Tag: Dahlan Iskan

  • Bohongi Dahlan Iskan, Demi Ikut Pelatihan

    Bohongi Dahlan Iskan, Demi Ikut Pelatihan

    Oleh Wirahadikusumah

    Dua hari lalu saya mendapatkan pertanyaan dari salah satu adik tingkat saat kuliah melalui WhatsApp, sesaat setelah mem-posting sepenggal tulisan Dahlan Iskan (DIS) berikut fotonya di Facebook.

    “Abang ini kayaknya mengidolakan Pak DIS banget. Kenapa bang?” tulisnya melalui pesan WhatsApp.

    Pertanyaan itu saya jawab hanya tiga kata. “Dia orang hebat,” jawab saya.

    Saya memang memandang Pak DIS salah satu orang hebat di negara ini. Karena itu, meskipun tidak kenal dekat dengan Pak DIS, saya mengidolakan beliau. Terutama karya tulisannya.

    Setiap pagi, tulisannya yang di-posting di www.disway.id menjadi “teman” saya dalam menikmati kopi.

    Namun, pertanyaan itu juga mengingatkan kebohongan yang pernah saya lakukan terhadap Pak DIS. Tepatnya pada Desember 2014.

    Pada tahun itu, saya masih bekerja di SKH Radar Lampung sebagai Redaktur, yang sehari-hari bertanggung jawab menangani halaman Metropolis.

    Di tahun itu, saya mendapatkan penugasan dari kantor untuk mengikuti pelatihan selama sepuluh hari yang diselenggarakan Jawa Pos Group di Graha Pena Jakarta.

    Informasi yang saya terima, satu perusahaan hanya boleh mengirimkan satu orang. Syarat peserta pelatihan yang dikirim juga harus menjabat pemimpin redaksi (Pemred) atau orang yang dipersiapkan perusahaan untuk menjadi Pemred.

    Para pematerinya juga saya dengar wartawan-wartawan hebat Jawa Pos Group tempo dulu yang saat itu sudah menjadi bos-bos koran pada berbagai daerah di Indonesia. Termasuk di antaranya Pak DIS.

    Karenanya, ada kebahagiaan dan kebanggaan yang amat sangat ketika saya yang dipilih mengikuti pelatihan tersebut. Sebab, selain akan bertemu idola saya Pak DIS, serta orang-orang hebat di Jawa Pos Group, saya juga bakal mendapatkan ilmu dan pengalaman dari mereka.

    Awalnya pelatihan akan diadakan di suatu rumah yang biasa disebut Padepokan DI di kawasan Jakarta Selatan. Rumah mewah berlantai dua itu dulu disewa Pak DIS.

    Karenanya, lebih dari lima puluh calon peserta dari perusahaan-perusahaan yang tergabung di Jawa Pos Group awalnya berkumpul di Padepokan DI. Termasuk saya di antaranya.

    Di ruang tengah rumah itu, kami di absen satu persatu oleh panitia. Ditanyakan nama dan asal perusahaan masing-masing.

    Dari daftar kehadiran itulah saya mengetahui para calon peserta datang dari berbagai penjuru Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke. Ada perwakilan dari koran Rakyat Aceh, ada juga dari Cendrawasih Pos, Radar Timika, Radar Sorong. Termasuk perwakilan dari koran-koran Jawa Pos Group yang ada di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Bali, Jawa, dan lainnya.

    Usai diabsen, kami berdiskusi dengan dipandu panitia. Kami menceritakan apa saja kendala di koran masing-masing. Tetapi saat diskusi belum selesai, Pak DIS yang didaulat menjadi pemateri pertama datang.

    Saat itu, wajahnya terlihat bertanya-tanya. Dia lantas meminta daftar kehadiran dengan panitia. Tujuannya ingin melihat dari mana saja calon peserta pelatihan tersebut. Akhirnya diketahui ada miss komunikasi.

    Pak DIS menceritakan awal mula pelatihan tersebut diselenggarakan. Menurutnya, pelatihan tersebut diadakan atas permintaannya setelah berdiskusi dengan Leak Kustiya, Direktur Jawa Pos saat itu.

    Penyebabnya, banyak koran Jawa Pos Group, khususnya koran yang segmentasi pemberitaannya kriminalitas, atau politik, atau ekonomi, tidak menjadi koran “tauhid” lagi. Belakangan menurutnya koran-koran tersebut malah menjadi “musyrik” lantaran menjadi koran yang segmentasinya pemberitaan umum.

    Karenanya, dia meminta peserta pelatihan itu berasal dari koran-koran tersebut. Bukan koran yang segementasinya umum.

    Dia juga mengatakan, akan menjadi pemateri tunggal dalam pelatihan itu selama sepuluh hari sejak pukul 07.30-17.00 WIB.

    “Kalau ada pemateri lain, doktrin saya nanti tidak masuk,” ucapnya kala itu.

    Pernyataan Pak DIS itu sempat diprotes para calon peserta yang berasal dari koran umum. Termasuk saya di antaranya.

    Sebab, SKH Radar Lampung tergolong koran umum. Sehingga kemungkinannya sangat besar saya tidak bisa mengikuti pelatihan tersebut.

    Kami mengatakan, di koran umum juga ada berita kriminalitas, ekonomi, politik. Ada juga yang dengan merengek berharap belas kasihan dengan mengatakan sudah jauh-jauh datang ke Jakarta. Tetapi Pak DIS tetap bergeming.

    Pak DIS lantas mengambil daftar kehadiran calon peserta dan mengabsen satu-persatu nama-nama perusahaan yang mengirimkan wakilnya untuk menjadi peserta pelatihan.

    “Bagi yang disebutkan silakan keluar dari ruangan. Pulang, dan langsung kerja!” ucapnya.

    Sesuai perkiraan, karena SKH Radar Lampung tergolong koran umum, maka saya termasuk yang harus keluar dari ruangan tersebut.

    Saya melihat yang keluar dari ruangan itu jumlahnya mencapai puluhan orang. Termasuk perwakilan koran-koran dari Papua, Kalimantan dan lainnya. Jumlah peserta di dalam yang tersisa tidak lebih dari 20 orang.

