Tag: Politik

  • Partisipasi Perempuan dalam Pilkada 2018

    Partisipasi Perempuan dalam Pilkada 2018

    Bandarlampung (SL) – Kemenangan beberapa kandidat perempuan dalam Pilkada, baik Pilgub, Pilbub dan Pilwakot 2018 menjadi penanda bahwa demokrasi di Indonesia telah mencapai tahap pematangan yang siginifikan dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.

    Penyelenggaraan Pilkada yang damai, sejuk dan nyaris tidak ditemukan penggunaan isu SARA sebagaimana Pilkada di DKI pada 2017 memberikan optimisme bahwa masyarakat semakin dewasa dalam menggunakan hak pilih.  Masyarakat juga semakin memiliki kebebasan dalam menentukan figur yang dianggap sesuai untuk memimpin daerahnya, termasuk keberanian untuk mendukung calon perempuan.

    Terpilihnya perempuan Nahdiyin seperti Khofifah Indar Parawansa sebagai Gubernur Jatim, Chusnunia Chalim sebagai Wakil Gubernur di Lampung , Ana Muawanah sebagai Bupati Bojonegoro, melengkapi perempuan-perempuan lain yang sama-sama terpilih sebagai kepala daerah pada Pilkada 2018. Dan ini sungguh membanggakan Indonesia patut berbangga bahwa partisipasi perempuan dalam politik di tanah air meningkat secara signifikan dan bahkan memimpin di kawasan.

    Sebagai negeri Muslim terbesar di dunia, kemunculan para perempuan sebagai pemimpin politik ataupun kepala daerah menunjukkan bahwa Islam dan demokrasi bukan hanya kompatibel, tapi Islam di Indonesia memiliki wajah yang patut menjadi referensi bukan hanya bagi negara-negara Muslim tapi bahkan negara sekuler sekalipun.

    Secara khusus, saya mengucapkan selamat dan sukses kepada para perempuan-perempuan santri dari kalangan Nahdiyin yang telah memenangkan pertarungan di Pilkada 2018. Tak kurang nama seperti ibu Khofifah Indar Parawansa, mantan Ketua Umum PB KOPRI PMII dan ketua umum Muslimat `NU, Chusnunia (Nunik) kader Fatayat dan mantan sekjen Perempuan Bangsa PKB, yang juga perempuan pertama terpilih sebagai Bupati di provinsi Lampung, Ana Muawanah pengurus Muslimat NU dan mantan ketua umum Perempuan Bangsa PKB, Ibu Umi yang terpilih sebagai Bupati kabupaten Tegal Jawa Tengah, beliau juga dari keluarga besar NU dan diusung oleh PKB, mereka adalah figur-figur perempuan perkasa yang memiliki tekat kuat untuk menjadikan pembangunan ssbagai ruang partisipasi yang memungkinkan kelompok-kelompok yang selama ini relatif ditinggalkan, bisa menjadi bagian yang turut menentukan maju dan berkembangnya pembangunan di daerah.

    “Secara khusus, saya juga percaya, figur perempuan santri seperti Chusnunia yang terpilih secara demokratis sebagai wakil Gubernur perempuan pertama di Lampung bisa menjadi cahaya baru yang akan membawa Lampung berjaya. Nunik diusianya yang masih sangat muda, akan menjadi inspirasi bagi banyak kaum perempuan dan terutama generasi muda untuk berani ambil kepemimpinan politik dan menggerakkan seluruh potensi yang dimiliki untuk membawa kemajuan, kemakmuran, keadilan dan kemaslahatan bersama. Selamat bekerja, jangan lupa untuk senantiasa mencintai rakyat dengan tulus dan memberikan pelayanan terbaik untuk memenuhi hak konstitusional rakyatnya.” ungkap Lulu Nur Hamidah Sekjen DPP Perempuan Bangsa. (Red)

  • Usai Memberikan Rekomendasi, Tim Kerja Pemenangan Rakor Bersama Partai Garuda

    Rapat Koordinasi (Rakor) bersama DPD Partai Garuda Provinsi Lampung di Posko Tim Kerja Pemenangan di Bumi Waras Bandar Lampung, Kamis, (29/3)

    Bandarlampung (SL) – Usai memberikan rekomendasi kepada Pasangan Arinal-Chusnunia, Tim Kerja Pemenangan langsung menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) bersama DPD Partai Garuda Provinsi Lampung di Posko Tim Kerja Pemenangan yang terletak dijalan Gatot Subroto No.7 Kecamatan Bumi Waras Bandar Lampung, Kamis, (29/3) malam.

