Tag: BPJS Kesehatan

  • BPJS Kesehatan Keluarkan Daftar RS di Jabodetabek Yang Putus Kontrak

    BPJS Kesehatan Keluarkan Daftar RS di Jabodetabek Yang Putus Kontrak

    Jakarta (SL) – BPJS (Badan Pelayanan Jaminan Sosial) Kesehatan mengeluarkan daftar beberapa rumah sakit di wilayah Jabodetabek yang tidak lagi bekerjasama karena pembaruan sertifikasi akreditasi.

    “Per 1 Januari 2019, sertifikasi akreditasi sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan menjadi syarat wajib yang harus dipenuhi rumah sakit yang ingin bekerja sama dengan BPJS Kesehatan,” tulis selebaran tersebut.

    Menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma’ruf, fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan di tahun 2019 harus sudah memiliki sertifikat akreditasi sebagai persyaratan wajib yang harus dipenuhi oleh setiap rumah sakit yang melayani Program JKN-KIS.

    “Akreditasi sesuai regulasi adalah syarat wajib. Diharapkan rumah sakit dapat memenuhi syarat tersebut. Sesuai dengan Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan di pasal 67 untuk fasilitas kesehatan swasta yang memenuhi persyaratan dapat menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan, dan ketentuan persyaratan diatur dalam Peraturan Menteri,” jelas Iqbal dalam rilis yang diterima detikHealth.

    Berikut daftar rumah sakit yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk sementara waktu:

    1. Belum terakreditasi dan tidak direkomendasikan Kemenkes
    – RS Menteng Mitra Afia (Jakarta)
    – RS Jantung Diagram (Depok)
    – RS Awal Bros Bekasi Timur (Bekasi)
    – RS Satria Medika (Bekasi)
    – RSIA Rinova Intan (Bekasi)
    – RS Seto Hasbadi (Bekasi)
    – RSUD Pakuhaji (Tigakarsa)
    – RS Mulyasari (Jakarta)
    – RSIA Vitalaya (Tangerang)
    – RS Kartika Pulomas (Jakarta)
    – RS Yadika (Jakarta)
    – RS Umum Pekerja (Jakarta)
    – RS Mata Primasana (Jakarta)
    – RSIA Tiara (Tigakarsa)
    – RS Mitra Keluarga Gading Serpong (Tigakarsa)
    – RSUD Jatipadang (Jakarta)
    – RSIA Permata Pertiwi (Cibinong)
    – RS dr Sismadi (Cibinong)
    – RSIA Bunda Suyatni (Bogor)
    – RSIA Sawojajar (Bogor)
    – RSIA Sayyidah (Jakarta)
    – RSIA Makiyah (Tangerang)
    – RS Annisa (Cibinong)

    2. Tidak memenuhi syarat rekredensialing
    – RS Mitra Medika (Cikarang)
    – RS Multazam Medika (Cikarang)
    – RS Bunda Dalima (Tangerang)
    – RS Aria Sentra Medika (Tangerang)
    – RS Karya Medika Tambun (Cikarang)

    3. Proses perpanjangan akreditasi
    – RS Bina Husada (Cibinong)
    – RS Asysyfaa (Cibinong)

    4. Surat Izin Operasional telah habis
    – RS Citama Cibinong
    (dtk)

  • BPJS Kesehatan Terlilit Hutang Sebesar 12 M ke RSUD Kudungga

    BPJS Kesehatan Terlilit Hutang Sebesar 12 M ke RSUD Kudungga

    Sangatta (SL) – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih memiliki tunggakan utang kepada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kudungga Sangatta, sekitar Rp 12 Milliar.

