Tag: Juniardi

  • PWI Kecam Pengusiran Wartawan

    PWI Kecam Pengusiran Wartawan

    Wakil Ketua PWI Lampung Bidang Hukum dan Pembelaan Wartawan, Juniardi (Foto/Dok/Nik)

    Lampung Selatan (SL) – Kabar pengusiran yang dialami wartawan online etalaseinfo.com atas nama Sabda Fajar yang dilakukan oleh Kepala ATR-BPN Kabupaten Lampung Selatan, Ahmad Aminullah menuai kecaman dari PWI melalui Wakil Ketua PWI Lampung Bidang Hukum dan Pembelaan Wartawan, Juniardi. Menurut Juniardi, di era keterbukaan informasi sekarang ini seharusnya tidak ada lagi seperti kejadian tersebut. Apalagi dalam kegiatan diranah badan publik.

    “Kenapa malah pihak BPN yang mengusir. Ini sangat disayangkan,” tegasnya.

    Apalagi menurut Juniardi, kasus pertanahan ini erat kaitannya dengan masyarakat banyak. Di situ ada peran wartawan sebagai kontrol sosial. Mengingat dalam UU pers disebutkan pihak yang menghalangi tugas jurnalistik bisa dipidana dua tahun penjara denda Rp500 juta.

    “Yang perlu diingat BPN adalah institusi pelayanan publik dan bukan institusi kepentingan pribadi atau sekelompok orang,” ujarnya.

    Dia menegaskan, apa yang dilakukan Pejabat BPN itu telah mengahalang-halangi kerja kerja pers dan melanggar UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pokok Pers dan UU Nomor 14 tahun tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

    Lebih jauh dirinya mengatakan, harus diketahui kerja pers memiliki stantar dan batasan peliputan serta kode etik pada saat menjalankan tugas.

    “Wartawan punya standar kerja pada saat peliputan. Yang tidak bisa diliput dan mengambil gambar seperti rapat pembahasan tentang keamanan negara, keamanan presiden saat melakukan kunjungan kerja, peradilan anak, rapat internal penyidik, sidang asusila serta menyangkut dengan rahasia negara. Kalau hanya pengambilan dokumen oleh penyidik apa lagi pertemuan masyarakat dengan pejabat publik jelas keliru jika dibatasi,” tutupnya.

    Diketahui, Kepala Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ahmad Aminullah Lampung Selatan, diduga melakukan tindakan arogansi dengan mengusir salah seorang wartawan Etalaseinfo.com (Sabda Fajar) dari Ruang Kerja Kepala ATR/BPN setempat, Rabu (04/04) sekitar pukul 14.30 WIB.

    Perlakuan tersebut dialamainya saat hendak proses peliputan puluhan warga Lamsel yang mendatangi Kantor BPN Lamsel, karena mereka merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan.

    Menurut Sabda Fajar, saat itu dirinya melakukan peliputan sudah berdasarkan kode etik. Terlebih ia menggunakan seragam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Namun nampaknya hal tersebut, tak di indahkan oleh Kepala BPN dan tetap melakukan pengusiran, dengan alasan tidak berkoordinasi dengan pihak BPN.

    “Ya menurut saya, saya meliput sudah berdasarkan kode etik, namun tetap dilarang dan diusir. Sementara saya disitu hanya ingin turut serta meliput terkait tuntutan warga tentang lamanya proses pembuatan sertifikat Tanah dan saya di undang lngsung oleh warga bersama wartawan lainnya,” Tutur Sabda.

    Lebih jauh Sabda mengatakan, ia sangat menyayangkan atas kejadian ini, menurutnya sebagai pejabat publik tidak perlu melakukan tindakan arogansi semacam itu. Mungkin bisa dengan menggunakan cara yang baik dan persuasif, apabila tidak berkenan untuk diliput.

    “Saya sangat menyesalkan atas tindakan arogansi seperti ini, tidak semestinya seorang pejabat publik begitu, seharusnya bisa persusif atau dengan etika yang baik. Atas peristiwa ini, saya sudah berkonsultasi dengan ketua PWI Lamsel serta sudah saya serahkan sepenuhnya terkait permasalahan ini,” Jelas Sabda. (*)

  • Belajar Memimpin Dari Karakter Binatang

    Belajar Memimpin Dari Karakter Binatang

    Ilustrasi

     

    BANYAK tokoh dunia, bahkan dalam sejarah Indonesia, ada banyak Pahlawan yang kepribadian, hingga kesuksesannya menjadi pemimpin yang baik, dan dapat dijadikan rujukan. Dari para Nabi, sahabat Nabi, hingga tokoh tokoh dunia termasuk Hitler sekalipun.

    Jika tokoh manusia dibumi tak ada lagi yang bisa ditiru, atau diidolakan menjadi vigur kepemimpinannya, maka mungkin perlu belajar dan melihat dari gaya kepemimpinan binatang. Karena banyak juga juga para binatang yang sukses memimpin koloninya, hingga kelompoknya, yang dicatat para ahli, bahkan firman dan hadist.

    Gajah, misalnya, tahukah siapa yang menjadi pemimpin dari setiap kawanan gajah. Apakah seekor gajah yang masih muda?, Ternyata bukan, yang menjadi pemimpin kawanan gajah adalah nenek gajah (gajah betina tua). Karena pengalaman dan ingatan yang panjang dari si nenek membantu kawanan gajah menemukan makanan dan air. Artinya dalam memimpin suatu organisasi, kita memang memerlukan pengalaman yang matang.

    Pengalaman hidup jelas membentuk kita sekaligus memperlengkapi kita dengan berbagai macam hal yang dapat membantu kita untuk mempertimbangkan sesuatu dan mengambil keputusan. Namun, apakah hanya pengalaman saja yang diperlukan dalam memimpin sebuah organisasi? Tentu saja tidak, ada beberapa hal lain yang kita sangat perlukan.