    Dalam pertemuan yang berlangsung hangat tersebut, Ketua Tim Pemenangan H. Tony Eka Candra didampingi H. Riza Mihardi, H. Reza Pahlevi, H. Beni HN Mansyur, Benson Werta, Yuda Sukarya dan Zaidir Hasan mengucapkan terima kasih atas dukungan Partai Garuda kepada Pasangan Nomor Urut 3 Arinal-Chusnunia, sekaligus memperkenalkan Jajaran Tim Kerja pemenangan Arinal-Chusnunia.

    Dalam Rakor yang dipimpin langsung oleh Ketua Tim Kerja Pemenangan H. Tony Eka Candra juga memaparkan berbagai langkah-langkah selanjutnya baik langkah taktis maupun strategis guna memenangkan Pasangan Arinal-Chusnunia jelang Pemilihan Gubernur Lampung yang akan di gelar 27 Juni 2018 mendatang.

    Tony yang saat ini menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Provinsi Lampung ini meyakini, dengan bergabungnya Partai Garuda Bersama Koalisi Partai Pengusung lainya Yakni Golkar, PKB dan PAN, maka akan menambah Potensi kekuatan didalam memenangkan Pasangan yang berslogan Tulus Melayani Rakyat.

    “Kita sudah mempunyai target terukur didalam pemenangan, kami yakin dan percaya dengan bergabungnya Partai Garuda yang memiliki banyak jaringan dan memiliki struktur hingga ditingkat DPC. Kabupaten/Kota sampai Kelurahan/Desa/Pekon, tentunya akan menambah Potensi Kekuatan untuk kemenangan Arinal-Chusnunia jelang Pilgub Lampung 27 Juni 2018 mendatang,” pungkas Politisi Senior Partai Golkar Provinsi Lampung ini.

    Sementara, Ketua Dewan Penasehat DPD Partai Garuda Provinsi Lampung, Afitiriansyah didampingi Yessi Nursela, Normawan, Neneng, Ido Afrimiansyah dan Dimas Prabowo dalam pemaparanya berharap, setelah menjadi bagian dari koalisi pendukung Pasangan Arinal-Chusnunia, pihaknya dapat segera bekerja, dan mewujudkan keseriusan Partai Garuda didalam Pemenangan.

    “Kami sudah punya tim yang terbagi didalam tiga tim untuk membantu target yang akan dicapai Arinal-Chusnunia didalam pemenangan, yakni Tim Sekretariat, Monitoring, dan Kampanye. Partai Garuda sudah sangat siap bekerja, tujuanya tidak lain adalah bagaimana memenangkan Pasangan Arinal-Chusnunia menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Lampung Periode 2019-2024,” pungkas pria yang biasa dipanggil Davit ini. (*)

  • Saksi Akui Temu Paskibra Adalah Kampanye Terselubung Cagub Ridho

    Saksi Akui Temu Paskibra Adalah Kampanye Terselubung Cagub Ridho

    Kampanye Terselubung Dengan Menggunakan Anggaran APBD Oleh Yustin, Istri Cagub Petahana Ridho Ficardo, Ir. Catur Agus Dewanto, pejabat eselon III Dinas Pemuda dan Olahraga Pemprov Lampung; Drs. Yosrinaldo Syarif, Pejabat di Pengadilan Agama Bandarlampung dan Diona Pejabat di Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Dalam Acara Temu Paskibra Se Provinsi Lampung, di Hotel Sahid, Bandar Lampung, Selasa (26/3/18) Lalu

    Bandarlampung (SL) – Salah seorang peserta Temu Paskibra yang dihadiri oleh Apriliani Yustin, istri cagub petahana Ridho Ficardo di Hotel Sahid, Bandar Lampung, 26 Februari 2018 lalu mengakui ada kampanye terselubung dalam acara tersebut. Hal ini disampaikannya di Bandar Lampung, Kamis (29/3).

    Karena sebagai alumni Paskibra di Bandung pada tahun 1996, Yustin diundang oleh Alumni Paskibra Bandar Lampung dalam Temu Paskibra tersebut dan sempat menyampaikan materi.

    “Dalam acara itu, Bu Yustin menyampaikan materi kurang lebih satu jam. Sedangkan Kang Deddy dari Paskibra Nasional sekitar 2 jam,” jelas peserta yang demi keamanan identitasnya disembunyikan.