    Saat itu sebagian peserta yang “diusir” Pak DIS tidak langsung pulang. Ada yang berkumpul sambil berbincang-bincang di halaman Padepokan DI. Ada juga yang langsung menelpon ke kantornya masing-masing untuk melaporkan hal tersebut.

    Saya salah satu yang ikut berkumpul di halaman. Kala itu saya berbincang dengan Cak Mahmud, perwakilan dari koran Sumatera Ekspres, Sumatera Selatan.

    Dia mengaku pasrah dengan keputusan Pak DIS tersebut dan memutuskan akan pulang ke Palembang. Dia juga menyarankan saya melaporkan kejadian tersebut kepada pimpinan saya di Radar Lampung.

    Di tengah kebingungan itu, akhirnya saya memutuskan menelepon Ary Mistanto, Pemred Radar Lampung saat itu yang kini menjadi Pemred Radar Lampung TV.

    Kepadanya saya melaporkan peristiwa “pengusiran” oleh Pak DIS. Kemudian Bang Ary (sapaan akrab saya terhadap Ary Mistanto, Red) mengatakan akan melaporkan kejadian itu kepada Pak Ardiansyah, Direktur Radar Lampung Group yang kini menjadi Chairman Radar Lampung.

    “Lu jangan pergi-pergi dulu ya dari sana. Gua mau lapor Bos Aca (sapaan akrab karyawan Radar Lampung Group terhadap Pak Ardiansyah, Red),” ujarnya.

    Usai menutup telepon Bang Ary, saya melihat peserta pelatihan yang lolos verifikasi Pak DIS keluar dari dalam rumah.

    Saya mendapatkan informasi dari salah satu peserta jika Pak DIS memindahkan tempat pelatihan ke Graha Pena Jakarta yang juga berada di kawasan Jakarta Selatan.

    “Pak DIS katanya mau ketemu orang dulu. Pelatihan mulai jam satu siang ini di Graha Pena,” katanya.

    Menerima informasi tersebut, saya memutuskan untuk ikut ke Graha Pena Jakarta dengan menumpang salah satu mobil peserta dari Bandung seraya menunggu perintah dari Lampung.

    Tiba di Graha Pena Jakarta saya langsung mencari kantin. Di kantin itu, saya berbincang-bincang sambil menyeruput kopi dengan peserta yang lolos verifikasi Pak DIS.

    Di kantin itu juga saya sempat menelepon istri dan melaporkan peristiwa “pengusiran” oleh Pak DIS. Istri saya menyarankan untuk menunggu perintah dari Lampung terkait apa yang harus saya lakukan.

    Sekitar 15 menit kemudian dari menelepon istri, handphone saya berdering. Tertera di layar handphone Bos Aca memanggil. Saya lantas menjawab panggilan tersebut dan kembali menceritakan kronologis “pengusiran” oleh Pak DIS.

    Bos Aca lantas memerintahkan kepada saya untuk kembali menghadap Pak DIS dan memohon agar diperkenankan mengikuti pelatihan tersebut.

    “Kalau Pak DIS tetap nggak ngizinin, kamu menghadap Pak Azrul Ananda di Jakarta, bilang dari Radar Lampung untuk magang di Jawa Pos Jakarta,” kata Bos Aca.

    Usai menerima perintah Bos Aca itu saya kebingungan. Saya sangat yakin Pak DIS tidak akan mengizinkan ikut pelatihan meskipun saya memohon bagaimanapun.

    Sebab, sebelumnya saat di Padepokan DI, ada juga calon peserta yang memohon kepada Pak DIS untuk diterima menjadi peserta pelatihan. Tapi Pak DIS tetap bergeming.

    Tetapi, saya juga agak berat jika memilih magang di Jawa Pos Jakarta. Sebab, saya tidak kenal siapa pun di sana. Saya yakin tidak akan optimal belajarnya. Bakal menghabiskan waktu dan tentunya uang saja.

    Sebab, dari cerita senior-senior saya di Radar Lampung yang pernah magang, tidak ada yang mementori mereka selama magang.

    Saya lantas memutar otak. Bagaimana caranya bisa diterima Pak DIS jadi peserta pelatihan. Saya ingat-ingat kembali perkataan Pak DIS saat di Padepokan DI. Syarat peserta adalah berasal dari koran yang segmentasinya bukan koran umum.

    Akhirnya saya mendapatkan ide. Saya ingat, Bos Aca adalah orang yang ‘hobi” menerbitkan koran baru. Itu pernah dia sampaikan dalam rapat-rapat Radar Lampung Group.

    Karenanya, hampir di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung, Radar Lampung memiliki koran-koran group. Bahkan untuk koran provinsi pun, Radar Lampung memiliki tiga koran group.

    Tetapi, dari seluruh koran-koran Radar Lampung grup itu, tidak ada yang segmentasinya berita kriminalitas.

    Karenanya, saya memutuskan untuk menghadap Pak DIS kembali dengan mengatakan diperintahkan Direktur Radar Lampung (Bos Aca, Red) untuk tetap mengikuti pelatihan. Alasannya, Radar Lampung dalam waktu dekat akan mendirikan koran yang segmentasi pemberitaannya kriminal.

    Meskipun ada perdebatan dalam hati lantaran harus berbohong, akhirnya saya tetap memutuskan menghadap Pak DIS kembali.

    Saya mengatur cara agar kebohongan yang akan saya lakukan sempurna. Setengah jam sebelum pukul 13.00 WIB, saya masuk ke dalam ruangan tempat akan dilaksanakan pelatihan.

    Saya melihat para peserta yang lolos verifikasi Pak DIS sudah duduk di kursi yang disediakan panitia.

    Saya lantas menghadap salah seorang panitia. Kepadanya, saya mengatakan diminta pimpinan tetap mengikuti pelatihan tersebut lantaran Radar Lampung akan mendirikan koran yang segmentasi pemberitaannya kriminal.

