Tag: FPI

  • Munarman Pentolan FPI Resmi Keluar dari Lapas Salemba Senin Pagi

    Munarman Pentolan FPI Resmi Keluar dari Lapas Salemba Senin Pagi

    Jakarta – Masih ingat Munarman, pentolan Front Pembela Islam (Jubir FPI)? Ia resmi keluar dari Lapas Kelas IIA Salemba, Jakarta Pusat pada Senin (30/10/2023) pagi.

    Eks Juru Bicara FPI itu keluar dari Lapas dengan menggunakan kemeja warna kesayangannya, putih yang dipadu dengan celana jeans biru.

    Dari atribut yang digunakanya, sepertinya ia tahu betul dengan situasi di Palentina saat ini. Sebagai wujud atensi dan pembelaanya, Munarman tampil menunjukan dukunganya atas perjuangan rakyat Palestina yang kini ditindas Israel dengan menggunakan atribut bernuansa bendera Palestina.

    Dengan atribut itu, ia berjalan keluar menuju depan gerbang Lapas Kelas IIA Salemba. Sekelompok orang sudah dirinya di luar Lapas sembari bersorak takbir.

    “Takbir! Allahu Akbar!,” teriak para simpatisan dan salawat nabi.

    Diketahui, Munarman dipidana selama 3 tahun atas tuduhan terlibat kasus terorisme.(red)

     

  • Anggota FPI Lampung Utara Bantu Ibu Hamil Jelang Persalinan

    Anggota FPI Lampung Utara Bantu Ibu Hamil Jelang Persalinan

    Lampung Utara (SL)-Sejumlah muhibbin (pecinta rasulullah) yang tergabung dalam barisan organisasi Front Persaudaraan Islam (FPI) Kabupaten  Lampung Utara (Lampura) menyalurkan bantuan sosial bagi seorang ibu muda yang tengah hamil dari kalangan warga prasejahtera.

    Bantuan yang diterima langsung oleh Lisdiana, warga Kelurahan Tanjungharapan, Kecamatan kotabumi Selatan itu, pada Sabtu malam, 23 Januari 2021, sekitar pukul 21.30 WIB, untuk meringankan biaya jelang persalinannya.

    Disampaikan Bendahara DPD FPI Lampura, Hi. Tafdal, penyaluran bantuan yang dilaksanakan pihaknya itu semata mengedepankan hubungan sosial dan solidaritas antarsesama.

    “Yang menjadi dasar kami tergerak menyalurkan santunan tali asih ini semata-mata menjalankan syariat hablumminallah wa hablumminannas,” kata Hi. Tafdal, Sabtu malam, 23 Januari 2021, didampingi Edwardo Manda Saputra dan jajaran.

    Senada, Ardi Yoehaba menambahkan, santunan yang diberikan itu bersumber dari kas organisasi dan para muhibbin setempat.

    “Kami juga sudah berkoordinasi dengan rekan-rekan serta donatur lainnya untuk memberikan bantuan biaya persalinan melalui BPJS agar mendapatkan pelayanan medis secara gratis,” terang Ardi Yoehaba.

    Mendapati bantuan itu, Lisdiana tak luput menyampaikan rasa haru dan menungkapkan rasa terimakasihnya.

    “Atas nama keluarga, saya merasa terharu dengan adanya bantuan yang tidak terduga ini. Kami mengucapkan terimakasis yang tidak terhingga. Kelak Allah SWT menjadikan ini sebagai amal ibadah para dermawan,” tutur Lisdiana, saat menerima bantuan tali asih dimaksud. (Edwardo)

  • BEM-UI Kritik SKB 6 Menteri Bubarkan FPI Dan Maklumat Kapolri

    BEM-UI Kritik SKB 6 Menteri Bubarkan FPI Dan Maklumat Kapolri

    Jakarta (SL)-Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menerbitkan pernyataan sikap soal pembubaran Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi kemasyarakatan oleh pemerintah tanpa melalui proses peradilan. Dalam pernyataan sikap yang terbit kemarin, Minggu 3 Januari 2021, BEM UI menyoroti SKB 6 Menteri yang dipakai untuk membubarkan FPI merujuk pada UU Ormas terbaru, yang memang sudah menghapus mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas.

