Tag: Korupsi

  • KPK Ingatkan Pejabat Dapat Tiket Asian Games Harus Lapor

    KPK Ingatkan Pejabat Dapat Tiket Asian Games Harus Lapor

    Jakarta (SL) – KPK mengimbau kepada para penyelenggara negara yang menerima atau meminta tiket gratis dalam pagelaran Asian Games 2018 untuk melaporkan hal tersebut kepada KPK. KPK mengimbau agar para pegawai negeri dan penyelenggara negara jika ada yang menerima tiket gratis Asian Games 2018 agar segera melaporkan pada KPK paling lambat dalam waktu 30 hari kerja.

    “Kami sudah mendapatkan informasi bahwa ada oknum oknum pejabat tertentu yang diduga menerima tiket tersebut atau ada juga yang berupaya untuk meminta pada pihak-pihak lain tiket Asian Games itu,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta, Senin (28/8).

    KPK memandang permintaan mendapatkan tiket gratis itu bukanlah perbuatan yang patut yang dilakukan oleh para pejabat atau penyelenggara negara. “Karena itu jika ada yang sudah menerima maka kami ingatkan agar itu wajib dilaporkan pada KPK dalam waktu 30 hari kerja sesuai dengan ketentuan di UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK dan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ada risiko administrasi dan risiko pidana jika gratifikasi yang diterima tersebut tidak dilaporkan pada KPK paling lambat 30 hari kerja,” ungkap Febri.

    Apalagi menurut Febri, masyarakat harus membeli tiket untuk menonton pertandingan Asian Games. “Jadi sebagai bentuk upaya pencegahan tindak pidana korupsi kami imbau agar jika ada pihak-pihak yang menerima tiket Asian Games 2018 ini dan diduga itu berhubungan dengan jabatannya karena masyarakat secara luas harus membeli dengan nilai yang tidak sedikit. Jangan sampai jabatan disalahgunakan untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas gratis,” tambah Febri.

    Menurut Febri, salah satu pimpinan KPK ketika ingin menonton Asian Games juga membeli tiket seperti masyarakat. “Karena kami melihat hal tersebut haruslah dipisahkan dari jabatan kecuali undangan-undangan yang memang bersifat resmi dan kedinasan seperti undangan dalam acara pembukaan atau undangan yang secara resmi ditujukan kepada instansi. Tapi kalau ada oknum oknum pejabat meminta dan menerima tiket Asian Games tersebut secara gratis maka kami ingatkan kami imbau agar segera melaporkan kepada KPK,” jelas Febri.

    Laporan juga bisa dilakukan melalui aplikasi “online” atau daring yang bisa diakses di telepon selular masing-masing dan juga di laman KPK atau melaporkan secara langsung ke KPK.

    Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 berarti pemberian dalam arti luas yang mencakup uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.Dalam waktu maksimal 30 hari kerja, KPK akan melakukan analisis apakah gratifikasi tersebut menjadi milik penerima atau milik negara. (net/joe)

  • Tiga Bacaleg DPRD Provinsi Lampung Terancam Dicoret?

    Tiga Bacaleg DPRD Provinsi Lampung Terancam Dicoret?

    Bandar Lampung (SL) – Ketiganya: Daroni Mangku Alam dari Partai Demokrat, Achmad Junaidi Sunardi (Partai Golkar) dan Bonza Kesuma dari PAN. 

    Menurut Komisioner KPU Lampung M.Tio Aliansyah, berdasarkan pengaduan dari masyarakat, ketiga bacaleg tersebut pernah terlibat dalam tindak pidana korupsi. “Jika terbukti, ketiganya akan dicoret dari daftar caleg,” katanya kepada harianmomentum.com, Minggu (26/8/18).

    Dia menjelaskan, untuk Achmad Junaidi Sunardi, KPU Lampung telah melakukan klarifikasi kepada Pengadilan Negeri (PN) Gunungsugih, Lampung Tengah (Lamteng). “Sudah dikonfirmasi ternyata benar dan AJS pernah dihukum percobaan selama 9 bulan atas kasus penggelapan,” terang Tio.

    Selain itu, menurut Tio, PN Gunungsugih juga menyebut Bonza Kesuma (PAN) terlibat dalam kasus serupa. Akan tetapi, KPU masih memperdalam kasus Bonza Kesuma.

    Sedangkan, untuk kasus Daroni Mangku Alam, Tio menjelaskan yang bersangkutan pernah menjalani hukuman dua tahun penjara, karena terlibat korupsi proyek stadion Pringsewu tahun 2013/2014. Untuk itu, KPU Lampung akan menyurati partai demokrat dan juga PN Kotaagung Kabupaten Tanggamus.

