Tag: Konflik Lahan

  • Konflik Lahan Warga Pasir Gintung vs PT KAI Berlanjut ke Komisi II DPR RI

    Konflik Lahan Warga Pasir Gintung vs PT KAI Berlanjut ke Komisi II DPR RI

    Jakarta (SL) – Konflik lahan antara masyarakat Pasirgintung dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) terus bergulir. Bahkan persoalan ini sudah ditindaklanjuti oleh Komisi II DPR RI.

    Komisi II meminta keterangan masyarakat yang didampingi LBH Bandarlampung dalam rapat dengar pendapat (RDP) di ruang rapat Komisi II Komplek Senayan, Jakarta pada Selasa, 21 September 2021. Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang dan dihadiri Satgas Pemberantasan Mafia Tanah.

    Staf Advokasi LBH Bandarlampung Anugrah Prima Utama mengakui sengketa lahan antara masyarakat Pasirgintung dengan PT KAI Divre IV Tanjungkarang sudah berlangsung cukup lama.

    “RDP dengan Komisi II dengan maksud untuk meminta agar permasalahan tanah yang selama ini menjadi polemik dan meresahkan masyarakat untuk dapat segera dituntaskan,” katanya dalam siaran pers yang diterima Rilisidlampung, Rabu, 22 September 2021.

    Sebagai informasi, masyarakat Pasirgintung tergganggu sejak PT KAI melakukan penertiban aset dengan melakukan pengukuran dan penggusuran rumah warga dalam kurun 2012-2020. Puncaknya, salah seorang warga yang menolak dipolisikan pada 2018.

    Selain itu, sebagian besar masyarakat Pasirgintung dipaksa membayar sewa terhadap rumah maupun lahan yang mereka tempati oleh PT KAI Divre IV Tanjungkarang dengan mentransfer sejumlah uang dengan nominal yang berbeda kepada akun virtual atas nama pribadi yang tidak jelas kedudukan dan statusnya.

    “Kondisi ini membuat masyarakat makin sengsara karena perekonomian mereka sedang sulit akibat pandemi covid-19,” ujar Anugrah.

    Padahal, lanjutnya, lahan dan bangunan yang diduduki masyarakat Pasirgintung hari ini sudah ditempati selama puluhan tahun hingga kemudian diklaim oleh PT KAI berdasarkan grondkaart atau peta tanah yang sudah tidak diakui kekuatan hukumnya sejak 20 tahun setelah disahkannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA.

    Berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah junco Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia Atas Tanah, seluruh aset negara yang dulu merupakan aset Belanda pada masa penjajahan harus dikonversi.

    Namun, masih menurut Anugrah, PT KAI tidak pernah melakukan konversi terhadap hak atas tanah berupa grondkaart dan mendaftarkannya sebagai aset negara sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

    “Justru PT KAI telah lalai karena tidak menjalankan perintah undang-undang dan menelantarkan tanah yang diklaim sebagai asetnya selama puluhan tahun,” jelasnya.

    Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang menyampaikan akan membahas dan mempelajari berkas-berkasnya lebih lanjut dalam rapat pleno yang kemudian akan disampaikan kepada seluruh pihak.

    Setidaknya ada tiga tuntutan masyarakat Pasirgintung yang disampaikan kepada Komisi II DPR RI:

    1. Hentikan upaya penarikan sewa-menyewa yang dilakukan oleh PT KAI Divre IV Tanjungkarang terhadap masyarakat yang sudah selama puluhan tahun menempati tanah dan bangunan.

    2. Hentikan segala upaya kriminalisasi, pengukuran, dan penggusuran yang dilakukan PT KAI Divre IV Tanjungkarang maupun oleh pihak-pihak lain terhadap masyarakat yang sudah selama puluhan tahun menempati tanah dan bangunan.

    3. Berikan kepastian hukum berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) atas lahan yang ditempati masyarakat sejak puluhan tahun lalu. (Red)

  • BKBH Unila Berikan Bantuan Hukum untuk Korban Konflik Lahan JTTS

    BKBH Unila Berikan Bantuan Hukum untuk Korban Konflik Lahan JTTS

    Tulangbawang Barat (SL)-Bidang Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Lampung, memberikan bantuan hukum kepada Pangeran Tehang Marga (77), yang sudah bertahun-tahun mencari keadilan setelah tanahnya yang kini sudah berubah menjadi jalan tol sumatera dikuasai secara tidak sah oleh pihak lain.

    Pangeran Tehang Marga adalah warga Bandar Dewa Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba). Ia kini berdomisili di Kampung Pujo Rahayu Kecamatan Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.

    Menurut warga bernama Sekiter (70), lahan tersebut diketahuinya milik sah Pangeran Tehang Marga yang diperoleh dari jual beli pada tahun 1984 dari warga bernama Sahadi dan Cik Din.