    Panitia tersebut akhirnya memperbolehkan saya duduk di kursi peserta. Tetapi dia mengatakan, keputusannya tetap ada pada Pak DIS, apakah saya diterima menjadi peserta atau tidak.

    Setengah jam menunggu kehadiran Pak DIS, hati saya berkecamuk. Keringat dingin keluar dari badan saya. Bagaimana tidak, yang akan saya bohongi kala itu adalah Big Bos Jawa Pos Group.

    Dalam beberapa kali kesempatan Pak DIS datang ke Lampung, saya pernah mendengar Bos Aca memanggil Pak DIS dengan sebutan Bos. Jadi wajar sepertinya kalau saya memanggil Pak DIS juga dengan sebutan Mbah Bos.

    Nah, saya membayangkan akan membohongi Mbahnya Bos. Wajar jika saya sangat khawatir sekali.

    Akhirnya tepat pukul 13.00 WIB, Pak DIS tiba. Saat masuk, dia memandang sekeliling ruangan. Beberapa detik kemudian dia bersuara.

    “Kok pesertanya tambah ramai ya?” tanyanya kepada panitia.

    Salah satu panitia lantas menjelaskan. Menurut panitia itu, ada tiga orang yang tetap memaksa ikut pelatihan. Pertama dari Jawa Pos, JPNN dan Radar Lampung.

    Ketiga perwakilan media itu lantas ditanya satu persatu oleh Pak DIS. Beruntung saya ditanya paling akhir.

    Dari Jawa Pos dan JPNN menyatakan diperintahkan pemred-nya tetap ikut pelatihan. Pak DIS lantas menyuruh keduanya keluar ruangan dan tidak diizinkan ikut pelatihan.

    “Radar Lampung kenapa tetap ikut juga?” tanya Pak DIS.

    Dengan hati berkecamuk dan detak jantung ber-RPM- tinggi, saya lantas menjawab pertanyaan Pak DIS.

    “Saya diperintahkan Pak Direktur tetap ikut pelatihan Pak. Sebab, kata beliau, akan mendirikan koran baru khusus pemberitaan kriminalitas di Lampung dalam waktu dekat ini,” jawab saya berbohong.

    Mendengar jawaban saya, Pak DIS terdiam beberapa detik. Terlihat dari wajahnya ada keraguan apakah mengizinkan saya ikut pelatihan atau tidak.

    Saat itu dia tidak merespons jawaban saya. Dia kemudian berbalik menghadap papan tulis lantas mengambil spidol memulai pelatihan.

    Gerak tubuh Pak DIS itu saya anggap sebagai bentuk persetujuan diperbolehkan ikut pelatihan tersebut.

    Saya mengibaratkan gerak tubuh Pak DIS sama dengan seorang wanita yang saat dinyatakan cinta oleh pria. Jika tidak menjawab atau hanya diam, berarti cinta pria itu diterima.

    Akhirnya selama sepuluh hari saya mengikuti pelatihan tersebut, meskipun harus berbohong di awalnya.

    “Maafkan saya Pak Dahlan Iskan, saya berbohong demi ikut pelatihan,”.

  • Palu

    Palu

    Oleh: Dahlan Iskan

    Selasa kliwon 02 October 2018

    Akhirnya saya dapat sambungan telepon ke Palu. Ke pemilik hotel Roa Roa. Yang hancur akibat gempa. Pak Denny Lim.

    Pukul 11.50 kemarin pak Denny sibuk. Cari alat berat. Tapi masih bisa melayani telepon saya. Ada info baru. Beberapa menit sebelum menerima telepon dari saya itu: ditemukan ada penghuni hotel yang hidup. Tapi masih di bawah reruntuhan hotel. Tahunya dari SMS. Yang dikirim penghuni hotel itu. Mengaku dari kamar 317. Bersama istrinya. Pejabat PLN dari Makassar.

    Berarti 2,5 hari orang itu berada di bawah reruntuhan. Entah mengapa baru kirim SMS pukul 10 an pagi hari Senin kemarin. Kepada anaknya. Lalu anaknya info ke Kompas TV. Pingsan? Baru sadar? HP-nya masih belum lowbatt?

    Itu tidak penting. Yang penting segeralah bertindak. Tapi alat berat amat sedikit di Palu. Mobilisasinya juga tidak mudah. Banyak jalan hancur akibat gempa.

    Hotel Roa Roa tergolong baru. Sekitar tiga tahun. Salah satu yang terbaik di Palu. Bintang tiga. Delapan lantai.

    Roa Roa adalah bahasa Kaili. Artinya: teman-teman.

    Dari hotel ini terlihat jembatan Palu yang baru. Yang jaraknya hanya sekitar lima kilometer. Jembatan terpanjang di sana. Baru tujuh tahunan umurnya. Jadi icon kota Palu. Banyak yang berfoto dengan background jembatan itu.

    ”Saya lihat dari jauh jembatan itu hancur,” ujar Adi, fotografer Fajar Makassar. Yang saat saya hubungi lagi di atas reruntuhan hotel Roa Roa. Adi baru tiba di Palu Minggu siang. Naik Hercules tentara.

    Sebagai pemilik hotel, fokus Danny mengerahkan alat berat. Ia sendiri sedang di Surabaya saat gempa terjadi. Meski lahir di Palu, Danny sudah tinggal di Surabaya. Sesekali saja ke Palu mengecek bisnisnya. Kemarin ia mendadak ke Palu untuk ikut mengatasi akibat gempa ini.

    Saat membangun hotel itu Danny sadar sepenuhnya: ini daerah gempa. Kontraktornya sudah membangun sesuai dengan daerah gempa.

    Tapi gempa Jumat petang lalu itu memang luar biasa: 7,7 Scala Richter.
    ”Masih sekitar 40 orang yang tertimbun di bawah reruntuhan hotel,” katanya.

    Kebetulan, sambungnya, lagi banyak tamu. Lagi ada kejuaraan paralayang. Beberapa atlet nasional bermalam di situ. Ada juga atlet dari Korea. Yang akan bertanding keesokan harinya.

