Tag: Opinion News

  • Tidak Percaya Tidak Berarti Harus Salah Paham

    Tidak Percaya Tidak Berarti Harus Salah Paham

    Hidayah betul dalam kendali Allah. Namun satu sisi penyampaian kebenaran sebagaimana yang ditugaskan kepada para utusan Allah (Rasul), adalah penting dengan tanpa ada pembelokan di sana.

    Penjagaan akan kemurnian kebenaran dalam arti sesungguhnya sebenarnya menjadi harga mahal dalam kelestariannya, terbukti ketika terjadi penyelewengan terhadap kebenaran maka di antara harga yang harus mereka bayar adalah musuh dari Yang Maha Benar (“al-Haqq”).

    Perubahan atau penambahan adalah bentuk baku dari suatu akibat berupa kesalahpahaman. Hal ini menjadi semakin rumit dan runyam ketika diikuti penyampaian, yang akhirnya hanya berupa omong-kosong belaka.

    Sebab kebenaran tidak semata hiburan berupa pengecohan terhadap kebenaran, bukan juga bertujuan mendorong kenyataan terjun bersama-sama ke jurang kebinasaan. Kebenaran adalah kebenaran. Bukan manipulasi kenyataan. Kebenaran bukan kebohongan.

    Memanipulasi kebenaran dapat menjelma suatu kekeliruan bahkan terhadap yang dianggap remeh-temeh dengan menutupi suatu kesalahan dengan kebaikan dapat menjadi sasaran “fitnah”, semisal perkara organisasi. Bagaimana tokoh atau penggerak organisasi jika ditanyakan, di mana tanggung jawab organisasi tatkala ummat berada di jurang perpecahan?

    Maka selain organisasi sebagai kendaraan untuk meraih sebut manfaat di dalamnya, organisasi juga bersifat potensi atau yang disebut di atas dengan sasaran “fitnah”.

    Terdapat logika dalam terbentuknya fasilitas terkhusus dalam konteks hidup bersama dalam hal ini persaudaraan sesama Muslim (“ukhuwah Islamiyyah”); seharusnya yang memiliki kendaraan, sudah lebih berpengalaman terhadap medan dan membantu saudara lain untuk sampai kepada kebenaran yang merupakan tujuan bersama-sama.

    Klaim, atau kendaraan tersebut hanya buah dari kesombongan? Tentunya tidak untuk sekedar patantang-patenteng, sebab dapat mendorong para pengikutnya, dan orang dalam kebingungan tertarik dan dapat terjun secara bersamaan, bahaya. Sebab jurang biasanya membinasakan, jarang-jarang jurang isinya surga yang penuh kenikmatan.

    Tidak ada baiknya, jika hanya terus saling menyalahkan. Tidak pantas bagi kita ummat akhir zaman senantiasa di hadang rasa takut akan perpecahan di masa depan.

    Bisakah kita kembali kepada semangat awal berupa persatuan dalam penuh kekhusyu’an? Sebab kita masih berada pada jalan yang sama, maka persaudaraan sesama Muslim mendapat tantangan, terlebih terhadap berbagai persoalan-persoalan termasuk kemanusiaan yang sedang dialami banyak kaum Muslim di berbagai belahan dunia.

    Kembali ke persoalan hidayah, agama sebagai jalan “baku” bagi manusia menjalani kehidupan, sempat disinggung sebelumnya bahwa dapat terjadi kerumitan dan kerunyaman dalam kenyataan, terlebih berupa perubahan pada tataran kebenaran yang baku, semisal kitab suci, kesalahpahaman bukan hanya tidak menemukan muara kebenaran, namun juga berakibat pada salah langkah atau jalan dalam atau terhadap agama. Berakibat fatal dari kesalahpahaman dan kesalahan dalam menjalankan.

    Maka pemahaman yang benar tidak hanya berhak dimiliki tidak hanya yang beragama tetapi juga di luarnya. Adapun sikap terhadapnya adalah dapat dikatakan hidayah berhubungan juga dengan pilihan pribadi masing-masing, apa sekedar meyakini, atau juga menjalankan atau bahkan kekeliruan jalan berupa sikap mendustakan.