    Ketua BEM UI, Fajar Adi Nugroho menegaskan pihaknya tidak pro-FPI, namun sedang menggarisbawahi pembubaran ormas tanpa peradilan. ”Apa yang kami fokuskan terkait pembubaran ormas ini adalah bagaimana prosedurnya. Kita membicarakan landasan pembubaran organisasi kemasyarakatan dan hari ini kebetulan konteksnya FPI,” kata Fajar dilangsir Kompas.com, Senin 4 Januari 2021.

    “Karena seakan-akan memberikan kekuasaan yang absolut bagi eksekutif untuk kemudian membubarkan organisasi kemasyarakatan,” imbuhnya.

    BEM UI juga mengungkit soal Maklumat Kapolri No.1/Mak/I/2021 yang dikhawatirkan dapat menjadi justifikasi bagi pembungkaman ekspresi.

    “Aturan ini jauh lebih problematis karena dalam poin 2d normanya berisi tentang larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial. Padahal, mengakses konten internet adalah bagian dari hak atas informasi yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28F UUD 1945 serta Pasal 14 UU HAM,” jelas Fajar.

    “Aturan Maklumat Kapolri a quo tentu saja akan dijadikan aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan represif dan pembungkaman, khususnya dalam ranah elektronik,” tambahnya.

    Dalam kritiknya soal pembubaran ormas tanpa peradilan, BEM UI merujuk pada UUD 1945 yang menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan, di sisi lain, menjamin kebebasan berserikat.

    BEM UI mengutip argumen pakar hukum Jimly Asshiddiqie soal 12 prinsip negara hukum, salah satunya bahwa “Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa”.

    “Hal ini menjadi ironi ketika SKB yang diterbitkan guna melarang kegiatan FPI juga memuat UU HAM dalam konsideran Mengingat. Padahal, dalam Pasal 3 Ayat (2) UU HAM diuraikan bahwa, ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum yang sama di depan hukum’,” tulis BEM UI.

    BEM UI menganggap pemakaian UU HAM bersamaan dengan UU Ormas yang dapat membubarkan organisasi kemasyarakatan melalui Menteri Hukum dan HAM, tanpa putusan pengadilan-sebagai pertentangan.

    “Dengan demikian, negara dapat secara sewenang-wenang membubarkan organisasi kemasyarakatan tanpa pengawasan atau proses pengadilan sebagaimana hal tersebut dapat dilihat dari prosedur pelarangan dan pembubaran FPI,” urainya

    Berikut 5 poin pernyataan sikap BEM UI

    Pertama, mendesak negara untuk mencabut SKB tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbo dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI dan Maklumat Kapolri tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI;

    Kedua, mengecam segala tindakan pembubaran organisasi kemasyarakatan oleh negara tanpa proses peradilan sebagaimana termuat dalam UU Ormas; Ketiga, Mengecam pemberangusan demokrasi dan upaya pencederaan hak asasi manusia sebagai bagian dari prinsip-prinsip negara hukum;

    Keempat: mendesak negara, dalam hal ini pemerintah, tidak melakukan cara-cara represif dan sewenang-wenang di masa mendatang;

    Kelima mendorong masyarakat untuk turut serta dalam mengawal pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum, terutama perlindungan hak asasi manusia dan jaminan demokrasi oleh negara.

    Fokus Soal Pembubaran Ormas

    Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia ( BEM UI) Fajar Adi Nugroho membantah pihaknya membela Front Pembela Islam (FPI) sehubungan dengan pernyataan sikap mereka yang diterbitkan pada Minggu (3/1/2021). Dalam pernyataan sikap tersebut, BEM UI menyoroti SKB 6 Menteri yang dipakai untuk membubarkan FPI merujuk pada UU Ormas terbaru (UU Nomor 16 Tahun 2017), yang menghapus mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas.

