Tag: ICW

  • ICW Desak Polri Buka Data Terkait Dugaan Penggunaan Alat Sadap ‘Pegasus’ Israel

    ICW Desak Polri Buka Data Terkait Dugaan Penggunaan Alat Sadap ‘Pegasus’ Israel

    INDONESIA Corruption Watch (ICW) beserta sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak Polri untuk membuka informasi mengenai pengadaan alat sadap dengan metode “zero-click”, yang menurut mereka dapat mengancam demokrasi.

    Alat tersebut berupa perangkat lunak yang dapat dipasang di ponsel target secara diam-diam dan si target tidak perlu mengeklik apapun. Para pegiat kebebasan sipil khawatir alat ini berpotensi digunakan untuk membungkam demonstran dan jurnalis.

    Permohonan keterbukaan informasi ini merupakan lanjutan dari laporan investigasi Konsorsium IndonesiaLeaks Juni lalu, yang menemukan indikasi pengiriman alat sadap Pegasus ke Indonesia.

    Polri belum menanggapi permohonan informasi ini. Namun, merespons laporan IndonesiaLeaks, seorang pejabat Polri telah mengatakan pernah menggunakan alat sadap zero-click tapi bukan Pegasus.

    Seorang pakar keamanan siber mengatakan alat-alat sadap dengan metode zero-click “dijual bebas” di Indonesia — tidak hanya kepada penegak hukum.

    Pada Senin (09/10) siang, ICW menyampaikan surat permohonan keterbukaan informasi kepada Divisi Humas Polri.

    Permohonan itu berasal dari sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Kepolisan – antara lain ICW, KontraS, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.

    Mereka meminta detail mengenai pengadaan alat sadap zero-click intrusion system di Mabes Polri pada tahun 2018 senilai Rp149 miliar, yang tendernya dimenangkan oleh PT Radika Karya Utama.

    Informasi mengenai tender tersebut dipajang di Opentender.net, platform yang dikembangkan ICW berdasarkan data dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

    Pada Juni lalu, laporan investigasi Konsorsium IndonesiaLeaks yang terdiri dari Majalah Tempo, Koran Tempo, Tempo.co, Jaring.id, Suara.com, Independen.id, dan Bisnis Indonesia menemukan indikasi bahwa Pegasus, alat sadap milik perusahaan NSO group asal Israel, telah masuk ke Indonesia dan diduga pernah digunakan oleh Polri dan BIN. Alat sadap ini terkenal dengan metode zero click.

    Peneliti ICW, Diky Anandya, mengatakan kepada BBC bahwa organisasi masyarakat sipil berharap bisa mendapatkan setidaknya rencana umum pengadaan alat sadap zero-click di Polri serta kerangka acuan kegiatan.

    “Dari situ setidaknya kita bisa lihat spesifikasi teknis yang mereka pesan pada tahun 2018 itu apa saja, dan itu mungkin bisa kita gunakan sebagai basis apakah Polri menggunakan alat sadap berjenis Pegasus atau bukan,” ujarnya.

    Apa itu Pegasus?

    Pegasus adalah perangkat berbasis software yang dirancang untuk diam-diam mengumpulkan informasi dari ponsel sasaran. Spyware ini dapat membaca teks dan email, memantau penggunaan aplikasi, melacak lokasi data, dan mengakses mikrofon dan kamera gawai.

    Pegasus dapat dipasang di ponsel Android atau IOS dari jarak jauh.

    Salah satu caranya adalah melalui missed call WhatsApp, dan kemudian segera menghapus riwayatnya, sehingga si pengguna ponsel tidak merasa ada yang salah.

    Cara ini lebih tersembunyi daripada kebanyakan spyware, yang biasanya mengharuskan sasaran mengklik tautan atau membuka pesan tertentu. Karena itu, Pegasus disebut menggunakan metode zero-click.

    Pegasus dilisensikan oleh pembuatnya, NSO Group, kepada pemerintahan di seluruh dunia. Perangkat ini dimaksudkan agar digunakan sebagai alat surveilans untuk upaya-upaya penegakan hukum.

    Namun, dalam praktiknya, alat ini pernah digunakan untuk menyasar demonstran, aktivis, dan jurnalis.

