Tag: Ilham Bintang

  • Dewan Kehoraman PWI Se INDONESIA Sepakat Independensi Wartawan Harga Mati

    Dewan Kehoraman PWI Se INDONESIA Sepakat Independensi Wartawan Harga Mati

    Jakarta (SL)-Dewan Kehormatan Provinsi Persatuan Wartawan Indonesia (DK PWI) seluruh Indonesia, secara bulat menekankan kembali independensi adalah harga mati bagi seorang wartawan dalam menjalankan profesinya. Karena menjadi amanah konstitusi dan semua peraturan perundang-undangan di bidang pers, kode etik jurnalistik, dan kode perilaku wartawan PWI, hal itu ditegaskan dalam rapat konsolidasi DK PWI, Senin 26 Oktober 2020.

    Para ketua DKP itu mendukung langkah tegas Dewan Kehormatan PWI Pusat yang baru-baru ini memberikan sanksi bagi wartawan yang bersikap partisan dalam kontestasi Pilkada 2020 di daerahnya. Seperti diketahui beberapa anggota pengurus dan bahkan Ketua PWI Provinsi ada yang terang terangan mendukung salah satu pasangan calon dalam pilkada tahun 2020 yang digelar di 270 daerah Provinsi, kota dan kabupaten.

    “Terhadap mereka yang melanggar dikenakan sanksi pemberhentian atau diminta mundur dari PWI,” kata Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang, dalam rapat konsolidasi via zoom meeting dipimpin Sekretaris Sasongko Tedjo. Hadir juga anggota DK PWI Pusat, Asro Kamal Rokan, dan Raja Pane.

    Selain menyempurnakan PD PRT PWI, Kode Etik Jurnalistik, Kongres PWI 28-30 September 2018 lalu di Solo juga mengesahkan pemberlakuan produk baru yaitu Kode Perilaku Wartawan PWI. Code of conduct itu melengkapi sikap profesional wartawan.

    DK PWI se Indonesia, menyepakati dalam Pilkada 2020 sudah seharusnya wartawan menjaga jarak yang sama dengan semua kontestan. Begitulah mestinya wartawan berperan, berfungsi sehingga eksistensinya punya kontribusi merawat dan mengembangkan demokrasi, mengawal bangsa dan negara mencapai cita-citanya.

    “Kontestasi pemimpin rakyat harus dijaga berjalan dengan sangat demokratis, supaya menghasilkan pemimpin amanah. Itu sebabnya Pilkada harus dijaga berlangsung jujur dan adil, tidak dikotori praktek money politics, “tambahnya.

    Ilham mengapresiasi sikap Dewan Kehormatan Provinsi yang dalam rapat konsolidasi tadi menunjukkan sikap proaktif mengawasi anggotanya mematuhi ketentuan organisasi, kode etik jurnalistik, kode perilaku wartawan. “Sebagai individu wartawan memang tetap memiliki hak politiknya. Silahkan salurkan itu di TPS. Namun, ketika menjalankan profesi maka ia diikat oleh kode etik profesi. Justru karena itu profesi ini tetap dihargai dan dipercaya sampai sekarang,” katanya.

    Ilham juga mengingatkan Dewan Kehormatan Pusat dan Provinsi adalah produk kongres dan konferensi di daerah, yang mempunyai kedudukan yang setara dengan pengurus PWI. Dalam posisi itu DK wajib membantu Pengurus Harian PWI membangun organisasi sesuai amanah yang diterimanya dari kongres dan konferensi.

    Harus mampu bertindak tegas menyingkirkan benalu – benalu yang hanya mencari keuntungan pribadi dari organisasi PWI. “ Hanya dengan begitu Anda semua dapat meninggalkan legacy, seperti legacy yang diwariskan pendahulu kita, wartawan -wartawan pendiri PWI yang hebat-hebat,” ujarnya. (Red)

  • DK PWI lham Bintang Ingatkan Pentingnya Kompetensi dan Penaatan Kode Etik Wartawan

    DK PWI lham Bintang Ingatkan Pentingnya Kompetensi dan Penaatan Kode Etik Wartawan

    Jakarta (SL)-Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang kembali mengingatkan pentingnya wartawan memiliki kompetensi dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik. Pasalnya, Ilham Bintang prihatn atas markanya kekeliruan pemberitaan dan pelanggaran kode etik jurnalistik selama ini.

