Tag: Dewan Pers

  • Dewan Pers Warning PNS Merangkap Jurnalis

    Dewan Pers Warning PNS Merangkap Jurnalis

    Makassar (SL)-Dewan Pers menyoroti Aparatur Sipil Negara (ASN) di pemerintahan yang berprofesi jurnalis di berbagai daerah, termasuk di Makassar karena jurnalis tidak boleh bekerja sebagai ASN, karena tugas keduanya berbeda. Contoh kasus ada Staf kelurahan Maccini merangkap Pegawai Negri Sipil (PNS) sekaligus Wartawan hal ini pun di tanggapi serius oleh Dewan Pers, Ju’mat (23/11/2018).

    “Logika berpikirnya sangat mudah, ASN bertugas sebagai pelayan masyarakat, sedangkan jurnalis mengawasi kinerja pemerintahan. Bagaimana mungkin bisa orang yang bertugas sebagai pelayan masyarakat dalam waktu yang sama mengawasi kinerja pemerintahan,” kata anggota Dewan Pers Nezar Patria yang dihubungi dari awak media.

    Nezar menerima sejumlah laporan masalah ini karena seharusnya orang yang memiliki pekerjaan ganda memilih menjadi ASN atau jurnalis. “Sebagai jurnalis harus bersikap independen. Tidak mungkin ASN mau atau berani mengkritik kebijakan atasannya,” kata Nezar.

    Nezar mengemukakan pihak yang mesti menindak oknum ASN yang berprofesi jurnalis adalah perusahaan media massa tempat orang itu bekerja. “Yang bisa ambil tindakan cepat itu perusahaan pers, bukan Pemda,” kata Nezar.

    Oknum ASN yang berprofesi sebagai jurnalis di kelurahan Maccini sempat mendapat sorotan wartawan berbagai media massa. Oknum ASN ini bahkan mengusir wartawan saat melakukan peliputan di kantor lurah Maccini beberapa hari yang lalu. (nkriku)

  • Mantan Menkopolhukam Tedjo Edhy Desak Dewan Pers Sikapi Pembunuhan Dufi yang Mayatnya Dalam Drum

    Mantan Menkopolhukam Tedjo Edhy Desak Dewan Pers Sikapi Pembunuhan Dufi yang Mayatnya Dalam Drum

    Jakarta (SL) – Mantan Menkopolhukam Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdyanto yang juga Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Wartawan Online Independen Nusantara  (PWO IN) mendesak Dewan Pers menyikapi kasus pembunuhan terhadap wartawan senior Abdullah Fithri Setiawan (43) alias Dufi yang mayatnya ditemukan di dalam drum.

    Tedjo Edhy yang juga merupakan  Dewan Penasehat Sekretariat Bersama (Sekber) Pers Indonesia mempertanyakan respon Dewan Pers berkaitan dengan pembunuhan sadis terhadap Dufi, yang sampai saat ini “adem – adem” saja. “Jika benar, almarhum di bunuh karena dalam tugas maka kami mengutuk keras pelaku pembunuhan yang dilakukan secara sadis itu. Dewan Pers harusnya  segera menyikapi dan mengambil langkah terhadap kasus ini,”pungkasnya, Senin (19/11/2018).

    Untuk diketahui, Dufi atau Abdullah Fithri Setiawan (43) alumni Kampus IISIP Jakarta, angkatan 1993 ini,  pernah menjadi wartawan di sejumlah media nasional. Jenazah korban pertama kali ditemukan pemulung berinisial SA (56), yang tengah melintas dan mencari barang bekas pada pukul 06.00 WIB, Minggu 18 November 2018.

    Polisi Buru Pembunuh Dufi

    Sementara itu, Polisi kini tengah memeriksa dua orang saksi di lokasi ditemukannya mayat Abdullah Fithri Setiawan alias Dufi di dalam drum di Klapanunggal, Bogor. Polisi juga masih mengidentifikasi ciri-ciri pelaku. “Berdasarkan alat bukti, Polres Bogor di-back up Polda Jabar melakukan penyelidikan dan identifikasi,” kata Kabid Humas Polda Jabar Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko saat dihubungi, Senin (19/11/2018).

    Selain memeriksa dua saksi di lokasi temuan mayat dalam drum, polisi juga meminta keterangan istri Dufi, Bayu Yuniarti. “Polisi sedang bekerja, masih melakukan penyelidikan,” ujarnya.

    Sebelumnya Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan kasus pembunuhan ini ditangani tim gabungan.

    Mayat Dufi dalam drum ditemukan di kawasan industri Kembang Kuning, Klapanunggal, Kabupaten Bogor. Ditemukan luka akibat senjata tajam di tubuh korban. “Dari hasil keterangan sementara memang ada tanda-tanda bekas tindakan kekerasan. Di bagian leher dan ada beberapa bagian tubuh (akibat) senjata tajam,” ujar Brigjen Dedi terpisah di Mabes Polri.