    Foto bersama dilakukan setelah selesai acara dengan Yustin dan beberapa pejabat serta Alumni Paskibra.

    “Nah dalam foto bersama itulah Yustin dan para pejabat menunjukkan jari telunjuk, menandakan dukungan pada cagub Ridho dengan nomor urut ‘1’ milik Paslon Ridho-Bachtiar. Peserta lainnya mengacungkan jari telunjuk dan Jempol berbentuk ‘L’ pertanda Lampung,” jelasnya.

    Diberitakan sebelumnya, Joni Fadli, Ketua Jaringan Kerakyatan Lampung (JKL) melaporkan kasus tersebut di Bawaslu Lampung, Bandar Lampung, Selasa (27/3).

    “Siang ini kami melaporkan ke Bawaslu Lampung, Yustin, istri Ridho Ficardo, Ir. Catur Agus Dewanto, pejabat eselon III Dinas Pemuda dan Olahraga Pemprov Lampung; Drs. Yosrinaldo Syarif, pejabat di Pengadilan Agama Bandar Lampung dan Diona Pejabat di Dinas Pendidikan Provinsi Lampung,” ujarnya.

    Laporan JKL terkait kampanye terselebung dengan memobilisasi PNS dan diduga acara tersebut menggunakan dana APBD Lampung.
    JKL diterima langsung oleh para pimpinan Bawaslu Bandar Lampung, Iskardo P. Panggar dan Adek Asy’ari “Karena ada kemungkinan besar terjadi tindak pidana Pilkada, maka hal ini harus segera dilaporkan ke Gakumdu,” katanya.

    Dilaporkan kampanye terselubung dilakukan dengan menggunakan anggaran APBD oleh Yustin, istri cagub petahana Ridho Ficardo, Ir. Catur Agus Dewanto, pejabat eselon III Dinas Pemuda dan Olahraga Pemprov Lampung; Drs. Yosrinaldo Syarif, pejabat di Pengadilan Agama Bandar Lampung dan Diona Pejabat di Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.

    “Kami lengkapi dengan foto konsolidasi paskibra di sebuah hotel di Bandar Lampung baru-baru ini,” ujar Joni Fadli

    Sanksi Pada Cagub Petahana : Sanksi pada cagub petahana diatur pada Pasal 70 ayat (1) Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibat kan (b) aparatur sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia;

    Pada Pasal 71 ayat (3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

    Pada ayat (5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. (*)

  • Warga Wonomarto Mancing Bareng Bachtiar Basri

    Warga Wonomarto Mancing Bareng Bachtiar Basri

    H. Bachtiar Basri, Cawagub Prov Lampung, Mancing Bareng Dalam Kampanye Yang Dilaksanakan di Kolam Pemancingan Desa Wonomarto Kecamatan Kotabumi Utara Kab Lampura, Minggu (25/03/18) (Foto/Dok/Ardi)

    Lampung Utara (SL) – H. Bachtiar Basri, Calon Wakil Gubernur Provinsi Lampung, gelar kegiatan Mancing Bareng dalam kampanye yang dilaksanakan di Kolam Pemancingan Desa Wonomarto Kecamatan Kotabumi Utara Kabupaten Lampung Utara (Lampura), Minggu (25/03/2018).

    Pada kesempatan itu, Bachtiar Basri mengatakan kegiatan Mancing Bareng ini dilakukan selain untuk merekatkan jalinan silaturahmi sesama warga juga sebagai bagian bentuk kampanye dialogis.

    “Gaya kampanye kita memang tidak orasi, jadi kita lebih mendekatkan diri dan bergabung bersama warga,” ujar Bachtiar Basri.

    Menurutnya, dengan melakukan orasi politik saat berkampanye, dirinya menilai apa yang disampikan belum tentu masyarakat mengerti dan paham.

    ”Jadi tidak perlu menjelekan dan menjatuhkan orang lain hanya untuk mencari kemenangan,” tutur Calon Wakil Gubernur Lampung dari Paslon nomor urut 1 (satu) ini.

    Disela kegiatan, Bachtiar Basri menyerap beberapa keluhan warga terkait gangguan Gulma atau tumbuhan yang menutupi permukaan air dan mengakibatkan tidak berfungsinya Bendungan Tirta Shinta dengan optimal.

    “Saya fikir solusinya supaya gulma ini tidak menutupi bendungan adalah dengan gotong royong padat karya,“ tukasnya.