    “Kami prihatin dengan banyaknya kekeliruan pemberitaan dan pelanggaran kode etik jurnalistik sehingga menurunkan kredibilitas media berbagai platform”, kata Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang seusai zoom meeting anggota Dewan Kehormatan PWI Kamis 25 Juni 2020  siang.

    Hadir dalam rapat tersebut Sekretaris DK PWI Sasongko Tedjo, anggota Suryopratomo, Asro Kamal Rokan, Rossiana Silalahi, Tri Agung Kristanto, Teguh Santosa dan Raja Pane. Dalam pertemuan secara daring tersebut disoroti kasus pemanggilan terhadap 27 pengelola media online dan media elektronik oleh Dewan Pers, terkait kekeliruan dalam melaporkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) Jakarta.

    Putusan PTUN Jakarta tertanggal 3 Juni terkait gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang memperlambat dan memutus hubungan internet di Papua dan Papua Barat pada masa krisis Papua periode Agustus – September 2019. Gugatan tersebut dikabulkan karena majelis hakim menyatakan tindakan pemerintah tersebut melanggar hukum.

    Sejumlah media siber segera mengunggah berita dengan menyebutkan PTUN perintahkan Jokowi minta maaf atas pemblokiran internet Papua. Padahal itu tidak ada dalam putusan majelis hakim. Ilham Bintang mengatakan itu bukan kategori hoaks namun kekeliruan pemberitaan akibat wartawan tidak melakukan cek dan ricek atau klarifikasi secara akurat. “Memang termasuk juga pelanggaran kode etik”, ujarnya.

    Walaupun Dewan Pers hanya sebatas memberikan sanksi teguran namun sanksi merosotnya kredibilitas terhadap media justru lebih berat dirasakan. Walaupun di sisi lain DK juga menyoroti sistem administrasi peradilan, khususnya PTUN Jakarta, yang tidak diperbarui sesuai perkembangan perkara itu. Juga lambatnya proses penyampaian salinan putusan kepada pihak pihak yang berperkara. Padahal, putusan dan proses administrasi di pengadilan itu menjadi sumber utama pemberitaan media.

    Selain masalah kurangnya kompetensi dan penaatan kode etik jurnalistik, Dewan Kehormatan PWI Pusat juga menyoroti berbagai persoalan yang dihadapi wartawan, khususnya cara kerja, model bisnis yang berkembang di dunia media saat ini dan kekuranglengkapan informasi yang diberikan narasumber.

    Kasus kekeliruan pemberitaan terkait kegiatan Presiden Jokowi di Bekasi yang diberitakan akan membuka kembali mal juga mendapatkan sorotan masyarakat. Kondisi ini diperburuk oleh perilaku baru wartawan yang bahkan menjadi model bisnis dari sejumlah media khususnya media siber.

    Model kloning atau juga disebut multi level quotes jelas merupakan praktek jurnalistik yang keliru dan mengabaikan persoalan siapa yang bertanggung jawab atas berita yang sudah menyebar luas. Model bisnis dengan kolaborasi juga memunculkan fenomena tidak sehat dalam konteks profesionalisme media dan wartawan.

    Di sisi lain saat ini berkembang model bisnis yang menjadikan media siber di daerah sebagai penyedia konten atau content produser bagi media siber di Jakarta. Praktek ini berbeda dengan kantor berita yang selalu disebutkan sebagai sumber sehingga jelas siapa yang bertanggung jawab.

    Ilham Bintang menegaskan bahwa semua itu belum dijangkau oleh Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dan kalau tidak segera diantisipasi bisa merugikan kredibilitas wartawan maupun media. Sementara praktek jurnalisme yang profesional dan taat kode etik makin diabaikan. (Red)

  • Ilham Bintang Menilai Reuni 212 Bisa Jadi Wisata Religius

    Ilham Bintang Menilai Reuni 212 Bisa Jadi Wisata Religius

    Jakarta (SL) – Kegiatan seperti Reuni 212 yang berlangsung sejak dinihari tadi (Minggu, 2/12) dapat diagendakan setahun sekali sebagai wisata religius.

    Menurut catatan panitia, kegiatan ini dihadiri oleh tidak kurang 8 juta orang dari berbagai kota di Indonesia. Perkiraan jumlah peserta ini lebih besar dari aksi dua tahun lalu yang diperkirakan dihadiri “hanya” 7 juta orang.

