Lampung Tengah, sinarlampung.co – Perkara kasus dugaan penggelapan alat pabrik tepung tapioka PT. Tri Karya Manunggal, Lampung Tengah, dengan terdakwa MS (72) telah memasuki agenda sidang replik dan duplik di Pengadilan Negeri (PN) Gunung Sugih. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Lampung Tengah menuntut terdakwa MS dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara.
Alvin Lim dan rekan, penasehat hukum terdakwa merasa heran dengan proses hukum yang dijalani kliennya. Pihaknya berasumsi ada upaya kriminalisasi terhadap terdakwa MS. Sebab, kliennya dipidanakan setelah menjual aset yang dibeli sendiri berupa genset 500KVA.
“Saya heran dan kaget melihat penegakan hukum yang diduga digunakan untuk mengkriminalisasi seorang kakek berumur 72 tahun. Masak iya sih barang sendiri dijual bisa dipidanakan. JPU menuntut 1 tahun 6 bulan, tapi waktu ditanya mana bukti sumber pembelian genset mereka mengelak, saya kehilangan kata-kata melihat perkara ini” kata Alvin Lim dikutip dari tvonenews, pada Jumat, 29 November 2024.
Selain itu, pihak terdakwa juga merasa diperas oleh pihak pelapor saat menawarkan jalan perdamaian. Pihak terdakwa mengaku diminta uang damai sebesar Rp10,5 miliar oleh pihak pelapor. Permintaan uang damai tersebut dianggap pemerasan oleh pihak terdakwa lantaran jauh melampaui harga genset yang dijual yakni senilai Rp160 juta.
Pihak Pelapor Bantah Upaya Kriminalisasi dan Peras Terdakwa
Mendengar pernyataan dari pihak terdakwa, Ahmad Fauzan dan rekan selaku kuasa hukum pelapor membantah pernyataan Advokat Alvin Lim dan tim yang mengatakan adanya upaya kriminalisasi dan pemerasan dalam kasus tersebut. Mereka menegaskan, tidak ada niat untuk mengkriminalisasi apalagi memeras terdakwa.
“Kami selaku kuasa hukum dari para korban yaitu Ko Koyun dan Ko Cong Hoa, yang juga dalam hal ini selaku pemilik pabrik tepung tapioka PT Tri Karya Manunggal menyikapi adanya pemberitaan yang sudah beredar luas. Kami membantah terkait pemberitaan atas perkara ini dikriminalisasi apalagi ada pemerasan,” tegas Ahmad Fauzan dalam keterangannya, Senin, 2 Desember 2024.
Menurut Fauzan, proses hukum perkara ini berjalan sesuai laporan dan sejumlah bukti yang dimiliki pelapor. Lagipula, semua aset dan alat-alat pabrik dibeli atas kesepakatan bersama. Jadi, adanya klaim bahwa genset merupakan milik pribadi terdakwa, Fauzan menegaskan jika kliennya mempunyai bukti yang kuat barang tersebut milik bersama.
“Kan sudah jelas semua bukti kepemilikan pabrik itu beserta isinya sudah tercantum di dalam akta jual beli perusahaan nomor 8 tahun 1996. Pabrik itu dibeli bertiga (termasuk terdakwa) dan semua aset pabrik itu pun tercatat sampai dengan tahun 2019 semua ada di dalam pembukuan pabrik,” tegas pengacara muda ini.
“Kalau berbicara siapa pemilik aset-aset atau barang-barang pabrik PT Tri Karya Manunggal, di pembukuan jelas tercatat milik pabrik PT Tri Karya Manunggal artinya itu kepemilikan bersama karena pabrik itu dimiliki bertiga,” sambungnya.
Fauzan juga menyinggung soal pesangon pegawai saat pabrik ditutup. Dia menyebut kliennya pernah mentransfer uang pesangon pegawai tersebut kepada istri MS. Bahkan, pihaknya masih memiliki bukti transfer uang pesangon tersebut.
“Klien kami mentransfer 70% untuk pembayaran semua pegawai begitupun pembagian hasil dari pabrik itu di pembukuan pabrik sudah tertuang, terdakwa MS 30% pihak klien saya 70%. kalau dihitung klien saya sebenarnya hanya meminta hak nya dikembalikan saja senilai Rp10,5 miliar atas pabrik itu. Dengan pengalian hak klien saya 70% × Rp15 miliar yaitu Rp10,5 miliar,” tegasnya.
