Tag: Novel Baswedan

  •  Irjen Pol Rudy Hariyanto Dilaporkan Ke Propam Terkait Hilangnya Barang Bukti Kasus Air Keras Novel Baswedan

     Irjen Pol Rudy Hariyanto Dilaporkan Ke Propam Terkait Hilangnya Barang Bukti Kasus Air Keras Novel Baswedan

    Jakarta (SL)-Seorang jenderal polisi bintang dua, Irjen Pol Rudy Hariyanto, diduga bertanggung jawab sebagai pihak yang menghilangkan barang bukti kasus penyiraman air keras kepada penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Karena itu, Irjen Rudy Heriyanto dilaporkan ke Divisi Propam Polri oleh Tim advokasi Novel Baswedan pada Selasa 7 Juli 2020 karena dianggap melanggar kode etik profesi.

    “Tim Advokasi Novel Baswedan melaporkan Irjen Rudy Heriyanto, mantan Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya ke Divisi Propam Polri atas dugaan pelanggaran kode etik profesi karena menghilangkan barang bukti perkara penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan,” kata Kurnia Ramadhana, salah satu anggota tim advokasi Novel melalui keterangan resmi dilangsir kompas Rabu 8 Juli 2020.

    Kurnia menjelaskan, sebelum menjabat sebagai Kepala Divisi Hukum Polri, Irjen Rudy Heriyanto merupakan bagian dari tim penyidik yang menangani perkara penyiraman air keras terhadap Novel. Saat itu, dia masih menyandang pangkat komisaris besar (kombes) dan menduduki posisi sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

    “Segala persoalan dalam proses penyidikan menjadi tanggung jawab dari yang bersangkutan. Termasuk dalam hal ini dugaan penghilangan barang bukti yang terkesan sengaja dilakukan untuk menutupi fakta sebenarnya,” ujar Kurnia.

    Dugaan penghilangan barang bukti yang dimaksud, kata Kurnia, yakni terkait sidik jari pelaku penyiraman air keras. Diketahui, sidik jari tersebut yang semestinya masih menempel di botol dan gelas yang digunakan sebagai alat penyerangan ternyata hilang.

    Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Kabid Humas Polda Metro Jaya yang ketika itu dijabat oleh Irjen Pol Kombes Argo Yuwono pada tanggal 17 April 2019. Saat itu, Argo menyebut, tim penyidik tidak menemukan sidik jari dari gelas yang digunakan oleh pelaku untuk menyiram wajah Novel Baswedan.

    Padahal, kata Kurnia, berdasarkan pengakuan dari korban dan para saksi, gelas yang digunakan untuk menyerang Novel ditemukan oleh polisi pada hari yang sama, 11 April 2017 sekitar pukul 10.00 WIB dalam kondisi berdiri. Dengan demikian, seharusnya sidik jari tersebut masih menempel dalam gelas dan botol, terlebih pada saat ditemukan gagang gelas tidak bercampur cairan air keras.

    Lebih aneh lagi, Kurnia menyebut, botol dan gelas yang digunakan pelaku untuk menyerang Novel tidak dijadikan barang bukti dalam proses penanganan perkara tersebut. Kurnia menduga dalam perkembangan penanganan perkara ini ada fakta yang disembunyikan oleh kepolisian.

    “Ini terkait dengan pengakuan dari terdakwa yang menyebutkan bahwa persiapan penyiraman telah dilakukan sejak kedua orang itu masih berada di markas Brimob. Padahal, persiapan penyiraman dilakukan di dekat kediaman korban, ini dapat dibuktikan dari aspal yang terkena siraman air keras saat pelaku menuangkan dari botol ke gelas,” katanya.

    Selanjutnya, dugaan pelanggaran kode etik lainnya yaitu terkait CCTV di sekitar kediaman korban yang tidak juga dijadikan barang bukti pada 10 Oktober 2017. Kurnia mengatakan, berdasarkan keterangan Argo saat itu, polisi telah mengumpulkan 400 CCTV dari lokasi penyerangan dalam radius 500 meter.

    Tapi, pengakuan korban dan saksi, terdapat beberapa CCTV yang sebenarnya dapat menggambarkan rute pelarian pelaku, akan tetapi tidak digunakan oleh polisi. Padahal, beberapa CCTV di sekitar rumah korban memiliki resolusi baik, sehingga bisa memperjelas wajah pelaku dan rute pelariannya.

