Tag: Dewan Pers

  • Dewan Pers Digugat Perbuatan Melawan Hukum

    Dewan Pers Digugat Perbuatan Melawan Hukum

    Jakarta (SL) – Protes keras insan pers atas kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh Dewan Pers kian deras mengalir dari berbagai penjuru tanah air. Gerakan protes itu makin memuncak akibat maraknya tindakan kriminalisasi terhadap pers di berbagai daerah namun Dewan Pers terlihat diam saja, bahkan terkesan ikut mendorong agar para jurnalis kritis dipenjarakan.

    Menyikapi permasalahan ini, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia Hence Mandagi dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Persatuan Pewarta Warga Indonesia Wilson Lalengke telah mengambil langkah hukum sebagai upaya mengakomodir aspirasi para wartawan dan media dari berbagai daerah yang merasa dirugikan oleh kebijakan dan aturan yang dibuat oleh Dewan Pers. Pada Kamis. 19 April 2018, kedua pimpinan organisasi pers ini resmi melayangkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Dewan Pers di kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menunjuk tim kuasa hukum yang diketuai Dolfi Rompas, SH, MH.

    Berbagai aturan dan kebijakan Dewan Pers yang dinilai melampaui kewenangannya antara lain adalah melaksanakan kegiatan wajib bagi wartawan Indonesia untuk ikut Uji Kompetensi Wartawan melalui Lembaga Penguji Standar Kompetensi Wartawan yang ditetapkan sendiri oleh Dewan Pers dengan cara membuat peraturan-peraturan sepihak. Tindakan yang dilakukan Dewan Pers ini merupakan Perbuatan Melawan Hukum karena melampaui kewenangan fungsi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (2) UU Pers.

    “Berdasarkan fungsi Dewan Pers tersebut tidak ada satupun ketentuan yang mengatur Dewan Pers sebagai lembaga yang dapat menyelenggarakan uji kompetensi wartawan,” ujar Dolfi Rompas, selaku kuasa hukum penggugat.

    Perbuatan Dewan Pers menyelenggarakan kegiatan uji kompetensi wartawan juga sangat bertentangan atau menyalahi Pasal 18 ayat (4) dan (5) UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: “(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang independen.(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

    Kegiatan uji kompetensi wartawan tersebut di atas juga menyalahi atau melanggar pasal 1 ayat (1) & (2); dan pasal 3, serta pasal 4 ayat (1) & (2) Peraturan Pemerintah tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi. “Jadi sangat jelas di sini aturan hukum menjelaskan bahwa lembaga yang berwenang menetapkan atau mengeluarkan lisensi bagi Lembaga Uji Kompetensi atau Lembaga Sertifikasi Profesi adalah BNSP bukannya Dewan Pers. Sehingga Lembaga Uji Kompetensi Wartawan yang ditunjuk atau ditetapkan Dewan Pers dalam Surat Keputusannya adalah ilegal dan tidak memiliki dasar hukum dan sangat merugikan wartawan,” imbuh Dolfie Rompas.

    Sementara itu, Hence Mandagi selaku Ketua Umum DPP SPRI menegaskan, tindakan Dewan Pers melaksanakan verifikasi organisasi wartawan yang menetapkan sendiri peraturannya dengan cara membuat dan menerapkan Peraturan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Wartawan kepada seluruh organisasi pers masuk kategori Perbuatan Melawan Hukum.

    Akibat perbuatan tersebut menyebabkan anggota dari organisasi-organisasi Pers yang memilih anggota Dewan Pers pada saat diberlakukan UU Pers tahun 1999 kini kehilangan hak dan kesempatan untuk ikut memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers. Dan bahkan organisasi-organisasi pers tersebut, termasuk SPRI, tidak dijadikan konstituen Dewan Pers akibat peraturan yang dibuat oleh Dewan Pers tentang Standar Organisasi Wartawan dengan menetapkan sepihak bahwa hanya tiga organisasi pers sebagai konstituen Dewan Pers yakni PWI, Aji, dan IJTI.

