Tag: Kalimantan Selatan

  • Buka HPN 2020 di Kalsel, Jokowi Sebut Pers Penting dalam Demokrasi

    Buka HPN 2020 di Kalsel, Jokowi Sebut Pers Penting dalam Demokrasi

    Banjarmasin (SL) – Presiden RI Joko Widodo membuka Hari Pers Nasional (HPN) 2020 yang dilaksanakan di halaman Kantor Sekretariat Daerah Kalimantan Selatan dan dihadiri ribuan wartawan dari seluruh provinsi di Indonesia, Sabtu (8/2).

    Presiden tiba di lokasi acara HPN sekitar pukul 09.15 Wita menggunakan bus pariwisata milik Pemprov. Sebelumnya Presiden melakukan penanaman pohon di Hutan Pers tak jauh dari kantor gubernur Kalsel tersebut.

    Kedatangan presiden didampingi sejumlah pejabat tinggi negara seperti Ketua MPR Bambang Soesetyo, Ketua DPR Puan Maharani dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko serta sejumlah menteri.

    Menteri yang hadir di antaranya Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menko PMK Muhadjir Effendi, Menteri PUPR M Basuki Hadimuljono, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar.

    Kemudian Dirut Perum Bulog Budi Waseso dan sejumlah duta besar negara sahabat turut hadir di acara HPN, juga tampak Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Presiden Joko Widodo mengucapkan selamat kepada seluruh insan pers di Indonesia.

    “Selamat Hari Pers pada seluruh insan pers di manapun saudara-saudara berada,” kata Jokowi di Kantor Gubernur Kalimantan Selatan, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Sabtu 8 Februari 2020.

    Jokowi menyebut pers berperan penting dalam menunjang kinerja pemerintah. Dia pun selalu berusaha hadir di setiap peringatan HPN. Sebab, pers telah mendampinginya di setiap kesempatan.

    “Yang setiap hari ikut sama saya kemana-mana adalah insan pers. Menteri saja tidak setiap hari ikut,” kelakar Jokowi.

    Mantan Gubernur DKI Jakarta itu berterima kasih atas kinerja pers Indonesia. Menurut Jokowi, pers berperan penting dalam demokrasi Indonesia. Salah satunya menyebarluaskan informasi program pemerintah. “Pers juga berperan menjaga situasi bangsa tetap kondusif,” tuturnya.

    Dia berharap pers kian mengedukasi masyarakat. Apalagi untuk memerangi hoaks yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. “Karena masyarakat yang sehat adalah yang dapat informasi yang sehat,” tutur Jokowi. (jun)

  • Semua Pengurus PWI Lampung akan Hadiri HPN 2020 Banjarmasin

    Semua Pengurus PWI Lampung akan Hadiri HPN 2020 Banjarmasin

    Bandar Lampung  (SL) – Jajaran pengurus PWI Provinsi Lampung menggelar rapat pemantapan persiapan menuju Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2020 di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat, 24 Januari 2020 di kantor PWI Lampung.
    Agenda puncak HPN 2020 akan berlangsung pada 6-7 Februari 2020 mendatang. Selain Gubernur Lampung Arinal Djunaidi, kontingen Lampung yang akan hadir diantaranya Bupati Tulangbawang Barat (Tubaba) Umar Ahmad sebagai penerima Anugrah Kebudayaan HPN 2020.
    Selain itu turut hadir Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Lampung Krisna Putra, Kepala Biro Administrasi Pemerintahan Yudi Hermanto, Ketua Dewan Kehormatan PWI Lampung Iskandar Zulkarnain dan pengurus inti PWI serta utusan PWI 14 kabupaten/kota se Lampung.
    Ketua PWI Lampung Supriyadi Alfian menegaskan semua jajaran pengurus PWI se Lampung yang akan menghadiri HPN untuk serius mempersiapkan keberangkatan.
    “Saya minta semua serius mempersiapkan keberangkatan dalam rangka menyukseskan HPN 2020 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sebab waktunya sudah sangat mepet,” tegas Supriyadi Alfian.
    Persiapan harus mantap diantaranya soal anggaran keberangkatan, akomodasi dan transportasi seluruh kontingen yang akan hadir di HPN. “Saya juga ingin ada pembagian tugas jangan sampai menghadiri HPN cuma untuk jalan-jalan. Sebab, HPN memiliki beragam agenda dalam rangka peningkatan kualitas dan kompetensi wartawan. Perlu ada pembagian tugas yang jelas,” ujar Ketua PWI Lampung dua periode itu.
    Adapun beberapa agenda yang akan dilakukan pada HPN diantaranya Rakernas Siwo se Indonesia, anugrah dan dialog kebudayaan, pameran pers, bakti sosial, konsolidasi anggota IKWI se Indonesia.
    Lalu, seminar forum milenial yang akan menghadirkan Staf Khusus Kepresidenan. Kemudian, seminar stunting dengan narasumber Menko PMK, Menteri Kesehatan, Menteri Desa, Menteri Pertanian, Menteri PUPR, Gubernur Kalsel beserta istri dan agenda lainnya.
    Puncak HPN 2020 akan dilakukan pada 9 Februari yang akan dihadiri Presiden RI Joko Widodo. (*)
  • Usut Kematian M. Yusuf Ini Susunan TPF PWI Pusat

    Usut Kematian M. Yusuf Ini Susunan TPF PWI Pusat

    Kalimantan Selatan (SL) – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) merespon cepat kematian almarhum Muhammad Yusuf (42). Wartawan Kemajuan Rakyat yang meninggal pada 10 Juni lalu. Muhammad Yusuf tewas setelah sempat mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kotabaru, Kalimantan Selatan.