    Menurut Kurnia, betapa penting barang bukti CCTV tersebut karena fungsinya sebagai media untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara yang ditangani. “Dapat disimpulkan bahwa kumpulan CCTV yang diperoleh kepolisian hanya sekadar untuk menyamakan keterangan dari pengakuan para pelaku,” katanya.

    Ketiga, Kurnia mengatakan cell tower dumps juga tidak pernah dimunculkan dalam setiap tahapan penanganan perkara. Cell Tower Dumps (CTD) adalah sebuah teknik investigasi dari penegak hukum untuk dapat melihat jalur perlintasan komunikasi di sekitar rumah korban.

    Akan tetapi, Kurnia menilai dalam proses penanganan perkara, mulai dari penyidikan sampai persidangan, rekaman CTD itu tidak pernah ditampilkan oleh kepolisian. Padahal, dalam kejahatan terorganisir, dapat dipastikan para pengintai dan pelaku melakukan komunikasi dengan menggunakan jaringan selular.

    “Atas dasar ini, maka dapat dikatakan bahwa ada upaya dari terlapor untuk menutupi komunikasi-komunikasi yang ada di sekitar rumah korban, baik pada saat sebelum kejadian atau pun setelahnya,” ujar peneliti ICW itu.

    Keempat, Kurnia mengatakan minimnya penjelasan terkait sobekan baju gamis milik korban. Pada persidangan tanggal 30 April 2020, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara memperlihatkan baju gamis yang dikenakan oleh korban saat kejadian penyiraman air keras.

    Namun, menurut Kurnia ada hal yang janggal, yakni terdapat sobekan pada baju gamis milik korban tersebut. Adapun menurut pengakuan dari kepolisian baju tersebut disobek untuk kepentingan forensik karena terkena siraman air keras.

    “Penting untuk ditegaskan bahwa setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian mestinya dapat diikuti dengan dokumentasi. Dalam hal ini, korban tidak pernah mendapatkan kejelasan informasi terkait dengan sobekan baju tersebut dan seperti apa hasil forensiknya.” katanya.

    Berdasarkan poin-poin di atas, Kurnia menegaskan, maka patut diduga Irjen Rudy Heriyanto melanggar ketentuan yang tertera dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. (kompas/red)

  • Ungkap Kasus Novel Baswedan, Mabes Polri Bentuk Tim Gabungan Khusus

    Ungkap Kasus Novel Baswedan, Mabes Polri Bentuk Tim Gabungan Khusus

    Jakarta (SL) – Markas Besar Kepolisian RI membenarkan telah membentuk tim gabungan untuk menindaklanjuti perkara penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. “Benar Kapolri telah mengeluarkan surat tugas untuk menindaklanjuti perkara Novel Baswedan,” ujar Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal saat ditemui di kantornya, Jumat 11 Januari 2019.

    Iqbal mengatakan tim gabungan tersebut merupakan tidak lanjut dari rekomendasi Komnasham akhir Desember 2018 lalu terkait kasus penyiraman terhadap Novel. Tim gabungan tersebut terdiri dari perwakilan KPK, Mabes Polri, tokoh masyarakat dan pakar yang dibutuhkan.

    Berdasarkan Surat Tugas Kapolri dengan nomor Sgas 3 /1. HUK.6.6/2019, jumlah anggota Tim gabungan mencapai 65 orang. Mereka terdri dari KPK sebanyak enam orang, perwakilan pakar tujuh orang dan sisanya 52 dari kepolisian, Dalam tim ini Kapolri Jendral Tito Karnavian tertulis sebagai Penanggung Jawab.

    Beberapa nama tokoh yang masuk dalam tim ini, antara lain, Indriyanto Seno Adji (Wakil Ketua KPK Februari-Desember 205/Guru Besar UI), Hermawan Sulistyo (akademisi), Hendardi (Setara), Poengky Indarti (mentan Direktur Eksekutif Imparsial), Ifdhal kasim (Komnas HAM 2007-2012), dan lain-lain.

    Komnasham pada akhir tahun lalu telah menyelesaikan laporan hasil pemantuan terhadap kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan. Salah satu hasilnya, Komnas HAM merekomendasikan agar Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian segera membentuk tim gabungan.