    Sementara itu, Ari (30) warga Desa Talangjali mengaku bahwa dirinya menyambut baik dengan kegiatan Mancing Bareng ini. Dirinya berharap agar pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung Ridho-Bachtiar mampu membawa Provinsi Lampung kedepannya dengan lebih baik. (ardi)
    [25/3 18:31] Ardiansyah Lampura: CAPTION FOTO : Calon Wakil Gubernur Lampung, Hi. Bachtiar Basri saat mancing bareng warga Desa Wonomarto, Minggu (25/3/2018).

  • Bawaslu Lampung Terindikasi Tidak Netral

    Komite Aksi untuk Pemilu Bersih (KAPB) Koordinator Wakil Koordinator Arfan ABP Isnan Subkhi

    Bandarlampung (SL) – Kenapa hanya urusan Cagub Arinal Djunaidi – Nunik dan Herman HN – Sutono saja yang diusik Bawaslu ?

    Masa kampanye Pemilihan Gubernur Lampung 2018 telah dimulai, perhelatan pilkada langsung pemilihan gubernur ini sejatinya haruslah dilakukan oleh penyelenggara yang berkompeten dan netral dari bisa politik kepentingan pihak atau calon tertentu. Kamis (08/3/18).

    Netralitas Bawaslu Lampung sangatlah penting bahkan sebuah keharusan untuk mendorong semakin maju demokrasi dan dapat memilih pemimpin lampung yang benar-benar memenuhi harapan rakyat Lampung. Tanpa netralitas penyelenggara sudah dapat dipastikan pilkada langsung tidak akan berjalan sesuai semangat demokrasi.

    Namun yang terjadi di lapangan berkata lain, ada perlakuan diskriminasi terhadap pasangan calon nomor 3 Arinal -Nunik pasangan calon nomor 2 Herman HN – Sutono. Perlakuan diskriminasi ini bukan saja telah menciderai Pilgub Lampung 2018 tapi juga telah membuat resah sebagian masyarakat lampung. Bila perlakukan diskriminasi ini terus terjadi, tidak menutup kemungkinan akan terjadi gejolak dalam masyarakat dan membuat situasi pilgub Lampung 2018 dan keamanan tidak kondusif.

    Pada sebuah pertemuan yang diadakan Bawaslu Lampung dalam hal ini dihadiri oleh Adek Asy’ari dengan jajaran panwas kota Bandar Lampung. Anggota Bawaslu Lampung Adek Asy’ari ini mengarahkan untuk memfokuskan dan mengamati pergerakan calon Gubernur No urut 2 Herman HN – Sutono. Sikap tebang pilih atau diskriminatif ini sangat bertentangan dengan kewajiban menjaga perilaku sesuai dengan kode etik yang diamanatkan Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI No. 2 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.

    Masalah-masalah di atas telah membuat prihatin kami, sebagai kaum muda untuk mengingatkan kepada penyelenggara pemilihan Gubernur Lampung 2018, dalam hal ini Bawalu untuk netral dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pilkada Gubernur Lampung kali ini. Bawaslu jangan menjadi “ Tim Sukses Bayangan” dari salah satu pasangan calon Gubernur. Bawaslu juga jangan melanggar rambu-rambu yang telah dibuat oleh DKPP-RI. Jika terdapat bisa politik terhadap calon tertentu maka dapat dipastikan tidak akan demokratis, jujur dan berkeadilan.

    Oleh karenanya, untuk terselenggaranya pilgub yang damai dan berintegritas, kami dari Komite Aksi Untuk Pilgub Bersih menuntut kepada Bawaslu RI dan DKPP agar memberhentikan Adek Asy’ari dari Bawaslu Lampung.

    “Komite Aksi untuk Pemilu Bersih (KAPB) Koordinator Wakil Koordinator Arfan ABP Isnan Subkhi”

  • Partai Politik Dalam Progres Kepentingan Publik

    Partai Politik Dalam Progres Kepentingan Publik

    Membaca berbagai referensi tentang partai Politik, bahwa di masa penjajahan Belanda, berbagai partai politik dibentuk tanpa menghiraukan larangan pemerintah kolonial. Banyak yang terang-terangan memperjuangkan Indonesia merdeka, tapi tak sedikit yang bertekad lebih jauh lagi dengan melawan kapitalisme.
    Dan saat Dewan Rakyat (Volksraad) dibuat pemerintah kolonial Belanda sebagai lembaga perwakilan wilayah jajahan, sebagian parpol itu ikut menempatkan para legislatornya untuk menjalankan fungsinya memperjuangkan kepentingan masyarakat.

