Tag: Demokrasi

  • Kampanye Coblos Kotak Kosong Menggema Jelang Pilkada Lamtim 2024

    Kampanye Coblos Kotak Kosong Menggema Jelang Pilkada Lamtim 2024

    Lampung Timur, sinarlampung.co – Sejumlah masyarakat mengatasnamakan Solidaritas Masyarakat Demokrasi Lampung Timur (SOMASI Lamtim) akan melakukan kampanye Coblos kotak kosong jelang Pilbup Lamtim 2024.

    Kampanye Coblos kotak kosong ini akan digemakan melihat kondisi politik jelang Pilkada Serentak 2024 di Lampung Timur.

    “Selamatkan demokrasi Coblos Kotak kosong,” ujar Arip Setiawan

    Dijelaskan, aksi ini merupakan bentuk kegelisahan atas situasi perpolitikan terkini di Lamtim.

    Nasib masyarakat Lamtim akan terabaikan, kami berupaya hadir di tengah keresahan masyarakat atas kondisi politik Pilkada Lamtim terkini.

    “Ada dugaan upaya segelintir elite politik yang ingin calon kepala daerah di Lamtim melawan kotak kosong dengan cara memborong partai,” bebernya .

    Masih menurut Arip Mantan Penyelenggara Pemilu ini menilai fenomena kotak kosong di Pilkada merupakan bentuk kegagalan demokrasi.

    Dukungan maksimal partai politik (parpol) kepada Satu pasangan Calon pada Pilbup Lampung Timur memunculkan berbagai fenomena yang sebenarnya tanpa disadari menjadi gejala kemunduran demokrasi.

    Strategi borong parpol dalam transaksi tertutup partai mengerucutkan bahwa kekuasaan terpolarisasi pada satu titik.

    Hal ini membuat potensi kotak kosong Pilbup Lamtim 2024 terprediksi akan terjadi.

    “Saya tidak heran jika hal ini terjadi karena gejala kotak kosong dalam Pilkada Lamtim tidak terlihat hanya pada saat ini.” Imbuh Arip.

    Menurut Arip, situasi ini tidak baik untuk kondisi Lamtim ke depan, karena rentan dengan mahar politik uang untuk kongkalikong dengan oknum elit partai yang enggan bertanding secara demokratis.

    Aksi Sukarelawan Coblos Kotak Kosong akan dibentangkan spanduk bertuliskan: Coblos Kotak Kosong Pilbup Lamtim 2024, Aksi akan membentangkan spanduk bertuliskan: Coblos Kotak Kosong Pilbup Lampung Timur 2024, akan berlangsung di 24 Kecamatan & 264 Desa di Lampung Timur.

    Peristiwa kotak kosong menjadi tanda bahwa pemusatan Oligarki di Lampung Timur berjalan sukses tanpa hambatan .

    Pertanyaannya tidak adakah putra terbaik Lampung Timur atau kader terbaik parpol?

    Ditempat terpisah Menurut Salah satu Tokoh Masyarakat Hairul mengatakan, ada problem tersendiri dalam tata cara parpol menentukan kandidat.

    Sentralistis kebijakan yang ada pada DPP dalam menentukan kandidat membuat komunikasi kepada kader dan masyarakat menjadi terpinggirkan.

    Terkait dengan masyarakat, adanya satu pasang kandidat dan kotak kosong, masyarakat juga harus diedukasi bahwa pasangan satu orang bukan wajib dipilih.

    Satu pasangan yang lolos bukan berarti wajib dipilih atau satu satunya yang harus dipilih, ” Ujar Hairul

    “Masyarakat harus diedukasi dengan benar bahwa masyarakat masih bisa memilih kotak kosong.

    Perlakuan setara harus diberlakukan antara calon tunggal dan kotak kosong,” tukasnya.

    Dari segi pandangan hukum, jika kotak kosong yang berhasil memenangkan kontestasi, hal ini juga merugikan masyarakat Lampung Timur.

    Tentu akan ada stagnasi kepemimpinan yang terjeda beberapa tahun untuk dapat diperoleh Bupati definitif.

    Mengutip Pasal 54D ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan 1 (satu) pasangan calon sebagaimana dimaksud Pasal 54C, jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen + 1 dari suara sah.

    Mahkamah Konstitusi juga mengeluarkan putusan Nomor 14/PUU-XVII/2019 dalam judicial review UU 10/2016.

    Mengenai frasa ‘pemilihan berikutnya’ dalam pasal 54D ayat (2) dan (3) UU tersebut, putusan MK menyatakan, pasangan calon yang kalah dari kolom kosong boleh mencalonkan kembali.