    Selain itu Komnasham juga merekomendasikan KPK membuat langkah langkah hukum dalam kasus penyerangan terhadap Novel. (tempo)

  • Istana Tegaskan Kasus Novel Baswedan Murni Kriminal

    Istana Tegaskan Kasus Novel Baswedan Murni Kriminal

    Jakarta (SL) – Salah satu persoalan yang diprediksi akan dicecar dalam debat capres-cawapres ke Joko Widodo, adalah masalah HAM. Diantaranya, kasus penyiraman air keras ke penyidik KPK Novel Baswedan, pada April 2017 lalu. Hingga kini, aparat kepolisian belum berhasil menemukan tersangka, yang membuat rusak mata dari penyidik senior KPK itu.

    Menyikapi itu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amien yang juga Kepala Staf Presiden Moeldoko, mengatakan pihaknya sudah memitigasi isu-isu itu. “Pelanggaran HAM berat itu terjadi apabila abuse of power. Terus ada genocide tersistem. Enggak ada itu dilakukan terhadap kasus Novel, bukan dan tidak ada kaitannya dengan kebijakan negara. Abuse of power itu adalah kebijakan negara, melekat,” kata Moeldoko, di Istana Negara, Jakarta, Jumat 11 Januari 2018.

    Novel disiram menggunakan air keras, ketika pulang Salat Subuh dari musola di dekat rumahnya di Kelapa Gading Jakarta Utara. Isu ini menjadi salah satu persoalan HAM yang dianggap tidak mampu diselesaikan oleh rezim pemerintahan Jokowi. Namun menurut Moeldoko, kejadian yang menimpa Novel bukan soal HAM. “Dalam konteks ini adalah konteks kriminal murni,” kata mantan Panglima TNI itu.

    Diakuinya, saat ini memang masih belum tuntas karena pelakunya belum ditemukan. Tapi Ia bersikukuh, kasus Novel Baswedan itu tidak masuk dalam masalah HAM. “Apa itu abuse of power? Bukan. konteksnya disitu,” katanya.

    Seperti diketahu, hampir dua tahun teror penyerangan air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan dibiarkan tak terungkap. Novel disiram air keras oleh orang tak dikenal pada April 2017 silam, sampai kini polisi tak mampu mengungkap terang kasus tersebut. Dalih polisi yang mengklaim kasus ini masih terus diselidiki semakin menambah kabur bukti dan fakta yang bisa diungkap. Mengingat, tidak ada perkembangan apapun dari apa yang dilakukan Kepolisian. (viva)

  • Novel Baswedan Ungkap Cerita Pertemuannya dengan Adrianus Meliala

    Novel Baswedan Ungkap Cerita Pertemuannya dengan Adrianus Meliala

    Jakarta (SL) – Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menanggapi rilis Ombudsman RI terkait temuan maladministrasi yang dilakukan polisi dalam penanganan perkara penyiraman air keras terhadapnya pada Kamis (6/12/2018).

    Novel juga mengungkapkan kisah pertemuannya lewat pesan Whats App pada Kamis (6/12/2018). Ia mengatakan apa yang disampaikan sebagai laporan Ombudsman oleh anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala pada Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) tersebut sebenarnya adalah pernyataan Adrianus sejak sekira bulan Mei 2018. “Jadi saya tidak kaget dengan laporan sekarang ini,” kata Novel.

    Novel mengatakan, saat itu Adrianus bicara di media bahwa dirinya tidak kooperatif, tidak mau diperiksa, diperiksa irit bicara dan sebagainya. “Ternyata pernyataan Pak Adrianus tersebut berisi kebohongan, karena saya sudah diperiksa dan BAP nya 9 halaman,” kata Novel.

    Novel pun mengatakan prnyataan Adrianus tersebut dibantah sendiri oleh Humas Polda Metro Jaya. “Setelah itu Pak Adrianus akan melakukan pemeriksaan dengan Ombudsman yang adalah inisiatif sendiri,” kata Novel.

    Novel mengatakan setelah itu diadakan pertemuan yang difasilitasi oleh biro hukum KPK di kantor KPK. “Pada pertemuan dengan saya tersebut saya menanyakan semua hal yang disampaikan oleh Pak Adrianus tersebut. Dan Pak Adrianus sendiri menyatakan dalam forum tersebut bahwa apa yang disampaikan adalah tidak benar dan meminta maaf terkait dengan pernyataannya di media tersebut,” kata Novel.

    Ia mengatakan, oleh karena itu dirinya dan tim kuasa hukumnya menolak jika Adrianus yang memimpin pemeriksaan tersebut di Ombudsman. “Karena semestinya dilihat sebagai conflic of interest (CoI),” kata Novel.

    Namun menurut Novel, Adrianus tetap memaksakannya. “Pak Adrianus tetap memaksakan diri bahwa dirinya tidak ada CoI, sekalipun menyerang saya secara pribadi dengan fakta-fakta bohong,” kata Novel.