    Dari rilis yang diterima redaksi (14/6), malam. Sebelumnya Plt Ketua Umum PWI Pusat, Sasongko Tedjo membentuk Tim Pencari Fakta (TPF), yang diketuai oleh Ilham Bintang yang juga menjabat Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.

    Selain Ilham Bintang, TPF PWI Pusat diisi sejumlah nama lain seperti, Marah Sakti Siregar, Wakil Ketua dan Wina Armada Sukardi sebagai Sekretaris TPF.

    Selanjutnya untuk anggota TPF PWI terdiri dari beberapa nama yaitu, Uni Lubis, Gusti Rusdi Effendi, Zainal Helmi, Agus Sudibyo, Firdaus Banten, dan Teguh Santosa.

    TPF PWI mulai aktif betugas pada 22 Juni 2018 mendatang. Menurut rencana Tim Pencari Fakta PWI Pusat ini, akan membedah kembali karya jurnalistik serta kasus yang tengah didalami almarhum Muhammad Yusuf di Kalimantan Selatan.

    Sebelumnya, almarhum Muhammad Yusuf dijebloskan ke penjara setelah menulis pemberitaannya terkait sengketa perebutan lahan di antara PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) dan warga Pulau Laut.

    Tulisan almarhum Muhammad Yusuf, disebut bermuatan provokasi, tidak berimbang, dan menghasut yang merugikan MSAM.

    Muhammad Yusuf dijerat Pasal 45A UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancamannya pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. (red)

  • Ilham Bintang Pimpin Tim Pencari Fakta Kematian Yusuf

    Ilham Bintang Pimpin Tim Pencari Fakta Kematian Yusuf

    Kalimantan Selatan (SL) – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat berkerja cepat. Empat hari setelah kematian Muhammad Yusuf, wartawan Kemajuan Rakyat dan Berantas News, PWI Pusat, Kamis (14/6) membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). Tim ini dipimpin Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Ilham Bintang.

    Plt Ketua Umum PWI Sasongko Tedjo menyatakan, TPF ini akan bekerja setelah  Idul Fitri, mengumpulkan dan memverifikasi berbagai informasi terkait proses penangkapan, penahanan, hingga meninggalnya Muhammad Yusuf.

    “TPF akan mecari fakta secara langsung dan akan berkoordinasi dengan Kepolisian, Dewan Pers, keluarga almarhum, dan media tempat Yusuf bekerja,” kata Sasongko Tedjo, Kamis (14/6).

    Menurut Sasongko, TPF PWI Pusat juga akan meneliti prinsip penanganan sengketa pers berkaitan dengan posisi Yusuf sebagai wartawan di sebuah media.

    Yusuf meninggal di Lapas Kotabaru, Kalimantan Selatan, Ahad (10 Juni 2018), dalam status tahanan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kotabaru. Yusuf disangkakan melanggar Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) terkait berita konflik rakyat dengan PT Multi Agro Sarana Mandiri (MSAM).

    Tugas Mulia

    Tidak lama setelah ditunjuk PWI Pusat sebagai Ketua TPF, Ilham Bintang langsung bergerak. Sejumlah wartawan senior PWI, yang dihubungi Ilham untuk bergabung dalam TPF, dengan antusias menyatakan kesediaannya.

    “Saya hubungi teman-teman di saat Takbiran, menyatakan bersedia bergabung. Ini menunjukkan pemahaman yang tinggi tentang mulianya tugas wartawan,” ujar Ilham kepada ceknricek.com, Kamis (14/6) malam.

    Menurut Ilham, semua hambatan yang bersifat kekerasan terhadap tugas wartawan harus dihilangkan. Kewartawanan sendi utama demokrasi. “Tidak boleh dibungkam oleh siapa pun juga,” tegasnya. TPF ini akan mulai bekerja terhitung 22 Juni 2018 hingga selesai.

    Bagi Ilham, pembelaan terhadap wartawan bukan yang pertama. Pada 1985 lalu, Ilham,  Wakil Ketua PWI Seksi Film dan Kebudayaan PWI Jaya, memimpin pembelaan dan pengusutan kasus penganiayaan berat wartawan film SK Martha. Selain berhasil mengumumkan black out PWI seluruh Indonesia secara nasional terhadap pelaku — ini pertama dalam sejarah pers nasional — pelaku juga berhasil ditangkap dan diadili.

    “Kasus tahun 1985 itu amat berat, karena pelaku berada di lingkaran kekuasaan dan memiliki jaringan luas para pengambil keputusan politik dan keamanan,” kata Ilham.