    Berang-berang, misalnya binatang ini sangat ahli dalam membuat Dam (bendungan) di sungai sebagai tempat tinggalnya. Namun bagaimana cara mereka bekerja sama sehingga mampu membangun dam tersebut. Ternyata sekawanan berang-berang biasanya kerjasama dalam membangun dam, dan uniknya, dari sejumlah berang-berang tersebut, tidak ditemukan pemimpin atau penanggung jawab utama dari pembuatan dam tersebut. Tiap berang-berang berlaku sebagai pemimpin dirinya sendiri dan mereka bertanggung jawab terhadap tugas sendiri bukan untuk kepentingan pribadi tetapi untuk mendukung kepentingan bersama.

    Berang-berang saling terbuka satu sama lain, mereka tidak menyembunyikan pohon yang bagus dari berang-berang lainnya.Dari berang-berang kita belajar bahwa tidak ada ‘kayu-kayu baik’ yang harus disembunyikan hanya untuk menunjukkan kualitas kerja kita atau bidang kita adalah yang terbaik. Justru ‘kayu-kayu baik’ itu harus dibagikan dengan anggota bidang pelayanan yang lain untuk kepentingan bersama.

    Lalu Tupai, ketika seekor tupai mencari makanan, mereka tidak hanya mencari untuk diri sendiri, melainkan dimakan beramai-ramai sebagai cadangan makanan di musim dingin. Intinya, tupai merupakan binatang yang tidak egois dan memikirkan dirinya sendiri. Tupai bekerja demi mencapai tujuan mereka bersama. Seorang pemimpin bukanlah seorang yang hanya duduk ‘uncang-uncang kaki’ selama anggotanya bekerja.

    Maknaya adalah seorang pemimpin adalah seseorang yang bekerja sama sekaligus berkerja bersama-sama dengan anggotanya yang sedang bekerja keras. Seorang pemimpin harus bekerja keras demi mengerahkan dan mengarahkan timnya mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

    Bagaimana dengan Semut, dia adalah binatang yang selalu bekerja keras. Mereka mengerjakan tugas mereka dengan cepat dan tidak akan berhenti sampai mereka mencapai apa yang mereka cari. Setiap kali mereka menemui hambatan saat perjalanan, dengan semangat yang menggebu-gebu mereka terus mencari jalan keluar untuk keluar dari masalah itu. Semut juga merupakan binatang yang tidak rakus dan dermawan, apabila mereka menemukan makanan, mereka akan membawa makanan tersebut ke sarang atau memanggil semut lain untuk menikmati makanan itu bersama-sama.

    Dari semut kita belajar bagaimana mereka bekerja keras bersama-sama, bekerja demi kepentingan bersama, bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Kita juga belajar dari semut bahwa masalah yang datang seperti apapun pemimpin tidak boleh menyerah, dia harus berusaha untuk mencari jalan keluar. Semut tidak meninggalkan temannya yang sedang mengalami masalah (lemah atau mati). Masalah anggota kita adalah masalah kita juga. Solidaritas harus menjadi bagian dari sifat kepemimpinan kita.

    Lebah juga dalam membangun wadah madu yang dihasilkan, memiliki perhitungan yang begitu cermat, hingga dalam dunia lebah dimiliki aturan standar inetrnasional kemiringan wadah madu 13 derajat. Dalam berkoordinasi antara satu sama lain, lebah menggunakan panduan arah berdasarkan posisi matahari, padahal pada setiap waktunya matahari bergeser satu derajat per empat menit.

    Bayangkan kalau lebah tidak smart membaca petunjuk kerja dari sesamanya, tidak mungkin bisa mereka bekerja dengan optimal. Selain itu walaupun lebah menyengat dengan galak, lebah adalah binatang yang sangat lembut. Kalau dia hinggap di seutas ranting, yang rapuh sekalipun, tidak rusak ranting itu karena ulahnya.

    Dari lebah kita mendapat suatu pembalajaran yaitu smart. Hal itulah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Tanpa hal tersebut pemimpin tidak dapat menganalisis masalah, menentukan formasi yang efektif untuk organisasinya dan melakukan pertimbangan-pertimbangan. “Orang yang rendah hati tidak pernah merasa dirinya direndahkan ketika belajar dari sesuatu yang lebih rendah dari dirinya.”

    Semakin kita tidak membatasi diri dalam belajar, semakin banyak hal yang kita dapatkan. Begitu jugalah seorang pemimpin seharusnya, belajar bijak dari apapun juga.  Seorang pemimpin tidak bisa hanya puas dengan sedikit hal yang telah dipelajari. Dia harus terus menerus belajar dalam memperlengkapi dirinya. Selamat menjadi pemimpin. (dari berbagai sumber)

  • Pemimpin Smart Pilihan Ideal

    Pemimpin Smart Pilihan Ideal

    Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung, Juniardi

    *oleh : Juniardi

    PILKADA LAGI, Tak terasa waktu cepat berlalu, pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah 2018 di daerah-daerah akan segera mulai, termasuk di bumi Sai Bumi Ruwa Jurai, Lampung. Tak mengenal tua dan muda semua tidak sabar menantikan detik detik Pemilihan Gubernur Lampung.

    Harapan baru tentu segera akan di wujudkan, janji-janji semoga mampu di laksanakan empat pasangan calon Gubernur Lampung priode kedepan kini sudah di gadang-gadang. Sudah adakah nama yang paling kita jagokan?

    Dari empat nama, Pertahana M Ridho Ficahrdo, Bupati Lampung Tengah DR Mutafa, Walikota Bandarlampung Herman HN, dan mantan Sekda Ir Arinal Djunaidi, yang wajahnya terus bermunculan dijalanan, media Pers, hingga media sosial, yang berharap simpati masyarakat. Berbagai acara digelar, hingga bagi bagi, dan saling serang menggunakan media juga terjadi.

    Pada tahun 2018 daerah yang akan melaksanakan pesta demokrasi yakni memilih kepala daerah berjumlah 171 daerah di seluruh Indonesia, termasuk dua Kabupaten, Lampung Utara, Tanggamus, dan Pilgub Lampung. Tentu merupakan sebuah kesempatan besar dalam mengubah wajah daerah, masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus cerdas memilih pemimpin. Dan sudah saatnya orang-orang yang baik memimpin negeri ini.