    Masih menurut putusan MK, pemilihan berikutnya diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.

    Pilkada yang dilaksanakan sesuai jadwal, menurut MK, diserahkan ke KPU sebagai penyelenggara Pilkada.

    Esensi dari Pilkada adalah memilih pemimpin daerah yang mumpuni dalam menjalankan pelayanan publik ke depan.

    Artinya bukan hanya dibutuhkan orang mumpuni tetapi juga sistem yang mumpuni. Nah bagaimana hal ini bisa terjawab dari ‘kotak kosong?’,” ungkap Arip.

    Masih menurut Arip memberi keterangan, parpol juga harus menyadari bahwa permasalahan Pilkada bukan hanya prediksi kalah menang.

    Tetapi juga langkah yang diambil dalam proses politik akan berdampak besar bagi pembangunan dan pelayanan publik di masyarakat.

    “Apapun bentuknya, kotak kosong akan merugikan masyarakat,” sebutnya.
    (Red)

  • Pemerintah Akan Melarang Pemilik dan Pengelola Media Masuk Partai Politik

    Pemerintah Akan Melarang Pemilik dan Pengelola Media Masuk Partai Politik

    Ilustrasi pers dan demokrasi

    Semarang (SL) – Pemerintah akan melarang para aktor penyiaran menjadi pengurus partai politik. Larangan juga berlaku untuk para pemilik media massa, pengelola, penyiar, dan wartawan. Aturan itu tertuang dalam revisi UU Penyiaran.

    Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika bidang Komunikasi dan Media Massa, Henry Subiakto, menyatakan, larangan tersebut tercantum dalam revisi rancangan undang-undang penyiaran versi pemerintah.

    “Pemilik media massa, pengelola, penyiar, dan wartawan dilarang menjadi pengurus partai politik,” kata Henry dalam seminar “Dominasi Pemilik Media terhadap Kebijakan Pemberitaan” di Universitas Diponegoro, Semarang.

    Alasannya, menurut dia, aktor penyiaran yang merangkap pengurus partai politik akan merusak konten pemberitaan media.

    Namun demikian, lanjut dia, usulan pemerintah terkait revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bisa lolos dan ada kemungkinan juga tidak disetujui DPR. “Ini masih wacana. Kami menerima banyak laporan yang tidak setuju.” katanya.

    Dia menambahkan, revisi Undang-Undang Penyiaran sudah memasuki tahap daftar isian masalah untuk dibahas bersama DPR. “Ada 840 isian masalah antara rancangan versi pemerintah dan DPR,” kata Henry.

    Selain soal larangan menjadi pengurus partai politik, pemerintah juga akan mengatur konten media agar tetap netral dan seimbang. Selain itu, bakal diatur juga soal struktur media tidak boleh dipakai untuk mendahulukan golongan atau partai politik dan anti-diskriminasi. Anti-diskriminasi itu, Henry mencontohkan, semisal penerapan iklan kepada semua pihak dengan tarif yang sama.

    Pelaksana Harian Pengurus ATVLI, Jimmy Silalahi, menyatakan, menjelang Pemilu 2014, harus ada kampanye penegakan hukum UU Penyiaran dan UU Pers agar media tetap independen. Saat ini, kata Jimmy, ada sekitar 300 stasiun televisi, 1.000 radio, dan hampir 400 media cetak. “Telah terjadi monopoli kepemilikan di sejumlah media massa,” ujarnya.

    Modusnya dengan cara jual-beli izin ikatan di bawah tangan, pembelian saham induk perusahaan (holding), dan jual-beli izin secara terang-terangan. Jimmy menambahkan, regulator penyiaran sebagai pemegang amanat UU Penyiaran harus tegas dalam penegakan hukum terkait monopoli kepemilikan media. (tempo.co)