    Mandagi juga mengatakan, tindakan Dewan Pers melaksanakan verifikasi terhadap perusahaan pers dengan cara membuat Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers, sangat bertentangan dan melampaui fungsi dan kewenangan Dewan Pers sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat 2 huruf g UU Pers. “Dampak dari hasil verifikasi perusahaan pers yang diumumkan ke publik menyebabkan media massa atau perusahaan pers yang tidak atau belum diverifikasi menjadi kehilangan legitimasi di hadapan publik. Perusahaan pers yang belum atau tidak diverifikasi mengalami kerugian materil maupun imateril karena kehilangan peluang dan kesempatan serta terkendala untuk mendapatkan belanja iklan,” jelas Mandagi.

    Selain itu, ada edaran Dewan Pers terkait hasil verifikasi perusahan pers di berbagai daerah menyebabkan sejumlah instansi pemerintah daerah dan lembaga penegak hukum di daerah mengeluarkan kebijakan yang hanya melayani atau memberi akses informasi kepada media yang sudah diverifikasi Dewan Pers. Hal ini sangat merugikan perusahaan pers maupun wartawan yang bekerja pada perusahan pers yang dinyatakan belum lolos verifikasi Dewan Pers, karena mengalami kesulitan dalam memperoleh akses informasi dan akses pengembangan usaha.

    Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum DPN PPWI Wilson Lalengke menegaskan, pihaknya mengajukan gugatan ini sebagai bentuk pembelaan kepada seluruh pekerja media, secara khusus terhadap para jurnalis yang terdampak langsung dengan kebijakan Dewan Pers selama ini. Dua kasus yang diadukan dan ditangani PPWI yang terkait langsung dengan kebijakan Dewan Pers menjadi pertimbangan PPWI Nasional, sehingga merasa perlu melibatkan diri dalam proses gugat-menggugat secara hukum ini.

    Kasus itu menurut data PPWI adalah:

    1. Kriminalisasi terhadap dua jurnalis Aceh, Umar Effendi dan Mawardi terkait pemberitaan tentang “Tidak Sholat Jumat seorang oknum anggota DPRA, Azhari alias Cage, yang dimuat di media online Berita Atjeh dan berdasarkan rekomendasi Dewan Pers mereka akhirnya dijebloskan ke penjara.

    2. Kriminalisasi terhadap pers yang menimpa Pemimpin Umum media Jejak News Ismail Novendra terkait berita tentang dugaan KKN oknum pengusaha yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Kapolda Sumatera Barat, dan meraup beberapa proyek strategis di sejumlah instansi pemerintah di Sumatera Barat. Kasus ini tetap berlanjut ke Pengadilan Negeri setempat meskipun Dewan Pers telah merekomendasikan agar kasus tersebut diselesaikan dengan menggunakan UU Pers, namun polisi tetap memproses menggunakan pasal 310 dan 311 KUHP.

    Salah satu kesimpulan dari dua kasus di atas, menurut Lalengke, bahwa sebenarnya rekomendasi Dewan Pers, dari pangkal hingga ke ujung hanyalah akal-akalan saja dan tidak membantu, serta tidak berguna alias tidak diperlukan. “Untuk itu Dewan Pers perlu ditinjau kembali atau dibubarkan saja sebelum uang negara habis digunakan untuk biaya operasional lembaga yang tidak berguna bagi dunia jurnalisme di negeri ini,” kata Wilson Lalengke.

    Jebolan PPRA XLVIII Lemhanas RI tahun 2012 ini juga mengajak seluruh insan pers tanah air untuk ikut berjuang menegakan kemerdekaan pers agar tidak ada lagi kriminalisasi terhadap pers.

