Tag: PT Freeport Indonesia

  • Ketua PB HMI Desak KPK Selidiki Area Operasi PT Freeport Indonesia

    Ketua PB HMI Desak KPK Selidiki Area Operasi PT Freeport Indonesia

    Jakarta (SL) – PT Freeport yang sudah beroperasi sejak puluhan tahun di Indonesia, memiliki banyak polemik. Setelah polemik soal perubahan status dari Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), kali ini polemik soal lingkungan.

    Berdasarkan data temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada seluas 4.535 Hektar Area Kawasan Hutan Lindung yang dijadikan area operasi PT Freeport Indonesia.

    Kawasan tersebut, menurut dokumen hasil temuan BPK, digunakan tanpa adanya izin secara prosedural, atau Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

    Ketua Bidang Lingkungan PB HMI, Abdul Robi Syahrir mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), agar segera menyelidiki soal pencemaran lingkungan yang dilakukan PT Freeport di kawasan hutan lindung tersebut.

    “Kami minta, KPK segera menyelidiki hal tersebut (pencemaran lingkungan) yang dilakukan oleh PT Freeport, karena dalam hal ini, diduga telah ada upaya gratifikasi, suap dan lainnya, yang dilakukan dan diproduksi PT Freeport tanpa izin,” kata Robi, Rabu (31/10) dalam acara diskusi publik, di warung daun Cikini Jakarta Pusat.

    Berikut ini rekomendasi PB HMI Bidang Lingkungan Hidup soal PT Freeport Indonesia.

    Pertama, meminta pemerintah untuk meninjau kembali proses divestasi saham Freeport dan segera menyusun langkah strategis yang lebih berkeadilan secara ekologis.

    Kedua, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agara segera memerintahkan PT Freeport menyelesaikan kewajiban lingkungannya.

    Ketiga, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus membuka dokumen Proler terbaru PT Freeport, dan memberikan sanksi tegas atas kerusakan lingkungan yang terjadi akibat operasi PT Freeport.

    Keempat, dalam temuan BPK, ada 4.535 Hektar Kawasan Hutan Lindung yang dijadikan area operasi PT Freeport yang digunakan tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan. (net)

  • PHK Ribuan Pekerja, PT. FI Diminta Hormati Hukum Indonesia

    PHK Ribuan Pekerja, PT. FI Diminta Hormati Hukum Indonesia

    Papua (SL) –  Menyikapi penyelesaian kasus sengketa Ketenagakerjaan antara PT. Freeport Indonesia dan ribuan pekerja yang terkena kebijakan furlough dan di PHK karena menjalankan mogok kerja menuai sorotan dari berbagai elemen masyarakat termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

    Diantaranya, Aser Gobai, AnggotaDPRD Kabupaten Mimika yang membidangi pengawasan Ketenagakerjaan mengatakan bahwa yang membuat rekomendasi atau memberikan izin AKAD adalah Dinas Tenagkerjaan Bidang Penempatan dan ditanda tangani oleh Kepala Dinas Tenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Mimika.

    Maka, seharusnya Dinas hentikan semua proses rekrutmen sebelum penyelesaian kasus sengketa ketenagakerjaan antara PT. Freeport Indonesia dan ribuan pekerja yang terkena kebijakan furlough dan di PHK karena menjalankan mogok kerja.

    “Setelah pegawai pengawas provinsi papua menyatakan mogok kerja SAH, Kepala Dinas tenagakerja kabupaten mimika ikut bertanggung jawab dalam tuntutan hukum dan HAM pembayaran hak-hak normatif dan tunjangan pekerja mogok kerja dan tempat kerja mereka diisi dengan tenaga kerja baru direkrut dari Perusahaan PT.Freeport Indonesia sendiri, Kontraktor dan Subkontraktor,”kata Gobai melalui press releasenya yang diterima, Rabu (31/10/2018).

    Padahal, lanjut dia, PT. Freeport Indonesia wajib menghormati rekomendasi-rekomendasi dan keputusan-keputusan tersebut diatas. Namun, manajemen PT. FI terus menantang para pekerja untuk menempuh upaya hukum. “Kami perlu tegaskan bahwa keputusan Dinas Tenaga Kerja mengenai status sahnya pemogokan para pekerja merupakan bentuk penyelesaian atas dugaan pelanggaran hak-hak perburuhan yang diatur dan dilindungi UU Ketenagakerjaan,”tegasnya.