    Hal tersebut diungkapkan Direktur RSUD dr. Anik Istiyandari,M.P.H, ketika ditemui wartawan usai menghadiri acara coffe Morning di sekkab Kutim, Senin (17/12). Anik menyebutkan  Utang ini mulai Mei, hingga pertengahan Desember, yang belum terbayarkan, padahal, pihaknya telah bolah balik melakukan penagihan, namun selalu jawabannya,  masih proses. “Untuk tahun ini, BPJS baru bayar hingga April. Selebihnya, hingga pertengahan Desember ini, belum ada pembayaran.  Jadi, kalau tiap bulan  klaim  RSUD  Rp2-2,5 miliar, apa tidak Rp12 miliar,” katanya

    Dia menambahkan, utang tersebut bahkan bisa mengganggu arus kas keuangan RSUD dan dapat menganggu pelayanan dirumah sakit milik pemkab Kutim tersebut. “Kalau utang BPJS ini  tidak terbayar, maka bisa saja pelayanan pasien itu terganggu. Sebab RSUD mau ambil uang dari mana untuk bayar obat-obatan kalau tidak bayar,” keluhnya.

    Apalagi, lanjut Ia, anggaran dari APBD, kecil, sehingga pihaknya juga pusing menjaga arus kas, untuk bisa membeli obat-obatan, karena pelayanan tidak boleh terhenti.  Terutama untuk bayar obat, karena obat tidak bisa diutang. Diakui, dia sempat melakukan penagihan ke kantor BPJS samarinda, namun jawabannya sama, tidak ada uang, masih proses. Meskipun ditangi tiap minggu, jawabannya juga sama.

    Bahkan, sempat mereka berkelit nanti dibayar dengan denda, namun bagi RSUD,  bukan  masalah  denda, tapi ini masalah uang untuk bayar obat, agar pelayanan  tidak terhambat. Apalagi, RSUD Kudungga adalah RSUD rujukan,  karena itu, akibat keterlambatan BPJS bayar, maka rumah sakit terseok-seok.  “Ada yang sarankan agar pinjam uang bank, namun itu sulit dilakukan, karena  bank pasti ada  berbunga. Trus bunganya siap yang tanggung, sementara RSUD juga diaudit.  Seharusnya BPJS yang  berurusan dengan bank,  agar dia yang tanggung bunganya.  Namun, ini RSUD yang  di suruh  berurusan, dan itu tidak mungkin dilakukan,” katanya.

    Bisa bank, tapi bungah siapa yang tanggung. Tidak mungin BPJS yang mau tanggung, kalau RSUD yang pinjam. Seharusnya BPJ yang tanggung pinjam, bayar utangnya, agar bunganya mereka yang tanggung. “jadi kami berharap ini bisa secepatnya dibayar, karena ini masalah pelayanan pasien,” katanya. (wartakutim)

  • Sanksi Bagi Peserta yang Tak Patuh Bayar BPJS Kesehatan “Merembet” ke SIM dan Pasport?

    Sanksi Bagi Peserta yang Tak Patuh Bayar BPJS Kesehatan “Merembet” ke SIM dan Pasport?

    Jakarta (SL) – Masyarakat Indonesia yang menjadi peserta BPJS Kesehatan akan dipaksa menanggung hutang. Bahkan, bakal ada sanksi bagi peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran tiap bulan. Sanksinya bagi peserta yang tak patuh tidak akan bisa memperpajang SIM, STNK hingga Parpor.

    Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan per akhir Oktober 2018 defisit Kesehatan mencapai Rp 7,95 triliun. Presiden Joko widodo (Jokowi) sempat memberikan teguran kepada Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris.

    Jokowi heran suntikan dana Rp 4,9 Triliun yang diberikan pemerintah lewat APBN masih kurang untuk menutup defisit BPJS. “Harus kita putus tambah Rp 4,9 Triliun (untuk defisit BPJS). Ini masih kurang lagi. ‘Pak masih kurang. Kebutuhan bukan Rp 4,9 Triliun’. Lah kok enak banget ini, kalau kurang minta, kalau kurang minta,” katakJokowi saat membuka Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) di JCC, Senayan, Rabu (17/10/2018) lalu dilansir dari Kompas.com.

    Jokowi meminta Fahmi untuk segera memperbaiki sistem manajemen yang ada. Menurutnya, jika sistem dibangun secara benar, Jokowi meyakini BPJS bisa terhindar dari defisit keuangan.