  • PWI Lampung Ikut Desak Dewan Pers Verifikasi Organisasi Wartawan

    PWI Lampung Ikut Desak Dewan Pers Verifikasi Organisasi Wartawan

    Bandarlampung (SL) – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Lampung ikut mendesak Dewan Pers agar kembali memverifikasi organisasi wartawan berikut keanggotaannya. Verifikasi meliputi kelengkapan administrasi dan fakta.

    Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Lampung Nizwar mewakili Ketua PWI Lampung Supriyadi Alfian menegaskan, tidak Fair jika kemudian hanya segelintir organisasi wartawan yang diverifikasi. Padahal, terdapat 27 organisasi wartawan yang menandatangani dan menyepakati Standar Organisasi Wartawan pada 14 Maret 2006 silam. PWI saat itu diwakili Wina Armada.

    “Yang terjadi saat ini, kenapa semua wartawan AJI, IJTI, dan PWI diverifikasi sesuai perundang-undangan dan Peraturan Dewan Pers? Bagaimana dengan organisasi lainnya? ” ucap General Manajer jp-news.id, ini.

    Nizwar, yang juga Pimpinan Umum medsoslampung.co tersebut menuturkan bahwa verifikasi penting karena akan memperjelas keabsahan organisasi wartawan, sekaligus untuk mendukung serta memelihara dan menjaga kemerdekaan pers sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

    “Setiap organisasi wartawan memiliki mandat untuk menjaga marwah organisasi sehingga mengarahkan anggotanya agar memiliki integritas dan kredibilitas yang bertujuan untuk mengembangkan kemerdekaan pers yang profesional, bebas, dan bertanggungjawab kepada publik,” ujarnya.

    Karena hal itu pula, organisasi wartawan berbentuk badan hukum, AD/ART, memiliki pengurus pusat hingga provinsi, kabupaten, dan kota.

    “Ada aturan minimal jumlah keanggotaan 500 orang sesuai standar organisasi wartawan yang disahkan sendiri oleh Dewan Pers. Dan organisasi wartawan ini harus bersedia diverifikasi oleh Dewan Pers,” tegas Nizwar lagi.

    Kata Nizwar, dalam verifikasi ulang ini nantinya Dewan Pers melakukan proses seleksi administrasi yang ketat dengan didukung verifikasi faktual.

    “Sesuai standar organisasi, wartawan yang menjadi anggota organisasi harus bekerja di perusahaan pers, aktif menghasilkan karya kewartawanan, dan berbadan hukum,” lanjutnya.

    Nizwar memastikan segera menyampaikan desakan tersebut kepada Dewan Pers, melalui PWI Pusat. “Kita segera membuat surat desakan, agar pers Indonesia tidak terus-menerus panen kritikan dan hujatan dari masyarakat,” pungkasnya. (rel)

  • Jimmy Silalahi: Materi Penceramah di Kaji Ulang Sebelum Dijadikan Berita

    Jimmy Silalahi: Materi Penceramah di Kaji Ulang Sebelum Dijadikan Berita

    Jawa Barat (SL) – Anggota Dewan Pers Jimmy Silalahi mengatakan isi khutbah atau ceramah keagamaan sebaiknya tidak langsung disajikan secara mentah oleh kalangan pers sebagai berita.

    “Kami dari Dewan Pers tidak menganjurkan apa disampaikan sebagai isi khutbah langsung dihadirkan menjadi berita oleh teman-teman pers,” ujar Jimmy saat menjadi pembicara dalam acara media gathering yang diselenggarakan Bawaslu RI di kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat.

    Jimmy mengatakan apa pun yang terjadi, kalangan pers harus dapat menghormati substansi sebuah khutbah. Dia menilai ceramah keagamaan sudah pasti bersifat privat walaupun berlangsung di tempat terbuka, atau ada media serta alat pengeras suara yang membuat ceramah itu terdengar ke mana-mana. “Kecuali kalau memang itu ceramah non-keagamaan dan disampaikan di depan publik,” jelas Jimmy.