    Sementara, Wakil Ketua DPD I Golkar Lampung Bidang Hukum Ansyori Bangsaradin mengatakan akan memanggil Achmad Junaidi Sunardi untuk klarifikasi. “Sekarang kami belum klarifikasi dengan yang bersangkutan. Tapi surat dari KPU sudah masuk ke kami. Ya awal kami mau panggil dulu yang bersangkutan,” ujar Ansyori, Sabtu (25/8/18).

    Dia menerangkan, Golkar akan meminta kepada Achmad Junaidi Sunardi untuk memberikan salinan amar putusan terkait kasus yang pernah menimpanya. Jika terbukti pernah terlibat korupsi, maka DPD I Golkar Lampung akan mengambil sikap tegas dengan mengganti Achmad Junaidi Sunardi. “Setelah itu baru kita kaji secara internal partai. Apa benar pernah dihukum atau tidak. Kalau benar maka ketentuannya diganti,” tegasnya.

    Karena itu, untuk membuktikan jika pernah terlibat perkara korupsi, maka dibutuhkan amar putusan dari pengadilan. Terpisah, Sekretaris DPW PAN Lampung Iswan Handi Caya mengatakan sedang melakukan hal serupa terhadap Bonza Kesuma. “Iya sedang kami klarifikasikan itu pada calegnya. Maka itu sedang kami dalami. Sementara dia juga pernah sebagai anggota legislatif,” jelas Iswan.

    Namun begitu, dia menegaskan, DPW PAN akan mengganti Bonza Kesuma jika terbukti pernah terlibat kasus korupsi. “Selain eks koruptor, caleg yang pernah bermasalah dengan asusila pada anak serta bandar narkotika juga bisa membatalkan,” tegasnya.

    Sementara, Wakil Ketua DPD Partai Demokrat Lampung Bidang Pembinaan Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (BPOKK) Levi Tuzaidi mengatakan masih mendalami terkait kasus Daroni Mangku Alam.

    Akan tetapi, dia menegaskan, jika terlibat korupsi maka akan diganti dari daftar caleg. Sesuai dengan aturan berlaku. “Iya karena dari KPU saya sendiri belum terima soal aduan masyarakat itu. Tapi kalau memang betul pernah terlibat korupsi akan kita ganti lah,” beber Levi.

    Menurut dia, banyak bacaleg yang tidak terdeteksi oleh DPD Demokrat Lampung. Terlebih lagi, Daroni Mangku Alam merupakan bacaleg eksternal. “Dia memang eksternal, nah kami memang sekarang belum melalukan klarifikasi pada caleg karena kami belum mendapatkan informasi sah dari KPU,” sebutnya.

    Dia meminta KPU Lampung dapat membuktikan latar belakang bacaleg yang diindikasi mantan terpidana korupsi. “Sebab, bisa saja masyarakat melaporkan ke KPU bagai surat kaleng. Sementara Levi baru mengetahui dari media,” tutupnya. 

    Diketahui, Daroni Mangku Alam merupakan bacaleg dari Partai Demokrat untuk daerah pemilihan (Dapil) V (Lampung Utara, Waykanan). Sementara Achmad Junaidi Sunardi (Partai Golkar) dan Bonza Kesuma dari PAN sama- sama dari Dapil VII (Lampung Tengah).

  • KPK Gelar OTT, Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah Ditangkap

    KPK Gelar OTT, Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah Ditangkap

    Jakarta (SL) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan ( OTT ) di Aceh sejak Selasa sore, 3 Juli 2018. Dalam operasi ini KPK menangkap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Ahmadi.

    “Ditangkap terkait korupsi dana otonomi khusus,” ujar seorang sumber di KPK malam ini. Irwandi baru dilantik sebagai Gubernur Aceh pada 5 Juli 2017. Ia diusung Partai Demokrat, Partai Nasional Aceh, dan sejumlah partai politik lainnya.

    Sedangkan Ahmadi diusung Partai Demokrat, PAN, PDA dan PKPB. Menurut sumber yang sama,  Ahmadi ditangkap tim satuan tugas KPK saat menyerahkan uang ratusan juta kepada seseorang di sebuah tempat. Diduga orang itu adalah kepanjangan tangan Irwandi. “Uang ini sebagai imbalan kepada Gubernur karena sudah mendistribusikan dana otonomi khusus,” ujar sumber itu.