    Dufi diketahui pamit dari rumah di Gading Serpong, Tangerang pada Jumat (16/11) pagi, Sekitar pukul 09.00 WIB, Dufi mengabari istrinya Bayu Yuniarti sudah berada di Stasiun Rawa Buntu. Tapi setelah itu, Dufi yang mengaku ingin ke TV Muhammadiyah di Menteng, Jakpus, tak lagi mengirim kabar.

    Pesan WhatsAp istrinya pada Jumat (16/11) sore, tidak sampai. Sedangkan polisi yang mengecek Stasiun Rawa Buntu menyebut mobil Innova putih yang diparkir korban, sudah tidak ada. Keluarga tak curiga soal dugaan adanya perselisihan Dufi dengan orang lain. Namun keluarga meminta polisi mengusut tuntas kasus dugaan pembunuhan Dufi yang juga merintis usaha periklanan, PT Cahaya Gemilang.

    “Selama yang kami ketahui semasa hidupnya Almarhum tidak pernah mencari musuh. Meskipun berdebat dalam pekerjaan kan biasa, tapi kalau mencari musuh sampai akhirnya kaya gini sepertinya (tidak). Apakah ada pesaiangan bisnis atau apa? Karena kan beliau pengusaha di PT Cahaya Gemilang,,” ujar adik Dufi, Muhammad Al Ramdoni.

    Pria yang biasa dikenal Dufi ini juga merupakan alumni Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 13 Jakarta,lulusan 1992. Terakhir Dufi diketahui bekerja sebagai tenaga pemasaran (marketing) di televisi milik ormas Islam Muhammadiyah (TVMu). Saat ini korban meninggalkan enam anak yang masih kecil-kecil dan satu orang istri. Kini, korban telah dimakamkan di TPU Budi Dharma, Semper, Jakarta Utara. (Wartamerdeka)

  • Berburu Sertifikasi Utama, Membidik Uang Negara?

    Berburu Sertifikasi Utama, Membidik Uang Negara?

    Oleh : Irfan (Radarkepri.com)

    Sejumlah oknum wartawan pemula yang belum pernah menjabat redaktur pelaksana (redpel) maupun koordinator liputan (korlip) mulai berburu sertifikasi wartawan utama agar lolos verifikasi dengan tujuan akhir menikmati APBD melalui kerjasama.

    Ada yang dengan licik “mengakali” dengan mencantumkan nama wartawan pemegang sertifikasi utama di medianya sebagai pemimpin redaksi dengan tujuan lolos verifikasi dan bisa ikut menikmati uang negara melalui kerjasama. Tidak ada yang salah, namun jelas ada upaya “menghalalkan” semua cara mencapai tujuan bagi oknum wartawan yang secara kualitas belum layak.

    Fenomena ini banyak terjadi, namun belum ada tindakan tegas dari dewan pers terhadap medianya maupun oknum wartawannya.

    Sebagian lagi, berlomba-lomba menggelar UKW dengan menggandeng sejumlah lembaga yang diakui dewan pers memiliki kompetensi untuk menguji. Namun terkadang melupakan persyaratan, diantaranya surat keterangan pengalaman pernah jadi Korlip ataupun jadi redpel, setidaknya 2 tahun dimasing-masing jabatan.

    Wajar muncul pendapat, sertifikasi UKW jenjang Utama yang terbit beberapa bulan belakangan ini diragukan kualitasnya karena tidak melalui proses dan seleksi administrasi yang ketat. Buktinya, media yang baru terbit 1 hingga 2 tahun belakangan ini telah mengantongi sertifikasi baik administrasi maupun faktual.

    Dewan pers juga terkesan tidak tegas pada oknum wartawan pemegang sertifikasi utama yang namanya hanya dipakai alias dimanfaatkan oleh pemilik perusahaan media hanya untuk lolos verifikasi dan bisa ikut menikmati APBD dengan dalih kerjasama.

    Ada oknum pimred media yang berdomisili di Jakarta namun kantor pusatnya medianya di Tanjungpinang atau Batam. Ada pula oknum wartawan pemegang sertifikasi utama menjabat pimpinan redaksi dibeberapa media atau menjadi wartawan di media A dan menjabat pimred di media B.

    Padahal jabatan Pimred itu sangat vital dan hanya pimred yang memiliki otoritas menaikkan, mengupload serta bertanggungjawab penuh atas berita yang telah terbit. Intinya, oknum wartawan utama itu hanya dipakai untuk memuluskan ambisi pemilik perusahaan agar lolos verifikasi. Dan mungkin saja dijanjikan akan diberi atau telah diberi sejumlah kompensasi.

    Dalam peraturan dewan pers nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 jabatan pemimpin redaksi ialah mereka yang memiliki kompetensi wartawan utama dan berpengalaman kerja sebagai wartawan minimal 5 tahun. Namum dewan pers juga mengatur tidak boleh ada ketentuan diskriminatif dan melawan pertumbuhan alamiah yang menghalangi seseorang menjadi pemimpin redaksi.