    Oleh karena itu, Gobai menyebutkan, tidak ada alasan bagi PT. FI untuk terus membantah dan menantang para pekerja untuk melakukan upaya hukum. Dikemukakannnya bahwa pada tahun 2017 lalu, Komnas HAM telah mengeluarkan hasil telahannya dan merekomendasikan kepada PT. FI untuk mempekerjakan kembali para pekerja.

    Kemudian, pada 31 Agustus 2017, Dewan Jaminan Sosial Nasional telah menyelesaikan verikasi dan kajian yang menyimpulkan bahwa belum ada PHK terhadap para Pekerja PT. Freeport Indonesia. Maka, dengan demikian tindakan sepihak PT. FI yang menonaktifkan kepesertaan BPJS Kesehatan para pekerja adalah melanggar sejumlah ketentuan dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU BPJS Kesehatan.

    “Sebagai perusahaan yang mengaku berkomitmen terhadap hak asasi manusia (HAM) dan hak-hak para pekerja, kami mendesak PT. Freeport Indonesia untuk menghormati hukum Indonesia dan sejumlah keputusan dan rekomendasi tersebut,”sebut Gobai. Manajemen PT. Freeport Indonesia harus segera menindaklanjuti keputusan dan anjuran tersebut diatas dengan segera membatalkan keputusan PHK sepihak terhadap para pekerja yang melakukan mogok kerja dan mengalami furlough.

    “Kami juga mendesak Kepolisian Republik Indonesia khususnya Kepolisian Resort Mimika untuk melanjutkan penyidikan atas laporan tindak pidana anti pemogokan (pasal 143 jo Pasal 185 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) yang diduga dilakukan oleh manajemen PT. Freeport Indonesia,”pungkasnya.

    Gobai menambahkan, mengenai persoalan tersebut pihaknya menilai Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mimika belum serius melakukan kordinasi kerja dengan Pemprov Papua melalui Dinas terkait dalam menjalankan penegakkan aturan bidang penempatan kerja, bidang PHI dan bidang pengawasan provinsi.

    Seperti diketahui, sebelumnya Kepala Dinas terkait sudah menyatakan Furlough belum diatur dalam undang undang ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 dan ketentuan lain. sebelum surat anjuran dengan Nomor : 565/26/ANJU/IX/2018 Anjuran Perselisihan PHK, tertanggal 20 September 2018 terlebih dahulu surat hasil pemeriksaan pegawai pengawas provinsi Papua, Nomor : 560/1271 Penjelasan Penanganan Kasus PT. Freeport Indonesia, tertanggal 12 September 2018.(brainid)

  • 51 Persen Saham PT Freeport Indonesia Bakal Resmi Menjadi Milik Inalum

    51 Persen Saham PT Freeport Indonesia Bakal Resmi Menjadi Milik Inalum

    Jakarta (SL) – PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Freeport McMoRan Inc, dan PT Rio Tinto Indonesia dijadwalkan menandatangani Sales Purchase Agreement (SPA) beserta perjanjian terkait lainnya hari ini. SPA ini merupakan tindak lanjut dari Head of Agreement (HoA) yang diteken Inalum dan Freeport McMoRan Inc pada 12 Juli 2018 lalu.

    Penandatanganan akan dilaksanakan di Ruang Sarulla Kementerian ESDM Jalan Medan Merdeka Selatan No. 18 Jakarta pada pukul 16.00 WIB. Dengan penandatanganan SPA itu, 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) bakal resmi menjadi milik Inalum.

    Dalam perjanjian yang ditandatangani, 40 persen Participating Interest (PI) Rio Tinto sudah dikonversi menjadi saham PTFI. Inalum juga membeli saham milik Freeport McMoRan Inc untuk mendapat tambahan 5,4 persen saham. Ditambah saham milik pemerintah, maka Inalum menguasai 51 persen saham PTFI.

    “Jadi yang ditandatangani nanti bukan hanya SPA saja, tapi sekaligus perjanjian-perjanjian terkait. PI milik Rio Tinto sudah dikonversi menjadi saham,” tutur sumber kumparan di pemerintahan, Rabu (26/9).

