Tag: Korupsi

  • Runtuhnya Moral Pemicu Maraknya Korupsi

    Runtuhnya Moral Pemicu Maraknya Korupsi

    Penyidik KPK RI menjadi pembicara dilokakarya wartawan anti korupsi di Lampung.

    Bandarlampung (SL)- Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya korupsi di Indonesia, diantaranya integritas dan moralitas penyelenggara atau pejabat negara, faktor struktural, sejarah dan politik.

    Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bidang penindakan, Abdul Basir,  mengatakan penyebab terjadinya korupsi lainnya yaitu adanya desentralisasi, kualitas regulasi dan law enforcement.

    Terkait tudingan KPK melakukan tebang pilih dalam menindak dan memberantas praktek korupsi, dia membantahnya. “KPK tidak pernah melakukan tebang pilih. Lagi pula, siapa yang nebang dan siapa yang milih,” katanya di dalam kegiatan lokakarya jurnalis antikorupsi yang dilaksanakan di Whiz Prime Hotel, Rabu (18/10).(Jun/nt)

  • Mengurai Korupsi HIngga Gagalnya Penyerapan Dana Desa

    Mengurai Korupsi HIngga Gagalnya Penyerapan Dana Desa

    Pada 2016, Kemendes PDTT mendapat laporan terkait dana desa sebanyak 932 pengaduan. Kompleksitas permasalahan dana desa ini seharusnya dijadikan momentum melakukan pembenahan. Dana desa rawan diselewengkan karena tidak ada pihak yang bertanggung jawab dari hulu hingga hilir.

    Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penyelewengan dana desa di Pamekasan, Jawa Timur, pada awal Agustus lalu menguak tabir kusutnya pengelolaan dana desa di sejumlah daerah. OTT tersebut menjadi peringatan keras agar pemerintah meningkatkan pengawasan dan pembinaan soal pengelolaan dana desa.

    Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Putro Sandjojo mengakui adanya penyalahgunaan tersebut. Misalnya, kata dia, pada tahun 2016, Kemendes PDTT telah mendapat laporan pengaduan masyarakat terkait dana desa sebanyak 932 pengaduan.

    Sebanyak 200 laporan di antaranya diserahkan kepada KPK, sedangkan 167 diserahkan kepada kepolisian, dan sisanya merupakan permasalahan administrasi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 67 kasus yang mendapat vonis.

    Sementara untuk tahun 2017, kata Eko, Satgas Dana Desa telah menerima laporan pengaduan sebanyak 300 dan pihaknya terus memantaunya. Namun, kata dia, permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan dana desa sebenarnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah penerima anggaran dana desa yang mencapai 74.910 desa.

    Meski demikian, ia mengaku tetap melakukan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi dalam pengelolaan dana desa tersebut. “Tentu setiap satu kesalahan kita tidak terima. Persoalan ini [penyelewengan dana desa] adalah persoalan penanganan korupsi. Penanganan korupsi bukan ditangani dengan pembentukan lembaga pengawas baru lagi, karena tidak menjamin korupsi tidak terjadi. Solusinya kita tangani korupsinya,” ujarnya seperti dikutip Antara, Kamis (10/8/2017).

    Hasil kajian “Tren Penanganan Kasus Korupsi tahun 2016” yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkonfirmasi hal tersebut. Berdasarkan kajian itu, fenomena korupsi di daerah kian meluas setelah pemerintah pusat mengimplementasikan alokasi dana desa.

    Sebagai contoh, pada tahun 2016, dana desa yang digelontorkan sekitar Rp47 triliun. Namun dalam praktiknya, muncul fenomena elit lokal yang mengkooptasi anggaran untuk kepentingan pribadi, terutama elit lokal di tingkat desa. Terbukti selama tahun 2016, dana desa masuk dalam lima besar sektor yang rawan untuk dikorupsi.

    Ada sekitar 62 kasus korupsi di pemerintahan desa yang melibatkan 61 kepala desa dengan nilai kerugian negara sebesar Rp10,4 miliar. Meskipun nilai kerugian negara cenderung kecil dibandingkan anggaran yang diberikan oleh pemerintah, akan tetapi hal itu menjadi sinyal bahwa korupsi sudah semakin meluas hingga tingkat desa.

    Artinya, masalah korupsi yang selama ini kerap dipandang sebagai isu elitis, kini telah menjadi bagian dari realitas di masyarakat tingkat desa. Dengan anggaran yang cukup besar, dana desa rawan dimanipulasi oleh elit lokal. Ironisnya, praktik korupsi yang terjadi berlindung di balik konsep partisipasi.

    Peningkatkan Pengawasan

    Mendagri Tjahjo Kumolo mengklaim jika pengawasan dana desa telah dilakukan secara komprehensif sesuai skenario dan strategi pengawasan yang diatur UU No 6 tahun 2014. Menurutnya, regulasi tersebut mengatur bahwa Kemendagri melakukan pembinaan dan pengawasan, sementara penyaluran dana desa dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Sedangkan penggunaannya menjadi kewenangan Kemendes PDTT.

    Tjahjo mengakui dari 74.910 desa yang menerima dana desa, terdapat kurang dari 500 desa yang mengalami masalah. “Artinya pengawasan sudah efektif dan tinggal ditingkatkan intensitasnya mulai dari penyaluran, alokasi dan distribusi atau dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban,” kata Tjahjo, seperti dikutip Antara.

    Menurutnya, terkait OTT yang dilakukan KPK soal dana desa di Pamekasan, menunjukkan perlu ditingkatkannya pemahamanan dan koreksi konstruktif semua pihak mengenai arti penting pembinaan dan pengawasan berjenjang mengenai pengelolaan dana desa dalam satu kesatuan poros pemerintahan.