    Dalam kesempatan tersebut, Jokowi juga turut menegur Menteri Kesehatan Nila F Moeloek karena ia harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan defisit yang melanda BPJS Kesehatan. Padahal, menurut dia, masalah defisit ini harusnya bisa selesai di tingkat kementerian.

    “Masa setiap tahun harus dicarikan solusi. Mestinya sudah rampung lah di (tingkat) Menkes, di dirut BPJS. Urusan pembayaran utang rumah sakit sampai Presiden. Ini kebangetan sebetulnya. Kalau tahun depan masih diulang kebangetan,” kata Jokowi.

    Akibat terjadinya defisit keuangan, BPJS Kesehtan pun mengambil langkah yang dianggap dapat meminimalisir defisit yang terjaid di perusahaan. Salah satunya dengan mengetatkan sanksi terhadap peserta yang masih menunggak iuran.

    Kepala Humas BPJS kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, perusahaan akan mengetatkan sanksi tersebut terhadap peserta yang termasuk dalam pekerja bukan penerima upah (PBPU/informal). Sebab segmen tersebut merupakan salah satu penyumbang defisit yang dialami BPJS Kesehatan saat ini.

    Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan per akhir Oktober 2018  Kesehatan defisit BPJS mencapai Rp 7,95 triliun. Jumlah itu merupakan selisih dari iuran yang terkumpul yakni Rp 60,57 triliun dengan beban Rp 68,52 triliun. Adapun sumber defisit itu paling besar dari peserta pekerja bukan penerima upah.

    Segmen peserta itu hanya bisa mengumpulkan iuran sebesar Rp 6,51 triliun. Sementara beban yang ditimbulkan senilai Rp 20,34 triliun, sehingga memiliki selisih Rp 13,83 triliun. Kemudian, segmen peserta bukan pekerja juga memiliki selisih Rp 4,39 triliun. Sebab, iuran yang terkumpul Rp 1,25 triliun sementara bebannya Rp 5,65 triliun.

    Begitu juga dengan pekerja penerima upah (PPU) yang didaftarkan pemerintah daerah juga menyumbang defisit Rp 1,44 triliun karena iuran Rp 4,96 triliun dan bebannya Rp 6,43 triliun. Justru untuk segmen penerima bantuan iuran (PBI) keuangannya tidak negatif.

    Tercatat, iuran PBI jumlahnya mencapai Rp 19,1 triliun. Sementara, bebannya cenderung lebih rendah Rp 15,89 triliun. Sehingga menurut Kemenkeu dari PBI justru surplus Rp 3,21 triliun. Melihat hal tersebut, salah satu yang bisa dilakukan untuk membuat peserta informal patuh adalah adanya penguatan regulasi soal sanksi ketat.

    Salah satunya yakni tidak bisa memproses izin-izin jika belum melunasi tunggakan BPJS Kesehatan. “Soal keterkaitan izin ini sebetulnya sudah tercantum di PP 86 Tahun 2013, memang ini sudah dipersiapkan bahkan sebelum JKN ada,” jelas Iqbal melansir Kontan.co.id, Senin (12/9/2018).

    Disebutkan, dalam Pasal 9 ayat 1 dan 2 sanksi itu meliputi tidak mendapat pelayanan publik tertentu kepada yang dikenai penerima seperti perizinan terkait usaha, izin yg diperlukan dalam mengikuti tender proyek, izin mempekerjakan tenaga kerja asing dan izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan izin mendirikan bangunan (IMB).

    Sementara sanksi yang dikenakan kepada setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja dan PBI juga akan terganjal perizinan seperti mengurus IMB, SIM, sertifikat tanah, paspor bahkan STNK. Iqbal pun mengatakan, jika sesuai peraturan maka hal itu seharusnya sudah siap diefektifkan per 1 Januari 2019, amanat Perpres 82/2018.

