisme dan Terorisme

    Insan Pers di Lampung Ikuti Workshop Pencegahan Paham Radikalisme dan Terorisme

    Bandar Lampung – BPNT dan Dewan Pers menggelar workshop tentang peran pers dalam pencegahan paham radikalisme dan terorisme untuk mewujudkan Indonesia harmoni di Novotel Lampung, Kamis, 21 Desember 2023. Workshop diikuti oleh puluhan wartawan media televisi, online, dan cetak. Dibuka oleh Sekretaris Dewan Pers Saefudin dan dihadiri oleh organisasi profesi pers dan puluhan media baik cetak, daring, televisi, dan radio di Lampung.

    Acara ini dimotori oleh Pemimpin Redaksi Harian Lampung Post, Dr. Iskandar Zulkarnain. Menghadirkan tiga narasumber: Ketua Dewan Pers periode 2016-2019 Yosep Adi Prasetyo, Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Periode 2016-2019, Imam Wahyudi, dan perwakilan dari BPPT Faizal Yan Aulia.

    Dalam sambutannya Sekretaris Dewan Pers Saefudin mengatakan tujuan dilaksanakan workshop ini untuk menindaklanjuti program sinergitas Dewan Pers dengan BNPT terhadap upaya mencegah dan melindungi bangsa dari ancaman radikalisme dan terorisme.

    “Untuk mendorong upaya pencegahan tersebut, media berperan aktif pada pemberitaan terkait radikalisme dan terorisme yang tetap taat pada pedoman peliputan terorisme,” katanya.

    Ia berharap para jurnalis dan media massa dapat taat dan mematuhi 13 butir pedoman peliputan terorisme.

    Ketua Dewan Pers periode 2016-2019, Yosep Adi Prasetyo mengatakan banyak insan pers yang belum banyak memahami bagaimana meliput aksi terorisme.

    Yosep Adi Prasetyo atau sering disapa Stanley menyebut jurnalis harus memiliki perspektif yang luas dalam memahami saat peliputan aksi terorisme.

    “Membuat liputan teroris tidak mudah. Kalau bapak/ibu memberikan glorifikasi kepada pelaku teror kemudian pegiat anti teror tidak terima pemberitaan bisa dilaporkan bapak/ibu ke Dewan Pers,” jelasnya.

    Ia mengutip pernyataan mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher pernah mengatakan bahwa media adalah “oksigen terorisme”, yang mana aksi yang dirancang oleh teroris bertujuan untuk menunjukkan aksi kejinya. “Ada riset dari peneliti di Inggris, kalau pemberitaan teroris yang dieskpos terlalu banyak dapat menimbulkan kegiatan sejenis,” tuturnya.

    Stanley menambahkan relasi antara media massa dan terorisme bisa menjadi relasi simbiosis mutualisme. “Di mana kedua belah pihak memerlukan satu sama lain dalam sebuah hubungan yang saling menguntungkan,” jelasnya.

    Pedoman Peliputan Terorisme

    Berikut adalah pedoman peliputan terorisme yang diterbitkan oleh Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IV/2015 tentang Pedoman Peliputan Terorisme:

    1. Wartawan selalu menempatkan keselamatan jiwa sebagai prioritas di atas kepentingan berita. Saat meliput sebuah peristiwa terkait aksi terorisme yang dapat mengancam jiwa dan raga, wartawan harus membekali diri dengan peralatan untuk melindungi jiwanya.

    2. Wartawan selalu menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan jurnalistik. Wartawan yang mengetahui dan menduga sebuah rencana tindak terorisme wajib melaporkan kepada aparat dan tidak boleh menyembunyikan informasi itu dengan alasan untuk mendapatkan liputan eksklusif. Wartawan bekerja untuk kepentingan publik sehingga keselamatan nyawa warga masyarakat harus ditempatkan di atas kepentingan berita.

    3. Wartawan harus menghindari pemberitaan yang berpotensi mempromosikan dan memberikan legitimasi maupun glorifikasi terhadap tindakan terorisme maupun pelaku terorisme. Terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) terhadap kemanusiaan.

    4. Wartawan dan media penyiaran dalam membuat siaran langsung (live) tidak melaporkan secara terinci/detail peristiwa pengepungan dan upaya aparat dalam melumpuhkan para tersangka terorisme. Siaran secara langsung dapat memberikan informasi kepada para terduga teroris mengenai posisi dan lokasi aparat keamanan secara real time dan hal ini bisa membahayakan keselamatan anggota aparat yang sedang berupaya melumpuhkan para teroris.

    5. Wartawan dalam menulis atau menyiarkan berita terorisme harus berhati-hati agar tidak memberikan atribusi, gambaran, atau stigma yang tidak relevan, misalnya dengan menyebut agama yang dianut atau kelompok etnis si pelaku. Kejahatan terorime adalah kejahatan individu atau kelompok yang tidak terkait dengan agama ataupun etnis.

