Tag: IJTI

  • Preman Ancam Jurnalis Divonis 1 Tahun Penjara, Jadi Contoh Penegakan UU Pers

    Preman Ancam Jurnalis Divonis 1 Tahun Penjara, Jadi Contoh Penegakan UU Pers

    sinarlampung.co – Komite Keselamatan Jurnalis (AJI, PFI & IJTI) Kota Medan menegaskan kasus preman yang mengancam jurnalis bisa dijadikan contoh penanganan kasus pelanggaran UU Pers ke depan.

    Kasus tersebut dengan terdakwa Jai Sanker alias Rakes yang telah dijatuhi hukuman 1 tahun penjara oleh hakim PN Medan.

    “Ini membuktikan siapa yang merintangi, mengancam, serta melakukan kekerasan terhadap kerja jurnalis akan mendapat konsekuensi hukum,” kata Ketua AJI Medan, Cristison Sondang Pane, melansir detiksumut, minggu (16 Juli 2023).

    Baca Juga: Erick Thohir Laporkan Podcast Tempodotco Ke Dewan Pers

    Dengan adanya contoh tersebut, Tison berharap tindakan serupa tidak terulang lagi. Ia meminta agar semua pihak dapat menghormati kerja jurnalis di lapangan. Ia mengimbau agar seluruh jurnalis turut pula menjalankan tugas secara profesional.

    “Sesuai dengan kode etik dan UU Pers. Ini jadi pelajaran pula, bila jurnalis mendapatkan kasus serupa agar segera melapor ke polisi. Sebab, jurnalis untuk memenuhi kepentingan publik,” ujarnya.

    Sementara, Sekretaris PFI Medan, Arifin Al Alamudi menambahkan kasus Rakes merupakan peringatan bagi pihak mana pun agar tidak memandang sepele terhadap kerja jurnalis.

    “Bagi rekan jurnalis harus ingat pula di lapangan sebaiknya membawa kartu identitas sebagai penanda,” ucapnya.

    Lagi Viral: Kabar Habib Bahar Nikahi Gadis Ternyata Hoax

    Ketua Pengda IJTI Sumut, Tuti Alawiyah Lubis menambahkan aparat penegak hukum juga harus memahami implementasi Pasal 18 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.

    Sehingga, ketika terjadi kasus serupa kepolisian dimana pun dapat memproses laporan yang dilayangkan korban.

    Terpisah, Wakil Direktur LBH Medan, Alinafiah Matondang mengatakan jurnalis merupakan pilar demokrasi. Menurutnya, jika jurnalis dihalangi maka masyarakat terhalang mendapatkan hak informasi.

    “Menghalangi kerja jurnalis sama artinya menghalangi pemenuhan informasi kepada publik,” sebutnya.

    Ia menegaskan, bahwa informasi yang disampaikan jurnalis, seyogyanya menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengontrol beragam kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.

    Sebelumnya diberitakan, majelis hakim PN Medan memvonis terdakwa Rakes dengan hukuman 1 tahun penjara. Vonis itu diketahui lebih berat dari tuntutan jaksa.

    Ketua Majelis Hakim As’ad Rahim mengatakan terdakwa secara sah melanggar Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam perkara ini, Rakes didakwa karena menghalangi kerja jurnalistik dengan mengancam wartawan di lapangan.

    Pertama, mengadili menyatakan terdakwa Jai Sanker terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja menghalangi peliputan pers sebagaimana dakwaan ke-1. Dua menjatuhkan terdakwa pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 tahun,” kata Hakim As’ad, Selasa, (11/7/2023) lalu.

    Setelah membacakan putusan, hakim menanyakan tanggapan terkait putusan itu. Penasihat hukum dan jaksa sama-sama mengatakan pikir-pikir.

    Untuk diketahui, vonis terhadap terdakwa lebih berat dari tuntutan JPU. Jaksa Septian Napitupulu menilai perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa telah melanggar Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

    Sehingga jaksa Septian meminta kepada majelis hakim untuk menjatuhkan pidana selama 6 bulan penjara.

    “Meminta kepada majelis hakim yang mengadili dan menangani perkara ini agar menjatuhkan hukuman kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 6 bulan,” kata jaksa Septian di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (27/6). (Red)

  • Teguran Hapus Video Gubernur Lampung ke Wartawan Dinilai Ciderai Kebebasan Pers 

    Teguran Hapus Video Gubernur Lampung ke Wartawan Dinilai Ciderai Kebebasan Pers 

    Bandar Lampung (SL)-Tindakan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi yang menegur dan meminta wartawan KompasTV menghapus video liputan merupakan bentuk intervensi sekaligus mencederai kebebasan pers.