    Tjahjo mengatakan bahwa kompleksitas permasalahan dana desa saat ini seharusnya dijadikan momentum bagi semua pihak untuk memahami kembali makna dan filosofi disusunnya UU Desa tersebut. Dari sisi regulasi, kata dia, pembinaan dan pengawasan dana desa sudah diatur secara berjenjang, namun yang menjadi persoalan adalah jumlah desa yang sangat banyak dengan kondisi dan situasi beragam, baik kondisi SDM di Pemda maupun di pemerintahan desa.

    Mendes PDTT juga mengakui hal tersebut. Eko mengakui sekitar 40 persen kepala desa di Indonesia hanya berpendidikan SD dan SMP. Namun, ia mengklaim, hal tersebut bukanlah alasan untuk meragukan kemampuan desa untuk mengelola dana desa.

    “Kenyataannya mereka [kepala desa] bisa belajar. Kalau kita lihat dana desa tahun 2015 sebanyak Rp20,8 triliun hanya terserap 82 persen. Tahun 2016 dinaikkan oleh Pak Presiden sebesar Rp46,98 triliun. Angka penyerapan naik dari 82 persen menjadi 97 persen. Artinya mereka belajar dan selalu kita kasih pendampingan,” ujarnya.

    Rekomendasi KPK

    Jauh sebelum peristiwa OTT penyelewengan dana desa di Pamekasan, KPK telah melakukan kajian tentang pengelolaan keuangan desa dan memberikan hasil kajian tersebut kepada pemerintah untuk dijadikan pedoman.

    Dalam kajian itu, KPK sudah mengindentifikasi empat celah terkait penggunaan dana desa ini, yaitu: regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan, serta kualitas dan integritas SDM yang mengurus dana desa.

    Sayangnya, rekomendasi tersebut belum sepenuhnya dilakukan sehingga celah untuk menjadikan dana desa sebagai bahan bancakan cukup besar. Dalam konteks ini, komisi antirasuah kembali merekomendasikan agar pengelolaan dana desa diganti mesin agar lebih sederhana dan tidak tumpang tindih. “Salah satu rekomendasi saya, kita dalam reformasi birokrasi bukan hanya direformasi, tapi juga harus ganti mesin artinya tumpang tindih dibenahi, lebih disederhanakan, sistem yang pengantarannya didorong supaya ada check and balances juga,” kata Ketua KPK, Agus Rahardjo di Jakarta, Rabu (9/8/2017).

    Hal tersebut diungkapkan Agus menjawab pertanyaan soal penjabaran UU No. 6 tahun 2014, dan peraturan pelaksanaannya yang mengatur bahwa Kemendagri melakukan pembinaan dan pengawasan, sedangkan penyaluran dana desa oleh Kementerian Keuangan, dan penggunaannya oleh Kemendes PDTT.

    Dengan tiga lembaga yang mengurus dana desa tersebut, kata Agus, dana desa pun rawan diselewengkan karena tidak ada pihak yang bertanggung jawab dari hulu hingga hilir. “Sekarang ini kewenangannya juga tidak jelas, ini program [dana desa] tidak ada yang bertanggung jawab. Coba dibenahi secara mendasar, kelembagaan dibenahi, tata kelola dibenahi, sistem dibenahi,” ujarnya. (sumber tirto.id)

     

     

  • ICW Rilis 110 Kasus Penyelewengan Dana Desa

    ICW Rilis 110 Kasus Penyelewengan Dana Desa

    Jakarta  (SL) – Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis ada 110 kasus penyelewengan dana desa dan alokasi dana desa sepanjang 2016-10 Agustus 2017. Dari 110 kasus itu, pelakunya rata-rata dilakukan kepala desa alias Kades.

    “Dari 139 aktor, 107 di antaranya merupakan kepala desa,” kata peneliti ICW, Egi Primayogha, di kantornya, Kalibata, Jumat (11/8/2017).

    Selain itu, pelaku korupsi lainnya adalah 30 perangkat desa dan istri kepala desa sebanyak 2 orang. Egi menyebut dari 110 kasus tersebut, jumlah kerugian negaranya mencapai Rp 30 miliar. Data tersebut ia akui berdasarkan berbagai sumber media hingga data aparat penegak hukum.

    Adapun sejumlah bentuk korupsi yang dilakukan pemerintah desa, yaitu penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, mark up anggaran, laporan fiktif, pemotongan anggaran, dan suap.

    “Dari sejumlah bentuk korupsi itu, ada 5 titik rawan korupsi dalam proses pengelolaan dana desa yaitu dari proses perencanaan, proses pertanggungjawaban, monitoringdan evaluasi, pelaksanaan, dan pengadaan barang dan jasa dalam hal penyaluran dan pengelolaan dana desa,” kata Kurniawan.

    Adapun sejumlah modus korupsi yang dipantau ICW, antara lain membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar, mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain.

    “Modus lainnya meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan, lalu pemungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten,” ujarnya

    Egi menambahkan, modus lainnya itu adalah penggelembungan atau mark uppembayaran honor perangkat desa dan mark up pembayaran alat tulis kantor (ATK). Serta memungut ajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak.

    Contoh lainnya yaitu pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun diperuntukkan secara pribadi, pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa, serta melakukan kongkalikong proyek yang didanai dana desa.

    “Melakukan permainan kongkalikong dalam proyek yang didanai dana desa, dan membuat kegiatan proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa,” ujarnya. (sumber:detik.com)