    Apalagi, saat ini sudah ada online single submission (OSS) yang membuat semua perizinan terintegrasi. “Sudah dibicarakan supaya 2019 tidak kelewat lagi kalau orang daftar harus punya kartu (BPJS Kesehatan), tambah dia. Bahkan saat ini juga sudah ada beberapa pemerintah daerah yang menyiapkan regulasi untuk memberlakukan ketentuan tersebut. Tapi, lanjut Iqbal, pemerintah tidak langsung mengaktifkan seluruhnya tapi akan ada sosialisasi dahulu ke masyarakat,” terangnya.

    Disisi lain, pelayanan bagi peserta BPJS Kesehatan saat berobat di klinik maupun di rumah sakit pun hingga saat ini masih kerap kali dikeluhkan oleh masyarakat.

    Sehingga, tak sedikit dari warga yang menjadi peserta BPJS Ksehatan tidak mempergunakan kartu JKN-nya ketika berobat ke rumah sakit atau klinik karena mereka tak mau ribet.

    Terlebih mendapatkan pelayanan lebih baik jika melakukan pembayan tunai tanpa menggunakan kartu JKN atau kartu BPJS Kesehatan. (Tribunnewsbogor)

  • Komisi IX DPR RI Apresiasi Kerjasama Antara Pemprov Lampung dan BPJS dalam Memberi Layanan Kesehatan

    Komisi IX DPR RI Apresiasi Kerjasama Antara Pemprov Lampung dan BPJS dalam Memberi Layanan Kesehatan

    Bandarlampung (SL) — Komisi IX DPR RI mengapresisiasi kerja sama antara Pemerintah Daerah Lampung dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam memberi layanan layanan kesehatan. DPR menilai kerja sama terjalin baik sehingga polemik pasca terbitnya tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 2,3 dan 5 Tahun 2018 dapat teratasi dengan baik di Provinsi Lampung.

    Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Ichsan Firdaus mengatakan, tiga aturan tersebut terkait pembatasan layanan pada beberapa kategori, yaitu pasien katarak, bayi baru lahir sehat, dan rehabilitasi medik yang dinilai merugikan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang baik dan berkualitas.

    “Kelihatannya memang di Provinsi Lampung ini komunikasi dan koordinasi antara Dinas Kesehatan, rumah sakit, dan BPJS terjalin baik sehingga kami melihat persoalan dari dampak terbitnya peraturan Itu dapat diantisipasi dan hal ini bisa ditiru daerah lain,” ujar Ichsan Firdaus Jumat (26/10/2018) di Aula Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.

    Pada kesempatan tersebut, dia juga mendorong pemerintah dan pemangku kepentingan untuk meningkatkan kepersertaan JKN- KIS di Provinsi Lampung yang saat ini baru mencapai 56 persen. Kemudian meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran atau premi oleh peserta JKN ke BPJS Kesehatan, “Diperlukan langkah-langkah yang kreatif dan inovatif untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran premi. Pembayaran ini penting mengingat BPJS sifatnya gotong-royong,” ujarnya.

    Sementara itu, Pj. Sekretaris Daerah Provinsi Lampung Hamartoni Ahadis dalam sambutanya mengatakan ada tiga pokok permasalahan penyelenggaraan BPJS Kesehatatan diantaranya adalah pelayanan rumah sakit kepada peserta JKN belum memuaskan karena keterbatasan sarana dan prasaran rumah sakit. Masih banyak masyarakat tidak mampu yang belum mendapatkan jaminan kesehatan yang dibiayai pemerintah daerah karena keterbatasan kuota pemerintah pusat.

    Kemudian, tunggakan yang tinggi karena peserta JKN tidak memenuhi kewajiban membayar iuran. “Sebagian masyarakat yang memanfaatkan program JKN hanya pada waktu sakit. Setelah sembuh kewajiban membayar iuran tidak dibayar lagi.” ujar Hamartoni.

    Untuk itu, Hamartoni mengungkapkan diperlukan langkah-langkah perbaikan guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang antara lain dengan menyediakan saran dan prasarana pelayanan yang sesuai standar. Mendorong pemerintah kabupaten/kota melakukan validasi serta udating data penduduk miskinnya secara berkelanjutan serta memastikan seluruh penduduk terdaftar dalam Program JKN.