    Di dekat hotel itu, di water front city, juga lagi ada gladi resik. Untuk acara pembukaan festifal Nomoni. Festival budaya. Untuk ulang tahun kota. Nomoni artinya bunyi. Atau nada. Atau tetabuhan.

    Akan ada juga marathon. Dan banyak lagi.

    Gempa itu terjadi tepat di senjakala. Bertepatan dengan surupnya matahari senja. Hampir menginjak waktu maghrib.

    Banyak warga sudah sadar gempa. Berkat rentetan bencana serupa di Lombok belum lama. Warga desa Marowola misalnya. Warga Perumnas itu segera berlarian ke lapangan terbuka. Mereka berkumpul di situ. Tidak jauh dari jembatan icon. Dengan penuh ketakutan.

    Setelah warga berkumpul, tanah di situ ternyata membelah. Lenyap masuk bumi. Di lapangan Perumnas itu salah satu korban terbanyak.
    Danny menceritakan semua itu. Dengan sedihnya.

    Saya sendiri tidak menyangka. Gempa Palu separah itu. Informasi awal begitu lambat. Tentang keadaan pasca gempa.

    Saya sendiri mengalami kesulitan. Untuk cepat menulis. Bahan yang tersedia sangat terbatas. Bagi saya tidak ada artinya. Kalau hanya menulis sama dengan yang sudah ada.

    Saya coba hubungi teman-teman wartawan di sana. Di hari pertama. Tidak bisa. Saya coba lagi di hari kedua. Tidak bisa juga. Saya ulangi di hari Senin pagi. Hari ketiga. Juga belum bisa. Semua saluran telepon masih terputus.

    Saya hubungi jaringan saya di barongsai. Juga tidak bisa. Saya hubungi seorang doktor universitas di sana. Yang saya ikut mengujinya saat meraih gelar doktor. Sama saja.

    Saya coba lewat jaringan keluarga. Adik menantu saya kawin dengan orang Palu. Ia sendiri tidak berhasil menghubungi sang istri. Dan anaknya. Padahal ia lagi kerja di Banjarmasin.

    Hatinya terus gundah. Ia putuskan ke Palu. Lewat Makassar. Kini masih dalam perjalanan darat. Bisa 12 jam.

    Ketika pertama disebut: tsunami terjadi di Donggala. Saya tidak khawatir. Donggala itu dataran tinggi. Paling hanya bagian-bagian kecil pantai yang terkena.

    Tapi begitu disebut Palu saya ingat: wilayah padat penduduknya berupa dataran rendah. Dekat pantai. Terutama di sekitar muara sungai Mutiara.

    Tapi saya juga belum terlalu khawatir. Kawasan muara sungai itu jauh dari laut lepas. Pantainya berada di ujung paling jauh sebuah teluk. Teluk Palu. Teluk yang sangat panjang. Bagian padat penduduk itu benar-benar jauh dari laut terbuka. Terlindung gunung Donggala.

    Teluk ini begitu panjangnya. Sering jadi petunjuk arah pendaratan pesawat. Landasan bandara Palu memang searah dengan teluk Palu.

    Saya tidak menyangka yang meninggal begitu banyaknya: lebih seribu orang. Data Senin pagi mencapai 1.100 orang. Innalillahi wainnailaihi rajiun.

    Mungkinkah itu karena tsunami terjadi di senja hari? Ketika pantai di teluk itu lagi ramai?

    Teluk itu memang kian cantik belakangan ini. Dipercantik. Dengan jalan baru di sepanjang pantai. Taman Ria. Water front city.

    Kian banyak juga hotel. Di pantai sini. Maupun di seberang sana. Ada Mercure. Ada Swissbel. Diperkirakan juga masih banyak korban di bawah reruntuhannya. Seperti di Roa Roa.

    Saya pernah di satu hotel bersama istri. Hotel baru. Yang kamarnya sangat menarik. Menyentuh air laut. Saya ingin tahu nasib hotel itu. Pasca gempa ini.

    Kawasan teluk ini kian populer sejak ada jembatan. Di muara sungai. Jembatan terpanjang di Palu. Orang sana menyebutnya Golden Gate-nya Palu. Begitu banyak orang berfoto dengan background jembatan ini.

    Saya sedih lihat di media sosial: jembatan ini roboh. Bangkainya masih berada di tempat asalnya. Tapi sudah dalam keadaan membujur seperti mayat.

    Lalu saya perhatikan. Titik gempa itu di daratan. Searah dengan bentuk teluk. Berarti tsunami itu datang dari teluk. Bukan dari arah laut lepas.
    Sampai tulisan ini saya edit jam 18.00 kemarin belum ada kabar baru. Tentang penghuni 317 itu. Berarti sudah tiga hari tiga malam suami-istri ini berada di bawah reruntuhan.

    Dua alat berat lagi bekerja di situ. Tapi terlalu sedikit untuk mengejar waktu.

    Korban-korban lainnya berarti juga punya nasib serupa. Puluhan. Ratusan.
    Akhirnya saya bisa menghubungi putri kamar 317 itu. Namanya Erika. Alumni elektro Univeritas Hasanuddin.

    ”Bukan saya menerima SMS bapak saya,” ujar Erika. ”Tapi menerima SMS dari kakak saya,” kata Erika lagi.

    Kakaknya itu juga lagi ke Palu. Bersama bapak dan ibunya. Akan menghadiri kawinan sepupunya. Sehari setelah gempa. Rencananya.

    Ayah-ibunya di kamar 317. Sang kakak di kamar sebelahnya. Selamat. Berhasil keluar dari reruntuhan. Lalu kirim SMS ke Erika. Adiknya. Yang kini bekerja di PLN itu.

    Erika ingin nekat ke Palu. Mencari bapak-ibunya. Tapi semua keluarga melarangnya.

    Dan pernikahan itu sendiri diurungkan.

    Melihat kacaunya keadaan di Palu, ada baiknya disediakan kapal Pelni yang besar. Di pelabuhan. Kalau masih bisa disandari. Kapal itu bisa jadi tempat pengungsian yang aman. Untuk 3 ribu orang. Perkapal.