    Pimilihan kepala daerah adalah sebagai cerminan demokrasi, jadi harus kita manfaatkan sebaik-baiknya, kedaulatan yang diberikan secara penuh itu, tentu jangan sampai kita salah gunakan hanya demi uang, karena kualitas pemimpin menjadi sebuah pertimbangan menentukan arah daerah kita kedepan.

    Apalah arti uang ratusan ribu rupiah jika 5 tahun kita hanya tetap menjadi pengangguran. Mulailah cerdas memilih pemimpin untuk menuju kesejahteraan. Jangan memilih mereka yang hanya bisa bermain uang tanpa memiliki konsep membangun daerah ke depan, karena yang kita butuhkan bukan materi tapi perubahan yang benar-benar berarti, gagasan para calon pemimpin adalah hal penting mempertimbangkan siapa yang akan kita jagokan. Pertaruhan harga diri akan diuji ketika suara kita ingin mereka beli.

    Lalu seperti apa pemimpin yang ideal?

    Pemimpin yang ideal harus punya kecerdasan, Lampung butuh pemimpin yang smart. Tentu jika berbicara pemimpin yang ideal harus memiliki kecerdasan, karena hal tersebut akan berdampak pada seberapa baik dan bermanfaatnya langkah yang diambil oleh pemimpin demi kepentingan masyarakat yang dipimpinnya.

    Selain itu kecerdasan seorang pemimpinpun akan dilihat dari seperti apa pemimpin itu menghadapin permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat yang dipimpin. Dalam hal ini, cerdas tak perlu mereka yang punya ribuan gelar namun disini cerdas diartikan sebagai suatu proses pendewasaan bagaimana pemimpin selalu menempatkan kepentingan masyarakatnya diatas kepentingan pribadinya.

    Pemimpin yang ideal harus Jujur. Poin terpenting dalam hidup dan memimpin adalah mampu jujur dan terbuka atas segala informasi yang harus di ketahui oleh masyarakat, hal itu akan menjadi sebuah nilai penting untuk dipertimbangkan menjadi pemimpin ideal, istilah kerennya transfaransi, open govermance dalam building.

    Pemimpin yang ideal harus bisa berlaku adil. Adil adalah kata yang mudah untuk diucapkan namun sulit untuk dijalankan dan hal itu tentu menjadi sebuah tantangan bagi seorang pemimpin. Karena seorang pemimpin harus mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya tak ada golongan yang di tinggalkan dan tak ada pula golongan yang di dahulukan, menjauhkan sifat dendam politik ketika sudah terpilih adalah cara terbaik agar mampu berlaku adil, dan displin.

    Tak hanya itu, pemimpin juga mampu merangkul seluruh golongan, tak lagi berada mayoritas pada minoritas dan juga tak lagi berkata minoritas pada mayoritas karena tanggung jawab seorang pemimpin harus mampu merangkul bukan memberikan sekat antar golongan. Dari para kandidat, tentu sudah terlihat track dan record, yang menentukan pilihan kita untuk lima tahun kedepan. Jadilah pemilih yang juga smart. (Juniardi)

  • Politik Transaksional

    Politik Transaksional

    Juniardi

    *Juniardi (Pimum sinarlampung.com)

    Politik transaksional, sebuah istilah yang kerap kita dengan ketika jelang perhelatan Pilkada. Orang yang cukup berpendidikan akan mengartikan bahwa politik transaksional berarti politik dagang. Ada yang yang menjual, maka ada yang membeli. Tentu semuanya membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama.

    Jika dalam jual-beli, maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai.  Lantas apakah dalam praktek politik, jika terjadi politik transaksional, berarti ada jual beli politik? Ada yang memberi uang dan ada yang menerima uang dalam transaksi politik itu.

    Tentu semuanya masih dalam dugaan saja. Apakah memang politik transaksional ini selalu berhubungan dengan uang? Sebenarnya tidak juga. Dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.

    Seorang ahli politik menyatakan bahwa dalam praktek politik praktis, hampir pasti ada politik transaksional. Karena pada dasarnya politik adalah kompromi, sharing kekuasaan. Harus dipahami juga, bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia.

    Karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan. Di mana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan, akan berbagi kekuasaan dengan ornag lain.  Biasanya, pembagian kekuasaan tersebut berkaitan dengan koalisi politik yang sebelumnya dibangun.

    Tanpa ada koalisi, kemungkinan adanya politik transaksional itu sangat kecil. Biasanya, sebelum koalisi dibangun, maka transaksi-transaksi politik itu harus sudah disepakati. Jika dalam pelaksanaannya ada pengkhiatan, maka kesepakatan atau transaksi politik itu bisa dievaluasi atau tidak dilakukan sama sekali.

    Ketika baru tahapan koalisi baru berjalan, seperti tahapan Pilkada, maka transaksi politik itu bisa saja dilakukan. Misalnya, Partai A mengusung calon Gubernur, atau bupati, maka Partai B mengusung calon wakilnya. Jika ada partai lain, maka partai lain itu akan mendapat jatah lainnya. Misalnya jika pasangan calon yang diusung itu jadi, akan mendapat jatah dalam kekuasaan nanti. Paling tidak, partai pengusung itu akan menjadi mitra pemerintah di lembaga legislatif.

    Namun ketika pembagian kekuasaan itu tidak dilakukan, maka transaksi politik bisa diwujudkan dalam hal lain. Misalnya kompensasi dalam bentuk uang. Inilah yang kadang disebut sebagai politik transaksional.

    Padahal pengertian sebenarnya, politik transaksional adalah pembagian kekuasaan politik berdasarkan kesepatan-kesepakatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik. Politik transaksional, tidak melulu berkaitan dengan transaksi keuangan saja. Seperti dalam istilah transaksi itu sendiri, yang cenderung bernilai ekonomis, masalah uang.

    Lantas, apakah politik transaksional itu tidak diperbolehkan? Apakah politik transaksional itu sama dengan money politics? Sangat relatif dalam melihat kedua hubungan itu. Karena keduanya memang sangat tipis perbedaannya. Sama halnya ketika berbicara antara politik uang dengan uang politik. Hanya memutar frase kata saja, sudah berbeda artinya. Keduanya juga memiliki makna yang hampir sama, namun berbeda.