    Setelah penandatanganan perjanjian ini, Kementerian ESDM akan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk PTFI yang berlaku hingga 2031. Rencananya IUPK diberikan pada Jumat (28/9).

    Sebelumnya, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, menyatakan proses divestasi saham Freeport dalam waktu dekat akan selesai.

    “Minggu ini selesai. Kan janjinya Bu Menteri Keuangan akhir September 2018, jadi kan minggu ini,” kata Fajar saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (26/9).

    Dia mengibaratkan divestasi 51 persen saham PTFI kepada pemerintah seperti proses jual beli rumah. Saat HoA diteken oleh berbagai pihak pada Juli 2018, hal itu bisa disamakan dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).

    “Kalau sekarang (penyelesaian perjanjian dalam HoA) itu AJB (Akta Jual Beli). Kalau beli rumah kaya gitu. Sudah boleh ditempati, PPJB aja boleh ditempati,” ucap Fajar.

    Terkait proses pembayaran divestasi 51 persen saham PTFI, dia mengaku keputusan itu diambil oleh PT Inalum (Persero) selaku induk holding BUMN pertambangan. Yang jelas, kata dia, sumber pendanaan berasal dari pinjaman 11 bank asing.

    “Iya, masih (pendanaan berasal dari pinjaman 11 bank asing. Itu (waktu pembayaran) tanyakan ke Inalum, masa aku tahu,” paparnya. (kp/net)

  • Freeport Didapat Tidak Gratis, Hati Masyarakat Indonesia Teriris

    Freeport Didapat Tidak Gratis, Hati Masyarakat Indonesia Teriris

    Jakarta (SL) – Polemik tarik ulur antara pemerintah dan Freeport terkait permasalahan pelepasan saham telah menghasilkan kesepakatan pada Kamis, 12 Juli 2018. Proses pelepasan 51% saham PT Freeport Indonesia (PT FI) kepada pemerintah dapat dituntaskan, untuk mengakhiri tarik ulur yang sudah berlangsung puluhan tahun.

    PT Indonesia Asahan Aluminium dan McMoran Inc telah meneken pokok-pokok kesepakatan divestasi atau Head of Agreement (HoA) saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Dalam kesepakatan ini Inalum akan menguasai 41,64% PT Freeport Indonesia. Langkah ini untuk menggenapi 51% kepemilikan saham oleh pihak nasional. Hasil ini tentu akan menjadi keuntungan besar bagi negara. Tetapi semua itu didapatkan tidaklah secara gratis. Diperlukan dana sekitar 55 Triliun untuk divestasi saham Freeport dan membutuhkan waktu negosiasi kurang lebih 3,5 tahun.

    Kewajiban divestasi 51% sebenarnya sudah diatur sejak PT FI meneken Kontrak Karya yang kedua pada 1991, tetapi transisi kepemimpinan dan kebijakan membuat ketentuan tersebut menjadi lama proses negosiasi antara kedua belah pihak. Bahkan di akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2014, mengubah kewajiban divestasi menjadi 30%.

    Kemudian, kebijakan itu dianulir oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, dengan menerbitkan aturan baru yang menganulir kebijakan divestasi 30% dan kembali menyatakan divestasi 51% untuk Indonesia.

    Sudah 51 tahun Freeport menggali sumber daya alam indonesia dengan potensi tambang emasnya yang besar untuk mensejahterakan masyarakat. Ini tak terlepas pemerintah masih mempermudah regulasi bagi pihak asing sehingga kita menjadi penonton dirumah sendiri. Hasilnya, jelas merugikan indonesia dengan hanya memiliki saham di Freeport sebesar 9,36%. Selama ini, sumber daya alam kita tidak bisa mensejahterakan masyarakat karena pihak asing mengebiri. Jelas, pemerintah tidak pernah berdaulat dan selalu bertentangan dengan amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

    Tentu, masih banyak catatan kritis dari kesepakatan divestasi saham 51% untuk pemerintah ini dan ternyata belum ada transparasi capaian kesepakatan secara detail terkait penentuan nilai dan pelepasan saham PTFI yang membutuhkan dana sebesar US 3,85 Miliar.