    Pada Juli 2022, Pegasus ditemukan di ponsel puluhan anak muda di Thailand yang terlibat dalam unjuk rasa pro-demokrasi yang menuntut reformasi politik dan monarki.

    Perangkat ini juga dilaporkan pernah digunakan untuk menyasar ponsel orang-orang terdekat Jamal Khashoggi, jurnalis asal Arab Saudi yang dibunuh di kantor konsulat di Istanbul, Turki.

    Apa kekhawatiran para aktivis?

    Diky Anandya dari ICW mengatakan banyak organisasi masyarakat sipil khawatir bahwa alat sadap seperti Pegasus dapat disalahgunakan oleh penguasa menjadi alat untuk membungkam atau bahkan mengkriminalisasi demonstran dan jurnalis.

    Hal seperti ini, imbuhnya, dapat membahayakan demokrasi.

    Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Organisasi pemantau keamanan digital SAFENet telah mencatat bahwa peretasan akun media sosial dan WhatsApp kerap terjadi pada kelompok kritis di Indonesia.

    Pada 2018, surat kabar Israel bahkan melaporkan bahwa Pegasus digunakan di Indonesia untuk membuat basis data kelompok LGBT dan kelompok agama minoritas.

    “Tentu kami tidak menginginkan hal seperti itu terjadi di Indonesia. Tentu kami menginginkan Polri bisa secara transparan dan akuntabel bahwa mereka tidak menggunakan alat-alat yang bisa digunakan untuk operasi pembungkaman,” Diky menjelaskan.

    Sampai berita ini diterbitkan, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, belum menjawab permintaan komentar dari BBC. “Saya tanyakan dulu,” katanya dalam pesan singkat.

    Namun, Kepala Divisi Teknologi, Informatika, dan Komunikasi Polri, Inspektur Jenderal Slamet Uliandi, telah mengatakan kepada tim IndonesiaLeaks Juni lalu bahwa lembaganya memang pernah menggunakan alat sadap dengan metode zero click, namun tidak pernah menggunakan Pegasus.

    Dalam wawancara yang dimuat di Majalah Tempo, Slamet mengatakan alat sadap yang didatangkan Polri pada 2017 dan 2018 merupakan intrusion system.

    Slamet juga membantah bahwa Polri menggunakan spyware atau malware, menyebut perangkat tersebut hanya digunakan oleh peretas atau hacker.

    Bagaimanapun, Diky Anandya dari ICW berkeras bahwa meskipun kepolisian sudah pernah membantah bahwa alat sadap yang mereka gunakan adalah Pegasus, ada kemiripan terkait dengan instrumen yang digunakan.

    Dia menegaskan bahwa permohonan keterbukaan informasi sudah sejalan dengan undang-undang, yaitu Pasal 11 Ayat 1 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta Pasal 15 Ayat 9 Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik.

    Perlukah polisi membuka informasi?

    Chairman Indonesia Cyber Security Forum, Ardi Sutedja, berpendapat bahwa Polri tidak punya kewajiban untuk menjelaskan tentang alat sadap yang mereka gunakan karena itu dapat mengganggu proses penyidikan yang mungkin sedang berjalan.

    Namun, dia yakin bahwa polisi hanya menggunakan alat sadap pada pelaku kejahatan, dan mereka tidak melakukannya tanpa perintah hukum.

    “Harus ada surat perintahnya dari pengadilan atau kejaksaan bahwa diizinkan melakukan itu. Dan mereka pegang sekali etika itu setahu saya,” kata Ardi.

    Ardi menjelaskan pembuat alat sadap sekelas Pegasus biasanya hanya mau menjual secara government-to-government dan hanya untuk kepentingan penegakan hukum.

    Tapi celakanya, sekarang banyak broker yang menawarkan teknologi penyadapan seperti ini ke berbagai tempat di dunia — dan teknologi itu tidak hanya ditawarkan pada penegak hukum.

    “Semua punya, semua pernah. Ada yang enggak bermerek, ada yang bermerek ya, bahkan ada juga yang buatan peretas itu dijual ditawarkan ke kita. Saya enggak tahu siapa lagi yang pakai, tapi di luar aparat penegak hukum alat-alat ini memang ada. Ada dijual bebas,” ujarnya.