    Sebelumnya, Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala meminta Polri memeriksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan terkait kasus penyerangan air keras terhadapnya 11 April 2017 silam. Permintaan tersebut dinyatakan usai memberikan konferensi pers terkait Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) di kantor Ombudsman RI, Jakarta yang menyatakan ada sejumlah maladminsitrasi oleh polisi yang memeriksa pada Kamis (6/12/2018).

    Dalam laporan tersebut memuat Ditreskrimum Polda Metro Jaya selaku supervisor pengendali penanganan perkara telah melakukan maladministrasi dalam aspek pengabaian petunjuk kejadian. Petunjuk kejadian yang dimaksud antara lain dua percobaan penabrakan terhadap Novel pada tahun 2016.

    Petunjuk lainnya adalah Kapolda Metro Jaya yang bertugas pada saat itu Irjen M Iriawan pernah datang ke rumah Novel dalam rangka menengok kelahiran putra Novel dan menyampaikan ada indikasi upaya-uapaya percobaan penyerangan terhadap Novel. “Maka melalui LAHP ini kami meminta dan memerintahkan kepada kepolisian untuk bertanya kepada Novel Baswedan perihal itu. Semoga setelah ini beliau kooperatif,” kata Adrianus saat konferensi pers di kantor Ombudsman RI, Jakarts pada Kamis (6/12/2018).

    Menurutnya, jika memang Novel bersedia dimintai keterangan terkait apa yang menimpanya maka itu akan menjadi jembatan bagi Polri untuk mendapatkan petunjuk baru. “Mengenai Irjen Pol Iriawan kami juga meminta itu ditanyakan lebih detil (ke Novel), apa sebetulnya, sehingga menjadi jembatan bagi Polri untuk bertanya kepada Pak Iriawan sendiri,” kata Adrianus. (trb)

  • 600 Hari Kasus Novel, Ketua Pegawai KPK Sebut Presiden Tak Tunjukkan Tindakan Serius

    600 Hari Kasus Novel, Ketua Pegawai KPK Sebut Presiden Tak Tunjukkan Tindakan Serius

    Jakarta (SL) – Kasus penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah memasuki hari ke-600. Namun hingga saat ini Presiden Joko Widodo belum secara tegas membongkar siapa pelaku penyiraman terhadap Novel.

    Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo mengatakan, berbagai upaya telah dilakukan oleh seluruh komponen rakyat Indonesia untuk mendesak Jokowi agar bertindak kongkrit. Karena sebagai panglima tertinggi penegakan hukum Jokowi harusnya bisa mengambil langkah nyata. “Namun faktanya sampai saat ini semua belum membuahkan hasil. Berbagai upaya sudah kita lakukan, namun sama sekali tidak direspon, sehingga seakan-akan aspirasi rakyat ini tidak didengar lagi,” kata Yudi dalam keterangannya, Minggu (2/12).

    Yudi menuturkan, namun para pendukung Novel tidak putus asa untuk mencari keadilan. meskipun sampai hari ini, Presiden masih tidak menunjukan tindakan yang serius dan kongkrit, seakan-akan tidak memiliki kuasa apapun sebagai pemimpin negara untuk membongkar kasus Novel.

    Menurut Yudi, berbagai pihak yang dekat dengan Jokowi selalu berupaya mengalihkan tanggung jawab tersebut, sehingga bagi rakyat terkesan jelas pesan bahwa Jokowi menghindar untuk menyelesaikan kasus Novel. “Padahal presiden pada awal-awal penyerangan Novel berjanji kasus ini akan dituntaskan. Alih-alih mendapat jawaban kongkret, pertanyaan akan di bawa kemana kasus penyerangan Novel Baswedan cenderung seperti angin lalu, di pantulkan kesana kemari, dalam labirin yang tidak berujung,” ucapnya.

    Sedangkan, pada sisi lain berbagai gelombang upaya pelemahan KPK terus berlangsung. Nawacita yang membuat janji hadirnya negara dalam penegakan hukum masih hanya menjadi angan di kasus Novel. “Pegawai KPK berada dalam posisi yang tidak merasakan adanya kepastian keberpihakan presiden terkait perlindungan para penegak hukum dalam melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi,” pungkasnya. (repelita)

  • Novel Baswedan Tuding KPK Tak Serius Soal Kasusnya

    Novel Baswedan Tuding KPK Tak Serius Soal Kasusnya

    Bandarlampung (SL) – Penyidik senior KPK Novel Baswedan menuding pimpinan lembaga antirasuah tidak serius mengungkap kasus penyiraman air keras terhadap dirinya.