    “Apa yang kami fokuskan terkait pembubaran ormas ini adalah bagaimana prosedurnya. Kami membicarakan landasan pembubaran organisasi kemasyarakatan (tanpa peradilan) dan hari ini kebetulan konteksnya FPI,” ujar Fajar, Senin 4 Januari 2021.

    Ia menambahkan, sejak awal kepengurusannya, BEM UI konsisten terhadap prinsip negara hukum sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. “Karena Indonesia negara hukum, maka salah satu prinsipnya adalah perlindungan hak asasi manusia, supremasi hukum, dan demokrasi. Selama satu tahun ini kita bisa melihat apa saja hal-hal yang bertentangan atau mendegradasi prinsip-prinsip yang ada dalam konsep negara hukum,” kata Fajar.

    “Dalam konteks ini, kita melihat bahwa pembubaran FPI sebagai organisasi kemasyarakatan menjadi pertanyaan bagi BEM UI, apabila kita kontekstualisasikan dengan Indonesia sebagai negara hukum,” ujarnya.

    Preseden dibubarkannya FPI dianggap dapat menjadi alarm bagi kebebasan berserikat yang dijamin konstitusi, karena ormas sewaktu-waktu menghadapi ancaman pembubaran oleh pemerintah tanpa proses peradilan.

    Sebagai informasi, Pasal 61 ayat 1 huruf c UU Nomor 16 Tahun 2017 menyebutkan, “Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas, huruf c adalah pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan badan hukum”.

    Lalu, Pasal 61 ayat 3 huruf b berbunyi, “Pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum dan hak asasi manusia”. Kemudian, Pasal 80 a berbunyi, “Pencabutan status badan hukum ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.”

    “Karena seakan-akan memberikan kekuasaan yang absolut bagi eksekutif untuk kemudian membubarkan organisasi kemasyarakatan,” ujar Fajar. “Perpu ormas yang kemudian menjadi UU Ormas yang mengubah UU Ormas sebelumnya, memang menjadi yang sudah kami sebut ‘memberangus demokrasi’,” kata dia. (kompas/Red)

  • HRS Center Kritik Perintah Pangdam Copot Baliho HRS

    HRS Center Kritik Perintah Pangdam Copot Baliho HRS

    Jakarta (SL)-Direktur HRS Center Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H mengatakan pencopotan baliho Imam Besar HRS oleh personil TNI atas dasar perintah Pangdam Jaya adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Selain itu mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat. Kebebasan berekspresi dapat dilakukan dengan menggunakan media apapun termasuk baliho.

    “Baliho merupakan salah satu jenis saluran ekspresi untuk menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nurani. Hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani merupakan Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun. Kesemuanya itu secara tegas disebut dalam Pasal 28E Ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945. Dengan demikian kebebasan berpendapat dan berekspresi serta penyampaiannya merupakan hak konstitusional warga negara yang harus dijamin pelaksanaannya oleh negara,” kata Abdul Chair Ramadhan, melalui keterangan pers kepada sinarlampung.co, Minggu 22 November 2020 malam.

    Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, menjelaskan selain sebagai hak konstitusional, kebebasan berekspresi adalah Hak Asasi Manusia yang diakui. Pengaturannya dapat ditemui di dalam Pasal 14, Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Begitupun dalam Pasal 14, Pasal 23 Ayat (2), dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahkan juga ditemui dalam Pasal 19 Konvenan Sipol yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

    Dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), disebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara. ”Frasa“ kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi” demikian fundamental, tidak dapat dibatasi apalagi dicabut,” ujarnya.

    Perintah pencopotan baliho Imam Besar HRS oleh Pangdam Jaya, urainya sangat disesalkan dan layak dipertanyakan. Disini tidak ada alas hak (wewenang) berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu ada pada Satpol PP yang notabene berada di bawah Gubernur DKI Jakarta. Sepanjang pemasangan baliho tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, maka keberadannya adalah sah dan tidak dapat ‘dikebiri’. Pengebirian terhadap saluran ekspresi pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani sama saja dengan tindakan ‘persekusi’ dan ‘kriminalisasi’ hak asasi.