    Spesialis keamanan siber dan pendiri Vaksincom, Alfons Tanujaya, menjelaskan tidak semua alat sadap yang menggunakan metode zero-click adalah Pegasus.

    Pada prinsipnya, kata Alfons, zero-click adalah aplikasi untuk mengeksploitasi celah keamanan pada suatu perangkat lunak.

    Setiap software memiliki celah keamanan. Ketika celah itu ketahuan, pembuatnya biasanya membuat perbaikan yang disebut patch untuk menambal celah itu. Namun bila belum ketahuan, celah itu bisa dieksploitasi.

    Menurut Alfons, istilah zero-click tidak hanya mengacu pada cara pemasangan spyware di mana sasaran tidak perlu mengeklik, tapi juga zero-day vulnerability yaitu hari nol ketika ditemukan celah keamanan dan belum ada tambalannya.

    “Contohnya begini: ada perusahaan di Indonesia menemukan ada celah keamanan di WhatsApp dan banyak orang belum tahu. Nah dengan kode yang dia buat secara khusus WhatsApp siapapun bisa ditembus dengan program itu begitu, maka dia bisa buat software dan software itu namanya zero-click juga,” ujarnya.

    Maka dari itu, Alfons menegaskan bahwa kita tidak bisa berasumsi bahwa Polri menggunakan Pegasus hanya berdasarkan informasi pengadaan alat sadap zero-click.

    Senada dengan Ardi, Alfons merasa penegak hukum tidak perlu mengungkap secara detail alat sadap yang mereka gunakan serta siapa sasarannya. Namun seandainya ada penyalahgunaan, maka itu harus dibuktikan.

    “Yang merasa dipersekusi atau dieksploitasi itu harus mencari buktinya. Misalnya, ada handphone atau apa yang mencurigakan. mereka harus cepat-cepat diforensik. Nah berdasarkan bukti itu baru kita bisa ngomong (bahwa kita disadap),” ujarnya.

    Jika informasi itu tidak kunjung didapatkan, ICW akan mengajukan keberatan dan sengketa informasi kepada Komisi Informasi Pusat (KIP).

    “Ya kami tentu akan menggunakan mekanisme yang ada yaitu mengajukan keberatan. Bahkan jika ternyata juga masih belum mendapatkan respons ya bukan tidak mungkin kami bisa mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat,” ujarnya.(SUMBER: https://www.bbc.com/indonesia/articles/ce9lzn5p4v7o)

  • Waspadai Potensi Korupsi di Tengah Meningkatnya Anggaran Sektor Kesehatan

    Waspadai Potensi Korupsi di Tengah Meningkatnya Anggaran Sektor Kesehatan

    ANGGARAN sektor kesehatan pada APBN 2024 kembali gemuk, bahkan lebih besar dibanding dari APBN 2023. Namun di sisi lain, potensi kerugian negara akibat praktik korupsi pada sektor ini juga menunjukkan tren meningkat. Supaya tidak kecolongan, KPK wajib serius mengawasi!

    Disebut gemuk, karena anggaran sektor kesehatan masuk dalam kelompok empat besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbesar di Indonesia.

    Diketahui, pada 2023 Kementerian Kesehatan mendapat jatah APBN sebanyak Rp85,5 triliun. Lalu, pemerintah menaikkannya sebesar 5,6 persen dari APBN sehingga mendorong kenaikkan anggaran sektor ini sebesar 8,1 persen dibanding 2023.

    Kenaikkan tersebut tentu saja menggembirakan karena dapat berdampak positif bagi peningkatan pemenuhan layanan kesehatan yang lebih berkualiatas, adil dan merata.

    Namun harapan itu cuma bisa terwujud bila pengawasan pada sektor ini berjalan sempurna dalam artian mampu menutup jalan terjadinya penyelewengan anggaran oleh oknum penyelenggara negara dan pihak swasta.

    Tentu saja KPK sudah sangat paham bahwa potensi korupsi di sektor kesehatan di Indonesia masuk dalam katagori ‘luar biasa’ di mana telah diperparah pula oleh pasang surutnya jumlah penindakan kasus korupsi oleh  Aparat Penegak Hukum termasuk KPK  di tengah bertambahnya kerugian negara secara konsisten dari tahun ke tahun.