    Berikut catatan kritis dan sikap BEM FEB Unmul terkait divestasi saham sebagai berikut:

    1. Mendesak pemerintah untuk mentransparasikan capaian komitmen dan kesepakatan akan bentuk pengelolaannya yang sesuai dengan IUPK.

    2. Mendesak Pemerintah untuk mengusut tuntas dan memberikan sanksi terkait pelanggaran lingkungan yang dilakukan PT Freeport Indonesia.

    3. Menuntut Pemerintah untuk konsisten memberikan PI 10% kepada masyarakat papua.

    4. Mendesak Pemerintah untuk menyelesaikan kasus PHK 8.000 karyawan Freeport dengan mendapatkan hak kerjanya kembali.

    5. Menagih janji pemerintah untuk menjaga kedaulatan energi, migas dan sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

    Ada fakta menarik terkait divestasi saham PTFI. Pertama, adanya HoA ini belum memastikan saham Freeport milik Indonesia. Pasalnya transaksi kedua belah pihak belum terealisasi. Belum adanya capaian kesepahaman, komitmen dan kesepakatan akan bentuk pengelolaannya sesuai IUPK. PTFI bukan hanya harus melepaskan 51% sahamnya untuk dimiliki Indonesia. Namun perlu ditegaskan, PTFI juga harus menyepakati klausa kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri untuk peningkatan nilai tambah dan sepakat atas ketentuan fiskal dan perpajakan secara prevailing yang disyaratkan Pemerintah. Namun, butir-butir tersebut belum dicapai dalam kesepakatan disvestasi termasuk pula masalah kepastian tenaga kerja yang di PHK akibat kasus operasional dan permasalahan kerusakan lingkungan.

    Fakta kedua, belum jelasnya mekanisme penyerahan PI 10% kepada papua. Karena perjanjian perpanjangan Kontrak PT FI hanya tertulis pelepasan saham 51% yang akan diserahkan kepada PT. Inalum sebagai pelaksana. Secara sederhana, peralihan dari rezim kontrak karya ke rezim IUPK hanya menyebutkan perjanjian 51% kepada Pemerintah sedangkan posisi PI 10% ke Papua bukan bagian dari isi kontrak PT FI terbaru. PI hanya diatur dalam bentuk MoU, bukan terikat dalam bentuk Peraturan Perundang-Undangan.

    Hingga hari ini, hasil kesepakatan antara freeport dan pemerintah masih terus dijalankan. Namun, pemerintah banyak sekali kebobolan dalam kesepakatan disvestasi kali ini. Kegagalan sebagai negara berdaulat terlihat dengan hasil menang dan kalah. Menang untuk Freeport McMoran dan kalah untuk rakyat Indonesia. Jelas, pemerintah mengaburkan semangat kedaulatan dalam mengelola hasil kekayaan alam dari bumi pertiwi untuk menghapus kesenjangan yang terjadi di masyarakat.

    Nasionalisasi harus terus digaungkan jika ingin rakyat sejahtera. Indonesia harus berani bersikap sehingga tidak lagi dipermainkan atau malah dirugikan! (rls)

  • Divestasi Freeport, Jangan Euforia

    Divestasi Freeport, Jangan Euforia

    Oleh : Prof Hikmahanto Juwana

    Pada tanggal 12 Juli Pemerintah telah menandatangani Head of Agreement (HoA) dengan Freeport McMoran. Tentu ini perlu disambut dengan baik namun tidak perlu dianggap suatu kemenangan bagi Indonesia, terlebih lagi untuk memunculkan eforia di masyarakat.

    Dari perspektif hukum ada beberapa alasan untuk ini. Pertama HoA bukanlah perjanjian jual beli saham. HoA merupakan perjanjian payung sehingga mengatur hal-hal prinsip saja. HoA akan ditindak-lanjuti dengan sejumlah perjanjian.

    Perjanjian yang harus dilakukan untuk benar-benar pemerintah memiliki 51% adalah Perjanjian Jual Beli Participating Rights antara Rio Rinto dengan Pemerintah yang nantinya dikonversi menjadi saham sebesar 40% di PT FI. Lalu perjanjian jual beli saham antara Pemerintah dengan Freeport McMoran sejumlah 5,4%.

    Perjanjian-perjanjian diatas harus benar-benar dicermati karena bagi lawyer ada adagium yang mengatakan ‘the.devil is on the detail’ (setannya ada dimasalah detail). Kerap bagi negosiator Indonesia mereka akan cukup puas dengan hal-hal yang umum saja.