    Pembohongon publik secara sistematis oleh oknum wartawan pemula dan ambisius ini sedang mewabah di pers Kepri dan mungkin saja secara nasional hanya demi mendapatkan sertifikasi UKW, terutama jenjang Utama saat ini.

    Memaksakan diri padahal sadar belum layak dan pantas menjabat pimred, itulah kesan yang muncul bagi pemburu sertifikasi UKW utama yang saat ini sedang bergerilya.

    Dewan pers maupun lembaga penguji yang diberi amanah diharapkan lebih ketat menyeseleksi dan memverifikasi syarat-syarat peserta UKW tingkat utama. Pengalaman sebagai korlip dan redpel minimal 2 tahun diharapkan menjadi syarat mutlak sehingga peserta UKW Utama benar-benar memenuhi syarat untuk jadi pemimpin bukan hanya pemimpi yang ambisius mengejar APBD berdalih kerjasama.

    Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan dewan pers atau lembaga penguji kompetensi yang diberi amanah. Namun lebih membumikan oknum-oknum wartawan pemula agar menyadari kemampuan dan kualitasnya yang sejatinya belum layak dan pantas menjabat pimpinan redaksi. Ada jenjang dan tahapam serta proses yang harus dijalani untuk menuju pimpinan redaksi ataupun penanggungjawab sebuah media.

    Serta menyadarkan wartawan pemegang sertifikasi Utama, bahwa mereka sedang dimanfaatkan dan dibodohi oleh pemilik perusahaan. Jangan sampai timbul persepsi oknum wartawan pemegang srtifikasi utama itu seperti “Pelacur” profesi.

    Selain merugikan pemegang sertifikasi utama, media tempat nama wartawan utama “dipasang” sebagai pimred terkadang tidak paham arti tanda baca, membuat judul berita dengan hurug.besar yang ditebalkan, meletakkan tanda kutip (“) tanpa memahami arti tanda tersebut. Padahal, salah dalam meletakkan tanda baca, seperti tanda koma (,) akan fatal arti dan maknanya. Mengapa bisa terjadi ?. Hal ini terjadi diduga karena bukan pimred tersebut yang mengupload berita dan bisa jadi karena memang tidak memiki pengetahuan tentang penggunaan tanda baca yang benar.

    Penulis berharap, tujuan mulia dewan pers menetapkan UKW untuk menciptakan wartawan yang berkompeten dan profesional dapat dicapai tanpa menciderai rasa keadilan masyarakat. (dikutif radarkepri)

  • Perkembangan Media Massa di Indonesia Tidak Dibarengi Dengan Profesionalitas

    Perkembangan Media Massa di Indonesia Tidak Dibarengi Dengan Profesionalitas

    Bengkulu (SL) – Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyebut, jumlah perusahaan media di Indonesia mencapai 47.000. Jumlah ini menempatkan Indonesia menjadi negara dengan total media terbesar di dunia. Dari jumlah tersebut, media online menjadi penyumbang terbanyak dengan jumlah 43.000, disusul media cetak sebanyak 2.000 lalu radio dengan 674 serta televisi yang berjumlah 523 media.

    Yosep mengatakan, salah satu hal yang melatarbelakangi menjamurnya media di Indonesia adalah Indek Kemerdekaan Pers (IKP) yang berada di posisi agak bebas, baik pada bidang politik, ekonomi dan hukum. Kemerdekaan pers di Indonesia juga menempati posisi pertama se Asia Tenggara.

    “Kebebasan pers di Indonesia paling baik, Timor Leste cukup baik, tapi media masih terbelakang. Sementara Kebebasan pers di Filipina dan Thailand mengalami kemunduran,” katanya dalam seminar Penguatan Kapasitas Hak atas Kemerdekaan Pers dalam Mendukung Program Pembangunan di Provinsi Bengkulu, di salah satu hotel Pantai Panjang, Senin (24/7/2018).

    Ditambahkan Yosep, dari segi cakupan wilayah terdapat 12 provinsi (46%) yang tergolong ‘Cukup Bebas’. Sedangkan 18 provinsi (60%) lainnya dalam tataran sedang/agak bebas. Lima provinsi seperti, Banten, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan beranjak ke kondisi yang lebih baik, dari yang sebelumnya ‘agak bebas’ menjadi ‘Bebas’.

    Papua Barat dan Bengkulu yang tahun sebelumnya termasuk yang terendah meningkat dari kurang bebas menjadi ‘agak bebas’. Sementara NTB, Lampung dan Sumatera Utara menempati posisi terakhir dengan kategori pers ‘Kurang Bebas’.

    Tren media siber atau media online yang menduduki posisi terbanyak saat ini, lanjut Yosep memang tengah digandrungi pembaca. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan 500 persen jumlah pembaca dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Persentase ini berbanding terbalik dengan peminat media cetak yang cenderung menurun hingga 25 persen.