    Jimmy mengatakan jika kalangan pers ingin mengutip sebuah ceramah keagamaan, maka materi atau isi ceramah keagamaan yang dianggap menarik, dapat diklarifikasi kepada penceramah dengan wawancara setelah ceramah usai serta mencari narasumber lain sebagai pembanding atau pelengkap.

    “Prinsip jurnalistik 5W+ 1H harus diperdalam. Yang namanya isi khutbah, tidak pernah ada unsur 5W 1H, karena itu sepihak dari pengkhutbah, penceramah atau rohaniawan, makanya kami dari Dewan Pers tidak pernah menganjurkan isi khutbah bulat-bulat dijadikan berita,” jelas dia.

    Dia mengingatkan bahwa khutbah selalu dipenuhi dengan pesan rohani, hubungan manusia dengan Tuhan. Seandainya ada isi khutbah yang menyangkut persoalan sosial, atau politik, pasti dibungkus dalam konteks keagamaan. Sementara sebuah berita tidak hanya menyangkut satu orang, melainkan juga menyangkut orang banyak.(Ant)

  • Kecam Kriminalisasi Terhadap Pers, Wartawan di Sumbar Gelar Aksi

    Kecam Kriminalisasi Terhadap Pers, Wartawan di Sumbar Gelar Aksi

    Ilustrasi Aksi Pers (Foto/Dok/Net)

    Sumatera Barat (SL) – Besok, Senin (5/3/18), gabungan sejumlah wartawan di Sumatera Barat akan lakukan aksi damai dalam rangka menunjukan rasa prihatin atas maraknya kriminalisasi terhadap awak media dalam meliput dan memberitakan oleh aparat penegak hukum.

    Koordinator Aksi, Randi Pangeran, mengatakan peserta aksi akan berkumpul di Gelanggang Olah Raga (GOR) H Agus Salim dan melakukan long march menuju Mapolda Sumbar dan Kejaksaan Tinggi Sumbar.

    “Dalam menangani kasus pers, penegak hukum harus mengacu terhadap undang-undang (UU) Pers nomor 40 tahun 1999. Penegak hukum di Sumbar harus mengindahkan nota kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri dan Kejagung dalam melindungi kemerdekaan pers yang bertanggung jawab,” ucap Randi, Minggu (4/3/18).

    Menurutnya, aksi ini bertujuan bentuk kepedulian dan untuk menegakan UU Pers sebagai payung hukum Pers di Indonesia.

    “Aksi ini sebagai bentuk kepedulian dari awak media berbagai aliran, seperti media dalam jaringan, cetak, dan elektronik. Tidak ada membawa nama organisasi, ini murni personal dari wartawan tersebut,” tuturnya.

    Kemudian, Herman Tanjung sebagai penanggung jawab aksi menjelaskan aksi tersebut dilakukan untuk menuntut beberapa hal diantaranya; pertama, untuk menghentikan segala bentuk tindak kriminalisasi dalam penanganan kasus pers terhadap karya jurnalistik wartawan oleh penegak hukum.

    Kedua, dalam menangani sengketa pers, Penegak hukum harus mengacu pada UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

    Selanjutnya, Penegak hukum di Sumbar harus mengindahkan Nota kesepahaman Dewan Pers dengan Polri Dan Kejagung dalam melindungi kemerdekaan pers yang bertanggung jawab. Dan terakhir, Penegak hukum harus menyegerakan proses hukum kepada para tersangka pelaku kriminalisasi terhadap wartawan di sumbar, jelas Herman.

    Herman Tanjung berharap, aksi damai yang akan dilaksanakan esok berjalan dengan tertib sesuai pada judulnya.

    Penegak Hukum Harus Merujuk Kepada UU Pers

    Senada dengan itu, Ismail Novendra salah seorang yang akan ikut aksi damai, mengungkapkan berbagai penyesalanya terkait proses penegakan hukum terhadap pers/wartawan di Sumbar baru baru ini.