    Pada Oktober 2022 lalu, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengingatkan bahwa KPK telah menemukan 210 kasus korupsi di sektor kesehatan yang menimbulkan kerugian Rp821 miliar. “Kerugian Rp821,21 miliar dan melibatkan 176 pelaku,” ujar Nawawi, Kamis (6/10/2022).

    Nawawi mengungkapkan, kasus korupsi di sektor kesehatan menjadi perhatian khusus KPK. Sebab, anggaran pemerintah yang dikucurkan untuk sektor ini begitu besar. Setiap tahun, kata Nawawi, anggaran kesehatan yang dikucurkan ke pemerintah daerah terus meningkat.  Pada tahun 2022 misalnya, anggaran kesehatan di seluruh kabupaten maupun kota di Indonesia mencapai Rp180 triliun.

    “KPK memiliki perhatian khusus terkait korupsi di sektor kesehatan, karena besarnya anggaran kesehatan dan banyaknya perkara tindak pidana korupsi di sektor ini,” ujar dia.

    Perhatian khusus KPK terhadap pengelolaan anggaran sektor kesehatan dipastikan berlanjut  tahun ini. Memahami hal itu, maka KPK mengajak pengusaha di sektor kesehatan berdiskusi melalui Dialog Pimpinan KPK dengan Asosiasi Usaha dalam Mendorong Pembangunan Integritas pada Dunia Usaha, di Ruang Rapat Nusantara, Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (24/8/2023).

    Diskusi itu dihadiri oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

    Di forum itu Ghufron mengajak para pengusaha di sektor kesehatan untuk lebih terbuka dan berani mengungkap penyelewengan angggaran negara.

    “Sejatinya, korupsi itu ada dua pihak, pihak pemberi dan penerima. Namun, kami selalu dianggap hanya menekan sektor penerima. Sehingga di pertemuan ini, kami mengajak para pengusaha di sektor kesehatan untuk lebih terbuka mengenai masalah di lapangan,” kata Nurul Ghufron.

    Berdasarkan catatan KPK sejak 2004-2022, ada 373 kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan pihak swasta, sebagian besar berasal dari sektor kesehatan.

    Pihak swasta dimaksud berasal dari industri farmasi dan industri alat kesehatan yang intens berhubungan dengan penyelenggara negara.

    Mark-Up 500 hingga 5000%

    Dari dari kutup inilah kerawanan korupsi itu terjadi, melahirkan kasus suap dan gratifikasi. Bahkan, Alexander Marwata terang-terangan menyebutkan, khusus untuk praktik mark-up harga telah mencapai 500 hingga 5000 persen dari harga asli.

    Untuk menghentikan kegilaan itu, Alexander Marwata meminta industri dan gabungan alat kesehatan, jangan hanya jadi pendukung saja, tapi juga ikut menjadi vendor. “Masukan saja ke e-katalog, jadi enggak perlu pake lelang. Harganya setidaknya sama dengan harga pasar,” kata Alex.

    Alex juga mengingatkan agar pengusaha bisa turut serta melaporkan ke KPK, jika terjadi indikasi tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan barang yang terjadi di lapangan.

    Alex menegaskan, “Kalau diperas atau dipaksa memberikan sesuatu, tentu ada pasal lain. Sehingga kita senang sekali jika ada laporan seperti itu, bapak-ibu juga akan kami lindungi. Jangan sampai kesalahan penerima dilimpahkan pada pengusaha.”

    Kerugian Negara Konsisten Meningkat

    Soal pelik yang masih terus membelit adalah peningkatan anggaran APBN selalu disertai meningkatnya potensi korupsi yang menyebabkan kerugian negara.

    Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat, penindakan kasus korupsi oleh Aparat Penegak Hukum (APH) pada semester I 2022 mencapai 252 kasus. Padahal, target penyelesaian kasusnya mencapai 1.387 kasus pada semester I 2022.

    Jika melihat tren semesternya tiap tahun, penegakan kasus korupsi sempat menurun pada semester I 2019. Sisanya, penanganannya meningkat. Namun, penindakan ini juga harus dilihat dari banyaknya target kasus dan nilai kerugian yang secara konsisten meningkat setiap tahun.