    Dian Abraham, pokja pemilu, dalam progren Pokja Pemilu menyebutkan, seperti halnya di negara demokrasi nan beradab lainnya, partai politik telah menjadi alat bagi kaum pergerakan untuk memperjuangkan kepentingan publik. Setelah diselingi masa pelarangan parpol oleh penjajah Jepang, situasi itu berlanjut setelah proklamasi kemerdekaan hingga munculnya Orde Baru.

    Dan hal itu jauh berubah saat ini. Mayoritas aktivis, terutama yang kiri, bukan cuma meninggalkan ide berpartai, tapi juga melecehkannya. Golput terus dilestarikan, bahkan Pemilu terkesan diboikot. Akibatnya, parpol maupun keluarannya – terutama anggota DPR – disesaki oleh para oportunis dan perampok dana publik. Dan kenyataan itu semakin membuat parpol dilecehkan. Makin paripurnalah lingkaran setan itu.

    Muncul sikap anti parpol ini sangat wajar dan mudah dimengerti, terutama mengingat anggapan busuknya sistem kepartaian saat ini sejak ala orde baru adalah realita bahwa parpol-parpol yang ada saat ini lebih mewakili kepentingan kelompok mereka ketimbang masyarakat banyak.

    Di sisi lain, fenomena diaspora aktivis ke parpol yang ada saat ini tidak cukup membantu mengembalikan kepercayaan terhadap pentingnya parpol bagi kaum pergerakan. Bahkan tak sedikit yang berdiam diri terhadap buruknya sistem registrasi kepartaian yang sejak 1999.

    Sistem registrasi parpol yang diartikan sebagai perangkat aturan berikut tata laksana mulai dari pembentukan suatu parpol hingga parpol tersebut bisa ikut serta dalam pemilihan umum. Yang lazimtertuang dalam dua jenis legislasi: UU tentang parpol dan UU tentang elektoral/pemilu. Tata cara pembentukan parpol umumnya diatur dalam UU tentang parpol sedangkan tata cara maupun persyaratan suatu parpol untuk dapat ikut pemilu diatur dalam UU tentang pemilu.

    Berdasarkan sistem registrasi yang berlaku sekarang, sebuah parpol harus melalui 3 tahap yang rumit dan ketat sebelum dapat ikut pemilu: tahap pembentukan, pendaftaran sebagai badan hukum, dan pendaftaran sebagai peserta pemilu, dll.

    Karena itu, tak mengherankan bila parpol yang tidak memiliki dana besar hampir bisa dipastikan gagal memenuhi persyaratan tersebut dengan cara-cara yang normal.

    Ada beberapa alasan menarik untuk membandingkan sistem registrasi parpol kita dengan negara berkembang lainnya di Asia seperti India. Tidak hanya tingkat kerumitan penyelenggaraan pemilunya setara (jika India tidak lebih rumit), tetapi wilayah geografis yang luas, tingkat populasi yang tinggi beserta data demografis lainnya, termasuk keragaman budaya dan bahasa, juga mirip. Dan alasan penting lainnya adalah negara berpopulasi terbanyak kedua dunia itu juga menganut demokrasi dengan sistem multipartai.

    Nyatanya, sistem registrasi parpol India sangat berbeda dengan Indonesia. Di sana tidak ada UU Parpol yang mengatur tata cara pembentukan parpol. Karena itu, suatu organisasi yang menyatakan dirinya sebagai parpol dapat membentuk cabangnya sesuai kemampuannya, misalnya hanya di satu negara bagian saja. Begitu pula, tidak ada ketentuan jumlah cabang – apalagi ranting – partai di negara bagian tersebut.

    Pengalaman India ini menunjukkan bahwa banyaknya penduduk bukan alasan untuk membatasi atau menyederhanakan jumlah partai politik. Dengan jumlah penduduk 1,3 milyar orang – lima kali lipat dari Indonesia – negara ini mampu menyelenggarakan pemilu tanpa perlu memperketat persyaratan parpol yang berarti mengorbankan hak asasi untuk berserikat (right to association). Selain India, beberapa negara demokrasi yang matang di Eropa, setidaknya, negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang tergabung dalam Conference on Security and Co-operation in Europe (CSCE) memiliki Dokumen Kopenhagen pada 1990 yang mensyaratkan negara anggotanya untuk “menghormati hak warga negaranya untuk memperoleh jabatan politik atau publik, baik secara sendiri-sendiri atau sebagai wakil dari partai atau organisasi politik, tanpa diskriminasi” (paragraf 7.5).