    Hal itu dijelaskanya merujuk kepada masalah yang ia alami saat ini. Sebelumnya, Ismail selaku Pemimpin Umum Media Jejak News dilaporkan ke Polda Sumbar terkait pemberitaan medianya.

    “Laporan dibuat tanggal 7 September 2017, lalu berselang sehari Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sudah dikeluarkan”, ungkapnya, Minggu (4/3/18).

    Lebih lanjut dikatakanya, jika SPDP seketika dikeluarkan, dirinya bisa saja jadi tersangka. “Mengapa penyidik Polda tidak lebih dulu mengacu kepada UU Pers sebagaimana mestinya penyelesaian sengketa pers, padahal Mmemorandum of Uunderstanding (MoU) antara Dewan Pers dengan TNI dan Polri Februari 2017 lalu sudah ditandatangani”, papar Ismail.

    Salah satu poin dari MoU Dewan Pers dengan TNI dan Polri tersebut, kata Ismail, pada Pasal 4 ayat 2 menyebutkan Pihak Kedua, apabila menerima pengaduan dugana perselisihan/sengketa termasuk surat pembaca atau opini/kolom antara wartawan/media dengan masyarakat, akan mengarahkan yang berselisih/bersengketa dan/atau pengadu menggunakan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke Pihak Kesatumaupun proses perdata.

    Menurutnya, persoalan pers diarahkan ke KUHP sepertinya tidak pas, karena banyak proses yang seharusnya dilalui terlebih dahulu oleh penegak hukum. “Sedangkan, sebelum ditetapkan jadi tersangka, saya belum pernah dipanggil sebagai saksi”, tuturnya bermimik kecewa.

    Organisasi Pers Wajib Dukung Kebebasan dan Kemerdekaan Pers

    Selain itu di hari yang sama, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sumbar, Yal Aziz mengatakan para Organisasi Pers yang ada di negera ini sebaiknya harus kukuh mendukung kebebasan dan kemerdekaan anggotanya yang tertimpa kasus hukum pada saat bertugas.

    “Kita (SMSI Sumbar), selalu memberikan dukungan kepada seluruh anggota yang mengalami masalah/sengketa hukum pers. Karena, kemerdekaan pers harus terjamin sebagaimana sudah disebutkan oleh UU No 40 tahun 1999 tentang pers”, tegasnya.

    Disampiakan Yal Aziz, terkait aksi damai yang akan dilaksanakan pada hari Senin 4 Maret 2018 oleh gabungan wartawan seluruh Sumatera Barat, dirinya Bersama SMSI Sumbar mendukung penuh aksi tersebut. Karena, menurutnya organisasi pers wajib mendukung apa-apa yang akan memerdekakan pers dalam bertugas.

    “Sebagai organisasi pers, kami selalu berpartisipasi terhadap aksi yang akan mendukung terealisasinya kebebasan dan kemerdekaan pers agar menjadi acuan bagi penegak hukum”, jelas Yal Aziz di kantornya.

    Sengketa Pers Harus Dikembalikan Kepada UU Pers

    Pernyataan tegas juga diutarakan Wartawan Senior, Yatun SH, yang juga dikenal sebagai Lawyer (pengacara) di Sumbar menekankan agar pihak penegak hukum harus mengembalikan fungsi UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers seutuhnya.

    Dia menilai, bahwa kebebasan dan kemerdekaan pers sudah diatur oleh Undang-undang sebagai tolak ukur Hukum tertinggi di negara ini. “Tentunya, segala persoalan atau persengketaan pers mesti merujuk ke UU Pers, tak pantas jika di-KUHP kan”, tegasnya.

    Selain itu, Yatun mengusulkan pada aksi damai yang akan dilaksanakan berjalan dengan tertib dan taat hukum. “Kita harus tunjukan bahwa pers berunjuk rasa sangat menghargai hukum sebagaimana fungsinya menjadi corong rakyat”, ujarnya.