    Bahwa dalam transaksi politik menimbulkan biaya politik, maka sudah sewajarnya dalam transaksi itu muncul uang pengganti. Dalam arti, untuk menjalankan rencana kerja dari transaksi politik itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit.  Maka uang yang digunakan itu merupakan bagian dari politik transaksi. Hal itu tidak bisa dihindari.

    Namun jika uang itu hanya digunakan untuk segelintir orang, hanya sekedar untuk mencapai syarat pencalonan saja. Seperti dalam Pilkada-Pilkada terdahulu, sangat kental dengan istilah politik transaksional, yang hanya sekedar alat untuk kepentingannya sendiri, maka hasilnya adalah rakyat yang dirugikan. Salam.

  • Jangan Remehkan Potensi Dirimu

    Jangan Remehkan Potensi Dirimu

    Juniardi SIP, MH

    Juniardi (Praktisi dan penggiat Pers Lampung)

    Siapa tak kenal Michael Jeffrey Jordan, yang lahir di BrooklynNew YorkAmerika Serikat17 Februari 1963 adalah pemain bola basketprofesional asal Amerika. Ia merupakan pemain terkenal di dunia dalam cabang olahraga itu. Setidaknya, enam kali merebut kejuaraan NBAbersama kelompok Chicago Bulls (1991199319961998). Jordan memiliki tinggi badan 198 cm dan merebut gelar pemain terbaik.

    Michael Jordan berkulit hitam, lahir di daerah kumuh Brooklyn, New York. Ia memiliki empat orang saudara, sementara upah ayahnya yang hanya sedikit tidak cukup untuk menafkahi keluarga. Semenjak kecil, ia melewati kehidupannya dalam lingkungan miskin dan penuh diskriminasi, hingga ia sama sekali tidak bisa melihat harapan masa depannya.

    Ketika ia berusia tiga belas tahun, ayahnya memberikan sehelai pakaian bekas kepadanya, “Menurutmu, berapa nilai pakaian ini?”, Jordan menjawab, “Mungkin 1 dollar,”

    Ayahnya kembali berkata, “Bisakah dijual seharga 2 dollar? Jika engkau berhasil menjualnya, berarti telah membantu ayah dan ibumu,”. Jordan menganggukkan kepalanya, “Saya akan mencobanya, tapi belum tentu bisa berhasil.”

    Dengan hati-hati dicucinya pakaian itu hingga bersih. Karena tidak ada setrika untuk melicinkan pakaian, maka ia meratakan pakaian dengan sikat di atas papan datar, kemudian dijemur sampai kering. Keesokan harinya, dibawanya pakaian itu ke stasiun bawah tanah yang ramai, ditawarkannya hingga lebih dari enam jam. Akhirnya Jordan berhasil menjual pakaian itu. Kini ia memegang lembaran uang 2 dollar dan berlarilah ia pulang.

    Setelah itu, setiap hari ia mencari pakaian bekas, lalu dirapikan kembali dan dijualnya di keramaian. Lebih dari sepuluh hari kemudian, ayahnya kembali menyerahkan sepotong pakaian bekas kepadanya, “Coba engkau pikirkan bagaimana caranya untuk menjual pakaian ini hingga seharga 20 dolar?”. Kata Jordan, “Bagaimana mungkin..? Pakaian ini paling tinggi nilainya hanya 2 dollar.”

    Ayahnya kembali memberikan semangat, “Mengapa engkau tidak mencobanya dulu..? Pasti ada jalan,” kata Ayahnya.

    Akhirnya, Jordan mendapatkan satu ide, ia meminta bantuan sepupunya yang belajar melukis untuk menggambarkan Donal Bebek yang lucu dan Mickey Mouse yang nakal pada pakaian itu.  Lalu ia berusaha menjualnya di sebuah sekolah anak orang kaya. Tak lama kemudian seorang pengurus rumah tangga yang menjemput tuan kecilnya, membeli pakaian itu untuk tuan kecilnya.

    Tuan kecil itu yang berusia sepuluh tahun sangat menyukai pakaian itu, sehingga ia memberikan tip 5 dolar. Tentu saja 25 dollar adalah jumlah yang besar bagi Jordan, setara dengan satu bulan gaji dari ayahnya.

    Setibanya di rumah, ayahnya kembali memberikan selembar pakaian bekas kepadanya, “Apakah engkau mampu menjualnya kembali dengan harga 200 dolar..?” Mata ayahnya tampak berbinar.

    Kali ini, Jordan menerima pakaian itu tanpa keraguan sedikit pun. Dua bulan kemudian kebetulan aktris film populer “Charlie Angels”, Farah Fawcett datang ke New York melakukan promo. Setelah konferensi pers, Jordan pun menerobos pihak keamanan untuk mencapai sisi Farah Fawcett dan meminta tanda tangannya di pakaian bekasnya. Ketika Fawcett melihat seorang anak yang polos meminta tanda tangannya, ia dengan senang hati membubuhkan tanda tangannya pada pakaian itu.

    Jordan pun berteriak dengan sangat gembira, “Ini adalah sehelai baju kaus yang telah ditandatangani oleh Miss Farah Fawcett, harga jualnya 200 dollar!” Ia pun melelang pakaian itu, hingga seorang pengusaha membelinya dengan harga 1.200 dollar.

    Sekembalinya ke rumah, ayahnya dengan meneteskan air mata haru berkata, “Tidak terbayangkan kalau engkau berhasil melakukannya. Anakku! Engkau sungguh hebat..!”

    Malam itu, Jordan tidur bersama ayahnya dengan kaki bertemu kaki. Ayahnya bertanya, “Anakku, dari pengalaman menjual tiga helai pakaian yang sudah kau lakukan, apakah yang berhasil engkau pahami..?” Jordan menjawab dengan rasa haru, “Selama kita mau berpikir dengan otak, pasti ada caranya.”

    Ayahnya menganggukkan kepala, kemudian menggelengkan kepala, “Yang engkau katakan tidak salah! Tapi bukan itu maksud ayah. Ayah hanya ingin memberitahumu bahwa sehelai pakaian bekas yang bernilai satu dolar juga bisa ditingkatkan nilainya, apalagi kita sebagai manusia yang hidup..? Mungkin kita berkulit lebih gelap dan lebih miskin, tapi apa bedanya..?”

