Tag: Nilai Tukar Rupiah

  • Jokowi Akhirnya Menyerah dengan Kondisi Rupiah?

    Jokowi Akhirnya Menyerah dengan Kondisi Rupiah?

    Jakarta (SL)  – Tidak seperti biasanya, pemerintah mulai realistis menghadapi kenyataan dengan menetapkan nilai tukar rupiah pada asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp15.000. Walaupun masih di bawah realisasi 2018, asumsi rupiah tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Jokowi mulai menyerah dengan keadaan.

    Hal ini ditandai dengan disetujuinya Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2019 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadi Undang-Undang (UU) APBN 2019 (UU APBN 2019), dalam Rapat Paripurna DPR RI.

    Dalam rapat paripurna, asumsi dasar ekonomi makro APBN 2019 salah satunya nilai tukar disepakati Rp15.000

    Menkeu Sri Mulyani Indrawati berpendapat bahwa pemerintah mengikuti perkembangan terkini besaran nilai tukar rupiah. Diakui Menkeu, pemerintah semula mengajukan asumsi nilai tukar rupiah Rp14.400 dalam RAPBN 2019, dan kemudian disepakati menjadi Rp14.500 dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Asumsi.

    Namun, berdasarkan perkembangan perekonomian terkini, serta dengan memperhatikan usulan Bank Indonesia (BI) terkait kisaran pergerakan rupiah tahun 2018, yang bergerak dalam range Rp14.800 hingga Rp15.200, maka pemerintah mengajukan usulan besaran rata-rata asumsi nilai tukar rupiah pada Rp15.000 per dolar AS. 

    Menkeu menjelaskan usulan tersebut didasari oleh perkembangan terkini besaran nilai tukar rupiah, serta sejalan dengan upaya pemerintah untuk menyusun APBN yang realistis dan kredibel.

    Menurut Menkeu, perubahan tersebut terutama dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi Amerika Serikat dengan normalisasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal ekspansif ditambah ketidakpastian global sehingga mendorong pergerakan arus modal kembali ke negara maju. Kondisi ini tentu berdampak pada kinerja perekonomian domestik, khususnya nilai tukar rupiah.

    Namun Menkeu meyakinkan, pemerintah bersama BI akan terus melakukan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah untuk memperkuat cadangan devisa sehingga nilai tukar rupiah tidak akan melemah terlalu dalam.

    Asumsi nilai tukar rupiah sepanjang 10 tahun tahun terakhir rerata di bawah realisasi, kecuali tahun 2010 dan 2011 dimasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di atas realisasi. Dimasa Presiden Jokowi rupiah selalu terdepresiasi secara konsisten.

    Investasi dan ekspor gagal

    Tak bisa dipungkiri, kegagalan pemerintah mempertahankan asumsi nilai tukar rupiah tak lepas dari kegagalan kinerja investasi dan ekspor. Realisasi investasi masih jauh di bawah target, sementara kinerja ekspor masih di bawah kinerja impor, hal inilah yang membuat rupiah tertekan hingga ke level Rp15.240.

    Sebelumnya Presiden Jokowi mengungkapkan kunci menghadapi merosotnya nilai tukar rupiah yakni dengan meningkatkan investasi dan ekspor.

    “Kuncinya memang hanya ada dua, di investasi yang harus terus meningkat dan ekspor yang juga harus meningkat sehingga bisa menyelesaikan defisit transaksi berjalan,” ujar Jokowi beberapa waktu lalu.

    Jokowi juga mengingatkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar US tidak hanya dialami Indonesia. Ini adalah faktor eksternal yang bertubi-tubi, baik yang berkaitan dengan kenaikan suku bunga di Amerika, yang berhubungan dengan perang dagang AS–China, maupun yang berkaitan dengan krisis di Turki dan Argentina.

    Yang paling penting, tegas Presiden, kita harus waspada dan hati-hati dengan selalu melakukan koordinasi di sektor fiskal, moneter, industri, dan dengan pelaku-pelaku usaha, karena koordinasi yang kuat akan menjadi kunci sehingga jalannya segaris semuanya.

    Badan Koordinasi Penanaan Modal (BKPM) diketahui merevisi target investasi tahun ini menjadi hanya Rp730 triliun. Angka itu 4,57% lebih rendah dari target semula yang mencapai Rp765 triliun.

    Kepala BKPM Thomas Trikasih Lembong menjelaskan pihaknya telah mengirimkan surat kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melaporkan revisi tersebut. Revisi ini dilakukan seiring penurunan realisasi investasi sepanjang tahun ini.

