Oleh: Ilwadi Perkasa
Soal menghukum mati koruptor, meski diperjuangkan mati-matian, sulit untuk diwujudkan. Elemen bangsa belum kompak, bahkan tak sedikit yang menentang model penghukuman ini. Alih-alih menerapkan hukuman mati dengan tujuan membuat koruptor ngeri, menerapkan hukuman berat untuk koruptor saja negara tak konsisten.
Sekarang ini, ada kecenderungan koruptor divonis ringan, tak lebih dari 8 hingga 10 tahun, bahkan banyak yang di bawah itu. Penegakan hukuman yang setimpal untuk perkara yang disepakati sebagai perkara luar biasa ini, masih berhadapan dengan sejumlah argumen demi kemanusiaan dan peraturan hukum itu sendiri.
Praktik diskon atau pemotongan hukuman penjara bagi koruptor setelah Peninjauan Kembali (PK) dikabulkan Mahkamah Agung (MA) adalah suatu bentuk inkonsistensi semangat pemberantasan korupsi. Dengan adanya PK, para terpidana korupsi seperti Idrus Marham, terpidana kasus suap impor gula Irman Gusman, dan terpidana korupsi kasus suap impor daging, Patrialis Akbar, menjadi lebih ringan. Ini menunjukkan semangat menghukum berat koruptor justru kendur di tingkat Mahkamah Agung.
Baca: Asal Usul Usil: Cara Jitu Septi Sewot Berantas Korupsi
Parahnya, inkonsistensi tersebut juga berstandar berbeda. Ada koruptor yang dibidik dengan pasal pencucian uang, namun ada pula yang lolos dari pasal ini. Contohnya, dua perkara besar seperti kasus Nazarudin dan Setya Novanto yang sama-sama disinyalir memiliki aliran dana ke luar negeri, tidak dijatuhi hukuman seragam. Hanya Nazarudin yang ditindak dengan pasal pencucian uang.
Semangat memberantas korupsi terasa kian hambar, ketika publik saat ini dipertontonkan dengan hukuman yang relatif ringan. Revisi UU KPK adalah contoh nyata hilangnya semangat yang dulu pernah bergelora pasca era reformasi 1998 lalu. Pemerintah dan parlemen lebih memilih merevisi UU KPK ketimbang memperkuat penindakan korupsi dengan merevisi UU Tipikornya. Sementara semangat pencegahan yang ditumpukan pada UU KPK hasil revisi, sampai hari tidak jelas seperti apa strateginya.
Jadi, berhentilah bermimpi akan ada hukuman mati di negeri ini. Apalagi, banyak pihak menyebut hukuman mati tidak efektif dalam upaya memberantas korupsi.
Secara umum, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebuah negara tidak ditentukan ada atau tidaknya hukuman mati. Sebagai contoh, banyak negara-negara yang tidak menerapkan hukuman mati, tetap memiliki IPK tinggi. Sementara China yang menerapkan hukuman mati, IPK-nya tak lebih tinggi.
IPK Indonesia meski dikabarkan cenderung membaik 2019 ini, tetap dinilai masih tinggi. Skor IPK Indonesia sebesar 38 , oleh para pemerhati dikatakan sebagai akibat penghukuman belum membuat jera koruptor. Penilaian ini pun belum sepenuhnya benar, sebab banyak negara-negara yang tidak menerapkan hukuman mati, IPK-nya tinggi.
Kesimpulannya adalah: Koruptor memang sepatutnya dihukum berat. Sekali berat, harus tetap berat. Kuncinya adalah konsistensi!