    6. Wartawan harus selalu menyebutkan kata “terduga” terhadap orang yang ditangkap oleh aparat keamanan karena tidak semua orang yang ditangkap oleh aparat secara otomatis adalah pelaku tindak terorisme. Untuk menjunjung asas praduga tidak bersalah (presumption of innocense) dan menghindari pengadilan oleh pers (trial by the press), wartawan perlu mempertimbangkan penggunaan istilah “terperiksa” untuk mereka yang sedang diselidiki atau disidik oleh polisi, “terdakwa” untuk mereka yang sedang diadili, dan istilah “terpidana” untuk orang yang perkaranya telah diputus oleh pengadilan.

    7. Wartawan wajib menghindari mengungkap rincian modus operandi tindak pidana terorisme seperti cara merakit bom, komposisi bahan bom, atau teknik memilih sasaran dan lokasi yang dapat memberi inspirasi dan memberi pengetahuan bagi para pelaku baru tindak terorisme.

    8. Wartawan tidak menyiarkan foto atau adegan korban terorisme yang berpotensi menimbulkan kengerian dan pengalaman traumatik. Pemuatan foto atau adegan hanya diperbolehkan bila bertujuan untuk menyampaikan pesan kemanusiaan bahwa terorisme selalu menyasar sasaran umum dan menelan korban jiwa.

    9. Wartawan wajib menghindari peliputan keluarga terduga teroris untuk mencegah diskriminasi dan pengucilan oleh masyarakat, kecuali dimaksudkan untuk menghentikan tindakan diskriminasi yang ada dan mendorong agar ada perhatian khusus misalnya terhadap penelantaran anak-anak terduga teroris yang bila dibiarkan akan berpotensi tumbuh menjadi teroris baru.

    10. Terkait dengan kasus-kasus yang dapat menimbulkan rasa duka dan kejutan yang menimpa seseorang, pertanyaan dan pendekatan yang dilakukan untuk merekonstruksi kejadian dengan menemui korban, keluarga korban maupun keluarga pelaku harus dilakukan secara simpatik dan bijak.

    11. Wartawan dalam memilih pengamat sebagai narasumber wajib selalu memperhatikan kredibilitas, kapabilitas, dan kompetensi terkait latar belakang, pengetahuan, dan pengalaman narasumber yang relevan dengan hal-hal yang akan memperjelas dan memberikan gambaran yang utuh terhadap fakta yang diberitakan.

    12. Dalam hal wartawan menerima undangan meliput sebuah tindakan aksi terorisme, wartawan perlu memikirkan ulang untuk melakukannya. Kalau undangan terkait dengan rencana aksi pengeboman atau aksi bom bunuh diri sebaiknya wartawan tak perlu memenuhinya, karena hal itu dapat dipandang sebagai cara memperkuat pesan teroris dan mengindikasikan ada kerja sama dalam sebuah tindakan kejahatan. Wartawan menyampaikan rencana tindak/aksi terorisme kepada aparat hukum.

    13. Wartawan wajib selalu melakukan check dan rechek terhadap semua berita tentang rencana maupun tindakan dan aksi terorisme ataupun penanganan aparat hukum terhadap jaringan terorisme untuk mengetahui apakah berita yang ada hanya sebuah isu atau hanya sebuah balon isu (hoaks) yang sengaja dibuat untuk menciptakan kecemasan dan kepanikan. Penilaian akhir atas sengketa mengenai pelaksanaan Pedoman Peliputan terorisme ini diselesaikan oleh Dewan Pers.

    Jurnalisme Positif

    Sementara Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Periode 2016-2019, Imam Wahyudi, menyebutkan terdapat irisan antara jurnalisme dan penanggulangan terorisme. Irisan tersebut yakni informasi.

    Semua peradaban manusia membutuhkan informasi diantaranya segala informasi yang mempengaruhi nyawa, keuangan, kenyamanan dan pengaruh pilihan. Hal ini dibutuhkan agar manusia terus berkembang.

    “Sebagai jurnalis yang mencari informasi, maka berita yang disajikan harus akurat dan mengandung kepentingan publik,” kata Imam Wahyudi.

    Menurutnya, kecenderungan jurnalisme memberikan informasi ancaman atau sisi kelam dari radikalisme dan terorisme. Hal tersebut sesuai hasil riset yang menyebutkan bahwa jurnalis tertarik pada konflik dan drama, organisasi berita melihat konflik sebagai hal yang rutin.

    Lalu perilaku individu terhadap konten berita negatif bisa berbeda dengan sikap mereka. Mereka lebih lama mengakses berita negatif, walaupun mengatakan tidak suka dengan berita negatif.

    “Berita ancaman terorisme ini akan membuat masyarakat menjadi terbiasa. Sehingga berita penanggulangan dihulu (jurnalisme positif) perlu dilakukan untuk mencegah radikalisme, tidak hanya melulu menyajikan berita dihilir berupaya aksi teror,” ujarnya.