    “Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan anggaran yang dilakukan pemerintah setiap tahun semakin buruk dari segi pengawasan,” tulis ICW dalam laporannya.

    Pada semester I 2018, kasus yang ditangani mencapai 139 kasus dengan 587 tersangka. Pada semester I 2019, jumlah kasusnya turun menjadi 122 kasus dengan 351 tersangka.

    Semester I 2020, jumlah kasus mencapai 169 kasus dengan jumlah tersangka 250 orang. Di semester I 2021, jumah kasus meningkat menjadi 209 kasus yang ditangani dengan 482 tersangka. Terakhir, semester I 2022, jumlah kasus yang ditangani sebanyak 252 kasus dengan 612 tersangka.

    ICW menilai, dalam penindakan kasus hukum masih ada kebijakan yang tidak pro terhadap agenda antikorupsi, tidak menjalankan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, maraknya konflik kepentingan, politik transaksional, hingga penggunaan instrumen hukum sebagai alat untuk merepresi suara kritis.

    ICW juga menyebut, dalam tiga tahun terakhir terdapat sejumlah modus korupsi yang dominan dan baru, di antaranya modus penyalahgunaan anggaran, proyek fiktif, penggelapan, mark up, suap, hingga manipulasi saham atau memanfaatkan pasar modal. Sementara dari sisi sektor, beberapa sektor yang rawan dikorupsi hampir sama.

    “Sektor yang menjadi pemenuhan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, pangan berpotensi akan terus digerogoti,” kata ICW.

    ICW menambahkan satu sektor yang juga tak kalah rawan dan patut mendapat sorotan, yakni sektor dana desa. Menurutnya, sektor ini yang paling banyak dikorupsi seiring dengan peningkatan anggarannya.

    Untuk 2023, ICW memprediksikan modus korupsi dengan memanipulasi saham atau pemanfaatan pasar modal akan marak.

    Ini sejalan dengan temuan PPATK pada 2022 lalu yang menyebut terdapat 1.215 laporan transaksi keuangan mencurigakan dengan nilai Rp183,8 triliun. Dari total transaksi tersebut, terdapat lebih dari Rp81,3 triliun yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

    “Hasil analisis PPATK juga menemukan, modus yang paling jamak digunakan untuk menampung dana yang diduga hasil korupsi, yaitu mulai penukaran valuta asing, instrumen pasar modal, hingga pembukaan polis asuransi,” kata ICW.(IWA/dbs)

     

     

     

  • ICW Pertanyakan Komitmen Pemerintahan Dalam Penanganan Kasus Novel Baswedan

    ICW Pertanyakan Komitmen Pemerintahan Dalam Penanganan Kasus Novel Baswedan

    Bandarlampung (SL) – Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mempertanyakan komitmen pemerintah yang belum menunjukkan tindakan ini dalam penyelesaian kasus.

    Ia mengatakan pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata dalam penyelesaian kasus Novel Baswedan.
    “Ada jarak yang besar antara komitmen lisan dengan tindakan konkret,”ujar Donal, dilansir Tempo.

    Hal itu, kata dia, dapat ditunjukkan dengan pembentukan tim khusus untuk menyelidiki kasus yang sudah berjalan sekitar satu setengah tahun ini. “Harusnya (pemerintah) buat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Itu satu bukti.”

    Penyiraman air keras yang dialami Novel Baswedan sudah tepat 500 hari berlalu. Wajah Novel disiram dua orang tak dikenal dengan air keras di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada 11 April 2017. Penyerangan itu terjadi seusai Novel salat subuh di Masjid Al Ihsan tak jauh dari rumahnya. Akibatnya, mata kiri Novel hampir buta dan harus menjalankan sejumlah operasi di Singapura.

    Polisi menangkap sejumlah terduga pelaku dalam proses penyelidikan kasus ini. Namun melepaskan terduga pelaku itu dengan alasan tidak terbukti menyerang. Polisi juga sudah dua kali merilis sketsa wajah terduga pelaku. Meski demikian, lebih dari setahun peristiwa itu berlalu, polisi belum menemukan pelaku yang sebenarnya.