    “Terlebih lagi, konten baliho Imam Besar HRS sama sekali tidak mengandung unsur delik. Tidak ada narasi yang bersifat tercela (melawan hukum). Dalam hal suatu konten yang diduga mengandung perbuatan pidana, seperti ujaran kebencian, permusuhan maupun pengahasutan (provokasi), maka itu pun harus melalui serangkaian proses hukum. Dalam proses hukum dimaksud tidak pula melibatkan TNI,” katanya.

    “Oleh karena itu, pencopotan baliho Imam Besar HRS dipertanyakan publik, dimana letak adanya konten yang dianggap bermasalah? Apakah gagasan ‘Revolusi Akhlaq’ Imam Besar HRS dipersepsikan sebagai perbuatan yang membahayakan Persatuan Nasional, setidak-tidaknya bertentangan dengan Hukum Pidana? Apakah pula kepulangan Imam Besar HRS diposisikan sebagai ancaman terhadap eksistensi negara?,” tambah Abdul Chair Ramadhan,

    Bukahkah Konstitusi telah menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani melalui saluran apapun (in casu baliho). Bukankah di era demokratisasi dan supremasi sipil, keberlakuan pemusatan (absolutisme) kebenaran oleh rezim tidak dapat dibenarkan. Titah penguasa yang harus dianggap sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan otentik akan menjadikannya sebagai penguasa ‘logosentrisme’. Kondisi demikian tidak sesuai dan bertentangan dengan Konstitusi, UU Hak Asasi Manusia dan Konvensi Internasional.

    Sejalan dengan Reformasi Sektor Keamanan yang telah menempatkan peranan TNI sebagai alat Pertahanan Negara – yang terpisah dengan keamanan – dimaksudkan untuk menjamin tegaknya demokrasi dan supremasi sipil. Pra reformasi, peran sosial politik dalam dwifungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Polri yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Tanggapan politisi Gerindra Fadli Zon yang menyinggung dwifungsi ABRI dapat dibenarkan. Demikian pula, masyarakat yang berasumsi pencopotan baliho tersebut bermuatan politis.

    “Kita ketahui bahwa jati diri TNI menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia salah satunya adalah “Tentara Profesional yang mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi” (Pasal 2 huruf d). Merujuk pada ketentuan ini, maka pencopotan baliho IB HRS seharusnya tidak boleh terjadi,” jelas Abdul Chair Ramadhan,

    Dikatakan demikian, lanjutnya, oleh karena bertentangan dengan konsepsi jati diri Tentara Profesional sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 huruf d. TNI memang memiliki fungsi sebagai penangkal dan penindak terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.

    Selain juga pemulih terhadap kondisi Keamanan Negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan (Pasal 6). Disini dipertanyakan, apakah keberadaan baliho IB HRS dan diri IB HRS benar-benar telah mengganggu Keamanan Negara yang kemudian menimbulkan akibat kekacauan keamanan? dan oleh karenanya harus dipulihkan melalui pencopotan? Kapan dan dimana terjadinya kekacauan keamanan tersebut? Tidak ada fakta hukum yang menjelaskan kondisi demikian.

    “Jika Pangdam Jaya berpandangan sebaliknya, maka tentu bertentangan dengan doktrin hukum pidana yang mempersyaratkan harus adanya perbuatan konkrit (materil) dengan menunjuk locus dan tempus delicti. Jika sebatas perkiraan analisis intelijen, dipertanyakan pula validitas sistem deteksi dini (early warning system) dan sumber informasi darimana dia mendapatkannya,” jelasnya.

    Lebih lanjut, TNI memiliki tugas pokok Operasi Militer Untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang (Pasal 7). Dari keempat belas macam Operasi Militer Selain Perang yang disebutkan, hanya ada satu bidang yang berhubungan dengan tugas Kepolisian yakni dalam rangka Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas).