    Saat ini, Irwandi dan Ahmadi masih menjalani pemeriksaan di Aceh. Begitu juga dengan beberapa orang yang diduga mengetahui dugaan korupsi tersebut. Kabarnya mereka akan dibawa ke Jakarta besok.

    Baca Juga:

    Tangkap Anggota DPR di Rumah Idrus Marham, KPK Cokok 9 Orang
    KPK Tangkap Wakil Ketua Komisi VII DPR RI
    KPK Terbangkan Gubernur Aceh Dengan Pengawalan Ketat

    Juru bicara KPK Febri Diansyah membenarkan adanya penindakan hukum di Aceh terkait kasus korupsi. Namun ia tidak menyebut nama-nama mereka yang ditangkap itu. “Sore hingga malam ini, KPK melakukan kegiatan penindakan di Aceh dan mengamankan 10 orang, yang terdiri dari 2 kepala daerah dan sejumlah pihak non PNS,” katanya melalui pesan singkat.

    Menurut Febri, mereka yang saat ini tengah diperiksa itu diduga telah bertransaksi dan melibatkan penyelenggara negara di tingkat Provinsi dan salah satu Kabupaten di Aceh. Tim KPK telah menyita uang ratusan juta rupiah sebagai barang bukti. “Uang itu diduga merupakan bagian dari realisasi komitmen fee sebelumnya,” kata Febri lagi.

    Febri menambahkan, tim KPK saat ini telah berada di Polda Aceh dan melakukan pemeriksaan awal. Setelah 24 jam, penyidik baru menentukan status orang-orang yang ditangkap dalam OTT tersebut. (Tempo/Syaiful Hadi)

  • Beredar 18 Calon Kepala Daerah Tersangkut Korupsi, KPK Sebut Itu hoax

    Beredar 18 Calon Kepala Daerah Tersangkut Korupsi, KPK Sebut Itu hoax

    Jakarta (SL) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah terkait dengan beredarnya 18 nama calon kepala daerah dalam sebuah dokumen PDF Lantaran diduga melakukan tindak pidana korupsi. Nama-nama tersebut diketahui akan bertarung di Pilkada 2018. “Dokumen PDF dan isinya tersebut tidak benar. Hati-hati dengan informasi palsu yang disebar,” tegas Juru Bicara KPK Febri Diansyah pada awak media melalui pesan singkat, Minggu (3/6).

    Febri menambahkan, pihaknya tidak pernah memproses seseorang sebagai calon kepala daerah. Karena UU mengatur kewenangan KPK memperoses penyelenggara negara.

    Disamping itu, Febri yang merupakan aktivis ICW juga menjelasakan, jika telah masuk proses penyidikan dan ada tersangka, maka akan diumumkan secara resmi melalui konferensi pers dan bukan melalui sebuah dokumen. “Jika KPK telah masuk proses penyidikan dan ada tersangka, maka hal tersebut akan diumumkan secara resmi melalui konferensi pers, bukan dengan dokumen PDF seperti itu yang pasti tidak benar,” jelasnya.

    Sekadar informasi, baru-baru ini tersebar dokumen PDF yang mengatasnamakan lembaga antirasuah tersebut. Dalam dokumen itu dituliskan 18 nama calon kepala daerah Pilkada Serentak 2018 yang akan diumumkan sebagai tersangka lantaran diduga melakukan korupsi maupun hanya diperiksa sebagai saksi.

    Ke-18 nama tersebut yakni:

    1. Calon Gubernur Riau 2018-2023, Syamsuar (Mantan Bupati Siak dua periode) ini diduga terlibat kasus tindak pidana korupsi dana Bansos dan dana Hibah tahun angggaran 2015-2016.

    2. Calon Walikota Petahana Kediri 2018-2023, Syamsul Ashar yang melakukan tindak pidana korupsi pembangunan Jembatan Brawijaya Kota Kediri tahun Anggaran 2011-2013.

    3. Calon Walikota Madiun 2018-2023 , Maidi (Mantan Sekda Kota Madiun) yang diduga terlibat tindak pidana korupsi Walikota Madiun Bambang Irianto yang sekarang jadi tahanan KPK.

    4. Walikota Siantar (Sumatera Utara) Hefriansyah, yang diduga terlibat kasus suap proyek pembangunan jembatan Sentang bersama tersangka Bupati Batubara OK Arya Zulkarnain.

    5. Calon Bupati Padadang Lawas Utara (Paluta) Sumut, Andar Amin Harahap (Mantan Walikota Sidompuan) Sumatera ini diduga terlibat tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan Kabupaten Padang Lawas Utara tahun anggaran tahun anggaran 2015-2016.