    Air bisa cukup di kapal itu. Kalau perlu dilayarkan ke Balikpapan. Hanya perlu waktu satu malam.

    Saya sedih mendengar penjarahan di mana-mana. Pun rebutan mau naik Hercules. Rebutan ingin selamat. Akibat gempa susulan. Yang terus terjadi.

    Juga akibat fenomena baru: rumah berjalan, jalan bergeser, tanah tiba-tiba membelah…

    Kita tidak tahu jenis apa tanah di bawah Palu. Yang ketika diguncang gempa di bagian bawahnya, terkibas bagian atasnya. Seperti tikar yang mengambang di atas tanah bergoyang. Yang bisa pindah-pindah posisi. (dahlan iskan)

  • Jangan Takut Beli Ikat Pinggang

    Jangan Takut Beli Ikat Pinggang

    Oleh: Dahlan Iskan

    Beredar luas. Di kalangan pengusaha. Lewat media sosial. Isinya: tawaran ikat pinggang. Ekonomi lagi sulit. Dan masih akan sulit. Rupiah terus melemah. Inflasi akan terjadi. Bank mengetatkan pemberian kredit. Suku bunga akan tinggi. Buntutnya: akan ada PHK.

    Anjurannya: berhematlah. Kendalikan pengeluaran. Jangan boros. Siapkan uang yang cukup. Untuk jaga operasional perusahaan. Setidaknya untuk enam bulan.

    Beri pengertian karyawan: untuk ikut berhemat. Agar jangan ada PHK. Bagi yang merencanakan proyek baru tunda dulu. Wait and see. Anjuran seperti itu, yang beredar luas itu, sumbernya dari bank. Untuk mengingatkan nasabahnya. Agar waspada. Bank yang baik selalu menjaga nasabahnya. Saya setuju dengan anjuran seperti itu.

    Turki, India, Iran dan banyak negara lagi sulit-sulitnya. Bahkan Iran sampai memecat dua menteri ekonominya. Dipecat oleh DPR-nya.

    Kita juga lagi sulit. Jangan salahkan Sri Mulyani. Kalau kita tidak gagal di bidang ekspor Sri Mulyani akan baik-baik saja. Kalau ambisi kita tidak berlebihan semua akan baik-baik saja.

    Tapi siapa mau all out menggalakkan ekspor? Politik, bagi mereka, lebih menggiurkan. Apa boleh buat. Kita harus mengencangkan ikat pinggang. Siapa yang tidak mau ikat pinggang tanggung sendiri resikonya. Siapa yang belum punya ikat pinggang segeralah membelinya.

    Saya sudah biasa mengencangkan ikat pinggang. Bagi pengusaha seumur saya ini tidak baru. Ikat pinggang pertama saya alami tahun 1988. Yang kedua di tahun 1998. Yang ketiga tahun 2008. Yang keempat tahun 2018 ini. Terjadi tiap 10 tahun. Seperti ada mistiknya. Padahal tidak.

    Saya masih ingat ikat pinggang pertama itu. Sumbernya: tight money policy. TMP. Begitu populer istilah TMP saat itu. Sedikit-sedikit beralasan TMP. Kebijakan uang ketat. Kebijakan TMP bertujuan untuk mengendalikan inflasi. Ekonomi memang lagi ‘panas’ saat itu. Terlalu baik. Semua perusahaan ekspansi. Kalau tidak dikendalikan bisa ambruk.

    Akibat TMP itu sulit sekali cari uang. Sulit cari kredit. Bunga bank 24 persen. Banyak yang di atas itu. Saya mengalami semua itu. Justru ketika baru 6 tahun terjun di bisnis. Yang seharusnya masih dalam tahap belajar bisnis.

    Tapi pelajaran itu saya dapat: nenjalankan perusahaan dengan bunga 24 persen.
    Efisiensi kami lakukan habis-habisan. Bekerja lebih keras. Kami tidak pernah mengeluh. Tidak pernah minta tolong pemegang saham.

    Kami berhasil lolos dari krisis. Bahkan lebih kokoh. Banyak perusahaan yang juga selamat. Juga lebih kuat. Yang abai pada keadaan itu pada bangkrut. Ada yang kelak bisa bangkit lagi. Dengan susah payah. Banyak yang bangkrutselamanya.

    Hal yang sama terjadi sepuluh tahun berikutnya. Lebih berat. Krismon itu. tahun 1998 itu. Saat itu kami sudah lebih kokoh. Berkat ujian di tahun 1988. Tapi kami tidak lengah. Tetap kencangkan ikat pinggang. Ratusan ide, puluhan terobosan, penghematan, kerja lebih keras kami lakukan.

    Karyawan pun saya larang beli baju baru. Tidak boleh pakai dasi. Ke kantor boleh pakai sandal. Mutasi besar-besaran dilakukan. Karyawan berkorban habis-habisan. Mau kerja apa saja. Termasuk di luar bidangnya.

    Salah satu karyawan ganti bicara. Di rapat umum perusahaan. ”Pak Dahlan juga harus berhemat. Tidak boleh lagi naik mercy,” katanya.

    Saya ingat nama karyawan itu. Ia wartawan. Yang biasa kalem. Pendiam. Kali itu berani bicara begitu kepada bos besarnya. Di depan umum pula. Namanya akan abadi di hati saya: Budi Kristanto.

    Saya pun spontan memutuskan. ”Sejak rapat ini saya tidak naik mercy,” kata saya saat itu.

    Saya pilih naik Hundai kecil. Bekas. Mercy dikandangkan. Dua tahun kemudian diketahui: mercy itu rusak. Tidak pernah dipanasi.

    Tapi perusahaan lolos dari krisis. Menjadi sangat kokoh. Bahkan luar biasa kuat. Ketika terjadi krisis lagi sepuluh tahun kemudian: sepele. Krisis di tahun 2008 tidak terasa apa-apa di perusahaan kami. Padahal begitu banyak perusahaan kelimpungan.

