Tag: Islam

  • Hukum Istri Menampar Suami Menurut Islam

    Hukum Istri Menampar Suami Menurut Islam

    Oleh: Septi Bukanteng

     

     

    Kekerasan dalam rumah tangga tak melulu dilakukan suami terhadap istri. Dari dua kasus yang terjadi dalam sepekan ini menunjukan istri zaman now bisa membalikkan situasi umum tersebut.

    Baca: Istri Zaman Now di Probolinggo Injak Kemaluan Suami Sampai Pingsan

    Psikolog Klinis Muflihah Fahmi atau akrab disapa dengan Lya Fahmi mengatakan kita tidak bisa menghakimi sang istri hanya dari video tanpa melihat seperti apa konteks kejadian sebelumnya. Menurut Lya kita terlebih dulu memahami seperti apa konteks kekerasan terjadi, bahkan bisa dilihat seperti apa pola relasi hubungan mereka dari sebelum suami kena stroke. Banyak hal bisa terjadi, termasuk bisa jadi karena perasaan lelahnya mengurus suami yang sakit, sang istri belum bisa mengatasi perasaan negatifnya dan memulihkan dirinya sendiri.

    “Menurut saya yang perlu dijadikan catatan saya memperhatikan banyak dari kita tidak aware dengan kondisi emosi dan stres yang dihadapi. Ok, jika emosi bisa aware tapi kemudian respon apa yang dirasakan itu kerap diabaikan atau diingkari,” ucapnya.

    Misalnya, Lya memberi contoh ketika seseorang punya masalah atau represi seringkali orang mengatakan ketika ada masalah lebih baik menerima dan membiarkan masalah terjadi bahkan dan cenderung mengabaikan.

    “Kalau kita tidak mengakui masalah itu dan tidak paham dengan emosi kita membuat kita kemudian tidak bisa menyelesaikan masalah, kita akan menganggap masalah itu ada tapi tidak dirasakan. Hal itulah yang menjadi akar masalah kita gagal melakukan regulasi emosi,” ucap Magister Profesi Psikologi Klinis lulusan UGM ini.

    Menurut Lya, syarat untuk melakukan regulasiemosi ialah dengan mengenali, mengakui, dan menyadari emosi yang kita rasakan. Karena hanya dengan mengenali dan mengakui emosi yang kita rasakan maka bisa melakukan regulasi emosi.

    Kegagalan mengenali emosi diri sendiri dengan baik maka kita tidak bisa melakukan regulasi masalah, karena tidak mengetahui masalah sesungguhnya. Lalu apa konsekuensinya jika tidak bisa meregulasi emosi? Tentu akan terjadi emosi yang keluar dalam bentuk yang tidak tepat, seperti misalnya emosi meledak dan mendadak tanpa tahu masalahnya apa. “Lalu kita tergerak untuk tiba-tiba memukul karena tidak bisa menahan impuls untuk memukul, hal itu yang terjadi ketika tidak mengelola emosi kita dari awal masalah muncul,” pungkas Lya.

    Hukum Isteri Menampar Suaminya Menurut Islam

    Diantara kewajiban seorang istri kepada suaminya adalah menaatinya didalam perkara-perkara yang tidak mengandung kemaksiatan terhadap Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah SWT pada QS. An Nisaa : 34 yang artinya:  “Jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”

    Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”…Seandainya aku (dibolehkan) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang lainnya pastilah aku perintahkan para istri untuk bersujud kepada para suaminya dikarenakan hak yang diberikan Allah kepada para suami itu terhadap para istrinya.”

    Di dalam kitab “ash Shahihain” disebutkan dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu dia menolak ajakannya itu kemudian suaminya bermalam dalam keadaan marah terhadapnya maka para malaikat akan melaknatnya hingga pagi hari.”

    Adapun ganjaran bagi seorang istri ang menaati suaminya di dalam perkara-perkara yang bukan maksiat terhadap Allah dan Rasul-Nya adalah surga Allah swt, sebagaimana disebutkan didalam shahih Ibnu Hibban dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seorang istri melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan (Ramadhan), memelihara kemaluanya dan menaati suaminya maka akan masuk surga dari pintu surga mana saja yang dikehendakinya.”

    Demikianlah ketinggian kedudukan sebuah ketaatan seorang istri kepada suaminya di sisi Allah SWT. Sebaliknya diharamkan bagi seorang istri maksiat dan tidak menaatinya di dalam perkara-perkara yang tidak mengandung kemaksiatan terhadap Allah dan Rasul-Nya, yang didalam istilah agama disebut dengan nusyuz.

    الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ

    Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (QS. An Nisaa : 34)

    Tentang firman Allah swt :

    وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ

    Artinya : “Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya.” (QS. An Nisaa : 34)

    Ibnu Katsir mengatakan bahwa nusyuz berarti tinggi sedangkan wanita yang nasyiz (berbuat nusyuz) adalah wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, mengabaikan perintahnya, berpaling darinya, murka terhadapnya. Dan setiap kali tampak oleh seorang suami tanda-tanda nusyuz pada diri istrinya maka hendaklah dia menasehatinya, mengancamnya dengan siksa Allah karena maksiat terhadapnya. Sesungguhnya Allah swt telah menjadikan hak seorang suami adalah ditaati oleh istrinya dan haram bagi seorang istri maksiat terhadapnya dikarenakan kelebihannya terhadap dirinya. Sabda Rasulullah saw,”…Seandainya aku (dibolehkan) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang pastilah aku perintahkan para istri untuk bersujud kepada para suaminya dikarenakan hak yang diberikan Allah kepada para suami itu terhadap para istrinya.” (Tafsir al Qur’an al Azhim juz II hal 294)

    Setiap perbuatan keluar dari ketaatan kepada suami atau maksiat terhadapnya adalah termasuk nusyuz yang diharamkan didalam islam. Begitu juga jika kemarahan terlebih lagi penamparan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya dikarenakan dirinya maksiat terhadap perintah-perintah suaminya didalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka perbuatan ini pun termasuk nusyuz dan penzhaliman terhadapnya.

    Di dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan,”Wahai hamba-Ku sesungguhnya aku mengharamkan kezhaliman terhadap diri-Ku dan Aku menjadikannya haram diantara kalian maka janganlah kalian saling menzhalimi.” (HR. Muslim)

    Hendaklah si suami melakukan tiga hal berikut, sebagaimana arahan Allah swt didalam firman-Na diatas :

    1. Menasehatinya agar menaatinya dan tidak maksiat terhadapnya. dan jika langkah ini tidak berhasil maka lakukan langkah kedua, yaitu :

    2. Memisahkan tempat tidurnya sebagai pertanda ketidakredoannya terhadap perlakuan buruk istrinya itu. Jika ini pun tidak berhasil maka lakukan langkah ketiga, yaitu :

    3. Memukulnya dengan pukulan tidak menyakitkan dan tidak di wajahnya.

    Dan dibolehkan bagi suaminya untuk tidak memberikan nafkah kepada istrinya itu hingga dirinya meninggalkan perbuatan nusyuznya.

    Akan tetapi jika memang penamparan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya dikarenakan adanya kezhaliman suami terhadap dirinya, seperti : tidak memberikan nafkah kepadanya atau tidak memperlakukannya dengan baik maka tidaklah termasuk nusyuz namun termasuk tindakan melampaui batas didalam menuntut hak-haknya dan hendaklah dirinya beristighfar dan berlindung kepada Allah swt dari tipu daya setan lalu meminta maaf kepada suaminya atas perbuatannya itu. Sementara si suami tetap diwajibkan atasnya untuk memenuhi hak-hak istrinya itu.(dbs/iwa)

  • Mereka Memfitnah Persatuan Umat

    Mereka Memfitnah Persatuan Umat

    Oleh : Dr. Ahmad Yani, SH. MH.
    Advokat dan Caleg DPR RI dari PBB Dapil Jakarta 1 ( Jakarta-Timur)

    Semua mata akan tercengang, bagaimana melihat antusiasme umat Islam atas persatuan, kesatuan dan persaudaraan tanpa mengenal batas, hanya iman dan Islam yang mendorong mereka bersatu. Solidaritas terbentuk secara alami, dan 212 adalah simbol persatuannya.

    Suara takbir dan tahmid, menghiasi langit Jakarta, menyentuh hati dan perasaan umat manusia. Dzikir dilantunkan secara bersama, doa dipanjatkan secara berjamaah, menggetarkan hati yang lesu, sekaligus memperkuat keimanan. Inilah yang disebut menghadap Allah dalam kebersamaan dan persaudaraan sejati.

    Tanpa dorongan uang dan kekuasaan, tanpa panggilan mobilisasi yang memakan biaya yang banyak, tanpa janji politik dari seorang calon. Kalau calon presiden, atau partai politik mampu mengumpulkan orang sebanyak itu, maka pasti yang habis adalah uang dalam jumlah yang besar. Saya yakin tidak mampu seorang calon presiden atau salah satu partai politik, maupun ormas tertentu mengumpulkan manusia sebanyak itu, meskipun dengan uang dalam jumlah yang besar.

    Maka panggilan 212 adalah panggilan dalam persaudaraan iman yang sejati, dalam persatuan akrab dengan ulama, untuk menghadap Allah secara berjamaah, berdoa untuk agama dan negara. Patutnya, semua orang bersyukur ada jutaan orang yang bersedia mengorbankan harta dan keleluasaannya demi agama dan Negara.