    Sayangnya, kata Yosep, jumlah yang besar ini tidak diikuti dengan tingkat profesionalitas perusahaan. Lantaran dalam data yang dirangkum Dewan Pers tahun 2015, jumlah media yang memenuhi persyaratan sebagai media profesional tidak mencapai setengah dari jumlah total.

    “Seperti pada media online, hanya 168 media saja yang ditetapkan sebagai media profesional. Lalu media cetak, hanya 321 media,” ujar Yosep dalam pemaparannya di hadapan puluhan jurnalis yang hadir.

    Kurangnya angka profesionalitas media ini dipicu oleh beberapa faktor. Dari hasil Survei, Dewan Pers menemukan konglomerasi media dan ketergantungan media pada kelompok kuat masih dominan. Baik itu dari pemda maupun swasta, diantaranya penambang Batu Bara dan industri ekstraksi lainnya.

    Selain itu, di banyak provinsi ditemukan bahwa keragaman media di provinsi setempat merupakan bagian atau jaringan dari media nasional besar. Paduan antara kendali konglomerat media secara nasional dan pemilik media yang sebagian juga menjadi pimpinan partai politik inilah yang seringkali mengancam independensi ruang redaksi.

    Tidak hanya itu, kebebasan ruang redaksi juga dipengaruhi oleh ketergantungan pada iklan dan program publikasi dari pemerintah daerah setempat, terutama media-media yang berada di luar pulau Jawa. Bahkan, di beberapa provinsi, ditemukan bahwa sejumlah wartawan berperan juga sebagai marketing untuk mencari iklan bagi medianya.

    “Muara dari kondisi ini adalah pada sajian berita yang menunjukkan keberpihakan media pada salah satu kandidat di saat pilkada,” jelas Yosep.

    Kondisi ini membuat masyarakat yang haus akan informasi terdorong untuk mencari alternatif lain. Salah satunya melalui media sosial yang belum tentu menyajikan berita yang valid.

    “Seperti yang terjadi pada periode 2016 saat Pilkada DKI Jakarta, informasi hoax di media sosial seringkali menjadi sumber informasi yang dipercaya oleh masyarakat sebagai akibat dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap berita yang disampaikan oleh media tertentu,” demikian Yosep. (net)

  • Agustus 2018 Dewan Pers Pastikan Verifikasi SMSI

    Agustus 2018 Dewan Pers Pastikan Verifikasi SMSI

    Jakarta (SL) – Senin (16/7) Pengurus SMSI pusat audiensi ke Dewan Pers di Jl. Kebon Sirih No. 32-34 Jakarta Pusat.

    Pada kesempatan tersebut Hadir, Auri Jaya Ketua Umum, Firdaus Sekretaris Jenderal dan Mirza Zurhadi selaku dewan Penasehat.

    Rombongan SMSI pusat di terima Yosef Adi Prasetyo akrab di panggil Stanly. Hadir juga mendampingi Stanly Rita Sitorus bidang Verifikasi Dewan Pers.

    Pada kesempatan tersebut, Auri Jaya menyampaikan kepada Stanly permohonan menjadi salah satu narasumber Rakernas SMSI Ke-III. Pada kesempatan itu juga Auri Jaya juga menanyakan tentang Proses Pendaftaran SMSI sebagai kostituen Dewan Pers.

    “Kita menanyakan tentang proses itu, karena anggota-anggota SMSI ingin tahu sejauhmana proses pendaftaran tersebut” ujar Auri.

    Stanly mengatakan, terimakasih atas undangan pada rakernas SMSI dan dia menjadwalkan kehadirannya di Rakernas yang akan di gelar SMSI.

    Terkait proses pendaftaran SMSI sebagai konstituen Dewan Pers, Stanly mengatakan “Secara administratif, persyaratan SMSI untuk menjadi konstituen sudah tidak ada masalah. Dipastikan pada Agustus nanti, kita akan melakukan verifikasi terhadap anggota dan pengurus SMSI di beberapa provinsi. Jika verifikasi sudah selesai, kami akan mengupayakan SMSI segera menjadi konstituen. Setelah menjadi konstituen Dewan Pers, SMSI diberi wewenang untuk memverifikasi anggotanya” urai Stanly.

    Usai pertemuan, Firdaus, Sekretaris Jenderal SMSI menyampaikan harapannya kepada seluruh anggota dan pengurus SMSI provinsi seluruh Indonesia untuk bersiap-siap “saya berharap, kekawan anggota dan pengurus SMSI sejak sekarang bersiap untuk di verifikasi. Baik itu verifikasi perusahaan sebagai anggota, atau kesiapan pengurus di provinsinya masing-masing. Karena verifikasi anggota dan pengurus ini menjadi sebuah persyaratan. Adapun hal-hal teknis, anggota dan pengurus dapat mendiskusikannya pada acara Rakernas secara tuntas” urai Firdaus. (rls)

  • Ribuan Pelanggaran Pers oleh Media Online

    Ribuan Pelanggaran Pers oleh Media Online

    Sisi positifnya, pers semakin merdeka hingga ribuan media online berdiri. Namun di sisi lain, produk pemberitaan yang dihasilkan banyak yang tak sesuai kode etik jurnalistik. Akibatnya pun, tidak jarang menimbulkan permasalahan.

    Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Ilham Bintang, mengakui mulai keteteran menangani kasus-kasus aduan dugaan pelanggaran pers dari berbagai wilayah di Indonesia saat ini.

    Berbicara didampingi Plt Ketua Umum PWI Pusat, Sasongko Tejo, selaku pemateri di kegiatan Pelatihan Ahli Pers Nasional, di Palangka Raya, Selasa (3/7), Ilham menjelaskan, jumlah kasus yang ditangani Dewan Kehormatan PWI tersebut saat ini mencapai ribuan.

    Ironisnya, dominasi kasus-kasus dugaan pelanggaran kegiatan jurnalastik tersebut dilakukan oknum yang mengaku wartawan dari media massa online.

    Mengingat banyaknya,  sehingga perlu lebih banyak waktu bagi timnya untuk memberikan rekomendasi akhir kepada pihak-pihak yang bersengketa.

    “Karena itu, Dewan Kehormatan PWI berharap di setiap daerah terlahir ahli-ahli pers yang nantinya dapat membantu penyelesaian kasus-kasus pelanggaran pers tanpa harus dibawa ke pusat,” ujar Ilham.

    Selain Ilham Bintang dan Sasongko Tejo, kegiatan pelatihan ahli pers ini juga menampilkan sejumlah pemateri lain. Di antaranya, Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun,  Analis Utama Divisi Hukum Mabes Polri, Kombes Pol Warasman Marbun SH MH mewakili Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat, Wina Armada Sukardi, dan Hakim Agung Dr Andi Samsan N.

    Sementara Ketua PWI Kalteng yang juga penanggungjawab kegiatan, H Sutransyah, mengatakan, kegiatan pelatihan pertama di Indonesia ini diikuti 40 insan pers yang merupakan unsur pimpinan redaksi dari berbagai media massa se-Indonesia.

    Kegiatan yang berlangsung selama 2 hari, hingga Rabu (4/7) malam ini, dibuka Gubernur diwakili Asisten III Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Pemprov Kalteng) I Ketut Widhi Wirawan.

    Selain peserta, hadir dalam kegiatan ini Kepala Dinas PU Provinsi Kalteng, Shalahuddin, Kepala Dinas Kominfo Provinsi Kalteng, Herson B Aden, Kepala LPP RRI dan TVRI Kalteng, serta sejumlah pimpinan media cetak dan elektronik di Kalteng. (banuapost/yb)

  • MA Ingatkan Perkara Pers Gunakan SEMA 13

    MA Ingatkan Perkara Pers Gunakan SEMA 13

    Palangkaraya (SL) – Hakim Mahkamah Agung mengingatkan perkara pers yang berjalan dalam penyidikan hendaknya menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 13 Tahun 2008.

    Hakim Agung Andi Samsan Nganro menjelaskan hal itu ketika menjadi pemateri Pelatihan Ahli Pers Nasional Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Palangka Raya, Rabu (4/7/2018).

    Hakim Andi menjelaskan pokok dari SEMA No.13 Tahun 2018 tertanggal 30 Desember 2008, dalam penanganan atau pemeriksaan perkara yang terkait dengan delik pers hendaknya majelis mendengar/meminta keterangan ahli dari Dewan Pers.

    “Keterangan Ahli Pers ini yang mengetahui seluk beluk pers secara teori dan praktek,” kata Hakim Agung ini.

    Acara pelatihan Ahli Pers Nasional selama dua hari penuh itu diikuti pengurus dan anggota Dewan Kehormatan PWI seluruh Indonesia.

    Menurut dia, kasus-kasus sengketa pers yang sering terjadi adalah sengketa akibat pemberitaan yang dilakukan oleh sebuah penerbitan pers.

    Dia mencontohkan sengketa pers itu berupa pencemaran nama baik, akibat kesalahan pemberitaan, atau pemberitaan yang melanggar kode etik.

    Hakim Agung Andi Samsan kembali mengingatkan perkara pidana yang diadukan atas pemberitaan pers, sebaiknya sejak tingkat penyidikan sudah perlu didengat keterangan ahli dari Dewan Pers.