    Dalam rilis terbaru BKPM mengenai jumlah investasi kuartal III 2018 atau Juli-September tercatat menurun 1,6% menjadi hanya Rp173,8 triliun. Sementara itu, total investasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp176,6 triliun.

    “Kami sudah surati Kementerian Keuangan bahwa tidak mungkin investasi bisa mencapai Rp765 triliun dengan kebijakan yang ada,” demikian pengakuan Lembong.

    Bila revisi target ini tercapai, maka nilai investasi sepanjang 2018 hanya tumbuh 5,49% dari jumlah investasi PMDN dan PMA sepanjang 2017 sebesar Rp692 triliun. Namun, bila mengacu pada target investasi awal BKPM maka jumlah investasi bisa meningkat sampai 10,54%.

    Melihat kondisi yang tidak mengenakkan tahun ini, Lembong berharap jumlah investasi tahun depan bisa melonjak sebagai ganti perlambatan investasi 2018. Oleh sebab itu, ia mengharapkan ada terobosan baru untuk menarik investor dalam negeri dan asing untuk menanamkan dananya di Indonesia.

    Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan defisit transaksi berjalan (perdagangan barang dan jasa) pada kuartal III 2018 lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Penyebabnya, tingginya defisit perdagangan migas pada Juli dan Agustus.

    “Perkiraan kami, defisit transaksi berjalan pada kuartal III 2018 tidak akan lebih dari 3,5%,” kata Perry.

    Namun, Perry meyakini defisit transaksi berjalan mengecil di kuartal IV sehingga untuk keseluruhan 2018 defisitnya kurang dari 3% terhadap PDB. Defisit diperkirakan mereda menjadi 2,5% terhadap PDB pada 2019 mendatang.

    Khusus defisit neraca perdagangan Gubernur BI memprediksi hingga akhir tahun bisa mencapai US$25 milair, level tertinggi sepanjang sejarah.

    Hal-hal tersebut di ataslah yang membuat Menteri Keuangan dan DPR RI sepakat untuk menetapkan asumsi makro ekonomi, khususnya asumsi nilai tukar rupiah dinaikkan dari Rp14.400 menjadi Rp15.000 per dolar AS. Hal ini disebabkan sepanjang tahun 2018 rupiah terdepresiasi mencapai 13,43%.

    Itu sebabnya Presiden Jokowi mulai realistis, bahkan kalau tidak berlebihan mulai mengalah dengan realitas rupiah yang terus melemah. Dan itu diterjemahkan dalam asumsi nilai tukar rupiah dalam APBN 2019. (Nusantaranews)

  • Heri Gunawan: Sri Mulyani Sudah Menyerah Selamatkan Rupiah?

    Heri Gunawan: Sri Mulyani Sudah Menyerah Selamatkan Rupiah?

    Jakarta (SL) – Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Gerindra Heri Gunawan menilai Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menyerah dalam menyikapi kian tertekannya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Penilaian ini didasarkan pada respons Sri Mulyani terhadap posisi rupiah yang sempat ditransaksikan senilai Rp 15.252 per dollar AS di perdagangan pasar spot, Selasa (9/10).

    Sri menyatakan nilai dollar AS akan terus bergerak ke satu titik ekuilibrium baru seiring langkah The Fed yang akan menaikkan suku bunga beberapa kali di tahun depan.

    Pernyataan itu menurut Heri, keluar setelah eks direktur pelaksana Bank Dunia itu gagal meyakinkan sentimen publik bahwa rupiah baik-baik saja. Sehingga, Sri Mulyani mulai memberanikan diri untuk mengakui bahwa pelemahan rupiah akan terus berlanjut.

    “Pernyataan bahwa dollar sedang mencari titik ekuilibrium baru seiring langkah the Fed yang akan menaikan suku bunganya beberapa kali di tahun depan, pertanda Sri Mulyani telah ‘lempar handuk’ untuk mengatasi tingginya nilai dollar,” ucap Heri kepada JPNN, Rabu (10/10).

    Mumetnya menteri keuangan terbaik di Asia ini, lanjut politikus Gerindra itu, terutama karena sikap keras kepala yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo yang terus meminta kebijakan yang diambil menkeu tetap populis.

    Di sisi lain, perubahan sikap Sri Mulyani ini setidaknya menandakan dua hal. Pertama, ini dapat diartikan secara tidak langsung bahwa ada perbedaan pendapat di internal pemerintah dalam merespon pelemahan Rupiah.