    6. Calon Bupati Bangkalan 2018-2023, Farid Alfauzi (Mantan Ketua Fraksi PPP DPRD Kabupaten Bangkalan) yang diduga terlibat tindak pidana korupsi Dana Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat di Provinsi Jawa Timur tahun 2008-2009.

    7. Calon Walikota Cirebon 2018-2023, Nasrudin Aziz (Petahana) Diduga terlibat tindak pidana penjualan asset daerah berupa tanah di Jalan Cipto Kota Cirebon. Kasus ini dilaporkan oleh Ahmad Subur Karsa (warga Kota Cirebon) ke KPK tahun 2017.

    8. Calon Walikota Bekasi 2018-2023, Rahmad Efendi (petahana) yang diduga terlibat korupsi dana APBD Kota Bekasi tahun anggaran 2009-2010.

    9. Calon Gubernur Papua 2018-2023, Lukas Enembe (petahana) yang diduga korupsi proyek pembangunan Jalan Kemiri-Depapre Jayapura yang dibaiayai dari Dana APBD Provinsi Papua tahun anggaran 2015.

    10. Calon Gubernur Papua 2018-2023, John Wenpi Watipo (mantan Bupati Jayawiya) yang diduga terlibat tindak pidana korupsi pengadaan beras rakyat miskin dan pembelian pesawat boing 737-300 , dan sewa pesawat Antonov 12 sewaktu menjabat Bupati Jayawijaya.

    11. Calon Bupati Puncak Papua, Williem Wandik (Bupati Petahana) yang diduga terlinat korupsi dana Bansos sebesar Rp 15 miliar tahun 2015.

    12. Calon Gubernur Maluku 2018-2023, Said Assagaf (Gubernur Petahana) yang diduga  terlibat tindak pidana korupsi Pengadaan Asset Bank Maluku senilai Rp 54 miliar tahun 2015.

    13. Calon Walikota Tual 2018-2023, Adam Rahayaan (Walikota Petahana) akan diperiksa sebagai saksi oleh KPK dalam kasus Penyelewengan Dana Asuransi Kesehatan (Askes) anggota DPRD Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1999-2004 sebesar Rp 5,7 miliar.

    14. Calon Bupati Donggala Sulteng 2018-2023, Kasman Lassa (Bupati Petahana) yang diduga terlibat tindak pidana korupsi Dana Koni Provinsi Sulawesi Tengah sebesar Rp 1,4 miliar.

    15. Calon Gubernur Kalimantan Barat 2018-2023, Milton Crosby (mantan Bupati Sintang dua periode) yang diduga terlibat tindak pidana korupsi Pengadaan Obligasi Bibit Karet tahun 2017 sewaktu menjabat Bupati Sintang.

    16. Calon Gubernur Lampung 2018-2023, M Ridho Ficardo yang diduga terlibat tindak pidana korupsi Dana Koni Provinsi Lampung tahun anggaran 2016 senilai Rp 55 miliar.

    17. Calon Bupati Sanggau Kalbar 2018-2023, Paulus Hadi (Wakil Bupati Incumbent})akan diperiksa sebagai saksi oleh KPK dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dana Penguatan Infrastrustruktur dan Prasarana daerah (DPIPD) Kabupaten Sanggu tahun 2010.

    18. Calon Bupati Bangka 2018-2023, Tarmizi (Bupati Petahana) akan diperiksa sebagai saksi oleh KPK dalam kasus tindak pidana korupsi miliran proyek pengerukan Alur Muara Sungai elitik yang dibiayai oleh dana APBD Kabupaten Bangka. (JawaPost)

  • Korupsi Warisan Turun Temurun Masa Orde Baru

    Korupsi Warisan Turun Temurun Masa Orde Baru

    Jakarta (SL) – Orde Baru yang runtuh 20 tahun lalu masih menyisakan peninggalan lamanya yaitu korupsi. Meski selama 20 tahun reformasi berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi angka korupsi, namun rupanya rasuah tak jua lenyap dari negeri ini.

    Selama Orde Baru, bau anyir korupsi terasa menyengat. Tetapi kekuasaan yang sentralistis membuat kasus-kasus korupsi menguap. “Kasus di zaman Orba itu karena sentralisasi kekuasaan. Apalagi biasanya pemilik kewenangan itu mainnya di kekuasaan yang tersentralisasi,” kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar kepada Tempo di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta beberapa waktu lalu.