    Selanjutnya, dia berpesan melalui media ini, kepada pihak penegak hukum harus hargai betul tugas wartawan yang berperan penting terhadap kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

    “Jika pers dengan mudah di-KUHP kan, lalu siapa lagi yang akan mengkritisi atau menjalankan fungsi kontrol sosial yang sesungguhnya. Alhasil, kemungkinan apa-apa saja bisa bungkam dan tidak transparan lagi bila kebebasan dan kemerdekaan pers tidak mendapat dukungan dari penegak hukum sesuai Undang-undang”, jelas Yatun menghimbau.

    Meskipun begitu, lanjut Yatun, para wartawan dalam bertugas tetap dalam kode etik yang sudah diatur agar pers Indonesia dapat megedukasi, mengaspirasi dan menginformasikan secara berimbang kepada masyarakat, pungkasnya. (rls/nt)

  • PWI Lampung Minta Polres Tulang Bawang Pahami Mekanisme UU Pers

    PWI Lampung Minta Polres Tulang Bawang Pahami Mekanisme UU Pers

    Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan Juniardi SIP MH

    Bandarlampung (SL)-Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung mengingatkan jajaran Kepolisian di Polda Lampung untuk menghormati MOU Dewan Pers, PWI, dan Polri terkait penanganan proses pegaduan terkait pemberitaan media. Sehingga tidak terjadi kesan istilah kriminalisasi terhadap pers muncul kembali.

    Hal itu terkait masih adanya pemanggilan wartawan cahayalampung.com, oleh Polres Tulang Bawang, atas laporan Kepala Desa, dengan sangkaan perbuatan tidak menyenangkan.

    Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung, Juniardi SIP MH, mengatakan kasus terkait pemberitaan oleh media yang benar benar media pers adalah masuk ranah delik pers, bukan delik pidana. Karena sudah ada MOU Dewan Pers, PWI dan Polri. “Ada laporan dari PWI Tulangbawang, yang salah satu wartawan yang juga anggota PWI dipanggil Polres Tulangbawang, mengahadap penyidik berpangkat brigadir. Sepertinya Polres Tulang Bawang harus pahami MOU Dewan Pers, PWI dan Polri, tentang UU Pers,” kata Juniardi.

    Juniardi menjelaskan seluruh organisasi wartawan baik Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga telah lama mendesak agar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menghentikan kriminalisasi terhadap pers. “Upaya kriminalisasi terhadap pers pernah terjadi terhadap Majalah Tempo, Warta Kota, Metro TV, Koran Tribun, serta TV One. Yang seharusnya masuk delik pers tapi masuk ranah pidana,” kata Juniardi mencontohkan.

    Untuk itu, PWI Lampung meminta agar Polres Tulang Bawang melimpahkan penyelesaian sengketa pemberitaan antara pengadu dan cahayalampung.com kepada Dewan Pers, atau Dewan Kehormatan PWI Lampung. “Karena dari laporan PWI Tulangbawang, apa yang dilakukan wartawan media online, cahayalampung.com, merupakan bentuk kontrol sosial yang merupakan salah satu fungsi pers. Bila memang keberatan dengan pemberitaan tentu bisa melalui mekanisme yang ada ke Dewan Pers,” ujar mantan Ketua Komisi Informasi Provisi Lampung itu.

    Juniardi mengaskan Dewan Pers dan Polri telah melakukan nota kesepahaman terkait laporan atas pemberitaan media. “Nota kesepahaman itu dimaksudkan agar implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat berjalan dengan baik. Bila ada aduan soal pemberitaan, maka masuknya ke Dewan Pers. Nah Polres Tulang Bawang juga harus konsisten,” kata Juniardi.

    Alumni FH Unila itu menilai pemuatan berita terkait dugaan ijazah palsu oknum kepala desa, di Tulangbawang yang diberitakan cahayalampung.com itu telah sesuai dengan kaidah jurnalistik sebagaimana diatur dalam UU Pers. Dalam pasal 4 UU Pers disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. “Jika telah sesuai kode etik, tapi masih ada proses delik pidana, maka ada indikasi pelemahan kebebasan pers,” katanya.