    Saat terjadi krisis tahun ini saya sudah pensiun total. Tidak ikut merasakan. Tidak ikut mengalaminya.
    Tapi prinsipnya sama: Jangan takut ikat pinggang. Sepanjang tujuannya untuk kelangsungan perusahaan.
    Ingat. Saya pernah tiga kali mengalaminya. Dengan bunga 24 persen. Bahkan pernah 29 persen.

    Jangan mikir politik. Pikirkan perusahaan. Dan jaga karyawan Anda. (dahlan iskan)

  • Tafsir Wapres Untuk Nasib Sendiri

    Tafsir Wapres Untuk Nasib Sendiri

    Oleh : Dahlan Iskan

     

    Multi tafsir, Mengapa Jokowi pilih Ma’ruf Amin. Dan mengapa Prabowo pilih Sandiaga Uno.

    Tafsir 1:
    Dua-duanya percaya diri. Berani tidak ambil tokoh dengan rating tinggi.
    Jokowi mungkin percaya omongan ini: disandingkan dengan sandal jepit pun akan menang.

    Pasangan yang dipilih tidak harus yang bisa menambah suara. Yang penting tidak mengurangi suara.

    Itu mirip dengan posisi pak SBY. Di pereode kedua. Yang memilih Pak Budiono. Sebagai cawapres: tua, nurut, tidak mbantahan, tidak menjadi matahari kembar, tidak punya potensi menjadi presiden berikutnya.

    Dengan pasangan seperti itu Pak Jokowi berharap bisa jadi satu-satunya matahari.

    Pertanyaan: benarkah Kyai  Ma’ruf Amin tidak mengurangi suara Jokowi?

    Bagaimana dengan banyaknya  Ahoker yang bukan Jokower?  Tentu mereka kecewa. Kyai Ma’ruf Amin adalah tokoh yang membuat Ahok masuk penjara.
    Sebaliknya sebagai tokoh sentral 212 bisa jadi Kyai Ma’ruf menambah suara. Dari kalangan Islam. Meski sejak awal tagline 212 adalah ganti presiden.

    Tinggal hitung-hitungan. Lebih banyak Ahoker yang kecewa atau 212 yang batal ganti presiden.

    Prabowo juga percaya diri. Tidak ambil ulama. Justru ambil anak muda. Tidak takut 212 lari ke sana.

    Tasfir 2:
    Jokowi tidak menyiapkan calon presiden pereode berikutnya. Tidak bisa dipungkiri. Posisi wakil presidennya Jokowi nanti punya potensi jadi the next presiden.

    Mestinya Jokowi memilih wakil yang khusus: yang bisa diharapkan menjadi the next yang kapabel.

    Kalau kelak Jokowi yang terpilih terulanglah sejarah: persiangan lima tahun berikutnya sangat terbuka. Untuk siapa saja.

    Kalau kelak Prabowo yang terpilih ada dua kemungkinan: Prabowo maju lagi. Atau Sandi yang ditampilkan.

    Tafsir 3:
    Partai koalisi Jokowilah yang tidak mau ada orang kuat. Di sebelah Jokowi. Bisa merepotkan Jokowi. Dan menghambat partai-partai itu. Itulah sebabnya orang seperti pak Mahfud terpental. Di detik terakhir.

    Sebaliknya Prabowo bisa di atas partai-partai pendukungnya. Dengan tidak menggandeng ulama. Termasuk ulama yang diusulkan PKS.

    Kini rasanya lebih seimbang.
    Kebetukan saya kenal dua calon Wapres ini.

    Dengan Kyai Ma’ruf Amin saya kenal sejak tahun 1990-an. Ketika Gus Dur minta saya menyelamatkan Bank Nusumma. Milik NU. Setelah bank itu ditinggal bangkrut Bank Summa. Milik pengusaha Edward Soeryajaya.

    Mula-mula Gus Dur minta saya menaruh uang di Nusumma. Lalu menjadi pemegang saham mayoritas. Lantas menjadi direktur utama.
    Permintaan terakhir itu saya sanggupi. Asal Gus Dur sendiri yang menjadi komisaris utamanya.

    Jadilah saya Dirut Nusumma. Gus Dur preskomnya. Kyai Ma’ruf Amin komisarisnya. Sampai beberapa tahun kemudian. Sampai menjelang Gus Dur jadi presiden.

    Menjelang Pak Harto jatuh Gus Dur minta saya menyerahkan kembali saham itu. Untuk diberikan ke Edward lagi. Dibayar dengan cek. Yang ditandatangani oleh Edward sendiri. Di depan saya.
    Sampai sekarang cek itu masih ada. Tidak bisa diuangkan. Kosong.

    Waktu saya menjabat menteri pun sering sekali bertemu Kyai Ma’ruf Amin. Beliau menjadi anggota dewan pertimbangan presiden. Sering duduk bersama. Di sidang kabinet.

    Di NU Kyai Ma’ruf dikenal sebagai ulama garis lurus. Prinsipnya: ‘tidak’ atau ‘ya’. Tidak ada prinsip ‘atau’.
    Itu berbeda dengan ulama NU lainnya. Seperti Kyai Aqil Siraj. Yang berprinsip: di antara ‘ya’ atau ‘tidak’ ada kemungkinan ‘atau’.

    Saya pernah menerbitkan koran di Mekah. Ketika masih muda dulu. Saya minta dibantu dua mahasiswa S3. Yang asal Indonesia. Sebagai redaktur tamu. Yang lebih paham situasi Arab Saudi.

    Yang satu: mahasiswa S3 asal Lombok. Namanya: Suwardi Al Ampenani.

    Yang satu lagi: mahasiswa S3 asal Cirebon. Namanya: Said Aqil Siraj.

    Setelah bermingu-minggu bergaul kami pun tahu. Keduanya ternyata berbeda sikap. Dalam hal keagamaan.

    Kami tidak akan bertanya pada Suardi tentang boleh atau tidak menghidupkan tv di kantor kami. Kami sudah tahu jawabnya: tidak boleh. Haram.