    Menariknya, kata Zainal, kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme di Orde Baru menjadi legal karena memiliki payung hukum berupa keputusan presiden (keppres). “Misal keppres-keppres yang memberikan kewenangan tertentu pada anak Pak Harto kala itu,” katanya.

    Zainal menyebutkan salah satu contoh kasusnya adalah mobnas atau mobil nasional. Pada 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 yang menginstruksikan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman modal agar secepatnya mewujudkan industri mobil nasional.

    Bersamaan dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 2 Tahun 1996 itu, ditunjuklah PT Timor Putra Nasional (TPN) sebagai pionir mobil nasional. TPN adalah perusahaan milik Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto.

    Dengan ditunjuknya TPN sebagai pionir mobil nasional, perusahaan itu dibebaskan dari bea masuk dan pajak lainnya dengan syarat TPN harus menggunakan komponen lokal sebesar 20 persen pada tahun pertama, 40 persen pada tahun kedua, dan 60 persen pada tahun berikutnya.

    Demi melancarkan proyek mobnas Timor, bukannya membangun pabrik perakitan dan industri komponen untuk menunjang mobnas, Presiden Soeharto malah mengeluarkan kembali Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1996. Inti dari keppres itu adalah TPN tak perlu melalui tahapan pemenuhan komponen lokal itu dan boleh mengimpor mobil secara utuh atau completely built up. Dengan begitu, TPN memperoleh fasilitas antara lain pembebasan bea masuk impor mobil.

    Akibat meng-anakemas-kan TPN inilah, Indonesia kemudian digugat oleh Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), karena dianggap antara lain melanggar pasal memberikan perlakuan dikriminatif terhadap perusahaan lainnya.

    Gurita bisnis keluarga Cendana sempat ditulis oleh Majalah Time dengan judul Suharto Inc. Majalah Time saat itu bekerja sama dengan pengajar sosiologi korupsi di Universitas Newcastle George Junus Aditjondro. George pada September 1998 menerbitkan buku berjudul From Suharto to Habibie: The Two Leading Corruptors of the New Order.

    Pada edisi 24 Mei 1999, Time Asia kemudian meluncurkan artikel 14 halaman berjudul Suharto Inc: How Indonesia’s Longtime Boss Built a Family Fortune.

    Tulisan ini kemudian digugat oleh keluarga Cendana. Pada 30 Agustus 2007 majelis kasasi Mahkamah Agung memutuskan Time dinyatakan melawan hukum atas tindakannya memuat tulisan tersebut. Time dihukum ganti rugi immaterial Rp 1 triliun terhadap Soeharto.

    Putusan itu membatalkan putusan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 6 Juni 2000 yang memenangkan Time atas Soeharto. Putusan pengadilan pertama itu sempat dikuatkan di Pengadilan Tinggi Jakarta pada 16 Maret 2001.

    Namun pada 16 April 2009, upaya peninjauan kembali yang diminta Time berhasil. Majelis hakim Mahkamah Agung memenangkan Time pada April 2009.

    Upaya mengendus harta Soeharto juga sempat dilakukan dua lembaga raksasa yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia. Mereka pernah meluncurkan berkas setebal 48 halaman berjudul Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative atau Prakarsa Pengembalian Aset Curian.

    Dalam berkas di halaman 11 dilansir sepuluh pemimpin politik paling korup di dunia, dan mantan presiden Soeharto bertengger di urutan pertama. Berdasarkan data itu total hasil curiannya mencapai US$ 15-35 miliar atau sekitar Rp 135-315 triliun pada kurs tahun 2007.

    Adapun pemerintah mengusut harta Soeharto dimulai setelah ia lengser. Pada 1 September 1998, Kejaksaan Agung menemukan sejumlah penyelewengan pada yayasan yang dikelola Soeharto.

    Soeharto saat itu membantah tudingan tersebut. Muncul di televisi, Soeharto berkata, “Saya tidak punya uang satu sen pun di luar negeri.”

    Korupsi di era Soeharto tak lepas dari keputusan presiden yang dikeluarkan saat itu. Menurut Hamid Chalid, salah satu pelopor pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, mengatakan ada puluhan keppres yang menyimpang di era Orde Baru. Hal itu terungkap dari hasil kajian yang dilakukan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

    Ketika Soeharto lengser, PSHK dan MTI mengusulkan kepada pengganti Soeharto, BJ Habibie, untuk mencabut keppres tersebut. “Ada 53 keppres yang dicabut keberlakuannya oleh pemerintahan Habibie waktu itu,” kata Hamid yang kini menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas MTI.