    “Kami berharap dengan kunjungan spesifik ini pelaksanaan program JKN khususnya di Provinsi Lampung dapat berjalan dengan lebih baik dan seluruh persoalan dapat teratasi dengan baik,” ungkap Hamartoni

    Adapun anggota Kunjungan Spesifik tersebut adalah Budi Yuwono (Fraksi PDIP), Yayat Biaro (Fraksi Golkar), Julianus Poteleba (Fraksi Golkar), H. Suir Syam (Gerindra), Sumarjati Arsojo (Fraksi Gerindra), H. Zulfikar Achmad (Fraksi Demokrat), Hang Ali Syahputra Syah Pahan (Fraksi PAN), Aryanto Munawar (Fraksi PKB), Adang Sudrajat (Fraksi PKS), Irma Suryani (Fraksi Nasdem), dan Frans Agung MP Natamenggala (Fraksi Nasdem). (Humas Prov Lampung)

  • Pegawai BPJS Pakai Asuransi InHealth?

    Pegawai BPJS Pakai Asuransi InHealth?

    Jakarta (SL)-BPJS Kesehatan tengah menjadi gunjingan di dunia maya. Pasalnya, pegawainya disebut menggunakan asuransi komersil, yakni InHealth. Dalam sebuah postingannya, seorang netizen mengungkapkan keluhannya terkait antrean panjang jika berobat menggunakan BPJS Kesehatan. Begini tulisan yang beredar soal BPJS Kesehatan tersebut.

    Ternyata Pegawai BPJS Pakai Asuransi Inhealt

    Sejak kampanye Jaringan Kesehatan Nasional diserukan, semua warga negara Indonesia wajib ikut asuransi yang dikelola BPJS. Seruan itu sampai juga ke kantor saya. Walhasil, asuransi lama kami yang dikelola Inhealt dihentikan, berganti asuransi baru yang dikelola BPJS.

    Saya tidak masalah dengan pergantian itu. Mendapatkan pelayanan kesehatan gratis jelas harus diterima dengan syukur. Cuma satu memang yang masalah dengan BPJS: antrian. Hehe.

    Itulah makanya kantor kami pun mengeluarkan kebijakan: untuk jabatan Kepala Bagian, Manager sampai Direksi, masih di-double cover dengan asuransi Inhealt. Bahaya kalau bos-bos disuruh antri. Hehe.

    Namun ada yang menarik saat pegawai BPJS datang bersosialisasi ke kantor saya. Seorang teman iseng bertanya kepada pegawai itu, “Bapak ini sudah jelaskan panjang-lebar tentang kelebihan BPJS. Terus, Bapak sendiri pakai asuransi apa?”

    Apa jawaban pegawai itu? Ternyata semua pegawai BPJS pakai double cover asuransi: asuransi Inhealt plus asuransi BPJS. Tentunya kalau saya pegawai BPJS saya akan pakai Inhealt. Siapa juga yang mau antri? Hihi.

    Saat ditanya kenapa pegawai BPJS pakai Inhealt? Pegawai itu menjawab, “Direktur kami mengeluarkan kebijakan untuk double cover.” Ya sudahlah. Itu saja! Take care para pembaca sekalian, jaga kesehatan! (Okezone)

  • Manajemen Buruk, Pengelolaan BPJS Kesehatan Amburadul

    Manajemen Buruk, Pengelolaan BPJS Kesehatan Amburadul

    Jakarta (SL) – Meskipun Rp4,9 triliun uang APBN 2018 dikucurkan namun pengelolaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan belum maksimal. Bahkan terjadi defisit masalah keuangan yang dihadapi BPJS Kesehatan. Atas kondisi ini, Presiden Joko Widodo mengatakan defisit keuangan yang terjadi dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menunjukkan pengelolaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan belum maksimal.