    Juniardi menjelaskan masih adanya kasus pemberitaan yang dilaporkan ke polisi adalah bentuk ancaman serius untuk kebebasan pers. Soal pemberitaan yang salah, dalam Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) menyatakan bahwa Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akuratdisertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

    Di dalam dunia pers dikenal 2 (dua) istilah yakni: hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”). “Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu.

    Upaya yang dapat ditempuh akibat pemberitaan Pers yang merugika adalah sebagai pihak yang dirugikan secara langsung atas pemberitaan wartawan memiliki Hak Jawab untuk memberikan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Langkah berikutnya adalah membuat pengaduan di Dewan Pers.

    “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. Dewan Pers Indonesia mendefinisikan pengaduan sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang menyampaikan keberatan atas karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers,” katanya.

    Salah satu fungsi Dewan Pers yaitumemberikan pertimbangan danmengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.  Apabila Hak Jawab dan Pengaduan ke Dewan Pers tidak juga membuahkan hasil, maka UU Pers juga mengatur ketentuan pidana dalam Pasal 5 jo. Pasal 18 ayat (2)UU Pers.

    Pasal 5 UU Pers menyebutkan Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers wajib melayani Hak Jawab. Pers wajib melayani Hak Koreksi. “Lalu Pasal 18 ayat (2) UU Pers Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),” katanya. (rls/nik)

  • Media Harus Tetap Profesional Di Ajang Pilkada dan Pilpres

    Media Harus Tetap Profesional Di Ajang Pilkada dan Pilpres

    workshop menyambut pemilihan kepala daerah di Kota Tangerang, Banten, Kamis (4/1/2018).

    Jakarta (SL)-Dewan Pers dan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) mengingatkan pengelola media massa, baik cetak, elektronik, dan online untuk melibatkan diri secara positif dalam proses pemilihan kepala daerah serentak sepanjang tahun 2018 serta pemilihan anggota lembaga legislatif dan pemilihan presiden tahun 2019 mendatang.

    Hal itu disampaikan anggota Dewan Pers Ahmad Djauhar dan Ketua Umum SMSI Teguh Santosa ketika menjadi pembicara dalan workshop menyambut pemilihan kepala daerah di Kota Tangerang, Banten, Kamis (4/1/2018).

    Workshop yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tangerang ini dihadiri puluhan pengelola media di kota itu, dan dipimpin langsung oleh Ketua KPU Kota Tangerang Sanusi Pane.

    “Pers harus menjaga integritas dan bersikap independen dalam melakukan peliputan pilkada dan pemilu, selain juga harus menjalankan fungsi sebagai lembaga kontrol sosial secara  profesional, dan bersikap adil dengan memberi kesempatan yang sama kepada semua peserta kontestasi, serta transparan,” ujar Ahmad Djauhar.

    Djauhar juga mengingatkan agar pengelola media menjaga pagar api atau fire wall yang memisahkan kepentingan redaksional dan bisnis demi menjaga transparansi, independensi dan kualitas karya jurnalistik.

    Hal lain yang disampaikan Djauhar adalah kewajiban pers melakukan pendidikan politik melalui pemberitaan yang terkait rekam jejak pada kontestan.

    Tak lupa Djauhar juga mengingatkan, peserta pilkada dan pemilu, juga anggota masyarakat agar di saat yang bersamaan memberikan penghormatan terhadap independensi dan kerja organisasi pers.

    “Pers harus digunakan untuk kampanye yang cerdas dan bermartabat. Bila ada sengketa, gunakan mekanisme penyelesaian masalah yang diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers,” ujar Djauhar lagi.

    Senada dengan itu, Ketua Umum SMSI Teguh Santosa, mengatakan bahwa media massa berbasis internet menjadi sangat penting di palagan pemilihan umum baik pilkada serentak 2018 serta pemilu dan pilpres 2019.