    Namun begitulah, para komentator politik ‘murahan’ datang dengan tuduhan, dengan menuduh ummat itu sebagai massa bayaran. Umat Islam dituduh dengan ukuran 50 – 100 ribu untuk merusak citra Islam. Suatu tuduhan keji keluar dari mulut politisi yang sedang mabuk kekuasaan dan gila jabatan.

    Padahal umat yang datang ke Monas dalam rangka reuni 212, membawa serta bekal mereka, posko-posko pembagian makanan bersebaran diberbagai sudut, yang membawa sendiri membagikan pula kepada teman disebelahnya, meskipu mereka baru pertama bertemu. Perempuan dan anak-anak dimuliakan, dijaga kehormatanya, dalam lautan manusia yang tidak terhitung pasti jumlahnya. Namun pembenci tetaplah akan datang dengan tuduhan meskipun pengorbanan umat untuk bersatu begitu sangat luar biasa.

    Umat Islam mereka tuduh, ulama mereka curigai, tokoh ummat mereka fitnah dan lain sebagainya. Sementara lawan politik, mereka hinakan. Kalau politisi seperti ini diberikan ruang untuk menjadi bagian penentu kebijakan, maka rakyat yang akan menjadi korban, ulama akan difitnah, dan arena politik akan menjadi arena curiga-mencurigai, jadilah politik tanpa akhlak yang baik.

    Inilah kenapa ummat bertekad untuk bersatu, menepis semua perbedaan diantara mereka, dengan meminta nasehat ulama. Ulama memberikan nasehat, mereka harus menjadi bagian dari perubahan sosial yang lebih besar, agar persoalan umat tidak jatuh ke-tangan politisi ‘murahan’.

    Tetapi keinginan umat untuk Perubahan sosial dan politik ini,  ditakuti oleh politisi yang tidak senang dengan persatun Islam dan kebangkitan Islam. Mereka ingin Islam menjadi kuli, umat Islam mereka inginkan untuk menjadi budak politik, agamanya dibatasi, syariatnya ‘dilabeli’.

    Secara ‘kasar’ mereka seperti Snouck Hungronje seorang propaganda politik Belanda abad 20. Snouck memberikan ruang pada Islam hanya untuk hablum min Allah, sementara hubungan sosial dibatasi. mengutip M. Natsir (mantan Perdana Meneteri RI), “Islam ibadah mereka beri ruang, Islam dibidang ekonomi mereka awasi, Islam dibidang politik mereka curigai”.

    Jadilah Islam hanya sebatas agama saja, yaitu sebatas ‘Din’ yang otoritasnya hanya mengatur cara hamba beribadah kepada Tuhannya, tetapi tidak diberikan tempat untuk Islam sebagai syariat yang hidup dan mengatur kehidupan umat Islam (way of life).

    Untuk menghilangkan pandangan yang sempit tentang Islam, ummat Islam Indonesia bertekad dengan semangat yang menyala, kemauan yang kuat, hadir untuk memberikan tenaga dan harta mereka demi persatuan itu. Hingga dari berbagai suku, berbagai daerah, berbagai mazhab dan berbagai organisasi Islam datang dengan membawa misi dan semangat pribadi mereka demi agama dan negara.

    Mereka datang dalam satu panggilan nurani, bukan panggilan materi, mereka datang untuk agama dan negara, bukan untuk mencari dana apalagi cari makan. Dan Inilah sejatinya umat Islam Indonesia, mereka memiliki banyak kekayaan, mereka pantang menerima bayaran dengan menjual agama. Dan hal ini juga yang merupakan kekayaan Islam yang tidak dimiliki oleh keyakinan yang lain.

    Jadi tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh beberapa orang yang tidak senang dengan persatuan umat, hanyalah untuk menambah kuat persatuan dan solidaritas Islam. Dengan pernyataan yang mereka keluarkan, menyadarkan umat Islam bahwa para pembenci Islam itu akan muncul ketika umat merayakan persatuan mereka ingin pecah belah.

    Apabila telah sampai pada waktunya nanti, umat Islam akan bertekad dengan pilihan politiknya demi agama dan negaranya, dengan serta merta menjadikan komentar politisi yang memusuhi persatuan umat itu sebagai pertimbangan, hingga pilihan politik umat Islam akan jatuh pada orang yang mereka percaya dapat memperjuangkan aspirasi Islam.

    Sebagai penutup, umat telah mencari jalan persatuanya dan mereka bersatu dengan simbol 212, ulama menjadi benteng persatuan umat, dan jalan perjuangan Islam adalah jalan politik amar ma’ruf nahi munkar, untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan Makmur “baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur”.

    Wallahua’lam bis shawab.(tabayun.co)