Tag: Kemerdekaan Pers

  • Dewan Pers Diminta Segera Berikan Bukti Keterlibatan Oknum TNI ke Puspomad Dalam Kasus Tewasnya Wartawan di Karo

    Dewan Pers Diminta Segera Berikan Bukti Keterlibatan Oknum TNI ke Puspomad Dalam Kasus Tewasnya Wartawan di Karo

    Jakarta, sinarlampung.co-Pengamat Politik dan Militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, menekankan agar Dewan Pers segera menyampaikan bukti terkait dugaan keterlibatan oknum TNI kepada Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat (Puspomad), terkait insiden kematian Rico Pasaribu dan keluarganya di Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

    “Dewan Pers harus segera menyampaikan bukti dugaan keterlibatan oknum TNI kepada Puspom TNI di Jakarta, dan Pusat Polisi Militer Daerah Militer Bukit Barisan jika oknum yang diduga terlibat berasal dari TNI AD,” kata SElamat Ginting, kepada wartawan, Rabu 3 Juli 2024.

    Ginting menyatakan bahwa TNI telah berhasil menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran hukum yang melibatkan oknum TNI yang terbukti bersalah dan telah disidangkan secara militer, yang transparan bagi publik. “Kasus-kasus tersebut sudah selesai dan telah disidangkan, jadi tidak perlu lagi diragukan,” ujarnya.

    Menurutnya, hukuman bagi militer itu jauh lebih berat daripada hukuman sipil. Selain adanya pengadilan militer, ancamannya lebih berat. “Ada peraturan disiplin militer, hukuman di kesatuan terlebih dahulu sebelum dibawa ke penjara militer di rumah tahanan militer. Pidana militer itu bisa sampai hukuman seumur hidup, bahkan hukuman mati,” kata Ginting.

    “Mengapa? Karena tugas militer itu kontrak mati menjaga kedaulatan negara. Termasuk melindungi rakyat dari ancaman musuh negara,” imbuh Ginting.

    Ia menambahkan, kasus kematian Rico Sempurna Pasaribu bersama keluarganya dalam keadaan terbakar mengingatkan pada peristiwa kematian Fuad Muhammad Syafruddin, yang dikenal sebagai Udin, seorang wartawan dari harian Bernas di Yogyakarta.

    “Bedanya hanya Udin yang menjadi korban. Tapi kasus Rico Sempurna Pasaribu, jika betul karena pembunuhan, ini peristiwa sadis. Sebab bukan cuma Rico korbannya, tetapi juga istri, anak, serta cucunya,” katanya. (Red)

  • Juniardi : Polda Sulawesi Tengah Jangan Nodai Kemerdekaan Pers?

    Juniardi : Polda Sulawesi Tengah Jangan Nodai Kemerdekaan Pers?

    Bandar Lampung (SL)-Kasus pemanggilan wartawan oleh Polda Sulawesi Tengah melalui Direktorat Kriminal Khusus (Dirkrimsus) subdit V Ciber terhadap wartawan portalsulawesi.com, Syahrul alias Heru terkait produk jurnalistik itu dinilai telah menciderai mou Kapolri dengan dewan pers, terkait penanganan sengketa produk pers. Apalagi saat ini bersamaan dengan hari kemerdekaan pers dunia.

    Hal itu di Katakan Wakil Ketua PWI Lampung Bidang pembelaan Wartawan, yang juga Bidang Advokasi Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) RI, Juniardi SIP MH, menanggapi adanya panggilan pimpinan media, atas laporan Mohammad Sholeh tertanggal 13 April 2020 di Polda Sulteng. “Meski dalam surat pemanggilan bernomor B/371/IV/2020/Direskrimsus tertanggal 29 April 2020, Polisi mengundang Syahrul alias Heru untuk dimintai keterangan terkait laporan Mohammad Sholeh yang nota bene adalah Kapolres Palu. Ini menjadi sarat kepentingan, Pejabat polisi melaporkan media ke Polda,” kata Juniardi.

    Mantan Ketua Forum Komisi Informasi (Forkip) Se Indonesia itu menjelaskan seharusnya karena menyangkut produk jurnalistik seharusnya dilalukan bebetapa langkah, misalnya gunakan hak jawab, hak koreksi, hingga hak meralat. “Polda Sulsel harusnya menghormati MOU Dewan Pers, PWI, dan Polri terkait penanganan proses pegaduan terkait pemberitaan media. Sehingga tidak terjadi kesan istilah kriminalisasi terhadap pers muncul kembali,” kata Juniardi.

    Alumni Magister Hukum Unila, menyebutkan kasus terkait pemberitaan oleh media yang benar benar media pers adalah masuk ranah delik pers, bukan delik pidana. Karena sudah ada MOU Dewan Pers, PWI dan Polri. Karennya seluruh organisasi wartawan baik Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),

    Dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga telah lama mendesak agar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menghentikan kriminalisasi terhadap pers. “Upaya kriminalisasi terhadap pers pernah terjadi terhadap Majalah Tempo, Warta Kota, Metro TV, Koran Tribun, serta TV One. Yang seharusnya masuk delik pers tapi masuk ranah pidana,” kata Juniardi mencontohkan.