    Seketika dalam pikiran Jordan seakan ada matahari yang terbit. Bahkan sehelai pakaian bekas saja bisa ditingkatkan harkatnya, lalu apakah saya punya alasan untuk meremehkan diri sendiri? Sejak saat itu, dalam hal apapun, Michael Jordan merasa bahwa masa depannya indah dan penuh harapan.

    Makna kisah Jordan, adalah Potensi diri kita begitu besar, jangan dipandang kecil hanya karena kita dilahirkan dari keluarga kurang mampu, pendidikan tidak sampai S1 ataupun memiliki cacat. Teruslah berusaha, belajar dan mengasah kecerdasan kita. Tabik..

  • Partai Politik Dalam Progres Kepentingan Publik

    Partai Politik Dalam Progres Kepentingan Publik

    Membaca berbagai referensi tentang partai Politik, bahwa di masa penjajahan Belanda, berbagai partai politik dibentuk tanpa menghiraukan larangan pemerintah kolonial. Banyak yang terang-terangan memperjuangkan Indonesia merdeka, tapi tak sedikit yang bertekad lebih jauh lagi dengan melawan kapitalisme.
    Dan saat Dewan Rakyat (Volksraad) dibuat pemerintah kolonial Belanda sebagai lembaga perwakilan wilayah jajahan, sebagian parpol itu ikut menempatkan para legislatornya untuk menjalankan fungsinya memperjuangkan kepentingan masyarakat.

    Dian Abraham, pokja pemilu, dalam progren Pokja Pemilu menyebutkan, seperti halnya di negara demokrasi nan beradab lainnya, partai politik telah menjadi alat bagi kaum pergerakan untuk memperjuangkan kepentingan publik. Setelah diselingi masa pelarangan parpol oleh penjajah Jepang, situasi itu berlanjut setelah proklamasi kemerdekaan hingga munculnya Orde Baru.

    Dan hal itu jauh berubah saat ini. Mayoritas aktivis, terutama yang kiri, bukan cuma meninggalkan ide berpartai, tapi juga melecehkannya. Golput terus dilestarikan, bahkan Pemilu terkesan diboikot. Akibatnya, parpol maupun keluarannya – terutama anggota DPR – disesaki oleh para oportunis dan perampok dana publik. Dan kenyataan itu semakin membuat parpol dilecehkan. Makin paripurnalah lingkaran setan itu.

    Muncul sikap anti parpol ini sangat wajar dan mudah dimengerti, terutama mengingat anggapan busuknya sistem kepartaian saat ini sejak ala orde baru adalah realita bahwa parpol-parpol yang ada saat ini lebih mewakili kepentingan kelompok mereka ketimbang masyarakat banyak.

    Di sisi lain, fenomena diaspora aktivis ke parpol yang ada saat ini tidak cukup membantu mengembalikan kepercayaan terhadap pentingnya parpol bagi kaum pergerakan. Bahkan tak sedikit yang berdiam diri terhadap buruknya sistem registrasi kepartaian yang sejak 1999.

    Sistem registrasi parpol yang diartikan sebagai perangkat aturan berikut tata laksana mulai dari pembentukan suatu parpol hingga parpol tersebut bisa ikut serta dalam pemilihan umum. Yang lazimtertuang dalam dua jenis legislasi: UU tentang parpol dan UU tentang elektoral/pemilu. Tata cara pembentukan parpol umumnya diatur dalam UU tentang parpol sedangkan tata cara maupun persyaratan suatu parpol untuk dapat ikut pemilu diatur dalam UU tentang pemilu.

    Berdasarkan sistem registrasi yang berlaku sekarang, sebuah parpol harus melalui 3 tahap yang rumit dan ketat sebelum dapat ikut pemilu: tahap pembentukan, pendaftaran sebagai badan hukum, dan pendaftaran sebagai peserta pemilu, dll.

    Karena itu, tak mengherankan bila parpol yang tidak memiliki dana besar hampir bisa dipastikan gagal memenuhi persyaratan tersebut dengan cara-cara yang normal.

    Ada beberapa alasan menarik untuk membandingkan sistem registrasi parpol kita dengan negara berkembang lainnya di Asia seperti India. Tidak hanya tingkat kerumitan penyelenggaraan pemilunya setara (jika India tidak lebih rumit), tetapi wilayah geografis yang luas, tingkat populasi yang tinggi beserta data demografis lainnya, termasuk keragaman budaya dan bahasa, juga mirip. Dan alasan penting lainnya adalah negara berpopulasi terbanyak kedua dunia itu juga menganut demokrasi dengan sistem multipartai.

    Nyatanya, sistem registrasi parpol India sangat berbeda dengan Indonesia. Di sana tidak ada UU Parpol yang mengatur tata cara pembentukan parpol. Karena itu, suatu organisasi yang menyatakan dirinya sebagai parpol dapat membentuk cabangnya sesuai kemampuannya, misalnya hanya di satu negara bagian saja. Begitu pula, tidak ada ketentuan jumlah cabang – apalagi ranting – partai di negara bagian tersebut.

    Pengalaman India ini menunjukkan bahwa banyaknya penduduk bukan alasan untuk membatasi atau menyederhanakan jumlah partai politik. Dengan jumlah penduduk 1,3 milyar orang – lima kali lipat dari Indonesia – negara ini mampu menyelenggarakan pemilu tanpa perlu memperketat persyaratan parpol yang berarti mengorbankan hak asasi untuk berserikat (right to association). Selain India, beberapa negara demokrasi yang matang di Eropa, setidaknya, negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang tergabung dalam Conference on Security and Co-operation in Europe (CSCE) memiliki Dokumen Kopenhagen pada 1990 yang mensyaratkan negara anggotanya untuk “menghormati hak warga negaranya untuk memperoleh jabatan politik atau publik, baik secara sendiri-sendiri atau sebagai wakil dari partai atau organisasi politik, tanpa diskriminasi” (paragraf 7.5).