  • Kritik Dalam Demokrasi Bukan Bahasa Kejahatan

    AHLI pemerintahan menyebutkan, salah satu esensi ciri negara demokrasi adalah adanya jaminan terhadap seluruh rakyat untuk menyampaikan pendapat, ekspresi dan aspirasi terhadap kelangsungan seluruh aspek kehidupan bernegara. Sesuai dengan pengertiannnya demos (rakyat); cratos (memerintah) maka dalam negara demokrasi sesungguhnya yang berkuasa penuh adalah rakyat (people power) karena rakyatlah yang memberikan amanah kekuasaan terhadap presiden sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara.
    Konstitusi demokrasi memberikan hak penuh terhadap rakyat (masyarakat) untuk melaksanakan fungsi pengawasan atau controlling terhadap berjalannya kekuasaan, dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan sebuah Negara.
    Indonesia masuk Negara demokrasi dengan sistem pemerintahan presidensial, proses mengamanahkan kekuasaan rakyat terhadap presiden dilaksanakan secara demokrasi dengan memakai jembatan politik dengan segala aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku sebagi alat uji legalitas.
    Meski fungsi controling dan kritik hendaklah sesuai dengan rambu-rambu yang berlaku guna tercapainya tujuan nasional. Perjalanan sejarah perkembangan demokrasi mencatat bahwa kritisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan secara baik telah membawa kemajuan pesat yang menghantarkan suatu negara menjadi bangsa yang besar.
    Tidak sedikit dengan bertamengkan fungsi pengawasan dan kritik terhadap berbagai issue government (pemerintah), policy (kebijakan) dan law (hukum) rentan dilakukan untuk mengambil alih kekuasaan dengan mengeksploitasi power people.  Kritisi terhadap pemerintahan dilakukan secara tidak proporsional dan membabi-buta.
    Kini kitik juga telah dijadikan alat politik untuk melemahkan pemerintah dan mengambil alih pemerintahan secara unconstitutional. Kritik politisasi dilancarkan dengan melakukan doktrinasi terhadap masyarakat untuk menerima dan melaksanakan ajaran atau ajakan yang seakan-akan mengandung nilai-nilai kebenaran.
    Untuk mengatasi itu, kemampuan masyarakat berpikir secara kritis adalah sangat penting untuk keberhasilan sistem demokrasi. Masyarakat yang kritis akan tidak mudah dieksploitasi oleh kelompok atau pihak tertentu yang haus dengan kekuasaan. Dan kini berkembang kata Bahaya atas nama negara.
    Bahaya adalah kata yang layak kita sematkan saat ini terhadap beberapa lini kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Ferdinan Hutahean, dalam laman situs era muslim. Bahaya ancaman infiltrasi asing kepada kedaulatan negara, bahaya ekonomi yang tidak kunjung membaik, dan bahaya yang terakhir adalah bahaya berbicara.
    Contoh terkini mislanya, dunia politik Indonesia Nasional hingga ke daerah, kerap mudah guncang, meski sesungguhnya keguncangan itu tidak perlu terjadi bila bangsa ini dipimpin dengan mengedepankan keberpihakan pada bangsa daripada sekedar keberpihakan kepada kelompok tertentu.
    Kegaduhan politik saat ini sangat bisa dihindari apabila penguasa menempatkan kepentingan negara diatas segala kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Terutama agenda politik nasional dalam pilkada serentak tahun 2018.
    Pembungkaman terhadap kelompok aktivis dengan menggunakan instrumen penegakan hukum adalah bentuk langkah represif yang sedang menjadi bahasan hangat disemua lini kelompok masyarakat hingga sekarang.
    Ada hantu bernama Makar, UU ITE, dan Teroris, atau ujaran kebencian, yang dianggap menakutkan merasuki imaginasi atau alam pikir penguasa hingga para aktivis yang sedang memperjuangkan pemikiran ilmiahnya tentang ancaman kerusakan bangsa justru dianggap bahaya.
    Pemikiran ilmiah yang ingin memperjuangkan agar ada kehidupan bermasyarakat lebih baik, timbal balik dan partisipasi public terhadap pemerintahan, bukan tanpa kajian dan keilmuan serta beberan fakta-fakta tentang sistem pemerintahan kita yang sepertinya semakin kacau dan jauh dari cita rasa Indonesia. Ironisnya, memang jika pemikiran ilmiah itu dianggab sebagai bahaya, dan harus dipenjara, padahal memenjarakan orang tentu tidak akan dapat memenjarakan pemikiran.
    Ketika Eko Patrio sang Anggota DPR RI, tiba-tiba harus menghadapi ancaman represifme menggunakan instrumen penegakan hukum karena menyampaikan analisis dan pemikirannya terkait bom di Bintara Jaya yang disebutnya sebagai pengalihan isu misalnya.
    Dan banyak nama lain yang terang-terangan berseberangan dengan penguasa harus berhadapan dengan penegak hukum dengan tuduhan dan segala macam ancaman dalam pasal-pasal KUHP maupun UU ITE.
    Bahkan ketika Presiden RI Ke 6 Soesilo Bambang Yudhoyono berbicara ke media menjawab tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya sebagai pihak yang mendanai Aksi Bela Islam, turut menjadi korban dan dibully sebagai provokator.
    SBY berbicara menyampaikan kebenarandan menjawab tuduhan pada dirinya kemudian dicoba dilaporkan oleh pihak tertentu ke Bareskrim dengan tuduhan provokasi dan atau penghasutan, Ferdinan bilang itu bentuk kekonyolan diluar batas toleransi.
    Sudah sejauh itukah jahatnya situasi diera sekarang?. Situasi ini menjadi sangat mengerikan dan menguatirkan ketika bicara saja menjadi menakutkan. Ketika menyampaikan kebenaran dan pemikiran ilmiah menjadi sebuah kejahatan, maka tidak ada yang bisa kita harapkan lagi dari era sekarang ini.
    Kejahatan sesungguhnya adalah mengancam dan membungkam kebebasan berbicara dan bukan sebaliknya. Berbicara dan menyampaikan pemikiran bukanlah sebuah kejahatan yang harus dihabisi menggunakan instrument penegakan hukum.
    Kekeliruan ini harus dihentikan karena untuk mempertahankan kekuasaan bukanlah dengan jalan represif dan memenjarakan pemikiran serta membungkam kebebasan berbicara. Mempertahankan kekuasaan cukup dengan bekerja demi kesejahteraan rakyat, keberpihakan pada bangsa dan negara yang berideologi Pancasila, serta menempatkan kepentingan negara diatas segala kepentingan, maka niscaya kekuasaan itu tidak perlu dipertahankan karena ia akan bertahan dengan sendirinya.
    Pemerintah harus memastikan bahwa kebebasan berbicara adalah hak azasi. Masyarakat dari golongan apapun berhak ikut bicara tentang nasib bangsa dan itu bukan kejahatan, dan membela diri dan menyampaikan kebenaran bukan juga sebuah kejahatan. Semoga. Tabik. (Juniardi)