    Lebih tegas lagi, paragraf 7.6 menyatakan bahwa mereka “menghargai hak individu dan kelompok untuk membentuk, dengan kebebasan penuh, partai politik mereka sendiri dan memberikan jaminan hukum yang perlu bagi partai tersebut untuk memungkinkan mereka berkompetisi satu sama lain berdasarkan perlakuan yang setara di depan hukum dan oleh otoritas yang berwenang.”

    Di dalam Pedoman Regulasi Partai Politik yang menjadi implementasi dari Dokumen Kopenhagen tersebut ditegaskan bahwa partai politik adalah perkumpulan privat yang memainkan peran kritis sebagai aktor politik dalam domain publik. Karenanya, negara-negara tersebut berupaya menjaga keseimbangan antara regulasi negara terhadap parpol sebagai aktor politik, dan di sisi lain, penghormatan terhadap hak asasi mereka yang menjadi anggota partai tersebut sebagai warga privat, terutama hak berserikat (right to association) yang salah satunya mewujud dalam bentuk partai politik. Jika ada, legislasi tersebut tidak boleh mengganggu kebebasan berserikat tersebut.

    Tak mengherankan bila setidaknya ada empat negara di Eropa, yakni Belgia, Perancis, Luksemburg dan Malta, yang tidak memiliki UU tentang Parpol dan tidak memiliki syarat apapun bagi parpol terkait dengan pelaksanaan pemilu. Meskipun Belgia dan Perancis memilikinya, aturan tersebut hanya mengatur parpol saat sudah terbentuk, khususnya dibatasi hanya mengatur pendanaan partai oleh negara dan kontrol terhadap keuangannya.
    Dengan demikian, masyarakat di negara-negara tersebut dapat membentuk parpol kapanpun dirasa perlu dan ikut di dalam pemilu jika menginginkannya, tanpa ada campur tangan dari pemerintah.

    Di Inggris, sejak munculnya parpol pada abad ke-19 hingga tahun 1998 lalu, pemerintahnya memang tidak merasa perlu melakukan pendaftaran bagi mereka. Hal itu baru diubah sejak diundangkannya UU Pendaftaran Parpol. Meski demikian, seperti halnya di India, pendaftaran parpol tidak wajib. Parpol dapat mengkampanyekan calonnya di dalam pemilu tanpa perlu mendaftar ke Komisi Elektoral sama sekali.

    Kemunculan legislasi itu pun sebenarnya unik, yakni adanya preseden penggunaan nama partai baru yang mirip dengan partai yang sudah mapan di Inggris, yakni Literal Democrats, Conversative Party dan Labor Party yang mirip dengan Liberal Democrats, Conservative Party dan Labour Party. Oleh karena itu, UU Pendaftaran Parpol tersebut dibuat untuk mengatur nama partai yang digunakan dalam pemilu agar tidak ada yang merasa dirugikan.
    Pengalaman berbagai negara di Eropa dan India menunjukkan bahwa pengetatan persyaratan bagi parpol baru itu bukan saja melanggar hak asasi, yakni hak untuk berserikat (right to association), tetapi juga sama sekali tidak perlu. Perlindungan atas hak membentuk parpol terbukti dapat dilakukan oleh negara-negara demokratis tersebut dengan campur tangan yang minimal dari negara.

    Proses penyelenggaraan pemilu pun dapat diselenggarakan dengan relatif baik. Jadi, alasan kesulitan teknis dari penyelenggara pemilu tidak valid lagi dikemukakan, apalagi dengan mengorbankan hak asasi tersebut.
    Saat ini, yang justru dibutuhkan adalah munculnya kekuatan progresif baru di parlemen maupun pemerintahan, dimana pengaruh para petualang politik yang telah menjadi oligarki partai tersebut di atas minim terhadap parpol-parpol progresif itu.

    Sudah mendesak saatnya kita mendorong demokrasi substansial dimana kualitas partai politiknya beserta legislator dan pemimpin daerah yang menjadi kadernya jauh lebih dipentingkan untuk memperjuangkan kepentingan publik secara luas. Dan sudah saatnya pula publik tidak terus-menerus dininabobokan oleh wacana demokrasi prosedural berupa penyelenggaraan pemilu yang aman dan damai. Semoga.. (Juniardi)