    Sedangkan perwakilan dari BNPT Faizal Yan Aulia menyebut gen Z dan perempuan rentan terpapar pahan radikalisme.

    Berdasarkan data BNPT potensi generasi Z terpapar radikalisme mencapai 12,7 persen dan generasi millenial 12,4 persen.

    “Mereka direntang usia 20-30 tahun generasi yang dianggap labil yang mudah jadi target radikal dan terorisme,” Faizal Yan Aulia.(red)

  • Badan Nasional Penanggulang Teroris Akan Bersinergi Dengan SMSI

    Badan Nasional Penanggulang Teroris Akan Bersinergi Dengan SMSI

    Sentul (SL) – Sebagai organisasi media siber terbesar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menggelar Safari Digital Indonesia. Safari Digital merupakan roadshow silaturahmi SMSI ke sejumlah institusi yang menggunakan konten digital dalam ikhtiar bersama mencerdaskan dan mensejahterakan bangsa.

    Sekjen SMSI Pusat, Firdaus, mengatakan Safari Digital merupakan roadshow silaturahmi SMSI ke sejumlah institusi yang menggunakan konten digital dalam ikhtiar bersama mencerdaskan dan mensejahterakan bangsa. “Kita jemput bola. Kita datangi mereka satu per satu, berdiskusi, bersinergi, mengedepankan semangat digital, menjauhkan masyarakat dari hoax,” kata Sekjen Firdaus.

    Firdaus menerangkan, markas Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) di kawasan Sentul, Jawa Barat, menjadi destinasi pertama Safari Digital SMSI, kemarin (5/9).

    Selain Sekjen Firdaus, tampak pula dalam rombongan Safari Digital Ketua Bidang Organisasi Mursyid Sonsang dan Direktur Pemberitaan SMSI Ramon Damora. Ketiga pengurus SMSI tersebut disambut langsung Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan  Deradikalisasi BNPT Mayjen Abdul Rahman Kadir.

    Ia menyebut, BNPT selama ini memang membuka diri selebar-lebarnya kepada pihak-pihak yang ingin bersinergi dengan BNPT dalam upaya membangun konten digital menangkal penyebaran paham radikalisme. Khususnya media massa.

    Secara institusi, terang Deputi Abdul Rahman, BNPT tak bisa berjalan sendiri melakukan agenda kontra-narasi dan kontra-propaganda menghadang arus deras penyebaran paham radikalisme yang menusuk ke hampir semua lini kehidupan berbangsa bernegara. “Sistem mereka canggih sekali. Bahkan dunia kampus sebagai basis intelektual nyaris sudah mereka kuasai,” tegasnya.

    Abdul Rahman berharap, sebagai organisasi media siber besar yang memiliki member 400-an perusahaan media online seindonesia, SMSI bisa menjadi media-partner BNPT. “Bantu kami,” ujarnya. (rls/nt)

  • Radikalisme Menguat, Kinerja BNPT Perlu Dievaluasi

    Radikalisme Menguat, Kinerja BNPT Perlu Dievaluasi

    Jakarta (SL) – Maraknya serangan teroris terhadap kantor kepolisian dan rumah ibadah yang menyebabkan korban jiwa dari pihak kepolisian dan masyarakat beberapa hari ini mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Termasuk juga dari Direktur Eksekutif 98 institut , Sayed Junaidi Rizaldi yg juga akrab disapa Pakcik.

    “Pelaku sekeluarga ini mencerminkan bahwa ideologi radikal sudah menancapkan kukunya secara kuat dimana mampu menggerakkan sekeluarga yang secara ekonomi mapan untuk mengorbankan diri atas nama ideologi,” kata Sayed dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa (15/5).

    Menurut Pakcik, keluarga itu jelas jelas-jelas tidak punya jiwa patriotisme dan nasionalisme sebab apa yang mereka lakukan jelas demi mencapai tujuan ideologis mereka, biar NKRI terpecah. Satu hal lagi, jika WNI yang pulang dari negara-negara Timur Tengah juga harus diverifikasi, filter kembali dan dipertanyakan komitmennya terhadap NKRI melalui fakta integritas misalnya.

    “Dan kejadian teror ini yang bertepatan dengan 20 tahun reformasi sehingga reformasi ternyata memang belum menemukan jiwanya,” ujar Sayed.

    Karena itu, Sayed menegaskan bahwa kinerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) perlu dievaluasi mendasar dan Kepala BNPT Suhardi Alius harus memberikan pertanggungjawabannya secara terbuka . “Sebab lembaga ini dibentuk untuk menjadi garda terdepan dalam hal penanggulangan teroris,” tambahnya.

    Selain itu, Sayed menyayangkan, kasus bom yang terjadi banyak diseret ke ranah politik terkait dengan kontestasi politik 2019. Padahal sebenarnya, kejadian terorisme ini murni perbuatan teroris. “Saya melihat akibat kejadian kejadian ini ada upaya adu domba ditingkat elite politik antara pro Jokowi dan pro Prabowo,” pungkasnya. (rls)