    “Di tahun ini, ada 171 pemilihan kepada daerah. Sebanyak 17 pilkada tingkat provinsi, 39 tingkat kota, dan 115 di tingkat kabupaten. Apa jadinya kalau media gagal berperan sebagai agen demokrasi yang baik?” ujar Teguh.

    Teguh mengulangi kembali seruan yang telah disampaikan SMSI Pusat kepada perusahaan media siber anggota SMSI pada malam pergantian tahun yang lalu.

    Tahun 2018 dan 2019 dipenuhi agenda politik lokal dan nasional. Masyarakat pers memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk ikut menciptakan proses politik yang demokratis, konstruktif dan produktif bagi bangsa dan negara.

    Pengelola media, katanya lagi, perlu meningkatkan pemahaman wartawan terhadap kode etik jurnalistik dan kemampuan wartawan menghasilkan karya jurnalistik yang baik.

    Dia juga mengingatan pengelola redaksi untuk menarik garis tegas dan menjaga jarak dengan kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan publik.

    “Saya rasa kita semua setuju bahwa kepentingan publik seharusnya menjiwai produk pers,” kata Teguh. (rls/nt/*)

  • Pengaduan Masyarakat Tentang Media Meningkat di Dewan Pers

    Pengaduan Masyarakat Tentang Media Meningkat di Dewan Pers

    Wakil Ketua Dewan Pers, Ahmad Djauhar. (foto/dok/net)

    Semarang (SL)- Wakil Ketua Dewan Pers, Ahmad Djauhar, menyatakan bahwa pengaduan masyarakat yang masuk terkait pers mencapai 600 kasus pada 2017. Jumlah itu meningkat 30 persen dibandingkan tahun 2016 lalu yang hanya sekitar 400 kasus. Kebanyakan pengaduan yang masuk soal pencemaran nama baik.

    Hal itu disampaikan Ahmad Djauhar dalam lokakarya Jurnalistik di Semarang, Selasa (12/12). Dalam lokakarya jurnalistik yang digelar Lembaga Pers. Dr. Soetomo (LPDS) Jakarta dan ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) Dia juga menyebutkan bahwa pengaduan lainnya yang masuk terkait asusila, sadistik, termasuk juga kasus media sosial.

    “Kebanyakan pengaduan saol pencemaran nama baik. Kalau soal kasus pencemaran nama baik ya karena pernyataan ya seharusnya cara penyelesaiannya dengan perkataan bukan tuntutan,” katanya.

    Yang jelas, menurut dia, penyelesaian kasus di luar pengadilan merupakan usaha nenyelesaikan masalah kasus secara beradab.  “Di negara Eropa penyelesaian permasalahan di luar pengadilan sudah berjalan sejak 250 tahun lalu,” ujar Ahmad, yang menjelaskan bahwa jurnalistik yang baik harus ada konfirmasi. Selain itu juga fakta yang ada harus dilakukan verifikasi.

    Humas EMCL Rexy Mawardijaya mengatakan bahwa kegiatan lokakarya ini bisa menjadi ajang mengasah ilmu wartawan di bidang jurnalistik yang tidak diperoleh di lapangan.  “Lokakarya ini bisa menjadi ajang edukasi wartawan untuk meningkatkan kompetensi, ” katanya.

    Direktur Lembaga Pers Dr Soetomo Jakarta, Priyambodo RH, menambahkan ada 43.300 media online yang ada di Tanah Air.  Dari hasil verifikasi Dewan Pers pada 2015, kata dia, media online yang memenuhi persyaratan UU Nomor 40/1999 tentang Pers yaitu sebanyak 168 media online. Dalam loka karya yang diikuti wartawan Bojonegoro, Tuban, Surabaya, Malang dan Pasuruan itu juga menampilkan nara sumber Enny Nuraheni mantan fotografer Reuters. (ant/nt/jun)