    Tentang TPF Muhammad Yusuf ini, Ilham menyebutnya sebagai tugas mulia yang diamanatkan bertepatan Malam Takbir Idul Fitri. “Semoga momentum ini bermakna bahwa TPF dapat mengungkap kematian Yusuf secara terang benderang. Ini kontribusi amat besar, bukan hanya dalam kehidupan wartawan, tapi terutama demokrasi Indonesia. Kami mengharapkan dukungan semua pihak demi suksesnya misi ini,” tegas Ilham.

    Susunan TPF PWI Pusat, Ilham Bintang (ketua), Marah Sakti Siregar (wakil ketua), Wina Armada (sekertaris), Uni Lubis, H. Gusti Rusdi Effendi (Banjarmasin Post), Zainal Helmie (Ketua PWI Kalsel), dan Agus Sudibyo, Firdaus Banten, Teguh Santosa (Ceknricek/Anggota).

  • Protes dan Misteri Kematian Yusuf

    Protes dan Misteri Kematian Yusuf

    Kalimantan Selatan (SL) – Duka Cita dan rasa sesal masih menggantung di wajah komunitas pers Indonesia. Itu reaksi yang kemudian bermunculan setelah berpulangnya M.Yusuf, wartawan kemajuanrakyat.co. id di Kotabaru, Kalimantan Selatan, Minggu (10/6/18).

    Apa penyebab kematian  wartawan itu di sel tahanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Kotabaru? Keterangan polisi sudah dirilis. Tapi, banyak wartawan tetap penasaran. Apakah pria berusia 42 tahun itu memang meninggal karena sakit, seperti kesimpulan sementara polisi. Atau ada sebab lain. Pengacara tenar Prof DR Yusril Ihza Mahendra yang ditanya wartawan ihwal itu, menyarankan sebaiknya segera dilakukan otopsi.

    Saran itulah sedang diikhtiarkan Pengacara Nawawi SH, yang mendapat mandat dari istri Yusuf, Tuo Arvaidah  untuk menangani kasus ini. “Saya  diundang via telepon untuk bertemu dengan Kasat  Reskrim AKP Surya Miftah,” kata Nawawi kepada Ceknricek.com, Rabu (13/6).

    Dalam pertemuan sekitar 10 menit itu, pihak Polres meminta agar jenazah Yusuf diotopsi. Cara ini akan memudahkan petugas untuk menentukan penyebab kematian Yusuf.

    Sepulang dari Polres, Nawawi memberitahu  istri Yusuf, Tuo Arvaidah soal rencana otopsi itu. Dan ibu empat anak itu sebenarnya sudah setuju. Dan otopsi pun sudah direncanakan akan dilakukan Kamis (14/6). Namun, belakangan, dia terpaksa menunda dulu langkah itu. “Karena keluarga suami saya, tidak setuju,” ujar wanita asal Bugis itu.

    Otopsi  akhirnya terpaksa diundur, kata Nawadi, setelah lebaran. Yakni, sekitar tanggal 25 sampai dengan 30 Juni 2018. “Hal ini karena pihak keluarga meminta ada dokter forensik lain yang mendampingi dokter dari kepolisian. Tujuannya agar ada pendapat pendamping supaya obyektif,” jelas Nawawi. Dalam kasus ini, ia dibantu tiga rekannya sesama pengacara. Yakni Erry Setyanegara, Tantri Maulana, dan Tonny Simamora.

    Nawawi menyatakan pelaksanaan otopsi tersebut sesuai dengan perintah Kapolda Brigjen Polisi Rachmat Mulyana agar masalah ini bisa dituntaskan secara obyektif.

    Nawawi berharap dengan adanya otopsi maka keluarga  bisa  mendapat kepastian penyebab kepergian Yusuf. “ Berdasar pengakuan keluarga, Yusuf memang memiliki riwayat jantung dan asma,” kata Nawawi, alumni Universitas Pamulang, Tangerang Selatan ini.

    Tapi keluarga masih curiga, Yusuf tidak meninggal karena serangan jantung. “Informasi keluarga menyebutkan Yusuf muntah-muntah setelah menerima makanan dari petugas,” imbuh Nawawi.

    Pengacara juga sedang mempertimbangkan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Polres, Kejaksaan dan Lapas. Sebab, seperti diceritakan isteri Yusuf, dia sebenarnya sudah meminta izin agar suaminya bisa dibawa ke rumah sakit untuk berobat. Tapi, permintaan itu ditolak. Makanya, Arvaidah meminta pengacaranya menuntut pihak yang menolak permintaan itu. “Namun kami masih mengumpulkan alat bukti terkait gugatan tersebut,” kata Nawawi.

    Pangkal Masalah

    M. Yusuf, koresponden yang tinggal di Jalan Batu Selira, Desa Hilir Muara, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kotabaru, itu berurusan dengan polisi karena pemberitaan. Ia menulis laporan berita di tiga media mengenai konflik antara warga Pulau Laut Tengah dengan PT Multi Agro Sarana Mandiri (MSAM). Bekerjasama dengan PT (persero) Inhutani II, PT MSAM memang berencana memperluas areal pekebunan sawitnya. Perusahan milik Andi Syamsudin Arsyad alias Haji Isam— pengusaha kuat dan berpengaruh di Kalimantan— dengan demikian harus memindahkan penduduk yang sudah bermukim di areal yang dikuasai PT Inhutani itu. Berita Yusuf tajam dan bernada menggugat PT MSAM yang disebutkan mengabaikan ganti rugi yang sudah pernah dijanjikannya.