    Hamid menuturkan, menghapuskan KKN merupakan semangat reformasi. Sulitnya memberantas korupsi di era Soeharto karena semua berada di bawah kendali pemerintah pusat. Menurut dia, tak satu pun orang yang berani menyuarakan yang berbeda untuk melawan. Bahkan, KKN dipandang sebagai sesuatu yang wajar.

    Karena itu, Hamid menilai bahwa upaya pemberantasan korupsi harus dimulai dari komitmen kepala negara. “Artinya bagaimana seorang pemimpin berperilaku punya impact yang luas ke bawah. Sebetulnya, it’s really a matter of leadership. Masalahnya pada kepemimpinan,” katanya. (sumber tempo.co)

    Mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998. TEMPO/Rully Kesuma

  • Asintel Kejati Tangkap Buron Korupsi TIK SD Way Kanan

    Asintel Kejati Tangkap Buron Korupsi TIK SD Way Kanan

    Bandarlampung (SL) – Pelarian kakak dan adik yang menjadi buronan Kejati Lampung dalam perkara korupsi program bantuan sosial peningkatan mutu pembelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk 35 SD di Kabupaten Waykanan, berakhir pada Sabtu (21/4/2018) dan Kamis (3/5/2018).
     
    Dua bersaudara itu ditangkap Tim Intelijen Kejati Lampung di lokasi terpisah. Penangkapan keduanya hanya selisih hitungan hari yakni 12 hari.
    Jaksa lebih dulu menangkap sang adik, Reza Mustika Nunyai (33) di rumah kosnya, Jalan Pangeran Antasari, Gang MAN II, Kalibalau Kencana, Kedamaian, Bandarlampung, Sabtu (21/4/2018) lalu.
    Pada Kamis (3/5/2018) malam, giliran sang kakak, Rajiv Putra Nunyai (35), ditangkap di kawasan Ciguruwik, Bandung, Jawa Barat.
    Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Lampung, Raja Sakti Harahap, saat ekspose kasus, Jumat (4/5/2018), mengatakan bahwa penangkapan Rajiv melibatkan Tim Intelijen Kejati Jawa Barat dan Kejari Lampung Utara. “(Rajiv) Ditangkap saat sedang berjualan ayam goreng di Ciguruwik,” katanya kepada awak media di kantor Kejati Lampung.
    Rajiv pun langsung bergabung dengan sang adik di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I A Bandarlampung atau Lapas Rajabasa. Jaksa melakukan eksekusi sesuai putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang.
    Majelis hakim PN Tanjungkarang menyatakan kakak adik yang berprofesi sebagai kontraktor terbukti melakukan korupsi yang merugikan negara sebesar Rp588 juta dalam program bantuan sosial senilai Rp1,8 miliar pada tahun anggaran 2014. “(Rajiv) Dia divonis 7 tahun, 6 bulan penjara. Sama dengan adiknya, Reza,” tandasnya.
    Sementara Rajiv sendiri mengaku sudah satu tahun mengontrak rumah bersama istri dan anaknya di Bandung. “Kalau usaha ayam goreng baru tiga bulan,” akunya kepada wartawan. (rid/nt/*)
  • Kinerja KPK Mencegah dan Memberantas Korupsi di Riau tidak Berpengaruh

    Kinerja KPK Mencegah dan Memberantas Korupsi di Riau tidak Berpengaruh

    Pekanbaru (SL) – Senarai, mengapresiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah merangkum hasil kinerjanya sepanjang 2017. Dengan begitu, masyarakat jadi tahu apa yang telah dilakukan komisi anti rasuah itu terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi di Riau, Senin 30 APRIL 2018.

    “Namun, KPK masih lambat dan belum berhasil mencegah dan memberantas korupsi di Riau,” kata Ahlul Fadli, Koordinator Senarai.

    Buktinya, dalam laporan tersebut, Riau masih menempati urutan 4 di Sumatera dalam hal kejadian gratifikasi dan menduduki posisi 14 di Indonesia. Bahkan berdasarkan pengaduan masyarakat, Riau berada diurutan 3 di Sumatera dengan 245 pengaduan dan masuk 10 besar di Indonesia.

    Laporan lainnya menunjukkan, sebanyak 18 kejadian gratifikasi di Riau hanya satu yang melaporkannya pada KPK, yakni dari Pemkab Indragiri Hulu. Padahal selama 2017, KPK dua kali jadi narasumber deklarasi anti gratifikasi.

    “Itu membuktikan, kinerja KPK tidak berpengaruh bagi Riau,” tambah Ahlul Fadli.