    Donal meminta Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja polisi karena tak ada kemajuan penanganan perkara ini hingga hari ke500. “Harusnya ada evaluasi sebab banyak kasus lain yg lebih rumit ditangani polri tapi bisa terungkap,” ucapnya.

    Donal berpendapat ada kejanggalan dalam pengusutan kasus ini. Sebab, kata dia, sampai sekarang belum ada satu pun yang jadi tersangka. “Saya menduga bukan bukti yang rumit, tapi keterlibatan pelaku di balik ini yang lebih rumit.”

    Wadah Pegawai KPK menggelar diskusi memperingati 500 hari teror penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Peringatan digelar untuk mendorong Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyelesaikan kasus-kasus penyerangan dan memastikan perlindungan terhadap para penggiat keadilan seperti Novel Baswedan.

    Presiden diminta memberikan perhatian penuh terhadap pengusutan kasus penyerangan kepada penggiat keadilan di Indonesia. “Dan memastikan pengusutan kasus dilaksanakan dengan tepat dan tuntas.” Kata Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo menyampaikannya dalam keterangan tertulis. (surabayapostkota)

  • ICW: Parpol Belum Serius Berantas Korupsi

    ICW: Parpol Belum Serius Berantas Korupsi

    Perilaku praktik korupsi massal anggota legislatif bukan fenomena yang baru. Korupsi berjemaah menunjukkan belum ada pembenahan serius partai politik untuk mencegah korupsi di parlemen.

    “Kalau kita melihat korupsi massal di DPRD ini polanya sama saja di berbagai daerah, ada keterlibatan dari kepala daerah, ada keterlibatan birokrasi dan kemudian dari DPRD,” kata peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina saat diskusi “Mengapa DPRD Korupsi Beramai-ramai?” di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (15/9).

    Almas berpandangan, untuk mencegah atau memberantas korupsi di tingkat legislatif tidak cukup dengan penindakan aparat hukum itu sendiri. “Dibutuhkan ada banyak pembenahan di situ, salah satunya pembenahan sistem yang paling penting aktor masalah itu ada di partai politik itu sendiri,” ujarnya.

    Parpol, sambung Almas, harus memiliki peran untuk menghadirkan anggota legislatif dari proses awal untuk mencegah kasus-kasus korupsi yang melibatkan legislatif dan kepala daerah terulang lagi.

    “Monitoring dan evaluasi anggota legislatif kader dari parpol itu sendiri,” ujar Almas.

    Menurutnya, pembenahan sistem partai politik untuk lebih transparan dan akubtabel penting. Namun, ada lagi yang lebih penting yaitu sikap dari politisi itu sendiri untuk mengubah dirinya dengan tidak mengedepankan sifat-sifat transaksional dan pragmatisme.

    “Bagaimana partai politik, politisi untuk memenangkan. Pemilu sebenarnya yang membuat mahal adalah cara yang tidak perlu dilakukan untuk pemilu itu sendiri misalnya di pemilu kepala daerah yang mahal itu mahar politik,” imbuhnya.

    “Mahar mahal politik itu yang mahal puluhan sampai ratusan miliar, kemudian juga politik uang jual beli suara,” pungkas Almas menambahkan.

  • Politik Uang Dalam Pilkada Adalah Aib Yang Merusak Demokrasi

    Politik Uang Dalam Pilkada Adalah Aib Yang Merusak Demokrasi

    ilustrasi aksi tolak politik uang

    Bogor (SL)-Politik uang dan isu Sara diperkirakan masih akan mewarnai kontestasi pemilihan umum 2019. Untuk itu masyarakat harus sadar bahwa politik uang bukanlah sebuah berkah dalam perhelatan Pemilu, tapi merupakan aib. Dan akan menghasilkan pemimpin yang tidak baik dari gaya transaksional.

    Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan, mengatakan sangat sulit menghapus praktik politik uang ketika cara berpikir politisi masih transaksional. Idealnya, pemilu merupakan mekanisme pemilihan oleh publik untuk memilih pejabat publik dengan melihat aspek visi dan misi program, untuk menjawab persoalan-persoalan publik.