  • Kritik Dalam Demokrasi Bukan Bahasa Kejahatan

    Kritik Dalam Demokrasi Bukan Bahasa Kejahatan

    AHLI pemerintahan menyebutkan, salah satu esensi ciri negara demokrasi adalah adanya jaminan terhadap seluruh rakyat untuk menyampaikan pendapat, ekspresi dan aspirasi terhadap kelangsungan seluruh aspek kehidupan bernegara. Sesuai dengan pengertiannnya demos (rakyat); cratos (memerintah) maka dalam negara demokrasi sesungguhnya yang berkuasa penuh adalah rakyat (people power) karena rakyatlah yang memberikan amanah kekuasaan terhadap presiden sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara.

    Konstitusi demokrasi memberikan hak penuh terhadap rakyat (masyarakat) untuk melaksanakan fungsi pengawasan atau controlling terhadap berjalannya kekuasaan, dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan sebuah Negara.

    Indonesia masuk Negara demokrasi dengan sistem pemerintahan presidensial, proses mengamanahkan kekuasaan rakyat terhadap presiden dilaksanakan secara demokrasi dengan memakai jembatan politik dengan segala aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku sebagi alat uji legalitas.

    Meski fungsi controling dan kritik hendaklah sesuai dengan rambu-rambu yang berlaku guna tercapainya tujuan nasional. Perjalanan sejarah perkembangan demokrasi mencatat bahwa kritisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan secara baik telah membawa kemajuan pesat yang menghantarkan suatu negara menjadi bangsa yang besar.

    Tidak sedikit dengan bertamengkan fungsi pengawasan dan kritik terhadap berbagai issue government (pemerintah), policy (kebijakan) dan law (hukum) rentan dilakukan untuk mengambil alih kekuasaan dengan mengeksploitasi power people.  Kritisi terhadap pemerintahan dilakukan secara tidak proporsional dan membabi-buta.

    Kini kitik juga telah dijadikan alat politik untuk melemahkan pemerintah dan mengambil alih pemerintahan secara unconstitutional. Kritik politisasi dilancarkan dengan melakukan doktrinasi terhadap masyarakat untuk menerima dan melaksanakan ajaran atau ajakan yang seakan-akan mengandung nilai-nilai kebenaran.

    Untuk mengatasi itu, kemampuan masyarakat berpikir secara kritis adalah sangat penting untuk keberhasilan sistem demokrasi. Masyarakat yang kritis akan tidak mudah dieksploitasi oleh kelompok atau pihak tertentu yang haus dengan kekuasaan. Dan kini berkembang kata Bahaya atas nama negara.