    Padahal, sambung Ahlul Fadli, pada 2017 KPK juga melibatkan masyarakat, organisasi non pemerintah dan pegawai negeri sipil dari berbagai instansi turut terlibat membantu mencegah korupsi di Riau, dengan membentuk Forum Masyarakat Riau Anti Rasuah atau Marwah.

    Tidak hanya kurang berhasil dalam hal pencegahan korupsi, KPK juga lambat menyelesaikan perkara korupsi di Riau. Buktinya, dari 123 kasus yang diselidiki KPK sepanjang 2017, hanya 6 kasus yang naik ketahap penyidikan. Bahkan dari 6 perkara tersebut, tak satupun yang dilimpahkan ke pengadilan.

    Salah satu perkara korupsi yang tengah ditangani KPK mengenai kasus suap pembahasan RAPBD – P 2014 dan RAPBD-P 2015 atas nama terdakwa Anas Maamun, mantan Gubernur Riau.

    Padahal, kata Ahlul Fadli, itu adalah perkara lama. “Sudah ada anggota DPRD Riau yang dihukum dalam kasus itu. Yakni Ahmad Kirjauhari, Suparman dan Johar Firdaus.”

    Supaya kinerja KPK benar-benar dapat mewujudkan Riau bersih dari korupsi, Senarai mendorong pencegahan korupsi yang dilakukan KPK tidak lagi sebatas ceremony seperti peringatan Hari Anti Korupsi (HAKI) di Riau dua tahun lalu. Buktinya, paska peringatan besar itu, beberapa orang pegawai negeri sipil malah tersandung korupsi karena proyek pembangunan tugu korupsi.

    Rangkuman laporan kinerja KPK tahun 2017 di Riau, hasil catatan Senarai:

    Menengok Laporan Kinerja 2017 KPK

    Narahubung:
    Ahlul Fadli, Koordinator Senarai—0852-7129-0622

  • Nama Puan Maharani dan Pramono Anung Masuk Daftar Kasus Korupsi e-KTP ?

    Nama Puan Maharani dan Pramono Anung Masuk Daftar Kasus Korupsi e-KTP ?

    Setya Novanti Saat Menghadiri Sidang Kasus Korupsi Mega Proyek e-KTP

    Jakarta (SL) – Setya Novanto menyebut uang proyek e-KTP juga mengalir ke Puan Maharani dan Pramono Anung. Keduanya disebut Novanto menerima masing-masing USD 500 ribu.

    Novanto menyebut uang untuk Puan dan Pramono diberikan oleh orang kepercayaannya, Made Oka Masagung. Hal itu diketahui Novanto dari Made dan Andi Agustinus alias Andi Narogong yang menceritakan itu ketika berkunjung ke kediamannya.

    “Oka menyampaikan dia menyerahkan uang ke dewan, saya tanya ‘wah untuk siapa’. Disebutlah tidak mengurangi rasa hormat, saya minta maaf, waktu itu ada Andi untuk Puan Maharani 500 ribu dan Pramono 500 ribu dolar,” ujar Novanto ketika menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa kasus korupsi proyek e-KTP dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (22/3/2018)

    Ketua majelis hakim Yanto meminta Novanto mengulangi pernyataannya. “Untuk siapa? Ulangi,” kata Yanto.

    “Bu Puan Maharani waktu itu Ketua Fraksi PDIP dan Pramono adalah 500 ribu ini hal-hal,” ucap Novanto.

    Novanto mengaku awalnya hanya mendengar nama Puan yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP. Namun belakangan dia juga mendengar nama Jafar Hafsah, yang juga Ketua Fraksi Partai Demokrat ketika proyek itu bergulir, turut menerima uang.

    “Hanya itu saja saya kalau nggak salah Jafar Hafsah. Saya tahu waktu pemeriksaan semalam dengan Irvanto,” ujar Novanto.

    Dalam perkara ini, Novanto didakwa melakukan intervensi dalam proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa proyek e-KTP. Novanto juga didakwa menerima USD 7,3 juta melalui keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, dan orang kepercayaannya, Made Oka Masagung.

  • KPK Akan Ambil Alih Kasus Buron Satono?

    KPK Akan Ambil Alih Kasus Buron Satono?

    Bandarlampung (SL)- Pihak kejaksaan seperti tak berdaya menangkap Mantan Bupati Lampung Timur Satono, yang buron sejak tahun 2012 lalu. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan catatan khusus kepada Satono, terbukti terlibat kasus korupsi APBD sebesar Rp 119 miliar.

    Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengatakan, pihaknya tidak mengetahui adanya kasus korupsi bernilai ratusan miliar yang akan diambil alih KPK. “Nggak tahu saya. Saya tidak boleh ngomong kalau tidak tahu. Nanti kita pelajari dulu ya,” kata Saut saat konferensi pers di Balroom Novotel Bandarlampung, Senin (20/11).

    Namun Saut mengaku akan menelusuri catatan hitam dari Satono. “Siapa tadi namanya? Satono ya? Baik saya catat namanya. Nanti kita telusuri lebih dalam,” terangnya.

    Satono dipidana selama 15 tahun penjara. Dia terbukti terlibat korupsi uang APBD sebesar Rp119 miliar yang disimpan di BPR Tripanca Setiadana. Satono main mata dengan pihak bank sehingga dana rakyat yang disimpan di BPR raib.

    Pada 21 Desember 2010, sidang perdana atas terdakwa Satono digelar dengan agenda membacakan dakwaan. Lalu pada 26 September 2011, jaksa menuntut Satono dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Namun Pengadilan Tipikor Tanjungkarang menyatakan Satono tidak terbukti korupsi.

    Kemudian pada 27 Oktober 2011 jaksa mengajukan kasasi. Akhirnya Mahkamah Agung menghukum Satono selama 15 tahun penjara. Mendengar kabar tersebut, Satono kabur dan dinyatakan buron sejak April 2012. (fs/nt/jun)

  • Hak Politik Ketua PKB Lampung Musa Zainudin Juga Dicabut

    Hak Politik Ketua PKB Lampung Musa Zainudin Juga Dicabut

    ilustrasi Musa Zainudin saat di Lampung. (foto/dok/net)

    Jakarta (SL)-Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lampung, Musa Zainudin yang juga anggota DPRD RI, tidak hanya dihukum 9 tahun, dan pengembalian uang Rp7 miliar, tetapi juga menerima hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Hal itu terungkap dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, yang dipimpin majelis hakim Mas’ud, Rabu (15/11/2017).

    Dalam sidang itu, majelis hakim menilai, politisi PKB asal Lampung itu terbukti melakukan tindak pidana korupsi. “Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik, 3 tahun setelah pidana pokok selesai dijalani,” ujar Ketua Majelis Hakim Mas’ud di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (15/11/2017).

    Menurut hakim, Musa dipilih rakyat untuk memperjuangkan aspirasi. Namun, Musa malah menyimpang dari amanat rakyat, karena menerima fee yang tidak dibenarkan. Perbuatan Musa telah menciderai demokrasi dan kepercayaan rakyat.  Dengan demikian, Musa patut dikenai hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik.

    Dalam pertimbangan, majelis hakim menilai perbuatan Musa tidak mendukung pemerintah yang sedang gencar memberantas korupsi. Musa selaku anggota DPR dinilai tidak memberikan contoh yang baik bagi masyarakat.

    Selain itu, Musa dinilai merusak citra DPR sebagai wakil rakyat. Anggota Komisi V DPR itu juga memberikan keterangan secara berbelit-belit dan tidak mau berterus-terang. Kemudian, perbuatan Musa membuktikan check and balances antara legislatif dan eksekutif belum berjalan secara efektif. Musa juga belum mengembalikan uang suap yang diterima.

    Musa terbukti menerima suap Rp7 miliar terkait proyek di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Uang itu diberikan agar Musa selaku anggota Komisi V DPR mengusulkan program tambahan belanja prioritas dalam proyek pembangunan jalan di wilayah Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara.

    Selain itu, agar PT Windhu Tunggal Utama dan PT Cahaya Mas Perkasa dapat ditunjuk sebagai pelaksana proyek-proyek tersebut. Dalam kasus ini, Musa dikenalkan oleh Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary, kepada Direktur PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir dan Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa, So Kok Seng alias Aseng.

    Penyerahan uang kepada Musa melalui stafnya, Jailani. Uang dalam pecahan dollar Singapura dan rupiah tersebut dibungkus dalam dua tas ransel hitam.

    Menurut hakim, penerimaan uang itu sebagai kompensasi karena Musa telah mengusulkan proyek pembangunan Jalan Taniwel-Saleman senilai Rp 56 miliar, dan rekonstruksi Piru-Waisala Provinsi Maluku senilai Rp 52 miliar. Musa dijatuhi hukuman penjara selama 9 tahun dan denda Rp 500 juta. Politisi PKB itu juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 7 miliar. (tri/kom/jun)