    Intervensi itu dilakukan saat wartawan KompasTV merekam Arinal memarahi petugas haji dalam acara pengarahan penyelenggaraan haji, Senin 15 Mei 2023. “Tindakan meminta penghapusan rekaman jurnalis dapat berdampak negatif pada kebebasan pers dan kredibilitas informasi yang disampaikan,” kata Ketua AJI Bandar Lampung Dian Wahyu Kusuma, melalui rilis resmi, Selasa 16 Mei 2023.

    AJI Bandar Lampung menegaskan, kerja jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Pers. Sehingga sudah sepatutnya pejabat tidak alergi atau risih dengan jurnalis. “Kami mendorong untuk selalu mempertahankan kebebasan pers dan menyadari pentingnya peran jurnalis dalam menyampaikan informasi,” kata Dian.

    Menurut Dian, intimidasi masih terjadi pada jurnalis karena tak semua pelaku yang terlibat dalam intimidasi tersebut menghargai dan menghormati Undang-Undang Pers.

    Sementara itu di lain pihak, Kepala Bidang (Kabid) Advokasi dan Hukum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengurus Daerah Lampung Rendy Mahardika, menuturkan, jurnalis TV memiliki peran penting dalam memberikan informasi yang akurat, terkini, dan terpercaya kepada masyarakat.

    Dalam era digital seperti sekarang, jurnalis TV bertanggung jawab memberikan informasi melalui platform media sosial secara objektif tanpa ada pihak yang dirugikan dan tetap menghormati hak asasi manusia. “Dengan menyajikan fakta dan data yang akurat, jurnalis TV dapat membantu masyarakat membuat keputusan yang cerdas dan membawa perubahan positif dalam kehidupan sehari-hari,” kata Rendy.

    Selain itu, beberapa jurnalis juga memiliki risiko yang lebih tinggi karena meliput isu-isu sensitif atau kontroversial yang melibatkan kepentingan berbagai pihak, termasuk kepentingan korporasi atau pemerintah. “Padahal penting bagi pemerintah dan publik untuk terus memperjuangkan dan menjaga kebebasan pers dan hak jurnalis untuk melaksanakan tugasnya secara aman dan terlindungi,” kata Rendy.

    Diberitakan sebelumnya, dalam audiensi dengan tim KG Media di ruang kerjanya pada Senin siang, Arinal mengakui sempat menegur wartawan yang merekam dirinya.

    Saat itu, kata Arinal, dirinya sedang memarahi beberapa orang petugas haji yang hanya mengobrol sendiri di saat pidato sambutannya. “Saya tegur, mereka (petugas haji) ini diberangkatkan bukan sekadar naik haji, tapi ada tanggung jawab, ada 300 lansia yang berangkat haji dari Lampung,” kata Arinal.

    Sementara itu, tegurannya kepada wartawan niatnya hanya mengingatkan agar jangan diviralkan lagi. Arinal juga menyebut teguran itu hanya sekadar guyon, lantaran dirinya beberapa kali viral di media sosial. “Saya tegur, jangan sampai nanti viral lagi,” kata Arinal. (Rls/Red)

  • Pernyataan Sikap AJI dan IJTI Usulan Revisi HPN Perlu Disikapi Proporsional

    Pernyataan Sikap AJI dan IJTI Usulan Revisi HPN Perlu Disikapi Proporsional

    Jakarta (SL) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengajukan usulan perubahan tanggal Hari Pers Nasional (HPN) yang selama ini diperingati setiap 9 Februari. Usulan yang disampaikan pada Maret 2018 itu direspons Dewan Pers dengan menggelar pertemuan terbatas pada Rabu, 18 April 2018, di lantai 7 Gedung Dewan Pers di Jl Kebonsirih Jakarta.

    Pertemuan itu dihadiri anggota dan mantan anggota Dewan Pers serta konstituen Dewan Pers. Antara lain, wakil dari AJI, IJTI, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Pers (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Dalam pertemuan sekitar 3 jam itu wakil dari AJI dan IJTI menyampaikan apa dasar pemikiran munculnya usulan revisi tanggal pelaksanaan HPN dan dituliskan secara lengkap dalam bentuk kajian sejarah.

    Wakil dari konstituen Dewan Pers menyampaikan pandangannya terhadap usulan AJI dan IJTI tersebut. Ada sejumlah pandangan atas usulan itu. Seperti disampaikan Dewan Pers, pertemuan itu baru sebatas mendengarkan masukan dari konstituen sehingga belum ada keputusan atas usulan AJI dan IJTI itu.