    “Tetapi, akibat politik uang, relasi keterpilihan bukan didasari atas ideal. Tetapi, bergeser ke arah nilai transaksional dalam pemilu/pilkada,” katanya dalam diskusi bertema ‘Kewenangan Baru Bawaslu dan Tantangan Pemilu Serentak’’ di Bogor, Jawa Barat, Jumat (13/10/2017).

    Abdullah mengajak masyarakat untuk sadar bahwa politik uang bukanlah sebuah berkah dalam perhelatan pemilu. Jangan sampai, kata dia, hanya gara-gara uang Rp 25.000, Rp 50.000 atau Rp 100.000, masyarakat tidak memperoleh pemimpin yang baik. “Politik uang bukan berkah dalam pemilu, tetapi aib dalam pemilu,” kata dia.

    Meskipun sekarang ini praktik politik uang bermetamorfosa ke dalam modus yang beragam, namun menurut Abdullah sama saja. Intinya, bertujuan untuk memengaruhi pilihan masyarakat. Masyarakat juga harus sadar modus-modus baru politik uang. Dari yang mulanya hanya konvensional, atau langsung memberikan uang, berubah menjadi pemberian barang atau jasa.

    “Modus untuk menghindari dikatakan politik uang, misalnya dengan kupon Rp5 ribu bisa membeli sembako seharga Rp30 ribu. Masyarakat juga tidak bakal mau dikatakan menerima politik uang. Karena mereka merasa membeli,” kata Abdullah yang mengingatkan masyarakat untuk mawas terhadap kandidat-kandidat yang berprinsip “menanam cepat, memanen cepat”.

    Idealnya, kata dia, apabila kelembagaannya partai politik berjalan dengan baik maka seharusnya muncul figur-figur yang betul-betul diinginkan oleh publik. Identitas parpol pun menjadi kuat di masyarakat. “Parpol jangan hadir saat mau pemilu saja, tetapi melaksanakan kerja-kerja politik yang kontinu. Sehingga tidak terjadi stigma: ingin nanam cepat, manen cepat,” ujar Abdullah. (tri/nt/jun/kom)

  • ICW Rilis 110 Kasus Penyelewengan Dana Desa

    ICW Rilis 110 Kasus Penyelewengan Dana Desa

    Jakarta  (SL) – Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis ada 110 kasus penyelewengan dana desa dan alokasi dana desa sepanjang 2016-10 Agustus 2017. Dari 110 kasus itu, pelakunya rata-rata dilakukan kepala desa alias Kades.

    “Dari 139 aktor, 107 di antaranya merupakan kepala desa,” kata peneliti ICW, Egi Primayogha, di kantornya, Kalibata, Jumat (11/8/2017).

    Selain itu, pelaku korupsi lainnya adalah 30 perangkat desa dan istri kepala desa sebanyak 2 orang. Egi menyebut dari 110 kasus tersebut, jumlah kerugian negaranya mencapai Rp 30 miliar. Data tersebut ia akui berdasarkan berbagai sumber media hingga data aparat penegak hukum.

    Adapun sejumlah bentuk korupsi yang dilakukan pemerintah desa, yaitu penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, mark up anggaran, laporan fiktif, pemotongan anggaran, dan suap.

    “Dari sejumlah bentuk korupsi itu, ada 5 titik rawan korupsi dalam proses pengelolaan dana desa yaitu dari proses perencanaan, proses pertanggungjawaban, monitoringdan evaluasi, pelaksanaan, dan pengadaan barang dan jasa dalam hal penyaluran dan pengelolaan dana desa,” kata Kurniawan.

    Adapun sejumlah modus korupsi yang dipantau ICW, antara lain membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar, mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain.

    “Modus lainnya meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan, lalu pemungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten,” ujarnya

    Egi menambahkan, modus lainnya itu adalah penggelembungan atau mark uppembayaran honor perangkat desa dan mark up pembayaran alat tulis kantor (ATK). Serta memungut ajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak.

    Contoh lainnya yaitu pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun diperuntukkan secara pribadi, pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa, serta melakukan kongkalikong proyek yang didanai dana desa.

    “Melakukan permainan kongkalikong dalam proyek yang didanai dana desa, dan membuat kegiatan proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa,” ujarnya. (sumber:detik.com)