Tag: Harimau

  • BKSDA Lampung Bantah Satwa Liar di Gedong Tataan Bukan Harimau

    BKSDA Lampung Bantah Satwa Liar di Gedong Tataan Bukan Harimau

    Pesawaran, Sinarlampung.co – Warga dan pekerja penyadap karet perkebunan PTPN VII Regional 7 Afdelling 3 Taman 92, Desa Sukaraja, Kecamatan Gedong Tatataan sempat digegerkan dengan kemunculan seekor satwa liar menyerupai Harimau yang sedang nangkring (berada di atas-red) dahan pohon karet.

    Kepala Dinas Kehutanan Lampung Yanyan Ruchyansyah mengatakan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) telah mencermati foto yang masyarakat kirim dan hasilnya satwa itu bukan harimau melainkan kucing emas atau Catopuma temminicki dan termasuk hewan yang di lindungi.

    Baca Juga : Harimau kelayapan dan Nangkring di Kebun Karet PTPN VII Dekat Kota Bandar Lampung

    “Kucing emas termasuk dalam golongan satwa yang ikut kami kampanyekan untuk pencegahan kepunahan dan kami BKSDA Bengkulu Seksi Konservasi Wilayah III untuk menggiring kembali satwa tersebut ke dalam kawasan hutan,”ujar Yayan, Jumat 14 Juni 2024.

    Pengelola Kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR) juga melakukan ground check ke lokasi untuk memastikan laporan masyarakat dan pihaknya mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan jika bertemu dengan satwa liar jenis apapun dan menghindar.

    Selain itu, masyarakat tidak melakukan perburuan terhadap satwa liar jenis apapun. “Belum bisa dipastikan asal kucing emas ini atau memang menjadi satwa di Tahura, seperti kucing batu. Untuk itu kami menghimbau masyarakat jika bertemu satwa liar, terutama kucing emas ini hendaknya melakukan penggiringan kembali ke kawasan hutan secara bersama-sama,”ujarnya.

    BKSDA Bengkulu Seksi Konservasi Wilayah III menyebutkan kucing emas memiliki ciri berwarna cokelat keemasan hampir di seluruh tubuh. Namun, ada juga yang berwarna abu-abu atau cokelat tua dan habitatnya banyak terdapat di wilayah Sumatra. Hewan itu juga memiliki gerakan yang lincah sehingga sulit untuk tertangkap. (*/Red)

  • Kisah Harimau dan Manusia yang Hidup Bertetangga

    Kisah Harimau dan Manusia yang Hidup Bertetangga

    Aceh (SL) – Aroma jengkol melayang di udara Talang Sebelas, Desa Rajabasa, Ngaras, Pesisir Barat. Siang hari yang sejuk itu, di kebun milik Latif, Septa Risdalina menemani suaminya Edi Supriyono mengunduh buah jengkol. Anak batitanya, Ahmad Hazzali, dibiarkan duduk bermain di atas tanah beralaskan kain selendang.

    Padahal, tidak sampai 300 meter dari kebun, harimau kerap melintasi jalan desa. Sebuah papan memberikan peringatan kepada warga agar waspada saat melintasi simpang tiga itu. “Tidak apa-apa. Kalau kita tidak mengganggu, dan masih ada hutan untuk bersembunyi, dia juga tidak akan mengganggu,” tutur Septa, ibu muda beranak dua.

    Bahkan, beberapa bulan lalu, ia dan suami menemukan jejak-jejak harimau di kebunnya. “Dia (harimau) dua kali melintas selama tiga hari berturut-turut. Saya malah senang kalau ada si kumis. Ada yang menjaga ladang dari gangguan babi hutan,” ujar Edi.

    Rumah Latif pun pernah dimasuki harimau. “Dia menggondol anjing pemburu yang menginap di rumah saya,” tuturnya. “Masyarakat sudah sering bertemu dengan si kumis di jalan. Kita diam saja, nanti ia akan melipir. Setelah kita lewat, ia akan kembali ke jalan,” ungkap Latif yang sudah lima kali bertemu langsung dengan harimau. “Pokoknya, sama-sama cari hidup. Ia cari makan, kita juga cari makan”.

    Lantaran kerap bertemu, Latif punya pengetahuan tentang harimau yang cukup baik. Harimau adalah hewan yang bersih. Warna kulitnya cemerlang, lorengnya mengilap, dan warna putihnya bersih. “Karena itu, ia tidak suka melewati belukar. Ia berjalan dengan mulut yang terbuka. Dengus napasnya bisa saya dengar.”

    Harimau juga tidak akan pergi jauh-jauh dari bangkai mangsa yang masih bersisa. Biasanya ia memangsa babi hutan. “Mungkin karena babi hutan masih banyak di desa ini, si kumis sering melintasi kebun dan ladang. Karena itu pula, kita melarang pemburu masuk ke sini,” katanya.

    Sebelum bisa hidup berdampingan, harimau yang berkeliaran tetap saja meresahkan warga. Ada beberapa orang ingin menangkap si kumis. Apalagi konflik akhirnya pecah di desa yang sebagian penduduknya telah berdiam di kawasan hutan ini.

    Pada 1997, saat gerobak sapi hilir-mudik ke Talang Sebelas, harimau semakin sering lewat. Dan konflik pun akhirnya pecah. Harimau memangsa sapi di depan sang kusir. Sejak itu, entah berapa kali harimau memangsa ternak yang dimiliki oleh warga.