    Menjelang pembahasan ini, soal revisi HPN ini sudah menjadi perdebatan hangat di komunitas media. PWI dari sejumlah daerah sudah mengeluarkan pernyataan, yang isinya antara lain: mempertanyakan sikap Dewan Pers yang berencana merevisi HPN; mendesak agar PWI mensomasi Dewan Pers dan mengganti ketuanya karena memfasilitasi pertemuan itu; mendesak PWI pusat menarik wakilnya dari Dewan Pers; dan menyatakan HPN tanggal 9 Februari adalah harga mati.

    Melihat dinamika yang berkembang atas usulan tersebut, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

    Pertama, meminta semua pihak untuk melihat soal ini secara bijak dan obyektif. Apa yang disampaikan AJI dan IJTI adalah upaya untuk menjawab aspirasi dari anggota AJI dan IJTI yang menghendaki agar ada upaya penyelesaian dari keengganan kedua organisasi ini untuk terlibat dalam HPN. Penyelesaian soal ini dilakukan melalui cara yang prosedural, yaitu meminta agar dibahas di komunitas pers dengan difasilitasi Dewan Pers. Menyelesaikan masalah melalui jalan musyawarah dan dialog adalah cara demokratis dan bermartabat untuk menyelesaikan masalah, termasuk soal HPN ini.

    AJI dan IJTI memakai cara yang prosedural untuk menyelesaikan masalah ini dan belum memakai cara legal, yaitu mencari penyelesaian kasus ini dengan mempersoalkan dasar hukum HPN ke Mahkamah Agung, misalnya. Cara itu tak kami tempuh karena kami menganggap bahwa kita memiliki Dewan Pers, yang menjadi tempat berhimpun konstituen Dewan Pers. HPN itu ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985, yang dasar hukumnya memakai Undang Undang No 21 tahun 1982. Undang-undang No 21 tahun 1982 ini sudah tidak berlaku lagi setelah lahirnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

    Kedua, meminta organisasi wartawan bersikap proporsional dan tidak emosional melihat perkembangan ini. Sikap mempertanyakan Dewan pers adalah bentuk ketidaktahuan atas atas apa yang terjadi selama ini. Dalam soal ini sikap Dewan Pers sudah benar dan tepat dengan menggelar pertemuan soal itu karena memang ada aspirasi dari konstituennhya yang meminta, yaitu AJI dan IJTI. Jadi, gugatan terhadap Dewan Pers jelas sesuatu yang berlebihan, emosional, dan mendasarkan pada kemarahan yang tidak jelas.

    Ketiga, kami kembali menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh AJI dan IJTI ini lebih sebagai upaya meminta komunitas pers memperbincangkan kembali soal penetapan HPN. Kami tak punya kepentingan dengan hari lahir organisasi wartawan PWI yang diperingati setiap 9 Februari. Kami hanya minta ada peninjauan ulang untuk peringatan HPN yang juga memakai tanggal 9 Februari. Sebab, pemakaian tanggal yang sama untuk dua peringatan (hari lahir PWI dan HPN) menimbulkan kesan bahwa itu hanya hari peringatan untuk satu organisasi wartawan dan bukan hari lahir yang patut diperingati oleh komuitas pers Indonesia. Tanpa ada perubahan signifikan, salah satunya berupa tanggal, akan sulit mengubah kultur pelaksanaan HPN secara signifikan.

    Keempat, dalam pertemuan itu wakil dari PWI mempertanyakan apakah benar anggota AJI dan IJTI adalah wartawan. AJI dan IJTI juga menjawab dengan menyatakan, apakah benar anggota PWI semuanya wartawan. Tapi kami sepakat bahwa ini harus menjadi perhatian Dewan Pers. Oleh karena itu kami setuju Dewan Pers melakukan penertiban kepada anggota konstituennya. Salah satu caranya adalah dengan mengecek apakah anggota organisasi wartawan itu memang jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik atau bukan? Atau hanya orang yang punya kartu pers dan mengaku sebagai wartawan tapi pekerjaannya hanya mencari uang dari nara sumber?

    Kami mengusulkan agar Dewan Pers membuka pengaduan soal ini. Misalnya, minta publik memberi laporan atas praktik-praktik seperti ini di tengah masyarakat. Sebab, sudah umum terdengar bahwa ada orang yang mengaku punya kartu pers atau kartu organisasi wartawan meski sebenarnya orang itu tak berhak memilikinya karena dia sebenarnya pegawai negeri atau lainnya, yang intinya sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kerja jurnalistik.