    Usai menerima materi pelatihan ahli pers, peserta diberikan simulasi sengketa pers mulai dari pendampingan, penyelidikan, gelar perkara, dan penyidikan serta dalam sidang pengadilan. (Lampost)

  • Wartawan Tewas Dalam Penjara Sementara Dewan Pers Belum Pernah Keluarkan Rekomendasi

    Wartawan Tewas Dalam Penjara Sementara Dewan Pers Belum Pernah Keluarkan Rekomendasi

    Kalimantan Selatan (SL) – Muhammad Yusuf telah terbujur kaku. Pria berusia 42 tahun itu menghembuskan nafas terakhir di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kotabaru, Kalimantan Selatan, Minggu siang (10/6).

    M. Yusuf adalah wartawan media siber Kemajuan Rakyat.

    Menurut Kepala Polres Kotabaru, Ajun Komisaris Besar Suhasto, setengah jam sebelum meninggal dunia Yusuf mengeluhkan rasa sakit pada bagian dada diikuti sesak nafas dan muntah-muntah. Dia sempat dilarikan ke RSUD Kotabaru namun nyawanya tidak terselamatkan, dan Yusuf dinyatakan meninggal dunia pada pukul 14.30 WITA.

    Dari hasil visum sementara tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuh Yusuf. Namun keterangan lebih rinci, masih menurut AKBP Suhasto dalam keterangan kepada media, akan disampaikan pihak RSUD.

    Yusuf menghembuskan nafas terakhir setelah 15 hari mendekam di LP Kotabaru sebagai tahanan titipan Kejaksaan Negeri Kotabaru. Warga Jalan Batu Selira, Desa Hilir Muara, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kotabaru, ditangkap karena pemberitaannya mengenai konflik antara warga dengan PT Multi Agro Sarana Mandiri (MSAM) milik Andi Syamsudin Arsyad alias Haji Isam dianggap mencemarkan nama baik MSAM dan sang pengusaha.

    Sebelum dititipkan Kejaksaan di LP Kotabaru, Yusuf lebih dahulu mendekam di tahanan Polres Kotabaru sejak pertengahan April lalu.

    Yusuf dijerat Pasal 45 A UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

    Ketika mengumumkan penetapan Yusuf sebagai tersangka, AKBP Suhasto mengatakan, polisi berwenang menangkap dan memproses pidana wartawan di luar mekanisme UU 40/1999 tentang Pers. Menurutnya, Dewan Pers merekomendasikan polisi menjerat M. Yusuf dengan UU ITE.

    Benarkah Dewan Pers merekomendasikan agar polisi menggunakan UU ITE, bukan UU Pers, dalam kasus M. Yusuf? 

    Anggota Dewan Pers Hendry Ch. Bangun dalam keterangan beberapa saat lalu (Senin, 11/6), meragukan hal itu. Dari pernyataan Hendry dapat disimpulkan bahwa polisi belum pernah berkonsultasi dengan Dewan Pers dalam kasus M. Yusuf. “Terkadang seperti penangkapan wartawan di Medan. Kata polisi ada rekomendasi, ternyata polisi hanya ngomong dengan ahli pers. Bukan rekomendasi Dewan Pers,” ujarnya.

    “Prinsipnya, Dewan Pers tidak mungkin memberikan rekomendasi untuk (wartawan) dipidana,” sambung Hendry yang juga Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

    Sebelumnya Hendry mengatakan, karya jurnalistik seorang wartawan dilindungi UU Pers terlepas apakah sang wartawan atau medianya sudah memiliki sertifikat atau belum.

    Sementara Ketua Dewan Kehormatan PWI, Ilham Bintang, menyesalkan pihak kepolisian yang tidak menggunakan mekanisme seperti diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers. “Kita mengecam sikap polisi yang membutakan matanya menangani kasus berita hanya lantaran yang merasa dirugikan oleh berita itu seorang tokoh pengusaha yang memiliki jaringan luas di kalangan penguasa. Termasuk pihak kepolisian,” ujar Ilham Bintang.

    Selain itu, sambungnya, PWI juga menyesalkan sikap Dewan Pers yang tidak aktif memediasi pihak yang bersengketa. Dia khawatir, dengan sikap seperti ini Dewan Pers tidak bisa menjalankan amanah UU Pers dalam kasus pers melawan penguasa dan pengusaha besar.

    Sebagai perbandingan, Ilham Bintang menambahkan, sikap Dewan Pers yang tidak dapat diandalkan itu juga terlihat dalam kasus penyerangan kantor Radar Bogor beberapa waktu lalu. Dia menyebut, pernyataan Dewan Pers dalam kasus itu sangat menyakitkan dan tidak adil.

    Radar Bogor divonis melanggar kode etik, dan sebagai hukuman harus menerima hak jawab dan menyampaikan permintaan maaf. Dewan Pers juga menyesalkan penyerangan terhadap kantor redaksi Radar Bogor, tetapi tidak menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang mengancam kebebasan pers itu. Terkait dengan penyerangan itu, Dewan Pers mempersilakan polisi bila mau menanganinya.