    Kapolres Kotabaru  AKBP Suhasto mengatakan, mereka menerima pengaduan dari PT MSAM.  Perusahaan itu kesal dengan ulah Yusuf yang berada di pihak masyarakat yang berjuang mendapatkan ganti rugi atas perluasan perkebunan PT MSAM tersebut. Yusuf dituduh mencemarkan nama baik perusahaan dan pemiliknya. Merespon pengaduan itu, polisi pun bertindak. Tapi, untuk itu, mereka berkonsultasi dulu dengan Dewan Pers.

    Tim Polresta Kotabaru, di antaranya  Kasat Reskrim Surya Miftah Tarigan sudah bertemu dengan Ahli Pers dan mantan anggota Dewan Pers Leo Batubara di Jakarta. Polisi membawa dua berita yang mula-mula diadukan pihak Polres. Leo Batubara mengatakan, kasus itu delik pers.

    Tim Polres kemudian datang lagi dan mengajukan 21  tulisan Yusuf yang lain di beberapa media on line. Setelah mempelajari semua tulisan tersebut, Leo  Batubara menilai, produk berita Yusuf memang beritikad buruk, melanggar kode etik jurnalistik dan tidak bertujuan untuk kepentingan umum, sesuai fungsi pers. Penilaian Leo itu kemudian dimasukkan dalam Berita Acara polisi. Inilah yang kemudian dipersoalkan komunitas pers. Sebab, Leo Batubara dan Dewan Pers ternyata tidak lebih dulu memangggil pemimpin redaksi media yang memuat berita itu. Padahal, menurut UU Pers 40/1999, sebuah berita yang sudah diterbitkan media adalah tanggung jawab pimpinan dan penanggung jawab media. Bukan tanggung jawab wartawan.

    Berbekal penilaian Ahli Dewan Pers, polisi akhirnya  menangkap Yusuf  di Bandara Banjarmasin ketika Yusuf akan berangkat ke Jakarta, Kamis (5/4). Dalam jumpa pers (6/4), Kapolres Kotabaru AKBP Suhasto menjelaskan Yusuf dianggap melanggar undang-undang ITE. Yusuf pun ditahan. Kasusnya diberkas. Tak sampai dua minggu kasus itu naik ke kejaksaan negeri (P 21). Yusuf pun menjadi tahanan kejaksaan.

    Sempat disidangkan sekali, 15 hari dalam tahanan kejaksaan, wartawan yang dinilai teman-teman “suka menentang ketidakadilan” itu, meninggal dunia di Lapas Kotabaru.

    Berita kematiannya sontak menyengat komunitas pers. Banyak wartawan menyayangkan sikap Dewan Pers yang membuat pernyataan tanpa klarifikasi dulu  kepada media di mana. “Pemrednya kan ada. Kok wartawan yang ditangkap dan ditahan,” kata Halim, wartawan Vonis Tipikor, teman Yusuf di Kotabaru. Suara bernada protes seperti itu bermunculan di beberapa WA Group wartawan. Hampir semua menyesali Dewan Pers yang tidak melindungi wartawan di lapangan.

    Pihak Dewan Pers akhirnya  mengeluarkan keterangan pers, Senin (11/6) untuk menjelaskan duduk persoalan kasus ini.

    Keterangan pers yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo itu menjelaskan  hasil penilaian  terhadap dua berita yang dilaporkan dalam pertemuan pada 29 Maret 2018 dan 21 berita yang dilaporkan dalam pertemuan 2-3 April 2018. Ahli Pers dari Dewan Pers menilai:

    Pertama, berita-berita tersebut, secara umum tidak memenuhi standar teknis maupun Etik Jurnalistik karena tidak uji informasi, tidak berimbang dan sebagian besar mengandung opini menghakimi.

    Kedua, rangkaian pemberitaan yang berulang-ulang dengan muatan yang mengandung opini menghakimi tanpa uji informasi dan keberimbangan mengindikasikan adanya itikad buruk.

    Ketiga, pemberitaan berulang yang hanya menyuarakan kepentingan salah satu pihak, mengindikasikan berita tersebut tidak bertujuan untuk kepentingan umum dan tidak sesuai dengan fungsi dan peranan pers sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers.

    Keempat, pihak yang dirugikan oleh rangkaian pemberitaan tersebut dapat menempuh jalur hukum dengan menggunakan UU lain di luar UU No 40/1999 tentang Pers.

    Penjelasan Leo Batubara

    Ketika dihubungi Ceknricek.com, Leo Batubara mengakui telah membaca berita-berita hasil karya M Yusuf.

    “Sebagai ahli pers yang ditugasi saya jawab  dua  berita itu menghakimi karena tanpa narasumber yang jelas dan kredibel,  juga tanpa uji informasi,” katanya.

    Namun terhadap dua berita itu, Leo menilai masih berkategori perkara pers dan harus diselesaikan di Dewan Pers. “Sanksinya hak jawab dan minta maaf. Penyelesaiannya bukan di jalur hukum,” katanya menjelaskan.

    Kemudian, penyidik  datang lagi  dan menyerahkan 21 judul berita tambahan karya Yusuf yang dimuat di dua media. Lalu Dewan Pers menyampaikan penilaiannya seperti dimuat dalam keterangan pers tersebut.

    Di luar soal berita,  polisi pun  menyampaikan informasi lain. “Polisi menyatakan M Yusuf  juga penggerak demo. Dewan Pers berkesimpulan itu bukan pekerjaan wartawan?” kata Leo.

    Penyidik juga bilang  Yusuf  menyiarkan  beritanya di medsos.  “Itu semua bukan domain Dewan Pers, tapi domain penegak hukum,” kata Leo kembali.

    Dengan demikian, proses  hukum terkait hal-hal di luar kerja jurnalistik sepenuhnya wewenang penegak hukum.

    Kasus Serupa

    Zainal Hilmie, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Selatan mengaku tidak mengenal secara pribadi M. Yusuf. “Beliau juga bukan anggota PWI. Tapi kami telah menyatakan sikap agar kasus ini diusut hingga tuntas,” katanya kepada Ceknricek.com.

    Menurut  Hilmie, kasus yang menimpa Yusuf juga pernah menimpa wartawan lain dari Obor Keadilan Maret 2018. Kasusnya juga melibatkan PT MSAM. “Wartawan juga dilaporkan, tapi kasusnya selesai begitu saja,” katanya.

    Sementara itu, Tuo Arvaidah, istri Yusuf menyatakan tetap berharap kasus kematian suaminya diselesaikan dengsn seadil-adilnya. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada pengacara soal proses hukumnya.

    Pelaksana Tugas PWI Pusat Sasongko Tejo tatkala merespon suara protes sejumlah ketua PWI Provinsi menyatakan, PWI Pusat akan membentuk Tim Pencari Fakta untuk bantu mengusut kematian wartawan M. Yusuf, meski wartawan tersebut bukan anggota PWI. “Kita akan bentuk Tim itu nanti setelah lebaran,” tukas Sasongko.

    Bagi Arvaidah, menuntut keadilan suaminya adalah seuatua yang harus dilakukan.  Kendati sang suami sudah meninggal dia dan anak-anaknya. Dia mengatakan masih terpukul dan berduka. Bagaimanapun Yusuf adalah tulang punggung keluarga. “Suami saya tidak punya gaji tetap. Dia sangat berarti buat keluarga,” kata wanita berusia 38 tahun itu. (Ceknricek.com)

  • Wartawan Tewas Dalam Penjara Sementara Dewan Pers Belum Pernah Keluarkan Rekomendasi

    Wartawan Tewas Dalam Penjara Sementara Dewan Pers Belum Pernah Keluarkan Rekomendasi

    Kalimantan Selatan (SL) – Muhammad Yusuf telah terbujur kaku. Pria berusia 42 tahun itu menghembuskan nafas terakhir di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kotabaru, Kalimantan Selatan, Minggu siang (10/6).

    M. Yusuf adalah wartawan media siber Kemajuan Rakyat.

    Menurut Kepala Polres Kotabaru, Ajun Komisaris Besar Suhasto, setengah jam sebelum meninggal dunia Yusuf mengeluhkan rasa sakit pada bagian dada diikuti sesak nafas dan muntah-muntah. Dia sempat dilarikan ke RSUD Kotabaru namun nyawanya tidak terselamatkan, dan Yusuf dinyatakan meninggal dunia pada pukul 14.30 WITA.

    Dari hasil visum sementara tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuh Yusuf. Namun keterangan lebih rinci, masih menurut AKBP Suhasto dalam keterangan kepada media, akan disampaikan pihak RSUD.

    Yusuf menghembuskan nafas terakhir setelah 15 hari mendekam di LP Kotabaru sebagai tahanan titipan Kejaksaan Negeri Kotabaru. Warga Jalan Batu Selira, Desa Hilir Muara, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kotabaru, ditangkap karena pemberitaannya mengenai konflik antara warga dengan PT Multi Agro Sarana Mandiri (MSAM) milik Andi Syamsudin Arsyad alias Haji Isam dianggap mencemarkan nama baik MSAM dan sang pengusaha.

    Sebelum dititipkan Kejaksaan di LP Kotabaru, Yusuf lebih dahulu mendekam di tahanan Polres Kotabaru sejak pertengahan April lalu.

    Yusuf dijerat Pasal 45 A UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

    Ketika mengumumkan penetapan Yusuf sebagai tersangka, AKBP Suhasto mengatakan, polisi berwenang menangkap dan memproses pidana wartawan di luar mekanisme UU 40/1999 tentang Pers. Menurutnya, Dewan Pers merekomendasikan polisi menjerat M. Yusuf dengan UU ITE.

    Benarkah Dewan Pers merekomendasikan agar polisi menggunakan UU ITE, bukan UU Pers, dalam kasus M. Yusuf? 

    Anggota Dewan Pers Hendry Ch. Bangun dalam keterangan beberapa saat lalu (Senin, 11/6), meragukan hal itu. Dari pernyataan Hendry dapat disimpulkan bahwa polisi belum pernah berkonsultasi dengan Dewan Pers dalam kasus M. Yusuf. “Terkadang seperti penangkapan wartawan di Medan. Kata polisi ada rekomendasi, ternyata polisi hanya ngomong dengan ahli pers. Bukan rekomendasi Dewan Pers,” ujarnya.