    Kelima, kami menghormati upaya yang dilakukan Dewan Pers dengan menyelenggarakn pertemuan untuk membahas soal itu. Seperti yang disampaikan Dewan Pers, pertemuan itu untuk mendengarkan apa pandangan dari komunitas pers atas usulan AJI dan IJTI yang minta perubahan tanggal HPN. Seusai pertemuan, Dewan Pers menyatakan akan merangkum usulan tersebut dan akan membahasnya di internal Dewan Pers. AJI dan IJTI, sebagai pengusul penggantian HPN, akan menyatakan sikap setelah ada hasil resmi dari Dewan pers atas usulan tersebut.

    Jakarta, 19 April 2018

    Ketua Umum AJI, Abdul Manan
    Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana

  • Polemik Tanggal HPN Momentum 9 Februari Tak Dapat Tergantikan

    Polemik Tanggal HPN Momentum 9 Februari Tak Dapat Tergantikan

    Polemik tanggal 9 Februari menjadi Hari Pers Nasional (HPN) terus muncul tiap tahunnya oleh AJI dan kemudian diikuti IJTI. Penolakan mereka dilatarbelakangi oleh ‘dendam’ masa lalu, baik terhadap orde baru maupun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sehingga menganggap bahwa tanggal 9 Februari 1946, merupakan hari kelahiran organisasi PWI dan penetapannya pun dilakukan pada masa orde baru.

    Padahal sebetulnya, jika melihat sejarah, seperti kutipan berita Harian Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta yang terbit sejak 27 September 1945, dan fakta lainnya, tanggal tersebut merupakan momentum bertemunya sejumlah perhimpunan wartawan, perusahaan pers waktu itu, hingga pemerintah RI yang baru terbentuk, melalui Kongres Wartawan Indonesia di Kota Solo. Kongres berlangsung selama 2 hari, 9-10 Februari 1946.

    Kongres dilakukan dengan semangat mempersatukan para pelaku pers, untuk berperan besar dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Apalagi saat itu, Belanda sedang gencar ingin merebut kembali wilayah Indonesia melalui agresi militernya. Pers pada waktu itu menjadi tonggak penting dalam memberikan informasi mengenai perjuangan, perang dan nasionalisme kepada masyarakat. Pers pula yang saat itu memberitakan kondisi terbaru mengenai kemenangan perang para pejuang melawan Belanda.

    Nuansa kejuangan pun sangat terlihat dalam kongres tersebut. Terlebih menghadirkan tokoh pergerakan nasional yang cukup keras waktu, yakni Tan Malaka. Tokoh ini kemudian oleh Bung Karno ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Tan seperti dikutip KR, menyampaikan kondisi peperangan di Asia dan semangat untuk menghadapi peperangan khususnya melawan penjajahan kembali.

    Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan dalam kongres tersebut menyebutkan penting peran wartawan untuk menghadapi bahaya penjajahan kembali oleh Belanda. Ancaman penjajahan kembali akan mengganggu pembangunan negara yang baru saja merdeka.

    Untuk melawan penjajah tersebut, maka dibutuhkan persatuan, termasuk para wartawan yang waktu itu memang banyak terlibat dalam memberitakan perjuangan dan nasionalisme. Untuk itu kongres pun sepakat membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai wadah untuk mempersatukan semangat kejuangan insan pers dalam melawan penjajahan Belanda.

    Melihat peristiwa Kongres Wartawan Indonesia tersebut, sebetulnya tidak sebatas lahirnya organisasi PWI, tetapi harus dilihat bahwa tanggal 9 Februari merupakan momentum kesadaran bersama bersatunya insan pers dalam melawan penjajahan Belanda.

    Peristiwa yang menunjukkan semangat kejuangan juga dilakukan sebelumnya, seperti Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda tanggal 9 Oktober 1928 yang ditetapkan sebagai Hari Pemuda. Atau kemudian lahirnya organisasi Boedi Oetomo oleh dr Soetomo, Gunawan Mangoenkoesoemo dan Soeradji dand digagas oleh Wahidin Soedirohoesodo pada tanggal 20 Mei 1908 yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Tanggal 20 Mei tersebut ditetapkan sebagai Kebangkitan Nasional, meski sebetulnya tanggal 20 Mei merupakan kelahiran organisasi Boedi Oetomo.