    Menurut Ilham Bintang, sikap Dewan Pers yang seperti itu menjadi semacam mesiu bagi kepolisian untuk mengabaikan mekanisme yang diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers dalam menangani kasus-kasus pers. (RMOL.co/guh)

  • Peneliti IPI : Jika Ketua Dewan Pers tak Mampu, Silahkan Mundur!

    Peneliti IPI : Jika Ketua Dewan Pers tak Mampu, Silahkan Mundur!

    Jakarta (SL) – Gugatan yang dilayangkan Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) dan Serikat Pers Republik Indonesia (PRSI) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) terhadap Dewan Pers dalam hal ini Yoseph Adi Prasetyo selaku ketua sudah tepat.

    Hal ini dilontarkan oleh Pengamat Kebijakan dari Publik Indonesian Public Institute (IPI) melalui siaran pers di Jakarta Jumat (01/6/2018).

    Dia pun memuji langkah brilian yang diambil PPWI dan SPRI demi membantu wartawan.

    Jerry merasa heran, dimana sudah tiga kali sidang, namun Ketua Dewan Persnya belum nongol-nongol atau tak kunjung hadir. Ia pun mempertanyakan ketidak-hadirannya itu. “Ini sengaja dilakukan atau takut bersaksi dalam sidang. Mana mungkin pimpinan dewan pers tak paham soal kelengkapan berkas administrasi, saat mengeluarkan rekomendasi dan lainnya. Kalau memang sudah tak mampu memimpin lembaga ini, lebih baik step back atau mundur secara gentlemen,” kata peneliti kebijakan publik dari Amerika ini.

    Memang selama ini Jerry menilai ada sejumlah policy dari Dewan Pers yang berlawanan bahkan blunder.

    Pada intinya tutur mantan Pemimpin Redaksi Thejakartatimes, ini jangan melemahkan tugas jurnalis tapi rangkul mereka tanpa membeda-bedakan. “Jadi sebelum action, thinking first atau (berpikir terlebih dulu), jangan mikirnya telat. Contoh, surat terkait melarang wartawan minta THR di hari raya Idul Fitri yang dikeluarkan belum lama ini, banyak menuai kontroversi dan complain,” ujarnya.

    Setahu Jerry, baru kepemimpinan kali ini ada beberapa making decision-nya blunder. Apalagi saat berita hoaks 319 media abal-abal dan kriminalisasi terhadap wartawan, Dewan Pers hanya diam membisu tanpa tindakan.

    “Kan bukan hanya urus UKW muda, madya dan utama tapi persoalan keselamatan pers harus diperhatikan. Bagaimana pendekatan terhadap mereka. Lakukan pembinaan dan pelatihan biar para jurnalis mangerti. Jangan seperti statement kementerian Kominfo, yang mana menyatakan bahwa mereka mendeteksi ada 43 ribu media abal-abal di Indonesia seperti yang disampaikan Samuel Pangerapan seperti dikutip detik.com,” tegasnya.

    Bagaimana jika perusahaan persnya lengkap kata Jerry, seperti yang diatur dalam UU Pers No.40 Tahun 1999? jangan perkeruh masalah. “Jadi melihat persoalan jangan hanya dari satu sudut pandang, justru masalah besar diperkecil, kecil dihilangkan,” ujarnya. (red)

  • Pernyataan Sikap AJI dan IJTI Usulan Revisi HPN Perlu Disikapi Proporsional

    Pernyataan Sikap AJI dan IJTI Usulan Revisi HPN Perlu Disikapi Proporsional

    Jakarta (SL) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengajukan usulan perubahan tanggal Hari Pers Nasional (HPN) yang selama ini diperingati setiap 9 Februari. Usulan yang disampaikan pada Maret 2018 itu direspons Dewan Pers dengan menggelar pertemuan terbatas pada Rabu, 18 April 2018, di lantai 7 Gedung Dewan Pers di Jl Kebonsirih Jakarta.

    Pertemuan itu dihadiri anggota dan mantan anggota Dewan Pers serta konstituen Dewan Pers. Antara lain, wakil dari AJI, IJTI, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Pers (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Dalam pertemuan sekitar 3 jam itu wakil dari AJI dan IJTI menyampaikan apa dasar pemikiran munculnya usulan revisi tanggal pelaksanaan HPN dan dituliskan secara lengkap dalam bentuk kajian sejarah.

    Wakil dari konstituen Dewan Pers menyampaikan pandangannya terhadap usulan AJI dan IJTI tersebut. Ada sejumlah pandangan atas usulan itu. Seperti disampaikan Dewan Pers, pertemuan itu baru sebatas mendengarkan masukan dari konstituen sehingga belum ada keputusan atas usulan AJI dan IJTI itu.

    Menjelang pembahasan ini, soal revisi HPN ini sudah menjadi perdebatan hangat di komunitas media. PWI dari sejumlah daerah sudah mengeluarkan pernyataan, yang isinya antara lain: mempertanyakan sikap Dewan Pers yang berencana merevisi HPN; mendesak agar PWI mensomasi Dewan Pers dan mengganti ketuanya karena memfasilitasi pertemuan itu; mendesak PWI pusat menarik wakilnya dari Dewan Pers; dan menyatakan HPN tanggal 9 Februari adalah harga mati.