    Apa yang ditudingnya bukan isapan jempol belaka. Salah satu contoh adalah ketidakseriusan pimpinan KPK dalam upaya membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kasusnya. “Sampai sekarang, pimpinan KPK belum pernah memperjuangkan hal itu (TGPF),” ujar Novel.

    Demikian disampaikan Novel saat acara peringatan “500 Hari Penyiraman Air Keras: Kami Dibiarkan Buta, Presiden Kemana?” oleh Wadah Pegawai KPK di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (1/11).

    Menurut Novel, wacana TGPF hanya pada satu atau dua minggu sejak kejadian itu terjadi pada April 2017. Lalu, wacana ini hilang begitu saja.

    Sehingga, tidak keliru jika dia menilai semua proses hukum terkait penyiraman air keras yang muncul tidak lebih dari sekedar formalitas. “Kalau seumpama dianggap ada proses (hukum) yang berlangsung, saya katakan proses itu formalitas,” tukas Novel. (Rmollampung)

  • Novel Kembali Sebut Sosok Jenderal di Balik Serangan ke Pegawai KPK

    Novel Kembali Sebut Sosok Jenderal di Balik Serangan ke Pegawai KPK

    Jakarta (SL) – Penyidik KPK Novel Baswedan kembali menyebut sosok petinggi Polri di balik serangan terhadapnya. Bahkan, Novel menyebut oknum petinggi yang sama ada di balik setiap serangan ke pegawai KPK.

    “Berkali kali saya sampaikan bukan sekedar saya sebagai korban, tapi kita lihat penyerangan terhadap KPK secara fisik sering terjadi, bahkan saya mempunyai keyakinan dan dugaan kuat beberapa kejadian itu pelakunya sama maksudnya oknum Polri yang terlibat jenderalnya sama,” ujar Novel di lokasi penyerangan dirinya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Minggu (17/6/2018).

    Novel menegaskan penyerangan terhadap KPK bukan hanya sekali, bukan hanya terhadap dirinya. Dia pun membahas mengenai serangan terhadap safe house KPK.

    “Tadi saya sampaikan dengan jelas bahwa penyerangan ini bukan satu kali. Ada ancaman pembunuhan pegawai KPK dan itu direct dan ada serangan lainya seperti menyerang safe house KPK, ada penculikan pegawai KPK dan itu diduga dilakukan pihak pihak yang sama. Ini harus diungkap,” jelasnya.

    Menurut Novel, Presiden harus menaruh perhatian atas ini dan segera mengungkap semua. Novel kembali mengingatkan soal penyerangan terhadap pegawai KPK adalah persoalan serius.

    “Saya berharap dengan ini jadi perhatian ke depan presiden maka setidaknya nggak terjadi di KPK dan ini harus diungkap semuanya. Saya pernah sampaikan setidaknya ada dua kali pegawai KPK diculik dan itu tidak dianggap sebagai masalah, itu hal serius, dan banyak lagi masalah lain yang pernah saya sampaikan,” tutur Novel.

    Ini bukan kali pertama Novel bicara soal sosok jenderal terkait penyerangan yang dialaminya. Polri kemudian meminta Novel membuka sosok jenderal itu, hanya saja saat itu Novel disebut tak mau mengungkapnya.

    “Tim kemaren datang, dengan pihak KPK juga datang, ditanya masalah itu (sosok jenderal), dia juga nggak mau menyampaikan,” kata Karo Penerangan Masyarakat Brigjen Rikwanto, Selasa (5/9/2017).

    Beberapa bulan kemudian, Novel mengaku telah melaporkan sosok jenderal yang diduga berada di balik teror air keras terhadapnya. Ia melaporkan sosok tersebut ke polisi dan Komnas HAM.

    “Saya melaporkan tidak hanya ke kepolisian, saya juga melapor ke Komnas HAM. Saya kira itu yang ingin saya sampaikan,” kata Novel di KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (11/4).

    Menanggapi pernyataan Novel itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono kala itu menyebut belum mendapat informasi.

    “Ya nanti tanya ke Komnas HAM, kita belum dapat informasi, kita semua berdasarkan berita acara. Kita tidak bisa berprasangka, tapi ada berita acara di situ pro justicia, kita gunakan seperti itu,” tutur Argo, Kamis (12/4). (DetikNews)