    “Tidak gampang mengurus ribuan rumah sakit di tanah air. Namun, bila BPJS Kesehatan memiliki manajemen internal yang baik, tidak akan terjadi defisit,” kata Presiden dalam Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) di Jakarta Cenvention Center, Rabu.

    Karena kata Presiden pemerintah telah menggunakan dana cadangan dari APBN 2018 untuk menutup defisit JKN sebesar Rp4,9 triliun. Dan naasnya, dana tersebut dinilai belum akan cukup untuk mengatasi masalah keuangan yang dihadapi BPJS Kesehatan.

    “Itu masih kurang. Harus ada manajemen sistem yang jelas sehingga rumah sakit mendapat kepastian pembayaran,” tuturnya. Presiden mengatakan defisit JKN tidak terjadi seketika, tetapi merupakan imbas dari beberapa waktu sebelumnya. Karena itu, Presiden berharap BPJS Kesehatan segera melakukan pembenahan pengelolaan sehingga defisit keuangan program JKN tidak kembali terulang.

    “Seharusnya permasalahan ini bisa diselesaikan Direktur Utama BPJS Kesehatan dan Menteri Kesehatan. Masa urusan rumah sakit sampai ke Presiden,” katanya.(bukamata)

  • BPJS Gagal Penuhi Harapan Masyarakat

    BPJS Gagal Penuhi Harapan Masyarakat

    Jakarta (SL) – Komite III DPD RI melihat masalah BPJS itu-itu saja sejak berdiri 2014 hingga kini. BPJS Kesehatan telah gagal memenuhi harapan masyarakat. Dalam RDP pembahasan masalah BPJS di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (25/9), permasalahan BPJS seputar pelayanan rumah sakit, kepersertaan, dan biaya operasional.

    Di Lampung, bulan lalu, seorang dokter rumah sakit swasta mengabaikan BPJS dan menolak pasien kecelakaan karena harus dan keluarga pasien belum sempat bayar uang kontan untuk operasinya. Menurut anggota Komite III DPD, Mohammad Nabil, BPJS Kesehatan sudah gagal memenuhi harapan masyarakat.

    Ketika masih Askes, Jamkesmas, atau Jamsostek (ketenagakerjaan), masalah seperti saat ini jarang terdengar. Namun ketika dilebur menjadi BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan, masalah bermunculan dan berlarut-larut.

    “Ada kesalahan political will dari pemerintah dan perlu kesungguhan pemerintah apalagi BPJS saat ini sifatnya adalah wajib,” ujar anggota DPD asal Kepri ini.

    Senada dengan Nabil, anggota DPD Provinsi Banten Ahmad Sadeli Karim menambahkan pemerintah seharusnya serius menghadapi masalah BPJS agar masyarakat tidak merasa kecewa.

    “Jika BPJS bisa dipercaya, pemerintah harusnya bisa meng-cover semua peserta menjadi kelas satu. Untuk masyarakat yang mampu, bisa k erumah sakit swasta,” tuturnya.

    Ketua Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany menjelaskan iuran wajib yang setara pajak penghasilan harus dikelola oleh badan publik dan transparan.

    “Tentunya kesadaran masyarakat mengenai pembayaran iuran merupakan kepatuhan semua pihak,” papar dia.

    Selain itu, pola berpikir “pejabat” juga harus dirubah. Karena layanan kesehatan sebagai hak setiap orang dan kewajiban negara belum dipahami serta dilaksanakan secara konsisten oleh para pebajat.

    “Contohnya belanja kesehatan masih rendah (kurang dari lima persen PDB). Bahkan sampai saat ini pemerintah tidak mau tambah belanja kesehatan sesuai kebutuhan,” ulas Hasbullah.

    Hasbullah menyarankan untuk jangka pendek agar pemerintah tutup kekurangan dana BPJS Kesehatan sebesar Rp 20 sampai 30 triliun per tahun. Hal itu guna menyehatkan keuangan BPJS Kesehatan.

    “Jangan meremehkan hak rakyat. Ketimbang tambah subsidi BBM/listrik yang kurang tepat saaran, ketika harga BBM naik,” tegasnya. (net)