    Untuk itu, Juniardi meminta agar Polda Sulteng melimpahkan penyelesaian sengketa pemberitaan antara pengadu dan portalsulawesi.com kepada Dewan Pers, atau Dewan Kehormatan PWI Pusat. “Karena dari laporan PWI Sulawesi Tengah, apa yang dilakukan media online portalsulawesi.com merupakan bentuk kontrol sosial yang merupakan salah satu fungsi pers. Bila memang keberatan dengan pemberitaan tentu bisa melalui mekanisme yang ada ke Dewan Pers,” ujar mantan Ketua Komisi Informasi Provisi Lampung itu.

    Juniardi menegaskan Dewan Pers dan Polri telah melakukan nota kesepahaman terkait laporan atas pemberitaan media. “Nota kesepahaman itu dimaksudkan agar implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat berjalan dengan baik. Bila ada aduan soal pemberitaan, maka masuknya ke Dewan Pers. Nah Polda Sulawesi Tengah juga harus konsisten,” kata Juniardi.

    Apalagi berita yang disampaikan sesuai dengan kaidah jurnalistik sebagaimana diatur dalam UU Pers. Dalam pasal 4 UU Pers disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. “Jika telah sesuai kode etik, tapi masih ada proses delik pidana, maka ada indikasi pelemahan kebebasan pers,” katanya.

    Juniardi menjelaskan masih adanya kasus pemberitaan yang dilaporkan ke polisi adalah bentuk ancaman serius untuk kebebasan pers. Soal pemberitaan yang salah, dalam Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) menyatakan bahwa Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

    Di dalam dunia pers dikenal 2 (dua) istilah yakni: hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”). “Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu.

    Upaya yang dapat ditempuh akibat pemberitaan Pers yang merugika adalah sebagai pihak yang dirugikan secara langsung atas pemberitaan wartawan memiliki Hak Jawab untuk memberikan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Langkah berikutnya adalah membuat pengaduan di Dewan Pers.

    “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. Dewan Pers Indonesia mendefinisikan pengaduan sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang menyampaikan keberatan atas karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers,” katanya.

    Salah satu fungsi Dewan Pers yaitumemberikan pertimbangan danmengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Apabila Hak Jawab dan Pengaduan ke Dewan Pers tidak juga membuahkan hasil, maka UU Pers juga mengatur ketentuan pidana dalam Pasal 5 jo. Pasal 18 ayat (2)UU Pers.

    Pasal 5 UU Pers menyebutkan Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers wajib melayani Hak Jawab. Pers wajib melayani Hak Koreksi. “Lalu Pasal 18 ayat (2) UU Pers Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),” katanya. (red)

  • KABAR HPN 2020: Bagin Manan, “Wartawan Jangan Terlena dengan Kemerdekaan Pers”

    KABAR HPN 2020: Bagin Manan, “Wartawan Jangan Terlena dengan Kemerdekaan Pers”

    Banjarmasin (SL) – Wartawan dan media massa jangan terlena dengan UU 40/1999 tentang kemerdekaan pers. Soalnya dalam UU itu, tidak pernah diatur secara jelas hukum pers.

    Ahli hukum Bagir Manan mengingatkan insan pers jangan terlalu menikmati kemerdekaan pers tapi lupa mengisi substansi kontennya.

    “Seolah-olah jika wartawan dan pers akan diatur oleh hukum, maka wartawan acapkali bangga berlindung di UU Pers yang menyebutkan pers sepenuhnya diatur oleh aturan  pers oleh pers sendiri. Padahal jika tanpa ada UU pers akan terjadi “kebebasan” menggunakan kekuasaannya. Padahal kekuasaan tanpa batas itu cenderung korup,” kata Bagir, dalam diskusi Publik KUHP Dalam Perspektif Kemerdekaan Pers, di Hari Pers Nasional (HPN) 2020 di Banjarmasin, Jumat (7/2/2020).

    Bagir menyebut kemerdekaan pers harus mendapat perhatian, pertama perluasan cakupan tindak pidana yang dapat dikenakan pada pers. Kedua ancaman pidana yang lebih berat.

    “Tidak jarang kita kehilangan kemerdekaan pers karena terlalu menikmatinya dan lupa memperjuangkan dan memeliharanya,” ujar mantan Ketua Dewan Pers.

    Baca juga: Introspeksi Indeks Kemerdekaan Pers Lampung: Apa Kita Bisa Perbaiki!

    Dalam telaahnya, Bagir mencatat ada 19 pasal di KUHP yang dapat menjerat pers ke ranah pidana dari hasil publikasinya yang terkait informasi kepada masyarakat.

    Semua pasal itu, adalah peninggalan zaman Belanda, bersifat pasal-pasal karet (haatzai artikelen).

    “Walau sebetulnya tidak ada pers delik, namun pers itu rawan terseret kasus pidana sebab tidak ada batasan yang jelas. Mulur mungkret pasal-pasal itu kan bisa ditafsirkan macam-macam. Misalnya pasal-pasal tentang, penyiaran berita bohong, Peniadaan dan Penggantian Ideologi Pancasila, Kehormatan, Harkat dan Martabat Kepala Negara dan Wakil Kepala Negara,” ungkap mantan Ketua MA ini.

    Bagir menyarankan pers menjaga kemerdekaannya sendiri. Pertama, pers harus sadar sebagai pranata publik. Kedua, pers menjunjung tinggi etika. Ketiga, perluasan wawasan wartawan agar pers dapat menjadi agen pembangunan, mata publik, pengawas dan public Avant Garde. Keempat, pers harus memiliki hati nuraninya. (jun)