    “Saya telah menyampaikan kesaksian bahwa lahan itu milik Pangeran Tehang Marga, dan waktu beli lahan itu saya sebagai sekretaris kampung, karena saya jadi sekretaris kampung dari tahun 1980 sampai 1990, jadi saya tahu itu milik Tehang, bahkan Kampung Pujo Rahayu yang ada sekarang bersebelahan dengan jalan tol adalah lahan pemberian Tehang Marga yang telah dijadikan perkampungan. Karena ada proyek tol, baru muncul pihak-pihak yang mengaku-ngaku sebagai pemilik tanah,” ungkap Sekiter.

    Sekiter menjelaskan, kondisi kehidupan keluarga Pangeran Tehang Marga yang kurang mampu telah dimanfaatkan oleh banyak lain yang memanfaatkan situasi.

    “Sudah bertahun-tahun Pak Tehang mencari keadilan. Karena itulah kami memohon bantuan BKBH Unila, benar-benar membantu memperjuangkan rasa keadilan atas perkara itu. Kami masyarakat kecil yakin dan percaya tim hukum BKBH Unila dapat berjuang sepenuh hati,” ungkapnya

    Diketahui, ganti kerugian tanah untuk Pembangunan JTTS Ruas Terbanggi Besar – Pematang Panggang II STA 40+000 sampai dengan STA 79+ 025 dengan luas tanah 139.492 meter persegi, tepatnya di area eks Perusahaan PT Citra Lamtorogung Persada (CLP) menjadi perebutan sejumlah pihak, sehingga BKBH FH Unila yang dipimpin oleh Gunawan Jatmiko,SH.,MH dan Ardian Angga,SH.,MH beserta tim hukum, memberikan bantuan hukum atas Putusan Pengadilan Negeri (PN) Menggala tanggal 30 Oktober 2019. BKBH Unila menilai putusan PN Menggla keliru.

    “Setelah membaca, meneliti dan mengaji Putusan Pengadilan Negeri Menggala atas perkara nomor 65 tersebut, kami berkeyakinan putusan itu tidak memenuhi rasa keadilan, dan terkesan zalim, sehingga BKBH Unila tergerak dengan hati nurani dan segala upaya hukum untuk membantu pak Tehang Marga dan keluarganya tanpa biaya apa pun, sebab ini tugas dan kewajiban kami” terang Gunawan Jatmiko,SH.,MH Ketua BKBH FH Unila, Selasa (26/11/2019).

    Tim Hukum Universitas Lampung telah menyampaikan Memori Banding pada tanggal 25 November 2019 di PN Menggala, terhadap putusan PN Menggala atas perkara Perbuatan Melawan Hukum nomor 65/Pdt.G/2018/PN.Mgl antara Pangeran Tehang Marga selaku pembanding atau Tergugat IV, melawan Hi. Fredy Bin H.Basri Thayib selaku Terbanding atau Penggugat beserta PT CLP selaku turut Terbanding atau para Tergugat.

    “BKBH Unila memberikan bantuan Hukum kepada Pangeran Tehang Marga, karena bantuan hukum merupakan hak setiap warga negara, dalam rangka mewujudkan hak-hak konstitusi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak warga negara yang membutuhan akses terhadap keadilan. Oleh karena itu perkara Pangeran Tehang Marga atas haknya yang terdampak pembangunan Tol, kami dampingi dengan suka cita,” ungkapnya.

    Sementara itu, Pengacara Ardian Angga, SH.,MH mengungkapkan bahwa dirinya akan didampingi oleh tiga orang advokat yang akan mengawal setiap proses persidangan dipengadilan Tinggi Tanjung Karang, sedangkan empat orang lainya termasuk Ketua BKBH Unila bertugas mengkaji seluruh isi putusan dan kajian hukum memori banding yang diajukan.

    “Kami mengajukan permohonan Pemeriksaan perkara pada tingkat Banding sesuai pernyataan banding di Pengadilan Negeri Menggala terhadap putusan dimaksud, kami mendampingi Pembanding mengajukan risalah sebagai keberatan-keberatan atas putusan perkara nomor 65/Pdt.G/2018/PN.Menggala, dalam Konvensi yang telah sampaikan. Kita berharap putusan banding tersebut dapat memberikan rasa kebenaran dan keadilan” kata Ardian Angga,SH.,MH Selasa (26/11/2019)

    Menurut Ardian Angga, BKBH Unila meneliti putusan pengadilan negeri Manggala tersebut banyak terdapat kekeliruan dalam memenuhi keadilan.