    “Kebijakan yang diambil sejauh ini terbukti tidak memiliki pengaruh signifikan dalam menahan depresiasi rupiah. Tim ekonominya merasa perlu diambil kebijakan yang lebih drastis, namun presiden nampaknya lebih suka dengan kebijakan yang populis demi mempertahankan elektabilitasnya,” tutur Heri.

    Kedua, perubahan sikap Sri Mulyani juga akan diikuti oleh Bank Indonesia, yang merasa intervensi pasar tidak cukup efektif menahan pelemahan nilai tukar, dan mengandung risiko menguras cadangan devisa.

    “Kami memperkirakan rupiah akan bergerak terus menuju Rp 16.000,00 per dollar sampai dengan akhir tahun, jika tidak ada kebijakan yang drastis dari pemerintah,” tandas legislator asal Jawa Barat ini. (Repelita)

  • Indek Dolar AS Sedang Loyo, Rupiah Terus Melemah?

    Indek Dolar AS Sedang Loyo, Rupiah Terus Melemah?

    Jakarta (SL) – Pergerakan rupiah pada hari ini patut diwaspadai oleh investor. Hingga siang hari ini, rupiah melemah 0,07% di pasar spot ke level Rp 14.385/dolar AS. Rupiah bahkan sempat mencapai titik terlemahnya di level Rp 14.415/dolar AS.

    Di sisi lain, dolar AS sebenarnya sedang loyo, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang terkoreksi sebesar 0,16%. Sebagai catatan, indeks ini menunjukkan posisi dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya.

    Momentum ini pun mampu dimanfaatkan oleh mata uang negara-negara tetangga untuk menguat melawan greenback. Baht misalnya, menguat 0,06%. Kemudian, ringgit menguat 0,15%, peso menguat 0,05%, dan dolar Singapura menguat 0,19%.

    Lantas, kenapa rupiah malah melemah?

    Pelemahan rupiah dipicu oleh derasnya aliran modal keluar dari pasar saham. Hingga berita ini diturunkan, investor asing membukukan jual bersih sebesar Rp 116,9 miliar.

    Investor merespon negatif rilis data ekspor-impor yang sebelum sesi 1 berakhir diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat ekspor tumbuh sebesar 11,47% YoY, sementara impor tumbuh sebesar 12,66% YoY. Kedua data tersebut lebih rendah dari konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, dimana para ekonom memperkirakan ekspor tumbuh 16,38% YoY, sementara impor diperkirakan melesat hingga 30,17% YoY.

    Impor yang begitu lemah lantas membuat neraca perdagangan diumumkan jauh lebih tinggi dari ekspektasi para ekonom (US$ 1,74 miliar vs. US$ 579,5 juta).

    Sebenarnya, surplus neraca perdagangan yang begitu lebar bisa menjadi amunisi bagi rupiah untuk menguat. Namun, hal tersebut tak terjadi lantaran Investor lebih fokus pada prospek perekonomian Indonesia yang kurang cerah.

    Ya, lemahnya pertumbuhan ekspor dan impor menunjukkan lemahnya aktivitas ekonomi Indonesia secara keseluruhan, sehinga target pertumbuhan ekonomi nan ambisius yang dipatok pemerintah di level 5,4% kian mustahil untuk dicapai. Sebagai informasi, pemerintah memutuskan untuk tidak merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun fiskal 2017.

    Ketika prospek perekonomian kurang cerah, instrumen berisiko seperti saham tentu menjadi kurang menarik.

    Situasi yang dihadapi Indonesia saat ini bisa dibilang sama dengan tahun lalu. Dalam APBN 2017, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai disitu, pemerintah dengan pedenya menaikkan target tersebut menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,07%.

    Lebih lanjut, aksi jual di pasar saham banyak dilakukan pada saham-saham sektor barang konsumsi: PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dilepas Rp 18,6 miliar, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dilepas Rp 6,8 miliar, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dilepas Rp 4 miliar, dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dilepas Rp 3,53 miliar.

    Data impor barang konsumsi yang mengecewakan melatarbelakangi hal ini. Sepanjang Juni, BPS mencatat impor barang konsumsi sebesar US$ 1,01 miliar atau turun 9,01% jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun 2017 sebesar US$ 1,11 miliar. Lantas, impor barang konsumsi menjadi satu-satunya yang melemah secara tahunan (impor bahan baku naik 14,5% YoY dan impor barang modal melesat 20% YoY).

    Kini, persepsi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sudah mulai menggeliat menjadi dipatahkan. Sebelumnya, persepsi ini timbul seiring dengan derasnya impor barang konsumsi periode Mei dan inflasi bulan lalu yang lebih tinggi dari ekspektasi.