    Melihat dinamika yang berkembang atas usulan tersebut, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

    Pertama, meminta semua pihak untuk melihat soal ini secara bijak dan obyektif. Apa yang disampaikan AJI dan IJTI adalah upaya untuk menjawab aspirasi dari anggota AJI dan IJTI yang menghendaki agar ada upaya penyelesaian dari keengganan kedua organisasi ini untuk terlibat dalam HPN. Penyelesaian soal ini dilakukan melalui cara yang prosedural, yaitu meminta agar dibahas di komunitas pers dengan difasilitasi Dewan Pers. Menyelesaikan masalah melalui jalan musyawarah dan dialog adalah cara demokratis dan bermartabat untuk menyelesaikan masalah, termasuk soal HPN ini.

    AJI dan IJTI memakai cara yang prosedural untuk menyelesaikan masalah ini dan belum memakai cara legal, yaitu mencari penyelesaian kasus ini dengan mempersoalkan dasar hukum HPN ke Mahkamah Agung, misalnya. Cara itu tak kami tempuh karena kami menganggap bahwa kita memiliki Dewan Pers, yang menjadi tempat berhimpun konstituen Dewan Pers. HPN itu ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985, yang dasar hukumnya memakai Undang Undang No 21 tahun 1982. Undang-undang No 21 tahun 1982 ini sudah tidak berlaku lagi setelah lahirnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

    Kedua, meminta organisasi wartawan bersikap proporsional dan tidak emosional melihat perkembangan ini. Sikap mempertanyakan Dewan pers adalah bentuk ketidaktahuan atas atas apa yang terjadi selama ini. Dalam soal ini sikap Dewan Pers sudah benar dan tepat dengan menggelar pertemuan soal itu karena memang ada aspirasi dari konstituennhya yang meminta, yaitu AJI dan IJTI. Jadi, gugatan terhadap Dewan Pers jelas sesuatu yang berlebihan, emosional, dan mendasarkan pada kemarahan yang tidak jelas.

    Ketiga, kami kembali menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh AJI dan IJTI ini lebih sebagai upaya meminta komunitas pers memperbincangkan kembali soal penetapan HPN. Kami tak punya kepentingan dengan hari lahir organisasi wartawan PWI yang diperingati setiap 9 Februari. Kami hanya minta ada peninjauan ulang untuk peringatan HPN yang juga memakai tanggal 9 Februari. Sebab, pemakaian tanggal yang sama untuk dua peringatan (hari lahir PWI dan HPN) menimbulkan kesan bahwa itu hanya hari peringatan untuk satu organisasi wartawan dan bukan hari lahir yang patut diperingati oleh komuitas pers Indonesia. Tanpa ada perubahan signifikan, salah satunya berupa tanggal, akan sulit mengubah kultur pelaksanaan HPN secara signifikan.

    Keempat, dalam pertemuan itu wakil dari PWI mempertanyakan apakah benar anggota AJI dan IJTI adalah wartawan. AJI dan IJTI juga menjawab dengan menyatakan, apakah benar anggota PWI semuanya wartawan. Tapi kami sepakat bahwa ini harus menjadi perhatian Dewan Pers. Oleh karena itu kami setuju Dewan Pers melakukan penertiban kepada anggota konstituennya. Salah satu caranya adalah dengan mengecek apakah anggota organisasi wartawan itu memang jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik atau bukan? Atau hanya orang yang punya kartu pers dan mengaku sebagai wartawan tapi pekerjaannya hanya mencari uang dari nara sumber?

    Kami mengusulkan agar Dewan Pers membuka pengaduan soal ini. Misalnya, minta publik memberi laporan atas praktik-praktik seperti ini di tengah masyarakat. Sebab, sudah umum terdengar bahwa ada orang yang mengaku punya kartu pers atau kartu organisasi wartawan meski sebenarnya orang itu tak berhak memilikinya karena dia sebenarnya pegawai negeri atau lainnya, yang intinya sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kerja jurnalistik.

    Kelima, kami menghormati upaya yang dilakukan Dewan Pers dengan menyelenggarakn pertemuan untuk membahas soal itu. Seperti yang disampaikan Dewan Pers, pertemuan itu untuk mendengarkan apa pandangan dari komunitas pers atas usulan AJI dan IJTI yang minta perubahan tanggal HPN. Seusai pertemuan, Dewan Pers menyatakan akan merangkum usulan tersebut dan akan membahasnya di internal Dewan Pers. AJI dan IJTI, sebagai pengusul penggantian HPN, akan menyatakan sikap setelah ada hasil resmi dari Dewan pers atas usulan tersebut.

    Jakarta, 19 April 2018

    Ketua Umum AJI, Abdul Manan
    Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana