Tag: Kebebasan Pers

  • Terpilih Menjadi Presiden, Probowo Janjikan Kebebasan Pers dan Tak Persekusi Oposisi

    Terpilih Menjadi Presiden, Probowo Janjikan Kebebasan Pers dan Tak Persekusi Oposisi

    Jakarta (SL) – Kebebasan pers menjadi salah satu topik yang disinggung capres Prabowo Subianto saat menyampaikan pidato kebangsaan ‘Indonesia Menang’. Prabowo berjanji akan menghentikan persekusi terhadap pihak-pihak yang tidak sependapat dengan kubunya.

    Janji ini merupakan bagian dari fokus ketiga Prabowo-Sandiaga yang dipaparkan, yaitu keadilan di bidang hukum dan demokrasi berkualitas. Dia berjanji menjamin semua hak-hak yang tercantum di UUD 1945.

    “Kami akan menjamin semua hak-hak kemerdekaan berserikat serta kebebasan pers. Kita akan hentikan ancaman persekusi terhadap individu, organisasi yang bisa berseberangan pendapat dengan pemerintah,” kata Prabowo di JCC, Jakarta Selatan, Senin (14/1/2019).

    Prabowo mengaku siap menerima kritik yang masuk ke pemerintah bila nanti dia menjabat presiden. Menurutnya, kritik penting agar tidak salah jalan.

    “Kita akan menerima kritik sebagai upaya mengendalikan diri agar kita tidak salah jalan. Bagi kami, kritik adalah justru mengamankan jalannya pemerintahan Republik Indonesia karena bagi kami pemerintah Republik Indonesia harus melayani kepentingan rakyat,” ucapnya.

    Saat Prabowo berpidato, Sandiaga Uno berdiri di sampingnya. Pidato kebangsaan ‘Indonesia Menang’ ini dihadiri oleh Ketum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Ketum PAN Zulkifli Hasan, Presiden PKS Sohibul Iman, dan tokoh lainnya. (dtk)

  • PWI Lampung Minta Polres Tulang Bawang Pahami Mekanisme UU Pers

    PWI Lampung Minta Polres Tulang Bawang Pahami Mekanisme UU Pers

    Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan Juniardi SIP MH

    Bandarlampung (SL)-Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung mengingatkan jajaran Kepolisian di Polda Lampung untuk menghormati MOU Dewan Pers, PWI, dan Polri terkait penanganan proses pegaduan terkait pemberitaan media. Sehingga tidak terjadi kesan istilah kriminalisasi terhadap pers muncul kembali.

    Hal itu terkait masih adanya pemanggilan wartawan cahayalampung.com, oleh Polres Tulang Bawang, atas laporan Kepala Desa, dengan sangkaan perbuatan tidak menyenangkan.

    Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung, Juniardi SIP MH, mengatakan kasus terkait pemberitaan oleh media yang benar benar media pers adalah masuk ranah delik pers, bukan delik pidana. Karena sudah ada MOU Dewan Pers, PWI dan Polri. “Ada laporan dari PWI Tulangbawang, yang salah satu wartawan yang juga anggota PWI dipanggil Polres Tulangbawang, mengahadap penyidik berpangkat brigadir. Sepertinya Polres Tulang Bawang harus pahami MOU Dewan Pers, PWI dan Polri, tentang UU Pers,” kata Juniardi.

    Juniardi menjelaskan seluruh organisasi wartawan baik Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga telah lama mendesak agar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menghentikan kriminalisasi terhadap pers. “Upaya kriminalisasi terhadap pers pernah terjadi terhadap Majalah Tempo, Warta Kota, Metro TV, Koran Tribun, serta TV One. Yang seharusnya masuk delik pers tapi masuk ranah pidana,” kata Juniardi mencontohkan.

    Untuk itu, PWI Lampung meminta agar Polres Tulang Bawang melimpahkan penyelesaian sengketa pemberitaan antara pengadu dan cahayalampung.com kepada Dewan Pers, atau Dewan Kehormatan PWI Lampung. “Karena dari laporan PWI Tulangbawang, apa yang dilakukan wartawan media online, cahayalampung.com, merupakan bentuk kontrol sosial yang merupakan salah satu fungsi pers. Bila memang keberatan dengan pemberitaan tentu bisa melalui mekanisme yang ada ke Dewan Pers,” ujar mantan Ketua Komisi Informasi Provisi Lampung itu.

    Juniardi mengaskan Dewan Pers dan Polri telah melakukan nota kesepahaman terkait laporan atas pemberitaan media. “Nota kesepahaman itu dimaksudkan agar implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat berjalan dengan baik. Bila ada aduan soal pemberitaan, maka masuknya ke Dewan Pers. Nah Polres Tulang Bawang juga harus konsisten,” kata Juniardi.

    Alumni FH Unila itu menilai pemuatan berita terkait dugaan ijazah palsu oknum kepala desa, di Tulangbawang yang diberitakan cahayalampung.com itu telah sesuai dengan kaidah jurnalistik sebagaimana diatur dalam UU Pers. Dalam pasal 4 UU Pers disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. “Jika telah sesuai kode etik, tapi masih ada proses delik pidana, maka ada indikasi pelemahan kebebasan pers,” katanya.

    Juniardi menjelaskan masih adanya kasus pemberitaan yang dilaporkan ke polisi adalah bentuk ancaman serius untuk kebebasan pers. Soal pemberitaan yang salah, dalam Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) menyatakan bahwa Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akuratdisertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

    Di dalam dunia pers dikenal 2 (dua) istilah yakni: hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”). “Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu.

    Upaya yang dapat ditempuh akibat pemberitaan Pers yang merugika adalah sebagai pihak yang dirugikan secara langsung atas pemberitaan wartawan memiliki Hak Jawab untuk memberikan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Langkah berikutnya adalah membuat pengaduan di Dewan Pers.

    “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. Dewan Pers Indonesia mendefinisikan pengaduan sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang menyampaikan keberatan atas karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers,” katanya.

    Salah satu fungsi Dewan Pers yaitumemberikan pertimbangan danmengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.  Apabila Hak Jawab dan Pengaduan ke Dewan Pers tidak juga membuahkan hasil, maka UU Pers juga mengatur ketentuan pidana dalam Pasal 5 jo. Pasal 18 ayat (2)UU Pers.

    Pasal 5 UU Pers menyebutkan Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers wajib melayani Hak Jawab. Pers wajib melayani Hak Koreksi. “Lalu Pasal 18 ayat (2) UU Pers Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),” katanya. (rls/nik)

  • Pemerintah Akan Melarang Pemilik dan Pengelola Media Masuk Partai Politik

    Pemerintah Akan Melarang Pemilik dan Pengelola Media Masuk Partai Politik

    Ilustrasi pers dan demokrasi

    Semarang (SL) – Pemerintah akan melarang para aktor penyiaran menjadi pengurus partai politik. Larangan juga berlaku untuk para pemilik media massa, pengelola, penyiar, dan wartawan. Aturan itu tertuang dalam revisi UU Penyiaran.

    Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika bidang Komunikasi dan Media Massa, Henry Subiakto, menyatakan, larangan tersebut tercantum dalam revisi rancangan undang-undang penyiaran versi pemerintah.

    “Pemilik media massa, pengelola, penyiar, dan wartawan dilarang menjadi pengurus partai politik,” kata Henry dalam seminar “Dominasi Pemilik Media terhadap Kebijakan Pemberitaan” di Universitas Diponegoro, Semarang.

    Alasannya, menurut dia, aktor penyiaran yang merangkap pengurus partai politik akan merusak konten pemberitaan media.

    Namun demikian, lanjut dia, usulan pemerintah terkait revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bisa lolos dan ada kemungkinan juga tidak disetujui DPR. “Ini masih wacana. Kami menerima banyak laporan yang tidak setuju.” katanya.

    Dia menambahkan, revisi Undang-Undang Penyiaran sudah memasuki tahap daftar isian masalah untuk dibahas bersama DPR. “Ada 840 isian masalah antara rancangan versi pemerintah dan DPR,” kata Henry.

    Selain soal larangan menjadi pengurus partai politik, pemerintah juga akan mengatur konten media agar tetap netral dan seimbang. Selain itu, bakal diatur juga soal struktur media tidak boleh dipakai untuk mendahulukan golongan atau partai politik dan anti-diskriminasi. Anti-diskriminasi itu, Henry mencontohkan, semisal penerapan iklan kepada semua pihak dengan tarif yang sama.

    Pelaksana Harian Pengurus ATVLI, Jimmy Silalahi, menyatakan, menjelang Pemilu 2014, harus ada kampanye penegakan hukum UU Penyiaran dan UU Pers agar media tetap independen. Saat ini, kata Jimmy, ada sekitar 300 stasiun televisi, 1.000 radio, dan hampir 400 media cetak. “Telah terjadi monopoli kepemilikan di sejumlah media massa,” ujarnya.

    Modusnya dengan cara jual-beli izin ikatan di bawah tangan, pembelian saham induk perusahaan (holding), dan jual-beli izin secara terang-terangan. Jimmy menambahkan, regulator penyiaran sebagai pemegang amanat UU Penyiaran harus tegas dalam penegakan hukum terkait monopoli kepemilikan media. (tempo.co)