    Disebutkan fungsinya sebatas pembantuan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Sementara, kewenangan penertiban baliho berada pada Satpol PP yang notabene di bawah Gubernur DKI Jakarta. “Pertanyaan lebih serius, pencopotan baliho Imam Besar HRS itu guna kepentingan apa dan dalam rangka apa? Apakah dapat dibenarkan Operasi Militer Selain Perang dalam wujud ‘Operasi Pencopotan’ baliho Imam Besar HRS?,” ujarnya. (rls/red)

  • Politisi PDIP Datang Menghadap Di Mekkah, Habib Rizieq Berikan Lima Nasihat

    Politisi PDIP Datang Menghadap Di Mekkah, Habib Rizieq Berikan Lima Nasihat

    Mekkah (SL) – Sebagai sosok seorang Ulama yang sangat dicintai dan dimuliakan oleh umat Islam, Imam Besar FPI Habib Muhammad Rizieq bin Hussein Shihab selama berada di Tanah Suci tak henti-henti terus menerima kunjungan dari para tamu dan kerabat yang ingin menemuinya, bersilaturahmi, maupun untuk meminta nasihat dan sebagainya. Senin, 23 April 2018

    Setelah Ketua PDIP Rokhmin Dahuri menemui Habib Rizieq di Mekkah beberapa waktu yang lalu, kini Politisi PDIP lainnya Erwin Moeslimin Singajuru pun menghadap Habib Rizieq di Mekkah, Arab Saudi.

    Dalam pertemuan tersebut Habib Rizieq didampingi oleh Imam FPI DKI Jakarta Habib Muchsin bin Zaid Alatas dan dihadiri juga oleh sejumlah Tokoh Indonesia di Mekah.

    Saat dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Erwin membenarkannya. Dia mengaku saat ini memang sedang menjalankan ibadah Umroh di Arab Saudi.

    “Ya betul. Saya sedang di Mekkah ini,” ujar Erwin dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (23/4/2018)

    Dia belum bicara banyak soal pertemuannya dengan Habib Rizieq. Erwin menyebut pertemuan dia dengan Habib Rizieq dilakukan di kediaman Imam Besar FPI itu di Mekkah.

    “Silaturahim, tadi malam, di kediamannya, di Mekkah. Bicara kemaslahatan umat,” jelas Anggota Komisi VIII DPR itu.

    Namun tampaknya masih ada pembicaraan lebih lanjut lagi. “Itu dulu, nanti ada kelanjutannya,” tambah Erwin.

    Foto Erwin saat bertemu Habib Rizieq beredar melalui aplikasi percakapan WhatsApp. Tampak Habib Rizieq duduk di tengah, sementara Erwin di sisi kirinya. Dan terlihat Habib Muchsin bin Zaid berada di sisi kanan.

    Menurut sumber-sumber FPI pertemuan dan dialog berjalan akrab dalam suasana yang sejuk dan damai serta saling menghargai.

    Dalam dialog tersebut Habib Rizieq juga memberi peringatan keras dan tegas dengan nada yang ramah dan santun bahwa Politik Kriminalisasi Ulama dan Aktivis Islam yang dimainkan PDIP selama ini harus segera dihentikan.

    Hal ini membuktikan bahwa Habib Rizieq tidak pernah menolak dialog dengan siapapun, baik kawan mau pun lawan.

    Rokhmin Dahuri dan Erwin Moeslimin adalah kawan lama Habib Rizieq dan keduanya merupakan Kader HMI yang bergabung dengan PDIP.

    Dalam pertemuan tersebut Habib Rizieq juga memberikan lima nasihat untuk PDIP, yaitu:

    1. Bersihkan PDIP dari Anak Keturunan PKI yang masih mengusung ideologi PKI.

    2. Bersihkan PDIP dari Neolib dan Missionaris Ekstrim yang Anti Islam.

    3. Struktur Pengurus PDIP dan Para Caleg PDIP harus proporsional  sehingga 90% harus beragama Islam.

    4. PDIP harus segera mengevaluasi dan merevisi semua kebijakannya yang Anti Islam.

    5. PDIP harus jadi Partai Nasionalis Religius sehingga tidak selalu memusuhi agama.

    Sumber: Detik dll