    Maka sifat terbuka terhadap agama menjadi keniscayaan. Orang beragama juga orang di luarnya membutuhkan pemahaman yang tepat terhadapnya. Begitu pun sikap terhadapnya, “Wallahua’lam”.

     

     

  • Bahaya Pikiran dan Bunuh Diri

    Bahaya Pikiran dan Bunuh Diri

    Meningkatnya angka bunuh diri di Indonesia hingga Oktober 2023 telah menjadi isu serius yang membutuhkan perhatian mendalam. Menurut data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), tercatat 971 kasus bunuh diri sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober, mengungguli jumlah kasus di tahun 2022 yang mencapai 900 kasus.

    Angka ini mencerminkan potensi akibat dari pikiran “mumet” yang mungkin melanda individu dalam berbagai situasi.

    Masalah kesehatan mental yang sering tidak mendapatkan perawatan yang cukup seringkali menjadi akar penyebab dalam banyak kasus bunuh diri.

    Motivasi untuk melakukan bunuh diri sering dimulai dengan beragam alasan, yang berkembang hingga akhirnya tindakan tersebut dilakukan.

    Arthur Schopenhauer, dalam karyanya “The World as Will and Representation,” menjelaskan penderitaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, muncul dari kehendak yang tak pernah puas.

    Meskipun bunuh diri mungkin tampak sebagai pilihan, Schopenhauer menganggapnya sebagai tindakan putus asa yang tidak menghilangkan akar penderitaan yang mendasar.

    Ia mendorong pemahaman mendalam tentang kehendak, pengendalian keinginan yang tidak perlu, dan empati terhadap penderitaan orang lain sebagai alternatif yang lebih bermakna daripada bunuh diri.

    Kasus bunuh diri adalah tindakan sadar yang dilakukan oleh individu yang dengan sengaja mengakhiri hidup mereka sendiri.

    Dampaknya sangat serius dan berpotensi merusak, tidak hanya pada individu yang melakukan tindakan tersebut, tetapi juga pada keluarga yang ditinggalkan dan masyarakat di sekitarnya.

    Tindakan tragis ini membutuhkan perhatian mendalam terhadap masalah kesehatan mental dan perlunya upaya pencegahan bunuh diri yang lebih efektif untuk melindungi kehidupan manusia.

    Kesadaran akan tingkat keparahan tindakan bunuh diri adalah langkah awal dalam memahami dan mengatasi masalah ini.

    Dalam kehidupan yang penuh tekanan, kita sering merasa terjebak dalam kecemasan dan stres. Penting untuk segera mengatasi pikiran mumet dan memberikan dukungan yang diperlukan.

    Tindakan cepat dengan dukungan dan pemahaman adalah langkah penting untuk kembali ke keadaan yang lebih seimbang dan bahagia.

    Terdapat berbagai opsi sumber dukungan yang bisa diakses, seperti konseling, terapi, dan kelompok dukungan. Dengan demikian, ingatlah bahwa ada banyak sumber dukungan yang siap membantu Anda mengatasi pikiran mumet dan memberikan dukungan yang Anda butuhkan.

    Mencegah bunuh diri dari perspektif psikologi melibatkan pemahaman mendalam tentang kesehatan mental, identifikasi faktor risiko, dan penyediaan perawatan yang sesuai. Psikolog dapat membantu individu dengan mengenali penyebab dan gejala yang mungkin mendorong pemikiran bunuh diri.

    Serta memberikan terapi seperti Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) untuk merubah pemikiran negatif menjadi positif. Dukungan sosial juga dimainkan peran penting, dan psikolog dapat membantu individu membangun jaringan dukungan yang kuat.

    Intervensi krisis dan penggunaan obat-obatan psikoterapi dapat diperlukan dalam beberapa kasus. Pencegahan kekambuhan penyakit mental dan terapi kelompok juga menjadi fokus penting. Edukasi masyarakat dan peningkatan kesadaran tentang bunuh diri adalah langkah kunci dalam upaya pencegahan yang lebih luas.

    Kolaborasi antara profesional kesehatan mental, psikolog, dan dukungan sosial seringkali diperlukan untuk mencapai hasil yang positif dalam pencegahan bunuh diri. (Laila Qadariah/Alvhi Peci)