    Lebih tegas lagi, paragraf 7.6 menyatakan bahwa mereka “menghargai hak individu dan kelompok untuk membentuk, dengan kebebasan penuh, partai politik mereka sendiri dan memberikan jaminan hukum yang perlu bagi partai tersebut untuk memungkinkan mereka berkompetisi satu sama lain berdasarkan perlakuan yang setara di depan hukum dan oleh otoritas yang berwenang.”

    Di dalam Pedoman Regulasi Partai Politik yang menjadi implementasi dari Dokumen Kopenhagen tersebut ditegaskan bahwa partai politik adalah perkumpulan privat yang memainkan peran kritis sebagai aktor politik dalam domain publik. Karenanya, negara-negara tersebut berupaya menjaga keseimbangan antara regulasi negara terhadap parpol sebagai aktor politik, dan di sisi lain, penghormatan terhadap hak asasi mereka yang menjadi anggota partai tersebut sebagai warga privat, terutama hak berserikat (right to association) yang salah satunya mewujud dalam bentuk partai politik. Jika ada, legislasi tersebut tidak boleh mengganggu kebebasan berserikat tersebut.

    Tak mengherankan bila setidaknya ada empat negara di Eropa, yakni Belgia, Perancis, Luksemburg dan Malta, yang tidak memiliki UU tentang Parpol dan tidak memiliki syarat apapun bagi parpol terkait dengan pelaksanaan pemilu. Meskipun Belgia dan Perancis memilikinya, aturan tersebut hanya mengatur parpol saat sudah terbentuk, khususnya dibatasi hanya mengatur pendanaan partai oleh negara dan kontrol terhadap keuangannya.
    Dengan demikian, masyarakat di negara-negara tersebut dapat membentuk parpol kapanpun dirasa perlu dan ikut di dalam pemilu jika menginginkannya, tanpa ada campur tangan dari pemerintah.

    Di Inggris, sejak munculnya parpol pada abad ke-19 hingga tahun 1998 lalu, pemerintahnya memang tidak merasa perlu melakukan pendaftaran bagi mereka. Hal itu baru diubah sejak diundangkannya UU Pendaftaran Parpol. Meski demikian, seperti halnya di India, pendaftaran parpol tidak wajib. Parpol dapat mengkampanyekan calonnya di dalam pemilu tanpa perlu mendaftar ke Komisi Elektoral sama sekali.

    Kemunculan legislasi itu pun sebenarnya unik, yakni adanya preseden penggunaan nama partai baru yang mirip dengan partai yang sudah mapan di Inggris, yakni Literal Democrats, Conversative Party dan Labor Party yang mirip dengan Liberal Democrats, Conservative Party dan Labour Party. Oleh karena itu, UU Pendaftaran Parpol tersebut dibuat untuk mengatur nama partai yang digunakan dalam pemilu agar tidak ada yang merasa dirugikan.
    Pengalaman berbagai negara di Eropa dan India menunjukkan bahwa pengetatan persyaratan bagi parpol baru itu bukan saja melanggar hak asasi, yakni hak untuk berserikat (right to association), tetapi juga sama sekali tidak perlu. Perlindungan atas hak membentuk parpol terbukti dapat dilakukan oleh negara-negara demokratis tersebut dengan campur tangan yang minimal dari negara.

    Proses penyelenggaraan pemilu pun dapat diselenggarakan dengan relatif baik. Jadi, alasan kesulitan teknis dari penyelenggara pemilu tidak valid lagi dikemukakan, apalagi dengan mengorbankan hak asasi tersebut.
    Saat ini, yang justru dibutuhkan adalah munculnya kekuatan progresif baru di parlemen maupun pemerintahan, dimana pengaruh para petualang politik yang telah menjadi oligarki partai tersebut di atas minim terhadap parpol-parpol progresif itu.

    Sudah mendesak saatnya kita mendorong demokrasi substansial dimana kualitas partai politiknya beserta legislator dan pemimpin daerah yang menjadi kadernya jauh lebih dipentingkan untuk memperjuangkan kepentingan publik secara luas. Dan sudah saatnya pula publik tidak terus-menerus dininabobokan oleh wacana demokrasi prosedural berupa penyelenggaraan pemilu yang aman dan damai. Semoga.. (Juniardi)