    Kedua, menjadi pertanyaan berapa harga yang disepakati untuk membeli Participating Rights di Rio Tinto dan saham yang dimiliki oleh Freeport McMoran. Ini muncul karena bila konsesi tidak diperpanjang hingga 2021 tentu harga akan lebih murah dibanding bila konsesi mendapat perpanjangan hingga tahun 2041.

    Hingga saat ini belum jelas apakah pemenrintah akan memperpanjang konsesi PT FI atau tidak. Untuk hal ini menjadi pertanyaan apakah pemerintah pasca 2019 (bila ada perubahan) akan merasa terikat dengan HoA yang ditandatangani atau tidak.

    Ketiga hal yang perlu diperhatikan adalah pengaturan pengambil keputusan di RUPS. Apakah ada ketentuan untuk sahnya kehadiran dan pengambilan keputusan harus dilakukan minimal 51%+1, bahkan lebih. Bila demikian meski pemerintah mayoritas namun pengendalian perusahaan masih ada ditangan Freeport McMoran.

    Terlebih lagi bila saham yang dimiliki oleh Freeport McMoran adalah saham istimewa yang tanpa kehadirannya maka RUPS tidak akan kuorum. Juga bila penunjukan Direksi dan Komisaris harus tanpa keberatan dari Freeport McMoran.

    Keempat, bila pemerintah telah menjadi pemegang saham di PT FI dan ada keputusan RUPS untuk meningkatkan modal dan karena satu dan lain hal pemerintah tidak dapat melakukan penyetoran, apakah kepemilikan saham pemerintah akan terdelusi? Sehingga besaran 51% akan turun.

    Tentu masih banyak hal-hal detail yang akan menjadi pembahasan antara pemerintah dengan berbagai pihak. Karenanya menyatakan pemerintah menang tentu merupakan suatu pernyataan yang prematur.

    Bila pemerintah transparan dan akuntabel maka apa yang disepakati dalam HoA sebaiknya dibuka ke publik. Ini untuk mencegah publik merasa dikhianati oleh pemerintahnya sendiri. Toh HoA sudah ditandatangani bukan dalam tahap negosiasi. **

    Prof Hikmahanto Juwana, Guru Besar FHI UI

  • Tercapai Kesepakatan, Kepemilikan Saham Indonesia di Freeport Meningkat

    Tercapai Kesepakatan, Kepemilikan Saham Indonesia di Freeport Meningkat

    Jakarta (SL) – Presiden Joko Widodo mengatakan, dirinya telah menerima laporan bahwa salah satu BUMN PT. Inalum (Persero) telah mencapai kesepakatan awal dengan PT. Freeport terkait kepemilikan saham nasional di perusahaan tambang emas terbesar di Tanah Air.

    “Saya telah mendapatkan laporan bahwa holding industri pertambangan kita, Inalum telah mencapai kesepakatan awal untuk meningkatkan kepemilikan kita menjadi 51 persen dari yang sebelumnya 9,36 persen. Alhamdulillah,” kata Presiden kepada jurnalis di Tangerang, Provinsi Banten, pada Kamis, 12 Juli 2018.

    Menurut Presiden, proses negosiasi yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan tersebut memakan waktu kurang lebih 3,5 tahun.

    “Inilah 3,5 tahun yang kita usahakan sangat alot, 3,5 tahun dan sangat intens sekali tapi memang kita kerjakan diam. Karena ini menyangkut negosiasi yang tidak mudah,” ujar Presiden.

    Dengan kesepakatan awal ini, Presiden berharap nantinya pengelolaan tambang tersebut akan memberikan keuntungan yang lebih besar bagi Indonesia. Selain itu, masyarakat Papua juga diharapkan dapat menikmati hasil dengan jumlah dan kondisi yang lebih baik.

    “Menurut saya ini sebuah lompatan. Kita harapkan nanti akan mendapatkan income yang lebih besar baik dari pajak, royalti, dividen, dan retribusinya sehingga nilai tambah dari komoditas tambang yang ada di sana betul-betul bisa dinikmati oleh kita. Kepentingan nasional harus dinomor satukan,” ucap Presiden. (rls)