    “Prinsipnya, Dewan Pers tidak mungkin memberikan rekomendasi untuk (wartawan) dipidana,” sambung Hendry yang juga Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

    Sebelumnya Hendry mengatakan, karya jurnalistik seorang wartawan dilindungi UU Pers terlepas apakah sang wartawan atau medianya sudah memiliki sertifikat atau belum.

    Sementara Ketua Dewan Kehormatan PWI, Ilham Bintang, menyesalkan pihak kepolisian yang tidak menggunakan mekanisme seperti diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers. “Kita mengecam sikap polisi yang membutakan matanya menangani kasus berita hanya lantaran yang merasa dirugikan oleh berita itu seorang tokoh pengusaha yang memiliki jaringan luas di kalangan penguasa. Termasuk pihak kepolisian,” ujar Ilham Bintang.

    Selain itu, sambungnya, PWI juga menyesalkan sikap Dewan Pers yang tidak aktif memediasi pihak yang bersengketa. Dia khawatir, dengan sikap seperti ini Dewan Pers tidak bisa menjalankan amanah UU Pers dalam kasus pers melawan penguasa dan pengusaha besar.

    Sebagai perbandingan, Ilham Bintang menambahkan, sikap Dewan Pers yang tidak dapat diandalkan itu juga terlihat dalam kasus penyerangan kantor Radar Bogor beberapa waktu lalu. Dia menyebut, pernyataan Dewan Pers dalam kasus itu sangat menyakitkan dan tidak adil.

    Radar Bogor divonis melanggar kode etik, dan sebagai hukuman harus menerima hak jawab dan menyampaikan permintaan maaf. Dewan Pers juga menyesalkan penyerangan terhadap kantor redaksi Radar Bogor, tetapi tidak menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang mengancam kebebasan pers itu. Terkait dengan penyerangan itu, Dewan Pers mempersilakan polisi bila mau menanganinya.

    Menurut Ilham Bintang, sikap Dewan Pers yang seperti itu menjadi semacam mesiu bagi kepolisian untuk mengabaikan mekanisme yang diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers dalam menangani kasus-kasus pers. (RMOL.co/guh)

  • Akibat Laporkan Konglomerat, Wartawan Tewas Dalam Tahanan

    Akibat Laporkan Konglomerat, Wartawan Tewas Dalam Tahanan

    Kalimantan Selatan (SL) – M Yusuf seorang wartawan Sinar Pagi Baru harus mengalami nasib naas, tewas di dalam tahanan Polres Kota Baru, Kalimantan Selatan, saat sedang menjalani proses hukuman atas dugaan pelanggaran UU ITE, Minggu 10 Juni 2018.

    Almarhum ditangkap dan diadili atas pengaduan sebuah perusahaan sawit milik konglemerat lokal, Andi Syamsuddin Arsyad yang lebih dikenal dengan nama H. Isam. M. Yusuf harus mendekam dipenjara, bermula saat almarhum menulis dan memperjuangkan dan membela hak-hak masyarakat Pulau Laut yang diusir secara sewenang-wenang oleh pihak PT. MSAM milik H. Isam.

    Turut berduka cita kali datang dari Pimpinan Umum Indonesia Berita.com Akhrom Saleh mengatakan, sangat menyesalkan perbuatan konglemerat semena-mena melaporkan wartawan yang sedang menjalankan tugasnya, “Kami atas nama Indonesia Berita turut berduka cita yang sedalam-dalamnya, semoga almarhum dilapangkan kuburnya, dan keluarga yang ditinggalkan dapat tabah ikhlas atas pulangnya almarhum ke sang maha kuasa” ujar Akhrom Saleh Pimpinan Umum Indonesia Berita saat ditemui dikediamannya, Senin (11/6).

    Ia pun menyampaikan, agar kejadian tersebut tidak terulang kembali, dan atas nama sesama profesi ia sangat menyayangkan kejadian itu. “Negara harus peka, negara harus melindungi profesi jurnalis, bukan malah menjadi pelindung pimilik modal” tegasnya Lanjut dia berharap, semoga perjuangan M. Yusuf tak sia-sia, “seharusnya hal itu tidak terjadi apabila pihak terkait terlebih dahulu melalui proses sidang etik” tandas Akhrom. (IndonesiBerita/YE)

  • Wartawan Meninggal di Penjara, PWI Sesalkan Dewan Pers Tak Aktif Memediasi

    Wartawan Meninggal di Penjara, PWI Sesalkan Dewan Pers Tak Aktif Memediasi

    Kalimantan Selatan (SL) – Muhammad Yusuf telah terbujur kaku. Pria berusia 42 tahun itu menghembuskan nafas terakhir di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kotabaru, Kalimantan Selatan, Minggu siang (10/6/2018).

    M. Yusuf adalah wartawan media online/siber Kemajuan Rakyat.

    Menurut Kapolres Kotabaru, Ajun Komisaris Besar Suhasto, setengah jam sebelum meninggal dunia Yusuf mengeluhkan rasa sakit pada bagian dada diikuti sesak nafas dan muntah-muntah.