  • Lampung Butuh Pemimpin Yang Berkarakter

    PESATNYA kemajuan Lampung sebagai Provinsi pintu masuk pulau Sumatera, Indonesia wikayah barat yang terdekat dengan ibukota negara saat ini begitu menggeliat. Kepadatan penduduk, industri dan bisnis industri hingga peningkatan SDM kian terasa, dan itu terus bergerak meski tanpa peran pemerintah daerah. Teruji saat Lampung tanpa Gubernur, ketika PLT Tursandi, kekosongan Kepala daerah, meski banyak gejolak yang seperti dibesar besarkan dianggap sulit di atasi.
    Provinsi Lampung itu mempesona, kaya akan keindahan, serta kekayaan alam nya seharusnya mampu memberikan sebuah harapan yang cemerlang bagi masyarakat nya untuk memiliki kehidupan yang layak disebut “Merdeka”. Namun kondisinya jauh sangat berbeda dengan kondisi yang seharusnya dapat kita bayangkan, Lampung yang menyimpan banyak kekayaan alam dan SDM yang semakin tinggi jusru belum menjamin kesejahteraan bagi “masyarakat” Lampung.
    Jelang konstelasi pemilihan Gubernur Lampung 2018, jika kita memilih pemimpin yang kuat dan sekilas tampak tegas saja juga bukan bentuk penyelesaian yang terbaik. Pemimpin yang hanya menjadi solidarity maker juga bukanlah pemimpin yang efektif. Apalagi pemimpin yang hanya terkenal sebagai tipe administrator yang berwatak birokratis. Nurcholis Madjid menyebut pemimpin seperti ini sebagai lambang harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction) dan sumber kesadaran tujuan (sense of purpose).
    Selama ini masyarakat Lampung dibuaikan dengan segala hal yang pragmatis. Gejolak politik menyugukan berbagai intrik politik dan bukan pendidikan politik. Sehingga terkesan keadaan menjadi tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal ini, pemimpin dengan kualitas prima yang kita butuhkan, yaitu pemimpin yang berkarakter dan memiliki integritas serta memiliki visi yang jelas dalam menyelesaikan segala permasalahan daerah hingga mempengaruhi masalah dan kemajuan daerah.
    Dalam catatan seorang sahabta menyebutkan, bahwa di masa depan, persoalan kita sudah sangat berbeda, dan salah satu solusi untuk menghadapinya dibutuhkan tipe kepemimpinan yang juga berbeda. Faktanya masyarakat kita semakin kritis dan mulai mengerti hak-haknya. Mereka tidak ingin hanya menjadi obyek yang terus menerus diatur oleh pemimpin mereka. Pemimpin saat ini juga diharapkan mampu membuat inovasi kebijakan yang berani dan berdampak jauh serta mampu menghadapi persoalan ekonomi yang baru, seperti tuntutan pemerataan dan keadilan.
    Untuk itu, sepertinya layak Lampung kini membutuhkan pemimpin berkarakter, baik di tingkat kepala daerah, dan legislatif, karena pemimpin pada dasarnya berada di seluruh sektor kekuasaan yang berada dalam sebuah sistem, dan memiliki kewenangan atau kekuasaan, sehingga nasib masyarakat bangsa ini tidak hanya terletak pada presiden dan wakil presiden saja.
    Dalam berbagai teori menyebtukan, kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
    Artinya, seorang pemimpin harus berkarakter, punya kredibilitas, menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan. Pemimpin berkarakter sudah barang tentu bukan sosok karbitan atau yang hanya mengandalkan pengalaman jabatan, jam terbang politik, dan deretan panjang aktivitas kemasyarakatan, tanpa catatan prestasi yang jelas dalam semua kiprahnya itu. Pemimpin berkarakter adalah pemimpin yang mampu membuat skenario masa depan bagi rakyat dan memperjuangkan skenario itu dengan melakukan perubahan mendasar dalam pemerintahan dan masyarakatnya dengan bertopang pada nilai-nilai masyarakatnya sendiri.
    Di samping berkarakter pemimpin juga diharapkan memiliki kredibilitas. Ini menyangkut komitmen, integritas, kejujuran, konsistensi dan keberanian seorang pemimpin untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Bukan jenis pemimpin dengan mental tempe, selalu ragu-ragu dan serba lambat mengambil keputusan di antara sekian banyak pilihan yang memang mustahil sempurna. Pemimpin yang kredibilitasnya mumpuni, sejak semula diberi amanah siap mempertanggungjawabkan kegagalan tanpa mencari kambing belang. Dia lebih suka mencari apa yang keliru untuk diperbaiki ketimbang mencari siapa yang patut disalahkan.
    Kredibilitas juga mengandung pengertian adanya ketenangan batin seorang pemimpin untuk memberikan reaksi yang tepat terutama dalam kedaaan kritis. Selain tentu, saja kredibilitas juga menyangkut aspek kecakapan dan ketrampilan teknis memimpin. Pemimpin berkarakter juga menjadi inspirasi keteladanan.
    Boleh jadi ini aspek kepemimpinan yang terpenting dan sekaligus teramat sulit untuk kita temukan diera terkini. Banyak pemimpin di negeri ini yang gagal menjadi sumber inspirasi keteladanan. Mereka tidak sanggup berdiri di barisan terdepan dalam memberi teladan dari dirinya dan lingkungan kekuasaannya yang terdekatnya. Pemimpin yang inspiratif, semestinya sanggup secara otentik menunjukkan ketulusan satunya ucapan dengan tindakan, satunya seruan dengan pelaksanaan, satunya tekad dengan perbuatan. Orang Jepang menyebut sikap otentik ini dengan istliah “makoto”, artinya sungguh-sunggguh, tanpa kepura-puraan. Karean pemimpin yang memberi harapan adalah pemimpin mampu menjadikan harapan rakyatnya sebagai roh kepemimpinannya. Tidak sebaliknya, secara egois menjadikan harapannya seolah-olah sebagai harapan rakyatnya.
    Bisa dikatakan pemimpin berkarakter adalah yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan. Selain keunggulan spesifiknya pada sisi inteligensia, pemimpin yang berkarakter juga dituntut untuk menguasai moral capital yang kuat. Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen para pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik.
    Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekedar kualitas moral individual, namun juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat. Pemimpin berkarater mengelola pembangunan sebagai proses pembentukan nilai yang berkesinambungan, bukan hanya sekadar berkuasa untuk lima tahunan. Tanpa semua itu pemimpin akan gagal mengajak rakyatnya untuk bergerak (moving the people) untuk mengatasi carut-marut keadaan. Rakyat yang engan diajak bergerak menjemput perubahan adalah pertanda gagalnya kepemimpinan.
    Pembentukan karakter seseorang pemimpin pada dasarnya menjadi tanggung jawab semua pihak dan warga masyarakat, termasuk kita semua. Oleh karena itu seluruh komponen lembaga kepemerintahan di Lampung bersama rakyat wajib menyediakan persemaian yang subur untuk pengembangan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan pemimpin yang berkarakter. Semoga, Tabik. (Juniardi)

  • Lampung Butuh Pemimpin Yang Berkarakter

    Lampung Butuh Pemimpin Yang Berkarakter

    PESATNYA kemajuan Lampung sebagai Provinsi pintu masuk pulau Sumatera, Indonesia wikayah barat yang terdekat dengan ibukota negara saat ini begitu menggeliat. Kepadatan penduduk, industri dan bisnis industri hingga peningkatan SDM kian terasa, dan itu terus bergerak meski tanpa peran pemerintah daerah. Teruji saat Lampung tanpa Gubernur, ketika PLT Tursandi, kekosongan Kepala daerah, meski banyak gejolak yang seperti dibesar besarkan dianggap sulit di atasi.

    Provinsi Lampung itu mempesona, kaya akan keindahan, serta kekayaan alam nya seharusnya mampu memberikan sebuah harapan yang cemerlang bagi masyarakat nya untuk memiliki kehidupan yang layak disebut “Merdeka”. Namun kondisinya jauh sangat berbeda dengan kondisi yang seharusnya dapat kita bayangkan, Lampung yang menyimpan banyak kekayaan alam dan SDM yang semakin tinggi jusru belum menjamin kesejahteraan bagi “masyarakat” Lampung.

