Tag: Pengadilan Negeri Tanjungkarang

  • JPU Gagal Menghadirkan Saksi Mantan Wabup Lamsel di Kasus Penggelapan Excavator

    JPU Gagal Menghadirkan Saksi Mantan Wabup Lamsel di Kasus Penggelapan Excavator

    Bandar Lampung – Pengadilan Negeri Tanjungkarang kembali menyidangkan perkara penggelapan ekcavator dengan terdakwa Erwin Gusnawan. Namun JPU gagal menghadirkan saksi kunci mantan Wabup Lampung Selatan Eki Setyanto.

    “Saksi Eki tidak dapat hadir dengan alasan sakit. Kita akan panggil kembali yang bersangkutan untuk hadir pada persidangan berikutnya pada minggu depan,” kata Jaksa M Rifani, usai sidang, Senin (20/11/2023).

    Eki Setyanto diketahui merupakan mantan Wakil Bupati Kabupaten Lampung Selatan periode 2010 – 2015. Eki mengonformasi ketidakhadirannya melalui surat keterangan sakit kepada JPU.

    Jaksa Penuntut Umum (JPU) seharusnya menghadirkan dua orang saksi, yakni Eki dan Marwan.

    Dalam perkara ini nama Eki Setyanto disebut-sebut dalam surat dakwaan Jaksa. Ia diduga terlibat dalam transaksi tipu gelap terdakwa Erwin hingga merugikan korban Edi, pemilik excavator.

    Transaksi dimaksud adalah berkaitan dengan penyewaan milik Edi pada 2020 lalu. Saat itu korban dan terdakwa bersepakat untuk bekerja sama.

    Terdakwa Erwin di November 2020 menyewa satu unit excavator milik korban Edi untuk digunakan menggarap lahan di wilayah Sumatera Selatan, dengan kesepakatan harga Rp18 juta perbulan.

    Lalu, pada April 2021, Erwin kembali menemui Edi dengan tujuan menawarkan gadaian satu unit excavator milik seseorang bernama Mulyono.

    Pada peristiwa kedua ini, terdakwa turut membawa nama Eky Setyanto dan berusaha meyakinkan korban bahwa dirinya mendapat pekerjaan dari mantan Bupati Lampung Selatan, yakni menggarap lahan milik Eki di sebuah lokasi di Kabupaten Tulang Bawang.

    Terdakwa Erwin mengiming-iming korban akan mendapat Rp12 juta per bulan.

    Korban Edi pun percaya, lalu menyerahkan uang sebesar Rp110 juta sebagai pembayaran uang gadai atas alat berat milik Mulyono tersebut.

    Sejak itu excavator milik Mulyono dikuasai oleh terdakwa. Namun janji-janji pembayaran sewa tak pernah dilaksanakan, bahkan urusan terkait kerja sama di awal pun tak dilakukan oleh terdakwa.

    Dan kemudian didapati pula, bahwa surat kontrak kerja antara terdakwa dan Eky Setyanto disebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, merupakan hal yang dibuat-buat oleh Erwin, guna melancarkan aksinya.

    Sementara itu, menurut penuturan korban Edi selaku pelapor mengaku bahwa dirinya mendapat informasi kalau salah satu excavator miliknya berada di daerah Musi Rawas, Sumsel.

    “Saya waktu itu dipanggil penyidik Polresta Bandar Lampung namanya Pak Fahrudin. Dia bilang kalau excavator saya ada di daerah Musi Rawas, Sumsel dan dikuasai oleh Pak Alim. Saya dapat informasi itu dari penyidik itu,” kata Edi.

    Awalnya, jelas Edi, pada pagi hari penyidik itu menghubungi dirinya dan mengatakan bahwa excavator tersebut ada di daerah Musi Rawas, di belakang rumah Pak A.

    “Namun, pas sore harinya saya dikabari lagi sama penyidik itu kalau excavator itu sudah nggak ada. Kan aneh,” ujar Edi.

    Edi mengaku tidak mengetahui persis dimana lokasi kediaman Pak Alim.

    “Si Erwin (terdakwa) ini yang memang betul ada menitipkan barang itu dengan imbalan uang Rp50 juta. Dan membawa uang Pak Alim itu beserta 2 unit mobilnya itu. Keterangan ini saya dapat dari penyidik,” imbuhnya.

    Lebih lanjut menjelaskan kronologis kejadian tersebut dimulai pada laporan di tahun 2021 di Polresta Bandar Lampung.

    “Kira-kira di bulan Juni, ada informasi dari penyidik mengatakan alat berat itu ada di Musi Rawas. Saya senang dong dan saya siap ke sana. Tapi sorenya Pak Alim ini telepon ke penyidik kalau alat berat itu sudah dijual oleh Alim.

    Korban Edi heran dan mempertanyakan kenapa nama yang disampaikan penyidik itu (Pak Alim) tidak dijadikan saksi.

    “Saya juga jadi bertanya-tanya, kok Alim tidak dijadikan saksi. Padahal sudah jelas pengakuan dari Erwin kalau eksavator itu ada di Pak Alim,” sesalnya.(RED)

  • Fajrun Divonis Dua Tahun Penjara

    Fajrun Divonis Dua Tahun Penjara

    Bandar Lampung (SL) – Mantan Sekretaris Partai Demokrat Fajrun Najah Ahmad divonis oleh Ketua Majelis Hakim Pastra Yosef, SH, selama 2 tahun penjara. Ia terbukti melanggar pasal 372 KUHP tentang penggelapan uang senilai Rp2,75 miliar di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Kamis (20/2/2020).