    Dia sempat dilarikan ke RSUD Kotabaru, namun nyawanya tidak terselamatkan. Yusuf dinyatakan meninggal dunia pada pukul 14.30 WITA.

    Dari hasil visum sementara tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuh Yusuf. Namun keterangan lebih rinci, masih menurut AKBP Suhasto dalam keterangan kepada media, akan disampaikan pihak RSUD.

    Yusuf menghembuskan nafas terakhir setelah 15 hari mendekam di LP Kotabaru sebagai tahanan titipan Kejaksaan Negeri Kotabaru.

    Warga Jalan Batu Selira, Desa Hilir Muara, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kotabaru, ditangkap karena pemberitaannya mengenai konflik antara warga dengan PT Multi Agro Sarana Mandiri (MSAM) milik Andi Syamsudin Arsyad alias Haji Isam, dianggap mencemarkan nama baik MSAM dan sang pengusaha.

    Sebelum dititipkan Kejaksaan di LP Kotabaru, Yusuf lebih dahulu mendekam di tahanan Polres Kotabaru sejak pertengahan April lalu.

    Yusuf dijerat Pasal 45 A UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

    Ketika mengumumkan penetapan Yusuf sebagai tersangka, Kapolres Suhasto mengatakan, polisi berwenang menangkap dan memproses pidana wartawan di luar mekanisme UU 40/1999 tentang Pers.

    Menurutnya, Dewan Pers merekomendasikan polisi menjerat M. Yusuf dengan UU ITE.

    PWI Sesalkan Dewan Pers

    Benarkah Dewan Pers merekomendasikan agar polisi menggunakan UU ITE, bukan UU Pers, dalam kasus M. Yusuf?

    Anggota Dewan Pers Hendry Ch. Bangun dalam keterangan beberapa saat lalu (Senin, 11/6/2018), meragukan hal itu.

    Dari pernyataan Hendry dapat disimpulkan bahwa polisi belum pernah berkonsultasi dengan Dewan Pers dalam kasus M. Yusuf.

    “Terkadang seperti penangkapan wartawan di Medan. Kata polisi ada rekomendasi, ternyata polisi hanya ngomong dengan ahli pers. Bukan rekomendasi Dewan Pers,” ujarnya, dilansir rmol.

    “Prinsipnya, Dewan Pers tidak mungkin memberikan rekomendasi untuk (wartawan) dipidana,” sambung Hendry yang juga Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

    Sebelumnya, Hendry mengatakan karya jurnalistik seorang wartawan dilindungi UU Pers, terlepas apakah sang wartawan atau medianya sudah memiliki sertifikat atau belum.

    Sementara Ketua Dewan Kehormatan PWI, Ilham Bintang, menyesalkan pihak kepolisian yang tidak menggunakan mekanisme seperti diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers.

    “Kita mengecam sikap polisi yang membutakan matanya menangani kasus berita, hanya lantaran yang merasa dirugikan oleh berita itu seorang tokoh pengusaha yang memiliki jaringan luas di kalangan penguasa. Termasuk pihak kepolisian,” ujarnya.

    Selain itu, sambung Ilham, PWI juga menyesalkan sikap Dewan Pers yang tidak aktif memediasi pihak yang bersengketa.

    Dia khawatir, dengan sikap seperti ini Dewan Pers tidak bisa menjalankan amanah UU Pers dalam kasus pers melawan penguasa dan pengusaha besar.

    Sebagai perbandingan, Ilham Bintang menambahkan, sikap Dewan Pers yang tidak dapat diandalkan itu juga terlihat dalam kasus penyerangan kantor Radar Bogor beberapa waktu lalu.

    Dia menyebut, pernyataan Dewan Pers dalam kasus itu sangat menyakitkan dan tidak adil.

    Radar Bogor divonis melanggar kode etik, dan sebagai hukuman harus menerima hak jawab dan menyampaikan permintaan maaf.

    Dewan Pers juga menyesalkan penyerangan terhadap kantor redaksi Radar Bogor, tetapi tidak menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang mengancam kebebasan pers itu.

    Terkait dengan penyerangan itu, Dewan Pers mempersilakan polisi bila mau menanganinya.

    Menurut Ilham Bintang, sikap Dewan Pers yang seperti itu menjadi semacam mesiu bagi kepolisian untuk mengabaikan mekanisme yang diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers dalam menangani kasus-kasus pers. (DatapostOnline)

  • Brijen Pol Rachmat Mulyana Segera Lounching Buku  “Sasirangan : Public Trust Command”

    Brijen Pol Rachmat Mulyana Segera Lounching Buku “Sasirangan : Public Trust Command”

    Kalimantan Selatan (SL) – Tak selang lama, buku ‘Sasirangan: Public Trust Command’, yang dilaunching Kapolda Kalimantan Selatan, Brigadir Jenderal Polisi Rachmat Mulyana, per tanggal 7 April 2018, kini telah menyapa toko buku di seluruh Indonesia.