    Jika kemudian ada upaya mencari tanggal HPN, termasuk gagasan tanggal yang disampaikan oleh AJI dan IJTI, tidak bisa mengalahkan momentum peristiwa Kongres Wartawan Indonesia yang begitu bermakna dan penting. Apalagi muncul ide memperingati dari meninggalnya tokoh pers, karena banyak sekali tokoh yang ada di Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan pers sehingga akan menimbulkan ketidakpuasan dari keluarga atau kelompok lain. Atau lahirnya UU Pers, yang tentu sangat berpeluang berganti atau direvisi.

    Jika kemudian mengabaikan peristiwa Kongres Wartawan Indonesia ini, sama saja mengesampingkan peran besar dari banyak pihak waktu itu, baik para tokoh pers, perusahaan pers, maupun perhimpunan wartawan yang bertujuan sangat mulia untuk bersatu melawan penjajahan.

    Melihat terus dimunculkannya wacana pergantian tanggal HPN, PWI Pusat perlu menyiapkan amunisi untuk melawannya dengan menggali sejarah peristiwa Kongres Wartawan Indonesia tersebut. Apalagi momentum peristiwa tersebut telah dimonumenkan oleh pemerintah dan menjadi museum di Solo.

    Selanjutnya dalam setiap perayaan HPN terus digelorakan semangat kejuangan untuk lebih mengingat peristiwa 9 Februari 1945. Kalau dulu semangat kejuangan melawan penjajahan, maka saat ini tetap semangat kejuangan dalam konteks kekinian. (Primaswolo Sudjono, Sekretaris Dewan Kehormatan Daerah PWI DIY)

  • Aksi Anti Kekerasan Terhadap Wartawan, Lampung Beri Rapor Merah Untuk Polisi

    Aksi Anti Kekerasan Terhadap Wartawan, Lampung Beri Rapor Merah Untuk Polisi

    PWI, AJI, IJTI, PFI, Lampung solideritas kasus Banyumas.

    Bandarlampung (SL)-Wartawan Lampung menggelar aksi solidaritas menyikapi kekerasan terhadap wartawan yang terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Unjuk rasa yang diikuti puluhan wartawan dari berbagai media itu itu digelar di Bunderan Tuguadipura, Bandarlampung, Jumat (13/10) sore.

    “Aparat kepolisan dan penegak hukum punya rapor merah terkait kekerasan terhadap jurnalis,” kata Ketua AJI Bandarlampung Adan Padli saat orasi.

    Wakil Ketua PWI Bidang Hubungan antar Lembaga Adolf Ayatullah juga mengecam insiden yang terjadi saat aparat membubarkan aksi demonstrasi di kantor bupati tersebut. “Kerja-kerja wartawan itu melaksanakan amanat undang-undang. Kekerasan terhadap wartawan mengancam kebebasan pers secara umum,” kata  Bung Dolop menyampaikan orasinya.

    Aksi diikuti oleh perwakilan Pewarta Foto Indonesia (PFI), Aliansi Jurnalis Independen (AJi), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Fortaline Lampung, YLBHI Bandarlampung, perwakilan pers mahasiswa dan perwakilan wartawan-wartawan dari Tulangbawang, Pesawaran, Waykanan, Tanggamus dan beberapa kabupaten lain di Lampung.

    Sedangkan perwakilan dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia ( IJTI) Aris Susanto mengecam secara tegas agar oknum Polisi Pamong Praja maupun oknum polisi yang terlibat penganiyayaan  terhadap insan pers di Banyumas Jawa Tengah.

    Ditambahkan Fadli Hamdan perwakilan Aji, korban kekerasan yang dilakukan oleh oknum Polisi dan Pol PP hingga kamera dirusak di dihapus jelas melanggar UU Pers. “Kepada Kapolda dan Kapolri agar menindak tegas oknum Polisi yang menciderai  beberapa wartawan yang sedang meliput peristiwa di Banyumas,” tegasnya.

    Dalam keterangan per ponsel, Ketua SMSi Lampung Donny Irawan menyatakan dukungannya atas aksi solidaritas wartawan itu. “Di Rapimnas Bangka kemarin juga dilakulan sesi khusus untuk mengecam insiden Banyumas,” ujar Donny yang baru saja mengikuti Rapimnas SMSI di Bangka-Belitung tersebut.

    Aksi diawali dengan melakukan jalan kaki dari Sekretariat PFI menuju Bunderan Gajah, kemudian korlap Aris Susanto yang juga Ketua IJTI Lampung memimpin massa menyanyikan lagu Indonesia Raya diikuti orasi masing-masing perwakilan.

    Aksi solidaritas wartawan Lampung sore itu ditutup dengan menyanyikan lagu Padamu Negeri dan doa untuk kawan-kawan wartawan di Banyumas yang menjadi korban. (Jun/rls)