    “Dalam Eksepsi ada 4 poin penting, dan ada 12 poin Dalam Pokok Perkara yang kami kaji dengan teliti. Perkara tersebut merupakan perkara Perdata yang seharusnya diperiksa oleh Majelis Hakim bukan hakim tunggal, sementara Hakim Tunggal bisa diterapkan dalam perkara sederhana. Menurut kami inikan bukan perkara sederhana, sesederhana dalam keputusan Hakim, untuk itu kami BKBH Unila akan memperjuangkan keadilan untuk pak Pangeran Tehang Marga dan keluarganya” pungkasnya,(A.P)

  • Paripurna DPRD RI Andi Surya : Konflik Lahan Makin Mendera Provinsi Lampung

    Paripurna DPRD RI Andi Surya : Konflik Lahan Makin Mendera Provinsi Lampung

    Bandarlampung (SL) – Sidang Paripurna DPD RI ke-6 masa sidang ke II ke tahun sidang 2018 – 2019 berlangsung di Gedung Nusantara V MPR/DPR RI cukup hangat yang dihadiri sekitar 80% dari seluruh anggota parlemen independen (12/11/2018). Sidang paripurna ini beragenda; pembukaan masa sidang, pidato pembukaan dan laporan anggota, dipimpin oleh Wakil Ketua DPD RI Nono Sampurno.

    Andi Surya, Senator Lampung, memaparkan dihadapan seluruh anggota DPD RI, secara umum Provinsi Lampung masih terbelenggu oleh konflik lahan yang cukup menyebar dan melebar hampir di segala sudut kabupaten kota. “Laporan yang masuk ke kami, antara lain; lahan register yang telah berubah penggunaannya dari kawasan hutan berproses menjadi desa (rural) bahkan urbanisasi (pengkotaan), tersebar di Kabupaten Lampung Selatan, Mesuji dan Lampung Timur dengan tuntutan agar dilepas menjadi lahan pemukiman untuk rakyat dan disertifikasi. Kedua, konflik lahan grondkaart bantaran kereta api antara warga bantaran yang telah menempati lahan negara rerata lebih dari 50 tahun dengan BUMN PT. KAI, dengan tuntutan sertifikasi. Ketiga, Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pemprov Lampung di Way Dadi dan HPL Pelindo di Pidada Panjang yang berbuntut tuntutan warga agar HPL dibatalkan, dan keempat, masalah HGU perusahaan-perusahaan privat yang tersebar di Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, Lampung Tengah, Lampung Utara dengan problem tuntutan ukur ulang karena dianggap telah menyerobot lahan rakyat”, sebut Andi Surya

    Menurut Andi Surya dalam pemaparan di sidang paripurna tersebut, menguraikan; pertama, konflik lahan ini muncul lebih diakibatkan karena kasadaran rakyat akan hak-hak agraria mereka selama ini terabaikan sehingga di zaman reformasi demokrasi tuntutan tersebut semakin nyaring. Kedua, kurang tegasnya pemerintah dalam menyikapi persoalan lahan sehingga terjadi akumulasi permasalahan karena minimnya upaya penyelesaian, ketiga, disadari atau pun tidak terjadi sengkarut administrasi pada birokrasi pertanahan bahkan terjadi mal-administrasi yang dibuktikan adanya fenomena tumpang tindih hak-hak kepemilikan lahan sehingga menciptakan ketidakpastian.

    “Saya melihat, fenomena ini berkait dengan minimnya keberanian Pemerintah untuk memutuskan perkara konflik yang berkiblat pada kepentingan rakyat, seperti tuntutan sertifikasi hak-hak warga di bantaran rel KA yang tertunda padahal persoalan grondkaart yang digadang-gadang BUMN PT. KAI tidak memiliki dasar hukum dan tidak selaras dengan amanat UUPA 5/1970 dan UUKA 23/2007”. Sebut Andi Surya

    Selanjutnya, Andi Surya menyebutkan langkah-lanhkah yang perlu diambil, perkara lahan register yang telah berproses ruralisasi dan urbanisasi sebaiknya pemerintah segera melepaskan lahan register hutan itu menjadi pemukiman dan disertifikasi untuk rakyat karena faktanya lahan register tersebut telah berubah menjadi hutan manusia yang notabene rakyat Indonesia. Ketiga, terkait HPL di Bandar Lampung agar pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian ATR/BPN dapat mencabut HPL-HPL yang bermasalah tersebut dan dilepas saja kepada warga karena berdasar kajian ihwal munculnya HPL ini juga memiliki persoalan alas hak. Terakhir, terkait HGU, segera pemerintah dapat melakukan daftar dan ukur ulang batas-batas lahan hak perusahaan privat ini agar tidak mengganggu lahan-lahan hak ulayat dan adat yang memang merupakan hak dari seluruh masyarakat adat Lampung. (rls)