Lampung Selatan (SL) – Pendataan rumah rusak akibat tsunami 22 Desember 2018 lalu berbuntut panjang. Perbedaan data membuat sejumlah warga berpotensi tidak mendapatkan hak dalam program hunian tetap (huntap).
Hal ini terungkap dalam rapat koordinasi Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dengan Kementerian PUPR, Senin, 28 Januari 2019. Sekretaris Kabupaten Lampung Selatan Fredy SM mengatakan, dari data tim di lapangan, jumlah rumah yang rusak parah akibat tsunami mencapai 537 unit.
Jumlah ini sudah di-SK-kan oleh Plt Bupati Lampung Selatan Nanang Ermanto dan menjadi acuan untuk membangun huntap. “Jumlah 537 ini yang sudah kita kunci. Tapi, ada juga 195 warga yang punya lahan sendiri sudah mengajukan kepada pemda. Nanti tetap kita bangunkan (huntap),” kata dia.
Menurut Fredy, huntap dibangun berukuran 7×14 meter persegi dengan luas lahan 98 meter persegi. Saat ini pemerintah sedang menjajaki pembebasan lahan seluas 1,5 hektare di Desa Way Muli Timur, Kecamatan Rajabasa. Sementara itu Kepala Satgas Penanganan Infrastruktur dan Hunian Pengungsi Kementerian PUPR Iriyadi mengatakan, data rumah rusak berat yang diterima pihaknya sebanyak 491 unit.
Jumlah tersebut, kata dia, berdasarkan data yang disampaikan BNPB dalam kunjungan Presiden Joko Widodo pada awal Januari lalu. “Memang yang kami catat sama dengan data yang Bapak (Sekkab) sampaikan. Namun ketika rapat di Jakarta kemarin, yang terkunci hanya 491 unit. Angka ini yang muncul sewaktu kunjungan Pak Presiden. Nanti ini perlu kita diskusikan, apakah masih bisa direvisi,” ujarnya.
Menurut Iriyadi, Kementerian PUPR melalui Ditjen Penyediaan Rumah juga berharap Pemkab Lamsel bisa secepatnya menentukan lokasi yang akan dijadikan huntap bagi korban tsunami di Lamsel. “Kami ingin memastikan penentuan lokasi untuk huntap kapan bisa tersedia. Begitu lahan ada, Kementerian PUPR langsung mengadakan lelang. Maka, sangat ditunggu kecepatan penyediaan lahan tersebut,” tegasnya.
Kementerian PUPR pun berharap, pemerintah daerah juga harus bisa memastikan semua masyarakat yang terdampak tidak kembali ke lokasi semula setelah proses rehabilitasi dan rekonstruksi selesai dilakukan. “Kenyataan di lapangan, ada beberapa yang rumahnya tidak terlalu mengalami kerusakan dan tetap tinggal di bibir pantai. Jangan sampai ini menjadi kecemburuan sosial. Ini yang juga harus menjadi pertimbangan pemerintah daerah,” tegas Iriyadi.
Fredy SM pun mengakui ketersediaan lahan menjadi kendala utama dalam program pembangunan huntap. Dikatakannya, tidak banyak lahan yang tersedia di lokasi yang berdekatan dengan permukiman warga di pesisir pantai yang terkena tsunami bisa dibebaskan untuk menjadi lokasi huntap. “Kalau di sekitaran Kalianda, kita pemerintah daerah punya banyak lahan. Tetapi masyarakat kan maunya tidak jauh dari lokasi semula,” kata Fredy.