    Bahaya adalah kata yang layak kita sematkan saat ini terhadap beberapa lini kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Ferdinan Hutahean, dalam laman situs era muslim. Bahaya ancaman infiltrasi asing kepada kedaulatan negara, bahaya ekonomi yang tidak kunjung membaik, dan bahaya yang terakhir adalah bahaya berbicara.

    Contoh terkini mislanya, dunia politik Indonesia Nasional hingga ke daerah, kerap mudah guncang, meski sesungguhnya keguncangan itu tidak perlu terjadi bila bangsa ini dipimpin dengan mengedepankan keberpihakan pada bangsa daripada sekedar keberpihakan kepada kelompok tertentu.

    Kegaduhan politik saat ini sangat bisa dihindari apabila penguasa menempatkan kepentingan negara diatas segala kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Terutama agenda politik nasional dalam pilkada serentak tahun 2018.

    Pembungkaman terhadap kelompok aktivis dengan menggunakan instrumen penegakan hukum adalah bentuk langkah represif yang sedang menjadi bahasan hangat disemua lini kelompok masyarakat hingga sekarang.

    Ada hantu bernama Makar, UU ITE, dan Teroris, atau ujaran kebencian, yang dianggap menakutkan merasuki imaginasi atau alam pikir penguasa hingga para aktivis yang sedang memperjuangkan pemikiran ilmiahnya tentang ancaman kerusakan bangsa justru dianggap bahaya.

    Pemikiran ilmiah yang ingin memperjuangkan agar ada kehidupan bermasyarakat lebih baik, timbal balik dan partisipasi public terhadap pemerintahan, bukan tanpa kajian dan keilmuan serta beberan fakta-fakta tentang sistem pemerintahan kita yang sepertinya semakin kacau dan jauh dari cita rasa Indonesia. Ironisnya, memang jika pemikiran ilmiah itu dianggab sebagai bahaya, dan harus dipenjara, padahal memenjarakan orang tentu tidak akan dapat memenjarakan pemikiran.

    Ketika Eko Patrio sang Anggota DPR RI, tiba-tiba harus menghadapi ancaman represifme menggunakan instrumen penegakan hukum karena menyampaikan analisis dan pemikirannya terkait bom di Bintara Jaya yang disebutnya sebagai pengalihan isu misalnya.

    Dan banyak nama lain yang terang-terangan berseberangan dengan penguasa harus berhadapan dengan penegak hukum dengan tuduhan dan segala macam ancaman dalam pasal-pasal KUHP maupun UU ITE.

    Bahkan ketika Presiden RI Ke 6 Soesilo Bambang Yudhoyono berbicara ke media menjawab tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya sebagai pihak yang mendanai Aksi Bela Islam, turut menjadi korban dan dibully sebagai provokator.

    SBY berbicara menyampaikan kebenarandan menjawab tuduhan pada dirinya kemudian dicoba dilaporkan oleh pihak tertentu ke Bareskrim dengan tuduhan provokasi dan atau penghasutan, Ferdinan bilang itu bentuk kekonyolan diluar batas toleransi.

    Sudah sejauh itukah jahatnya situasi diera sekarang?. Situasi ini menjadi sangat mengerikan dan menguatirkan ketika bicara saja menjadi menakutkan. Ketika menyampaikan kebenaran dan pemikiran ilmiah menjadi sebuah kejahatan, maka tidak ada yang bisa kita harapkan lagi dari era sekarang ini.

    Kejahatan sesungguhnya adalah mengancam dan membungkam kebebasan berbicara dan bukan sebaliknya. Berbicara dan menyampaikan pemikiran bukanlah sebuah kejahatan yang harus dihabisi menggunakan instrument penegakan hukum.

    Kekeliruan ini harus dihentikan karena untuk mempertahankan kekuasaan bukanlah dengan jalan represif dan memenjarakan pemikiran serta membungkam kebebasan berbicara. Mempertahankan kekuasaan cukup dengan bekerja demi kesejahteraan rakyat, keberpihakan pada bangsa dan negara yang berideologi Pancasila, serta menempatkan kepentingan negara diatas segala kepentingan, maka niscaya kekuasaan itu tidak perlu dipertahankan karena ia akan bertahan dengan sendirinya.

    Pemerintah harus memastikan bahwa kebebasan berbicara adalah hak azasi. Masyarakat dari golongan apapun berhak ikut bicara tentang nasib bangsa dan itu bukan kejahatan, dan membela diri dan menyampaikan kebenaran bukan juga sebuah kejahatan. Semoga. Tabik. (Juniardi)