    Berbagai aktivitas masyarakat dilakukan berdampingan dengan rumah harimau.
    Berbagai aktivitas masyarakat dilakukan berdampingan dengan rumah harimau

    Upaya meredam konflik selalu tidak mudah. Semakin tinggi konflik, maka semakin sulit pula upaya untuk melerai. Warga terlanjur merugi, masih pula harus merelakan harimau berkeliaran. Kendati sebagian besar pendatang, Talang Sebelas dan sekitarnya memiliki bekal kearifan bagi mitigasi konflik.

    “Ketika kepercayaan lokal tidak ada di kalangan pendatang ataupun masyarakat setempat, peluang untuk menerapkan azas hidup bersama satwa liar semakin sulit,” ungkap Firdaus Affandi, manajer Lanskap Bukit Barisan Selatan WCS. Meski sebagian besar pendatang, Talang Sebelas misalnya, masyarakat memiliki modal budaya.

    “Kearifan itu sebagian dibawa dari daerah asal, sebagian dari lokal Lampung.” Kendati cukup variatif, akhirnya masyarakat bisa berbagi ruang dengan harimau. Jadi, lanjut Firdaus, masyarakat memandang harimau sebagai makhluk meruang, bukan perabot atau patung.

    Azas hidup bersama satwa liar diperlukan dalam pelestarian harimau di lanskap Bukit Barisan Selatan. Apalagi, sebagian besar masyarakat mengenal harimau justru saat terjadi konflik . Muncul stigma bahwa harimau adalah pengganggu ketenteraman hidup. Perspektif negatif itulah yang sebenarnya ‘membunuh.’

    Ini berbeda dengan masyarakat yang sehari-hari merasakan kehadiran sang pemangsa. Berbekal fondasi kearifan lokal, pelestari membuka kesempatan menyisipkan pengetahuan mitigasi kepada masyarakat. “Mereka yang belum menerima prakondisi mitigasi konflik, biasanya berpandangan menang-kalah. Tidak ada lagi ruang bagi harimau,” imbuh Firdaus. “Ini berbeda dengan masyarakat yang sudah tersentuh pengetahuan mitigasi. Mereka bisa berbagi ruang hidup dengan harimau.”

    Luasnya lanskap harimau memang menuntut banyak pihak turun tangan dalam upaya mitigasi konflik. Betapa berwibawanya pemangsa ini. Saat konflikmeletup, ia memaksa banyak pihak turun tangan. Penyelesaian dan pencegahan sengketa tidak bisa dilakukan satu-dua pihak.

    Sebagai satwa yang dilindungi, bila harimau berkeliaran di luar taman nasional, kewenangan ada di Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Sementara pengelolaan taman nasional, jantung lanskap harimau, ada di Balai Taman Nasional. Dua pihak ini berada dalam naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

    Pihak lain adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan, yang mengelola kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Bila konflik ada di kawasan hutan produksi dan lindung, KPH wajib terlibat. Instansi ini di bawah pemerintahan provinsi. Hingga titik ini, ada tiga pihak berwenang yang mesti terlibat dalam merespon konflik, entah yang berlevel rendah, sedang, maupun tinggi. (nationalgeoraphic)

  • Kerja Keras 107 Hari, Tim Terpadu Menangkap Bonita

    Kerja Keras 107 Hari, Tim Terpadu Menangkap Bonita

    Pekanbaru (SL) – Kerja keras tim terpadu dalam mencari harimau liar Bonita patut diacungi jempol. Setelah sekitar 107 hari bekerja, akhirnya Bonita berhasil ditangkap di Kec Pelangiran, Kab Inhil, Riau, sekira pukul 06.15 Wib, Jum’at (21/04/2018).

    Bonita berhasil dilumpuhkan dengan tembakan bius kemudian dimasukkan dalam sangkar besi oleh tim terpadu yang dikomandoi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau yang dibantu, TNI/Polri, WWF Riau, ahli animal communicator wanita asal Kanada Shakti dan sejumlah aktivis lingkungan lainnya.

    Proses evakuasi Bonita dari lokasi konflik tidak ditempuh dengan jalur darat. Walau Bonita sudah tertembak bius pagi hari, namun informasi tertangkapnya Bonita baru malam harinya menyebar luas dan menurut informasi rencananya Harimau Bonita akan di rehabilitasi di Dharmasraya, padang, Sumatera Barat.

    ”Kita memang sengaja menutup informasi ini serapat mungkin sejak tertembak bius. Ini semua semata-mata demi keamanan,” kata Kepala BBKSDA Riau, Suharyono, Jumat (20/4/2018) malam.

    Tim terpadu, mengevakuasi Bonita keluar dari lokasi tidak menggunakan jalur darat tetapi dibawa dengan kapal menelusuri kanal hingga sungai. Bonita akhirnya sampai ke Kota Tembilahan, menjelang malam.

    “Kami sengaja tidak mengangkutnya lewat darat. Ini demi keamanan Bonita, kita khawatir bila ada reaksi masyarakat atas Bonita yang sudah menyerang dua warga hingga tewas,” kata Haryono.

    Masih menurut Haryono, informasi tertangkapnya Bonita pun baru tersebar malam ini. Semua itu dilakukan tim guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

    “Kita khawatir kalau saat Bonita berhasil ditembak, langsung kabarnya menyebar, nanti ada pihak-pihak yang beraksi ke Bonita. Menghindari berbagai kemungkinan terburuk itulah, makanya kami sepakat jangan disebarluaskan terlebih dahulu. Itu makanya baru malam ini info Bonita tertangkap kami berikan ke media,” tutupnya.