    Reuni 212 tahun ini adalah untuk memperingati kegiatan dua tahun lalu yang diselenggarakan dalam rangka menuntut proses penegakan hukum atas penistaan Al Quran yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.  Tahun lalu kegiatan seperti ini juga digelar, namun jumlah peserta tidak sampai sebanyak kegiatan hari ini. “Reuni ini bisa jadi wisata religius untuk diagendakan sekali setahun. Dan, mungkin dengan cara itulah investor masuk,” ujar wartawan senior Ilham Bintang.

    Ilham dan beberapa anggota keluarganya menghadiri kegiatan ini dari pagi hari. Ia sempat melaporkan jalannya kegiatan secara live melalui akun Facebook miliknya.  “Investor bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri jutaan orang tumpah di jalan dalam momen sama tapi tanpa kegaduhan. Damai, sejuk, tentram dan khidmat. Rumput pun tak ada yang rusak,” sambung Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini.

    Menurut catatan Ilham, jumlah jamaah haji yang berkumpul di Padang Arafah setiap tahun adalah sekitar 3,5 juta orang kumpul di Arafah. Sementara jumlah peserta Reuni 212 melebihi angka itu. “Yang menarik, makan minum berlimpah di seluruh ruas jalan sekitar Monas. Dari air mineral, teh kotak, sampai juice buah. Makanannya dari donat sampai nasi kebuli. Semua gratis tak habis-habis. Subhanallah,” sambungnya.

    Dia juga mengatakan, dari pengamatannya, suasana lobi hotel-hotel di sekitar Monas persis suasana lobi hotel di Tanah Suci pada musim haji atau umrah.  “Nuansa Islam kental sekali. Sejuk,” demikian Ilham Bintang. (RML)

  • Berita Publikasi Media Harus Berdasarkan Data dan Fakta Kebenaran

    Berita Publikasi Media Harus Berdasarkan Data dan Fakta Kebenaran

    Ketua Dewan Kehoramatan PWI Pusat Ilham Bintang

    Jakarta (SL)-Ketua Dewan Kehorman PWI Pusat Ilham Bintang mengingatkan agar setiap informasi yang disampaikan ke publik harus berdasarkan data akurat dan fakta kebenaran. Sehingga, siapapun yang memuat berita dan dimuat di media manapun yang tidak didasari dua hal itu adalah kebohohang publik.

    “Itu sama dengan menyebarkan hate speech yang menjadi musuh kita, musuh semua umat manusia,” kata Ilham Bintang, dalam acara Rakernas DKP se-Indonesia, Jakarta, Selasa (12/12).

    Ilham menekankan, agar setiap informasi yang disampaikan ke publik harus berdasarkan data. “Bicara dengan data sesungguhnya adalah bicara mengenai masalah kompleks yang dihadapi seluruh bangsa Indonesia saat ini, dan juga seluruh bangsa di dunia. Ironinya semua itu terjadi justru setelah kita memasuki era tehnologi informasi, era yang memudahkan kita memperoleh informasi tentang apapun, di manapun dan kapan pun,” katanya.

    Ilham Bintang mencontohkan, bagaimana mudahnya seseorang membuat opini untuk mendiskreditkan satu pihak di media sosial. Sama mudahnya dengan penyebarannya yang berantai melalui prangkat smartphone. Yang menyedihkan, media mainstream sering ikut menari di gendang itu. Sebagian ikut pula menyebarluaskan tanpa verifikasi.

    Kalaupun dilakukan verifikasi, tapi konfirmasi yang dilakukan seadanya. Tidak sampai meletakkan duduk perkara secara seutuhnya. Verifikasi hanya terkesan untuk melindungi diri supaya tidak ikut disalahkan sebagai penyebar hoax.

    Belakangan, lebih menyesakkan dada, lanjutnya, prakteknya terbalik. Sebagian media mainstream justru meniru semangat pekerja sosial. Yang penting penyebaran berita berunsur sensasi secepatnya supaya banyak dapat hits atau like.

    Padahal, jelas praktek itu berpotensi melanggar kode etik karena lebih mendahulukan kecepatan daripada ketepatan. Maka, publik pun terbiasa menyaksikan media mainstream meralat sendiri beritanya.

    “Belum lagi kita menghitung kerusakan yang timbul akibat berita pertama, berita yang salah tadi. Biasa dipahami jika sebagaian masyarakat yang apatis memilih melapor kepihak yang berwajib. Daripada mengikuti mekanisme hak jawab, atau mengadu ke dewan pers, seperti yang dianjurkan petinggi dunia pers, sebagai jalan keluar bagi korban pemberitaan. Dan itu sah menurut UU,” katanya. (rls/nt)