    Maka kami menanyakan itu kepada Said Aqil Siraj. Kami sudah tahu jawabnya. Boleh.
    Seperti itu pula bedanya antara  Said Aqil Siraj dengan Ma’ruf Amin.

    Maka ada guyonan di kalangan NU. Kalau mau bertanya yang tidak boleh tidak boleh bertanyalah ke Kyai Ma’ruf Amin. Kalau mau bertanya yang boleh-boleh bertanyalah ke Kyai Said Aqil Siraj.

    Itu pula sebabnya Kyai Ma’ruf Amin di kubu 212. Sedang Kyai Said Aqil Siraj di luarnya.

    Akan hal Sandiaga Uno saya kenal lama juga. Dalam kaitan dengan bisnis. Saya di bisnis tradisional. Ia di bisnis modern. Saya bisnis bumi. Ia bisnis langit.

    Kalau ada kesulitan di bumi minta tolongnya ke langit.

    Sandi menawarkan pertolongan itu. Dengan otak cerdasnya. Ia masih sangat muda. Saat itu. Belum 30 tahun.

    Sejak itu saya kagum pada anak muda. Siapa saja. Yang ternyata lebih pinter dari yang tua. Tapi Sandi bukan orang sombong. Di mana-mana ia bilang: bisnisnya mulai berkembang setelah bertemu saya itu.

    Tentu Sandi hanya merendah. Kenyataannya ia memang lebih sukses.

    Jadi, saya akan mendukung siapa?

    Lho. Mengapa ada pertanyaan seperti itu?

    Memangnya Pilpresnya besok pagi?

    Saya sebaiknya memutuskan untuk bekerja seperti biasa. Tidak ada yang memikirkan nasib kita lebih dari kita sendiri. (Dahlan Iskan)

  • Kecopetan Sebelum ke Amerika

    Kecopetan Sebelum ke Amerika

    Oleh : Dahlan Iskan

    Saya harus ke Amerika lagi. Dalam waktu dekat. Tapi kemarin saya menangis. Dalam hati. Menangis sungguhan. Uang rupiah yang saya siapkan menjadi tidak begitu berarti. Di mata dolar.

    Saat itulah saya sadar: sebagian uang saya hilang begitu saja. Padahal uang itu ada di bank. Masih ada. Tapi nilainya begitu merosot. Saya merasa telah kecopetan. Atau kena rampok.

    Uang senilai Rp 20 miliar itu tinggal Rp 19 miliar nilainya. Kehilangan Rp 1 miliar. Hanya dalam waktu tiga bulan.

    Betapa banyak orang yang tiba-tiba kecopetan seperti itu. Satu miliar itu banyak. Bagi saya.

    Itu uang hasil keringat. Banting tulang. Enak banget yang mencopetnya.

    Kalau Anda punya tabungan Rp 10 miliar berarti Anda kecopetan Rp 500 juta. Kalau simpanan Anda Rp 1 miliar Anda kecopetan Rp 50 juta. Agar tidak merasa kecopetan baiknya Anda tidak ke luar negeri dulu.

    Anda tetap kecopetan tapi tidak terasa. Tidak terasa tapi tetap kecopetan.

    Memang saya tergolong orang bodoh. Sudah tahu rupiah bakal kalah. Rupiah bakal merosot. Sudah tahu kinerja ekspor kita loyo. Sudah tahu yang dipikir orang di atas sana lebih banyak hanya politik. Kok saya tidak menyimpan uang dalam dolar.

    Diam-diam saya harus memuji para pengusaha. Yang menyimpan uangnya dalam mata uang asing.

    Dulu saya akan mengecam mereka sebagai tidak nasionalis. Tidak cinta NKRI. Tidak cinta Pancasilais. Sekarang saya merasakan sendiri kecopetan begitu banyak. Itu menyakitkan.

    Maka yang akhirnya betul adalah: mulut tetap berteriak cinta NKRI dan cinta Pancasila tapi simpanannya dalam dolar. (jpnn.com)

  • Pemilu Era Big Data

    Pemilu Era Big Data

    By Dahlan Iskan

    Big data. Algoritma. Dua kata itu kini jadi mantra baru.

    Barang siapa bisa mendapatkan big data dan mampu mengolahnya melalui algoritma dialah jagonya. Jago apa saja: bisnis, politik, intelijen, pengelolaan kesehatan, sampai ke menjual bra dan celana dalam.

    Algoritma bisa menguraikan onggokan data seruwet dan secampur-aduk apa pun menjadi informasi nyata. Big data adalah onggokan data ruwet yang jumlahnya mencapai exabytes. Satu exabytes adalah 1.000 petabytes. Satu petabytes adalah 1.000 terabytes.

    Bayangkan gunungan data bertriliun megabyte itu bisa diurai oleh algoritma: bisa dipilah-pilah mana emas, perak, tembaga, mangaan, bijih besi, pasir, tahi ayam dan sperma masing-masing suku, ras, agama sampai pengikut Setya Novanto.

    Pertanyaannya: apakah di Pemilu 2019 nanti dua mantra itu sudah akan memainkan peran utama?

    Donald Trump sudah menggunakannya. Lewat Facebook. Menang. Padahal semua pooling menyatakan Hillary Clintonlah yang unggul.

    Belakangan, ketika penggunaan big data ini terungkap, harga saham Facebook jatuh pingsan. Tapi Hillary toh sudah terlanjur kalah.

    Situs berita dailymail.co.uk menayangkan proses perhitungan suara pemilihan presiden Amerika Serikat yang ditampilkan dalam layar raksasa.

    Dalam waktu dekat Malaysia juga segera berpemilu. Partai petahana (Barisan Nasional, UMNO) dan Pakatan Harapan bersaing frontal. Kampanye meningkat kian panas.

    Padahal kapan Pemilunya belum ditetapkan. Suka-suka yang lagi berkuasa. Hanya disebutkan: tahun ini. Bulan apa belum jelas. Hanya disebutkan: kemungkinan April ini. Tanggal berapa belum disebutkan. Bisa-bisa ditetapkan secara mendadak. Yang lagi berkuasalah yang menetapkan. Tanggalnya akan dicari yang bisa membuat petahana menang.