    Jelang konstelasi pemilihan Gubernur Lampung 2018, jika kita memilih pemimpin yang kuat dan sekilas tampak tegas saja juga bukan bentuk penyelesaian yang terbaik. Pemimpin yang hanya menjadi solidarity maker juga bukanlah pemimpin yang efektif. Apalagi pemimpin yang hanya terkenal sebagai tipe administrator yang berwatak birokratis. Nurcholis Madjid menyebut pemimpin seperti ini sebagai lambang harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction) dan sumber kesadaran tujuan (sense of purpose).

    Selama ini masyarakat Lampung dibuaikan dengan segala hal yang pragmatis. Gejolak politik menyugukan berbagai intrik politik dan bukan pendidikan politik. Sehingga terkesan keadaan menjadi tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal ini, pemimpin dengan kualitas prima yang kita butuhkan, yaitu pemimpin yang berkarakter dan memiliki integritas serta memiliki visi yang jelas dalam menyelesaikan segala permasalahan daerah hingga mempengaruhi masalah dan kemajuan daerah.

    Dalam catatan seorang sahabta menyebutkan, bahwa di masa depan, persoalan kita sudah sangat berbeda, dan salah satu solusi untuk menghadapinya dibutuhkan tipe kepemimpinan yang juga berbeda. Faktanya masyarakat kita semakin kritis dan mulai mengerti hak-haknya. Mereka tidak ingin hanya menjadi obyek yang terus menerus diatur oleh pemimpin mereka. Pemimpin saat ini juga diharapkan mampu membuat inovasi kebijakan yang berani dan berdampak jauh serta mampu menghadapi persoalan ekonomi yang baru, seperti tuntutan pemerataan dan keadilan.

    Untuk itu, sepertinya layak Lampung kini membutuhkan pemimpin berkarakter, baik di tingkat kepala daerah, dan legislatif, karena pemimpin pada dasarnya berada di seluruh sektor kekuasaan yang berada dalam sebuah sistem, dan memiliki kewenangan atau kekuasaan, sehingga nasib masyarakat bangsa ini tidak hanya terletak pada presiden dan wakil presiden saja.

    Dalam berbagai teori menyebtukan, kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).

    Artinya, seorang pemimpin harus berkarakter, punya kredibilitas, menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan. Pemimpin berkarakter sudah barang tentu bukan sosok karbitan atau yang hanya mengandalkan pengalaman jabatan, jam terbang politik, dan deretan panjang aktivitas kemasyarakatan, tanpa catatan prestasi yang jelas dalam semua kiprahnya itu. Pemimpin berkarakter adalah pemimpin yang mampu membuat skenario masa depan bagi rakyat dan memperjuangkan skenario itu dengan melakukan perubahan mendasar dalam pemerintahan dan masyarakatnya dengan bertopang pada nilai-nilai masyarakatnya sendiri.

    Di samping berkarakter pemimpin juga diharapkan memiliki kredibilitas. Ini menyangkut komitmen, integritas, kejujuran, konsistensi dan keberanian seorang pemimpin untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Bukan jenis pemimpin dengan mental tempe, selalu ragu-ragu dan serba lambat mengambil keputusan di antara sekian banyak pilihan yang memang mustahil sempurna. Pemimpin yang kredibilitasnya mumpuni, sejak semula diberi amanah siap mempertanggungjawabkan kegagalan tanpa mencari kambing belang. Dia lebih suka mencari apa yang keliru untuk diperbaiki ketimbang mencari siapa yang patut disalahkan.

    Kredibilitas juga mengandung pengertian adanya ketenangan batin seorang pemimpin untuk memberikan reaksi yang tepat terutama dalam kedaaan kritis. Selain tentu, saja kredibilitas juga menyangkut aspek kecakapan dan ketrampilan teknis memimpin. Pemimpin berkarakter juga menjadi inspirasi keteladanan.

    Boleh jadi ini aspek kepemimpinan yang terpenting dan sekaligus teramat sulit untuk kita temukan diera terkini. Banyak pemimpin di negeri ini yang gagal menjadi sumber inspirasi keteladanan. Mereka tidak sanggup berdiri di barisan terdepan dalam memberi teladan dari dirinya dan lingkungan kekuasaannya yang terdekatnya. Pemimpin yang inspiratif, semestinya sanggup secara otentik menunjukkan ketulusan satunya ucapan dengan tindakan, satunya seruan dengan pelaksanaan, satunya tekad dengan perbuatan. Orang Jepang menyebut sikap otentik ini dengan istliah “makoto”, artinya sungguh-sunggguh, tanpa kepura-puraan. Karean pemimpin yang memberi harapan adalah pemimpin mampu menjadikan harapan rakyatnya sebagai roh kepemimpinannya. Tidak sebaliknya, secara egois menjadikan harapannya seolah-olah sebagai harapan rakyatnya.

    Bisa dikatakan pemimpin berkarakter adalah yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan. Selain keunggulan spesifiknya pada sisi inteligensia, pemimpin yang berkarakter juga dituntut untuk menguasai moral capital yang kuat. Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen para pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik.

    Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekedar kualitas moral individual, namun juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat. Pemimpin berkarater mengelola pembangunan sebagai proses pembentukan nilai yang berkesinambungan, bukan hanya sekadar berkuasa untuk lima tahunan. Tanpa semua itu pemimpin akan gagal mengajak rakyatnya untuk bergerak (moving the people) untuk mengatasi carut-marut keadaan. Rakyat yang engan diajak bergerak menjemput perubahan adalah pertanda gagalnya kepemimpinan.

    Pembentukan karakter seseorang pemimpin pada dasarnya menjadi tanggung jawab semua pihak dan warga masyarakat, termasuk kita semua. Oleh karena itu seluruh komponen lembaga kepemerintahan di Lampung bersama rakyat wajib menyediakan persemaian yang subur untuk pengembangan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan pemimpin yang berkarakter. Semoga, Tabik. (Juniardi)