    Bisa Terus Berlanjut
    Hingga akhir bulan, tekanan terhadap rupiah bisa terus berlanjut. Pasalnya, tak ada rilis data ekonomi lainnya yang bisa mengubah persepsi investor terkait dengan prospek perekonomian tanah air. Di sisi lain, risiko terkait perang dagang AS, baik dengan China maupun Uni Eropa, masih terus mengintai. Jangan lupakan pula risiko yang datang dari rencana normalisasi suku bunga acuan oleh The Federal Reserve yang diperkirakan bisa mencapai 4 kali pada tahun ini. (net)

  • Rupiah Kembali Melemah Jadi Rp 14.413 Per Dolar AS

    Rupiah Kembali Melemah Jadi Rp 14.413 Per Dolar AS

    Jakarta (SL) – Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Jumat (6/7/2018) pagi bergerak melemah 19 poin menjadi Rp 14.413 dibanding posisi sebelumnya Rp14.394 per dolar AS.

    Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, pergerakan rupiah yang kembali melemah, membuka peluang pelemahan lanjutan.

    “Apalagi jika sentimen yang ada kurang mampu menahan pelemahan dan tidak memberi dampak yang cukup positif mengangkat rupiah,” ujar Reza di Jakarta, seperti dilansir teropongsenayan.com, Jumat (6/7/2018).

    Pada penutupan perdagangan sebelumnya, laju rupiah kembali melemah tipis setelah sempat menguat.

    Pergerakan sejumlah mata uang Asia yang melemah dinilai memberikan imbas negatif pada rupiah.

    Dari dalam negeri pun terlihat belum adanya sentimen yang cukup signifikan untuk mengangkat rupiah sehingga kenaikan sebelumnya kembali diuji.

    Aksi menahan diri dari pelaku pasar jelang pengenaan tarif terhadap sejumlah barang-barang impor Tiongkok berimbas pada pergerakan sejumlah mata uang yang cenderung flat.

    Sementara itu, pergerakan Yuan China (CNY) masih bertahan positif meski hanya naik tipis seiring masih adanya imbas dari langkah People`s Bank of China yang melakukan upaya untuk menahan pelemahan mata uang tersebut dengan mempertahankan Yuan pada tingkat yang stabil dan masuk akal serta arus modal yang masih terkendali.

    “Diperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran 14.405-14.369,” ujar Reza.

    Senada dengan rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) Jumat dibuka melemah sebesar 6,2 poin atau 0,11 persen ke posisi 5.733,13.

    Sementara kelompok 45 saham unggulan atau LQ45 bergerak turun 1,57 poin (0,17 persen) menjadi 904,03. (TR)

  • Dolar RP 15.000, Utang Rp6.000 T, Bertahankah Jokowi-JK Sampai 2019?

    Dolar RP 15.000, Utang Rp6.000 T, Bertahankah Jokowi-JK Sampai 2019?

    Jakarta (SL) – Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat kembali melemah, Rp 14.105 per dollar AS. Kondisi ini diprediksi meicu krisis besar yang akan dihadapi Indonesia. Disisi lain, jika nilai tukar rupiah mencapai Rp15 .000 per dollar AS dan utang mencapai Rp6.000 triliun, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus waspada.

    Bisakah Jokowi dan JK bertahan sampai 2019? Pertanyaan inilah yang kerap kita dengar di ranah publik. Namun bagi peneliti kebijakan publik dari Indonesian Public Institute (IPI) Jerry Massie, ambruknya rupiah dan utang yang terus bertambah menjadi peringatan bagi pemerintahan Jokowi untuk waspada.

    “Pemerintahan Jokowi harus waspada. Nilai tukar rupiah terus merosot terhadap dolar akan berpengaruh pada president election 2019. Ini perlu diwaspadai, pasalnya Soeharto jatuh lantaran ekonomi tak stabil kala itu,” kata Jerry kepada Harian Terbit, Senin (25/6/2018).

    Menurutnya, jika pemerintahan Jokowi  ingin tetap bertahan hingga 2019 maka sektor ekonomi diperkuat dengan public and goverment policy.

    “Pemerintah juga harus tahu forecast market ramalan pasar dan juga dengan cara mulai membangun industri-industri substitusi impor, perkuat trading dan industry, selling power and buying power domestik bahkan internasional juga perlu diperhatikan,” paparnya.

    Sementara itu pengamat politik Indro S Tjahyono mengemukakan, kondisi ekonomi yang tidak membaik dan tingginya utang , kalau dikaitkan dengan jatuhnya pemerintah, tentu masih jauh.