    Seperti diketahui, awalnya Sasirangan bukan nama sebuah judul buku. Sasirangan merupakan terobosan inovasi Polda Kalimantan Selatan dalam rangka menciptakan Polri yang promoter sesuai dengan visi Kapolri. Namun, seiring berjalannya waktu, terobosan tersebut tidak hanya berwujud aplikasi semata. Di tangan dingin Dien Albanna, Sasirangan bisa berwujud menjadi sebuah buku yang mengulas banyak hal terkait kiprah Brigadir Jenderal Polisi Rachmat Mulyana, tatkala menahkodai kepolisian di Kalimantan Selatan.

    Tak hanya perihal terobosan aplikasi Sasirangan yang diulas sang penulis. Dien Albanna—yang merupakan penulis terkait kiprah kepolisian-juga mengulas maksud di balik Commander Wish Kapolda Kalsel secara gamblang akan sebuah pesan tersirat dari Sasirangan.

    Tentu saja, buku Sasirangan karya Dien Albanna tersebut, tidak hanya ditujukan kepada Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan Semata. Pada buku tersebut, masyarakat juga bisa menemukan edukasi, motivasi, bahkan ajakan penulis untuk berpikir terkait fenomena yang terjadi pada negeri ini. Pada tulisan Dien Albanna itu, pembaca disuguhkan bagaimana makna dari sebuah komando kepala kepolisian daerah dalam rangka mensukseskan pengaman kamtibmas di wilayah hukumnya.

    Sasirangan: Public Trust Command’, bukan hanya buku yang mengulas tentang kiprah kepolisian semata. Jauh daripada itu, buku yang berjumlah 188 halaman itu, juga merupakan sebuah wahana yang mengajak kepada masyarakat untuk berpikir dan bersinergi dalam rangka menciptakan rasa aman dan damai. Begitu pula terkait kritikan terkait kiprah kepolisian, tak pelak diulas penulis dalam buku yang kini telah beredar di toko buku seluruh Indonesia tersebut.

    Penasaran seperti buku tersebut? Silakan temukan ‘Sasirangan: Public Trust Command ‘ di Gramedia, Togamas, Gunung Agung, atau di toko buku terdekat Anda.

    Berikut detail buku Sasirangan : Public Trust Command

    Judul : Sasirangan : Public Trust Command , Penulis : Dien Albanna, Penerbit : Mahakam Book Media, Tanggal terbit : April – 2018, Jumlah Halaman : 188 halaman, Berat Buku : 250 gr, Jenis Cover : Soft Cover, Kategori :  Sosial-Politik, ISBN : 9786026188199. (red)

  • Menunggu Keputusan Nahdatul Ulama Penetapan Ramadhan 1439 H

    Menunggu Keputusan Nahdatul Ulama Penetapan Ramadhan 1439 H

    Kalimantan Selatan (SL) – Nahdatul Ulama (NU) menerapkan prinsip wilayah al-hukmi  di dalam pemberlakuan hasil rukyah. Apabila di salah satu titik observasi di Indonesia menyaksikan hilal, maka kesaksian tersebut berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.

    Pakar ilmu falak NU Kalimantan Selatan, Akhmad Syaikhu mengungkapan atas prinsip wilayah al-hukmi yang dipakai ormas Islam ini jelas untuk menganalisis masuknya awal bulan, selain data hisab lokal juga diperlukan data hisab secara nasional.

    Dosen UIN Antasari Banjarmasin ini mengungkapkan data hisab nasional menunjukkan bahwa peristiwa ijtimak di seluruh Indonesia terjadi sesudah matahari terbenam. Bahkan, menurut dia, di seluruh wilayah Indonesia bulan terbenam lebih awal dari matahari, artinya ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia negatif, yaitu berkisar pada ketinggian antara -1.64  derajat di Sulawesi Utara dan -0.05 derajat di Pelabuhan Ratu Jabar;

    “Jadi, sudut jarak matahari dan bulan dari lokasi pengamatan di Indonesia berkisar antara 4.74 derajat  di Sumatera Barat sampai dengan 5.37 di Jayapura. Begitupula, usia hilal sejak peristiwa ijtima’ hingga terbenam matahari di Indonesia berkisar -3.35 jam di Merauke dan -0.02 jam di Sabang,” ucap mantan Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Kalsel ini kepada wartawan Senin (14/5/2018).

    Ia mengungkapkan data hisab ini cukup untuk menyatakan bahwa awal Ramadan 1439 harus jatuh pada Kamis 17 Mei 2018. Bahkan, kata Syaikhu, Forum Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) menyaratkan untuk rukyah harus memenuhi kriteria kumulatif sebagai berikut: tinggi hilal minimal 2 derajat, jarak sudut bulan-matahari minimal 3 derajat  atau umur bulan minimal 8 jam (disebut kriteria: 2-3-8). “Data hisab pada 29 Syakban 1439 H di Indonesia menunjukkan bahwa hilal aspek ketinggian dan usia bulan tidak memenuhi kriteria imkan al-ru’yah,” cetusnya.

    Dengan begitu, menurut dia, karena ketinggian hilal di bawah ufuk dan usianya minus, maka mustahil bisa dirukyah. “Nah, jika ada klaim rukyah, menurut saya kesaksian itu harus ditolak dengan alasan ilmiah dan syar’i,” tandas Syaikhu. (red)