Selanjutnya, terkait pelapor meminta uang damai senilai Rp10,5 miliar dari penjualan genset 500KVA senilai Rp160 juta yang disebut sebagai upaya pemerasan oleh pihak terdakwa, Fauzan juga meluruskan mengenai hal ini. Menurut Fauzan, alat-alat produksi yang hilang dari pabrik tidak hanya genset saja, melainkan alat-alat produksi lainnya.
“Perlu kami luruskan terkait persoalan itu, didalam pabrik itu bukan hanya genset 500KVA tapi banyak alat produksi tepung tapioka. Nah sekarang alat-alat itu semuanya sudah tidak ada lagi di pabrik itu,” katanya.
Fauzan menerangkan, bahwa alat-alat produksi tepung tapioka di pabrik, termasuk mesin genset diduga dipindahkan terdakwa tanpa diketahui atau tanpa musyawarah dengan kliennya atau para korban. Sebelum dipindahkan bahkan ada yang dijual, total aset pabrik ditaksir mencapai Rp15 miliar.
“Nilai pabrik beserta isinya yang sudah dioperasikan selama 25 tahun saat belum dipindahkan dan masih komplit, ditaksir mencapai Rp15 miliar. Nah, sekarang alat-alat di pabrik itu sudah tidak ada lagi semuanya. Bagaimana mungkin dengan pengembalian genset bisa mengembalikan keadaan seperti semula?” ujar Fauzan.
Terkait penjualan genset oleh terdakwa sebelumnya, kata Fauzan, terkuak setelah laporan kliennya berjalan di Polres Lampung Tengah. “Dengan dipindahkannya barang-barang atau alat-alat pabrik itu pun klien kami telah dirugikan. Apalagi sampai ada yang dijual tanpa musyawarah dulu tanpa ijin dulu kepada pemilik lainnya,” ucap dia.
Fauzan juga menjelaskan bahwa pabrik pengolahan tepung tapioka PT. Tri Karya Manunggal di Desa Srikencono, Kecamatan Bumi Nabung, Lampung Tengah, merupakan milik terdakwa MS dan dua kliennya. Atas kesepakatan bersama, baik kliennya maupun terdakwa mempunyai tugas masing-masing dalam pengelolaan pabrik sejak pertama kali pabrik dibeli dan dioperasikan pada 1997.
“Klien kami bertugas di bagian penjualan tepung tapioka dan terdakwa MS di bagian produksi. Khusus terdakwa MS, dia mendapat gaji bulanan karena posisinya di bagian produksi. Hal itu tercantum dalam pembukuan perusahaan,” kata Fauzan.
Berjalannya waktu, pabrik tepung tapioka yang dikelola ketiganya mengalami insiden pada 2019 hingga berujung penutupan. Pasca penutupan, kedua korban mendapati semua alat produksi termasuk genset merk Caterpillar telah hilang dari pabrik diduga telah dipindahkan dan ada yang dijual MS.
“Alat-alat pabrik produksi tepung tapioka diduga dipindahkan dan ada yang dijual tanpa pemberitahuan apalagi musyawarah. Klien kami merasa dirugikan. Dari situlah klien kami berinisiatif membuat laporan. Awal 2023, ketika laporan mulai diproses, terkuak semua alat produksi pabrik ternyata sudah dipindahkan secara diam-diam sejak 2020,” ungkap Fauzan.
Atas persoalan tersebut, lanjut Fauzan, kliennya menyerahkan kepada pihak yang berwenang dengan membuat laporan di kepolisian pada 23 Juli 2023. Selanjutnya, para korban menerima segala keputusan dari majelis hakim yang berwenang memeriksa dan memutus perkara berdasarkan bukti serta fakta di persidangan.
“Perlu saya tegaskan lagi dalam perkara ini tidak ada yang mengkriminalisasi apalagi memeras, karena semuanya sudah jelas terungkap dalam persidangan, dan kenapa muncul angka Rp10,5 miliar karena nilai pabrik itu Rp15 miliar sekarang pabrik itu sudah tidak ada alias kosong. Jadi, klien kami hanya meminta pengembalian haknya kepada terdakwa,” kata Fauzan.
“Harapan kami atas perbuatan terdakwa MS yang telah mengakibatkan kerugian kepada klien kami, agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih yang memeriksa dan memutus perkara ini memberikan keadilan yang setinggi-tingginya kepada klien kami selaku korban,” pungkasnya. (Tam/*)