    Sidang dengan agenda pembacaan vonis diketuai Majelis Hakim Pastra Joseph Ziralou. Dalam amar putusannya, Ketua Majlis Hakim Pastra Yosef Ziralou mengatakan terdakwa terbukri bersalah melanggar pasal 372 KUHP oleh karna itu dijatuh kan hukuman selama 2 tahun penjara. Tuntutan tersebut jauh lebih ringan dari pada Tuntutan Jaksa penuntut umum Irma yang menuntutnya selama 3 tahun penjara.

    Sebelum menjatuhkan vonis Hakim Ketua mempertimbangkan hal hal yang memberatkan, terdakwa telah merugikan orang lain demi memperkaya diri sendiri sedang kan yang meringan kan terdakwa berlaku sopan selama persidangan.

    Pada persidangan terdahulu JPU Irma, menjelaskan perbuatan terdakwa Fajrun berawal pada pertengahan bulan Maret 2017 terdakwa mennghubungi saksi Namuri Yasir melalui telepon untuk meminjam uang dan meminta Namuri Yasir untuk datang dan bertemu dengan terdakwa di Kantor Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Lampung.

    “Atas permintaan terdakwa tersebut saksi Namuri Yasir menyetujuinya, lalu dua hari kemudian saksi Namuri Yasir datang ke Kantor DPD Partai Demokrat Lampung dan bertemu dengan terdakwa,” ujar JPU Irma saat membacakan dakwaan.

    Selanjutnya, terdakwa berbincang-bincang dengan saksi Namuri Yasir dan berkata dengan menggunakan rangkaian kebohongan kepada saksi yakni ‘Sebentar lagi tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah dimulai dan terdakwa mendapat perintah dari Ketua DPD Partai Demokrat Lampung yaitu saksi Ridho Ficardo yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Lampung untuk mencari pinjaman dana yang jumlahnya Rp 3 miliar sampai dengan Rp 4 miliar dan uang tersebut nantinya dipergunakan untuk operasional Partai Demokrat Provinsi Lampung’.

    Kemudian terdakwa bertanya kepada saksi Namuri Yasir apakah saksi saat ini memiliki uang dan jika saksi memiliki uang, maka terdakwa meminta tolong kepada saksi untuk memberi pinjaman uang kepada terdakwa. “Walaupun tidak bisa memberi pinjaman sebesar Rp 4 miliar, minimal dapat memberi pinjaman sebesar Rp 3 miliar,” kata JPU Irma mengikuti ucapan terdakwa.

    Mendengar perkataan dan permintaan terdakwa tersebut, saksi Namuri Yasir menjawab ‘Saya tidak memiliki uang dengan jumlah tersebut, lalu terdakwa berusaha dan merayu saksi Namuri Yasir agar meminjamkan dan menyerahkan uang kepada terdakwa dengan cara meyakinkan saksi Namuri Yasir dengan berkata terdakwa meminjam uang tersebut hanya sebentar dan tidak lama, paling lama dua bulan uang tersebut akan dikembalikan lagi kepada saksi Namuri Yasir.

    Selain itu, terdakwa juga menjanjikan kepada saksi Namuri Yasir akan memberi uang tambahan kepada saksi Namuri Yasir sebagai ucapan terima kasih dan tambahan uang tersebut diberikan bersamaan dengan terdakwa mengembalikan uang pinjaman. Kemudian terdakwa juga menjanjikan saksi Namuri Yasir akan memperkenalkan saksi dengan Gubernur Propinsi Lampung yaitu saksi Ridho Ficardo dan memberitahu kepada Ridho bahwa saksi Namuri Yasir adalah orang yang telah membantu memberi pinjaman dana untuk opersional Partai Demokrat.

    Selain janji-janji tersebut terdakwa juga menjanjikan dengan saksi Namuri Yasir akan bicara dengan Gubernur Provinsi Lampung agar memberi proyek atau pekerjaan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga kepada saksi Namuri Yasir.

    Selanjutnya selang beberapa waktu saksi Namuri Yasir ditemani oleh saksi Rustam Efendi dan saksi Sunarko datang kembali ke kantor DPD Partai Demokrat Lampung dan menyerahkan uang milik saksi Namuri Yasir sebesar Rp 1,5 miliar kepada terdakwa dan setelah kurang lebih lima hari kemudian masih dalam pertengahan bulan Maret 2017. Terdakwa kembali menerima uang dari saksi Namuri Yasir untuk yang kedua kali dengan jumlah Rp1,25 miliar dengan tetap disaksikan Rustam Efendi dan Sunarko

    Selanjutnya, setelah terdakwa menerima uang sejumlah Rp 2,75 miliar tersebut dan sampai dengan waktu terdakwa untuk mengembalikan uang dan tambahan uang kepada saksi Namuri Yasir. Terdakwa tidak pernah memperkenalkan saksi Namuri Yasir dengan saksi Ridho Ficardo dan tidak pernah memberitahu kepada Gubernur Provinsi Lampung bahwa saksi Namuri Yasir telah membantu memberi pinjaman dana untuk opersional Partai Demokrat serta terdakwa juga tidak pernah memberitahu Gubernur Lampung yaitu saksi Ridho Ficardo agar memberi proyek atau pekerjaan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga kepada saksi Namuri Yasir.

    Kemudian seluruh uang yang telah terdakwa terima dari saksi Namuri Yasir juga tidak terdakwa pergunakan untuk kepentingan operasional Partai Demokrat Provinsi Lampung melainkan terdakwa pergunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa tanpa seizin dari saksi Namuri Yasir selaku pemiliknya. Akibat perbuatan terdakwa tersebut saksi Namuri Yasir mengalami kerugian sekitar Rp 2,75 miliar.(red)