    Big data, di Malaysia sudah menjadi bagian perang. Tiba-tiba saja, minggu lalu parlemen mengagendakan perubahan batas-batas daerah pemilihan (dapil). Oposisi, yang dipimpin Mahathir Muhamad, menuduh itu bagian dari siasat penguasa agar calegnya tidak kalah.

    Hasil algoritma big data di sana rupanya mengindikasikan kekalahan di dapil tertentu. Karena itu batas distrik perlu digeser.

    Di India yang demokrasinya mirip kita soal big data dan algoritma juga lagi jadi topik politik. Penguasaan IT di India tergolong maju. Big data akan menjadi obyek penting dalam pelaksanaan demokrasi di sana.

    Saya menyerah di sini.

    Saya murid di era yang belum ada pelajaran matematika. Nilai rapot aljabar saya di madrasah dulu merah.

    Tapi anak muda sekarang mulai asyik beralgoritma. Sadar nilai rupiah di baliknya.

    Di Indonesia, saya mulai mendengar ada partai yang sangat sadar big data. Tanpa biaya besar, tanpa tokoh terkenal, tanpa gembar-gembor partai itu bisa lolos KPU. Mengalahkan partai seperti PKPI yang dimotori jendral sundul langit Hendropriyono. Juga nyaris mempermalukan Partai Bulan Bintang dengan mataharinya Yusril Ihza Mahendra: kok tidak lolos.

    Untung akhirnya lolos. Meski kartu suara simulasi partai lain terlanjur tidak sempat mencantumkan PBB sebagai peserta pemilu.

    Ilmuwan politik, pejuang demokrasi, dan para mahasiswa sudah harus membicarakan ini. Bagaimana big data akan mempengaruhi demokrasi kita. Bagaimana big data akan mereduksi peran ulama, peran istikharah, peran tim sukses dan bahkan sampai peran politik uang.

    Akankah era big data akan menjadi akhir era demokrasi?
    Zaman smartphone telah membawa konsekuensi bagi kehidupan demokrasi. Big data sudah terlanjur ada di tangan pihak ketiga.

    Data-data pribadi Anda sudah dikuasai pihak yang ingin memanfaatkannya. Baik untuk kepentingan bisnis, politik maupun jualan kondom.

    Big data yang diolah dengan algoritma akan langsung bisa mengerucut pada dapil. Bahkan pada lingkup TPS.
    Selamat datang Pemilu big data!(dis)

  • Pimpinan sinarlampung.com Bersama Pejabat Negara Di HPN 2018

    Pimpinan sinarlampung.com Bersama Pejabat Negara Di HPN 2018

    Pemimpin Umum/Redaksi sinarlampung.com, Juniardi selfie dengan Panglima TNI
    Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto usai acara Puncak HPN 2018 di Padang, Sumatera Barat.

    Padang (SL) -Pimpinan media sinarlampung com memperkenal media onlinenya,  kepada beberapa pejabat tinggi negara,  dan kabinet pemerintahan Jokowi-Yusuf Kalla,  di Moment Hari Pers Nasional (HPN) 2018, di Padang Sumatera Barat.

    Beberapa tokoh dan pejabat itu diantaranya,  Panglima TNI,  Ketua DPD RI,  dan Menkominfo. Mereka berharap sinarlampung.com menjadi media online yang profesional, dan menjunjung etika pers,  srsuai mottonya, yang mengedukasi dan mencerdaskan rakyat. “Jangan ikut ikutan menyebar hoax,” ucap Panglima TNI. (*/red)

    Bersama Menkominfo Rudi Antara
    Bersama Mantan Menteri dan Bos Jawapost Group Dahlan Iskan
    Bersama Ketua DPD RI Oesman Sapta

     

     

     

     

     

     

  • Hakim PT Surabaya Bebaskan Dahlan Iskan Dari Dakwaan Korupsi

    Hakim PT Surabaya Bebaskan Dahlan Iskan Dari Dakwaan Korupsi

    Dahlan Iskan bersama Yusril.

    Surabaya (SL)-Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya mengabulkan upaya banding yang diajukan mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, atas kasus dugaan korupsi pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU).

    Di tingkat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Dahlan divonis dua tahun penjara. Selain itu, majelis hakim yang dipimpin Tahsin juga mengganjar Dahlan dengan denda Rp100 juta atau kurungan dua bulan penjara jika denda tidak dibayar.

    Oleh majelis hakim, Dahlan dibebaskan dari dakwaan primer Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tipikor, tapi menghukumnya dari dakwaan subsider Pasal 3 UU yang sama. “Ya, banding Pak Dahlan sudah kami kabulkan. Putusannya sebelum Hari Raya Idul Adha lalu,” kata juru bicara PT Surabaya, Untung Widarto, Selasa (5/92017).

    Dahlan Iskan terjerat kasus ketika menjabat sebagai Direktur Utama PT PWU Jatim periode tahun 2000-2010. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim menilai penjualan dua aset BUMD Jatim di Kediri dan Tulungagung itu menyalahi aturan dan merugikan negara.

    Putusan bebas ini muncul setelah terjadi perbedaan pendapat atau dissenting opiniondi majelis hakim. Salah satu anggota majelis hakim yang diketuai hakim Dwi Andriani berpendapat mantan direktur PLN itu bersalah.

    Lantaran kalah jumlah, majelis hakim memutuskan banding Dahlan dikabulkan. “Saat ini kami masih merapikan berkas putusan untuk selanjutnya kami teruskan ke PN Surabaya,” ujarnya sembari enggan menjelaskan lebih rinci soal putusan perkara itu.

    Sementara itu, Kasi Penkum Kejati Jatim Richard Marpaung belum mengambil sikap atas putusan bebas Dahlan Iskan tersebut. Dia berdalih masih menunggu surat putusan resmi tersebut dari pengadilan. “Kami belum menerima petikan putusan, jadi kami belum ada sikap (upaya hukum kasasi),” katanya singkat. (Juniardi/nt)