    “Indonesia tidak menganut sistem (kabinet) parlementer yang bisa dengan mudah mengganti pemerintah (perdana menteri) setiap kali dinilai gagal. Kecuali itu rezim kapitalisme global juga tidak membiarkan ekonomi regional kolaps, karena akan berpengaruh pada sistem ekonomi keseluruhan. Bahkan Yunani yang ekonominya pernah kolaps, kemudian buru-buru dibenahi secara kroyokan,” ujar Indro  dihubungi terpisah.

    Dia mengatakan, persoalannya berbeda dengan masa terakhir kejatuhan Soeharto. Waktu itu legitimasi Suharto sudah sangat merosot. Kalau dibiarkan, Indonesia yang dipandang sebagai ladang eksploitasi sumberdaya alam, akan kehilanngan oportunitas investasi. Apalagi saat-saat terakhir Soeharto sudah menunjukkan indikasi anti pasar, anti investasi, dan anti Barat.

    Karenanya, lanjut Indro,  ada upaya yang disengaja untuk menggoyang kurs rupiah terhadap dolar (sampai 17 ribu per dolar AS). Hal itu disusul dengan rush dana yang tersimpan di berbagai bank. Dan yang penting kurs dolar berdampak langsung terhadap sektor riel, sehingga barang-barang menjadi langka di pasaran.

    Menurut Indro, persepsi dunia usaha terhadap Jokowi masih positif, walau banyak terjadi hambatan di birokrasi. Pembangunan (infrastruktur) masih dianggap ekspektatif. Jika terjadi krisis masih mudah diatasi melalui komitmen-komitmen baru. Elektabilitas dan popularitas Jokowi cukup tinggi.

    “Koalisi pendukung pemerintahan Jokowi masih mantab dan terkonsolidasi. Sedangkan partai-partai anti pemerintah belum punya basis pendukung yang solid. Kesan kondisi ekonomi yang buruk kebanyakan hanya ada di lingkungan elit seperti terekspos di media sosial. Apalagi pihak yang selama ini kritis terhadap pemerintah sedikit demi sedikit semakin memahami kondisi yang sebenarnya,” ujar Indro.

    Bisa Jatuh

    Sebelumnya, Wakil Ketua DPP Gerindra Ferry Juliantono menyatakan tidak ada pemerintahan yang kuat kalau nilai tukar rupiah terhadap dolar tembus Rp 15 Ribu. Hal ini disampaikan Ferry menanggapi nilai tukar rupiah yang semakin hari kian memburuk.

    “Sekarang kan Rp 14.200/U$, sedikit lagi tembus Rp14.500 kalau sudah Rp 15 ribu tidak ada (pemerintah) yang kuat,” ungkap Ferry di hotel Atlet Century, Jakarta, Selasa, (22/5/2018).

    Ia mencontohkan, hal serupa yang pernah terjadi pada tahun 1998, di mana saat itu Presiden Soeharto yang sangat kuat, akhirnya tumbang setelah dolar membumbung tinggi.

    Dia memprediksi, partai-partai pendukung pemerintah akan berfikir ulang jika dolar terus naik. “Tembus Rp15 ribu jatuh itu pemerintah (Jokowi),” Ferry mengingatkan.

    Sebab, kata dia, dampak inflasi dari itu akan dirasakan langsung  oleh seluruh rakyat Indonesia. Ia mengaku sudah bertemu dengan para pedagang yang juga mengeluhkan inflasi ini. “Jadi, kalau ada yang bilang puas dengan pemerintah sekarang, itu hanya persepsi saja,” pungkasnya.

    Krisis Besar

    Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy menungkapkan potensi krisis besar yang akan dihadapi Indonesia menyusul nilai kurs rupiah yang sudah mencapai Rp14ribu per US Dolar Amerika Serikat (AS). Nilai tukar rupiah tersebut merupakan yang terlemah sejak Desember 2015.

    Menurut dia, jika krisis tahun 1997 yang melanda Indonesia disebabkan oleh faktor moneter, sementara krisis tahun 2008 pemicunya adalah perdagangan, maka krisis yang akan terjadi di tahun 2018 lebih berbahaya.

    “Karena krisis yang akan dihadapi di 2018 ini pemicunya sekaligus dua. Ada moneter dan perdagangan,” kata Noorsy kepada CNNIndonesia.com, Jumat (11/5).

    Noorsy sudah memprediksi jika perekonomian Indonesia akan mengalami stagnasi sejak tiga tahun lalu. Seharusnya dengan kondisi yang makin parah seperti saat ini, pemerintah harus mulai lepas dari investasi dan tenaga kerja asing. (HanTer/Safari)