Tag: PWI

  • Ketua PWI Se-Indonesia Dekalarasi Tentang Pentingnya Pers Kembali Pada Pancasila

    Ketua PWI Se-Indonesia Dekalarasi Tentang Pentingnya Pers Kembali Pada Pancasila

    Yogyakarta (SL) – Sebanyak 34 Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) se-Indonesia membacakan lima item deklarasi di Keraton Kilen tentang ‘Pentingnya Pers Kembali Pada Pancasila’. Pembacaan deklarasi tersebut diapresiasi oleh Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan HB X.

    Ketua PWI DIY Sihono, Selasa menjelaskan, deklarasi pers kembali kepada Pancasila penting untuk dilakukan di tengah keprihatinan insan pers terhadap perkembangan pers di Indonesia saat ini. “Kebebasan (pers) yang harusnya dinikmati oleh masyarakat ternyata banyak dinikmati oleh pemilik modal dan politikus, ini menggelisahkan kita. Ada lima item deklarasi itu. Intinya PWI siap untuk mendorong atau melaksanakan nilai-nilai Pancasila dengan karya jurnalistik,” kata Sihono menjelaskan isi silaturrahmi dan pembacaan deklarasi di Keraton Kilen, Jogja, Jumat (6/7) malam.

    Sihono berharap, dengan karya jurnalistik yang berkarakter Pancasila dapat menyadarkan masyarakat pada pluralisme, lebih menghargai perbedaan orang lain, mengedepankan musyawarah dan juga berkontribusi mewujudlkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sihono mengatakan kebebasan pers saat ini juga harus bertanggung jawab pada bangsa dan negara.

    “Kalau tidak bertanggung jawab pada bangsa dan negara akan bahaya. Karena dia akan menerjemahkan kebebasan itu sebebas-bebasnya, semaunya sendiri. Jadi kalau sudah menyangkut kepentingan bangsa PWI harus bersikap, katanya.

    Sihono mengatakan, kebebasan yang tidak bertanggung jawab dibiarkan akan mempengaruhi persatuan dan kesatuan bangsa. Contohnya banyaknya berita hoaks saat ini yang penuh ujaran kebencian. Hal tersebut membuat PWI tergerak mendirikan Pusat Pendidikan dan Pengembangan Pers Pancasila (P5) di Gambiran yang disambut baik oleh Sri Sultan HBX.

    Mengenai pendirian P5, Sri Sultan HBX berharap insan pers mengaplikasikan Pancasila sesuai dengan apa yang mereka ketahui. “Saya tidak tahu ya mungkin tetap di dalam konteks koridor kebebasan yang bertanggung jawab. Nah kalau dimaknai sebagai karakteristik seorang Pancasilais berarti bagaimana mengaplikasikan pengertian info yang bertanggung jawab itu, mungkin juga tidak sekadar mengkritisi tapi juga bagaimana masyarakat atau publik itu sendiri juga dilatih pembelajaran untuk dia memahami pada aspek-aspek berbangsa dan bernegara. Tidak sekadar membaca suatu berita saja,” kata Raja Keraton Ngayogyakarta ini.

    Sri Sultan HB X berharap pers bisa menjadi kekuatan keempat di luar eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sri Sultan HB X berpesan pada insan pers agar merencanakan bagaimana menerjemahkan informasi yang bertanggung jasab, yaitu informasi yang Pancasilais. (rel)

  • Ungkap Kematian M. Yusuf, Tim Pencari Fakta Sambangi Lapas dan Kejari Kotabaru

    Ungkap Kematian M. Yusuf, Tim Pencari Fakta Sambangi Lapas dan Kejari Kotabaru

    Kalimantan Selatan (SL) – Tiga orang Tim Pencari Fakta (TPF) meninggalnya wartawan M. Yusuf di Kalimantan Selatan yang dibentuk oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), telah dua hari berada di Kotabaru untuk membedah, mencari informasi yang akurat dan kredibel atas kasus yang menimpa M.Yusuf.

    Hari kedua ini, Selasa (10/7), TPF menyambangi Lapas Kota Baru dan diterima Plt. Kalapas Ibrahim dan jajarannya. Usai dari Lapas Kota Baru, TPF kemudian melanjutkan pertemuan dengan Kejaksaan Negeri Kotabaru. Di Kajari Kotabaru ini diterima Kasipidum Wahyu Oktaviani, Kasi Intel Agung Nugroho Santoso, Staf Kasi Intel Bimo Bayu Aji.

    Sebelumnya, hari pertama TPF bekerja menemui Penyidik di Polres Kotabaru, istri almarhum M. Yusuf dan management PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) yang diwakili oleh Humas PT MSAM, Prasetiadi.

    Kasus yang menimpa M. Yusuf berawal dari dijebloskan ke penjara setelah menulis pemberitaannya terkait sengketa perebutan lahan di antara PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) dan warga Pulau Laut.

    M. Yusuf disangkakan Pasal 45A UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. (rls)

  • Usut Kematian M. Yusuf Ini Susunan TPF PWI Pusat

    Usut Kematian M. Yusuf Ini Susunan TPF PWI Pusat

    Kalimantan Selatan (SL) – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) merespon cepat kematian almarhum Muhammad Yusuf (42). Wartawan Kemajuan Rakyat yang meninggal pada 10 Juni lalu. Muhammad Yusuf tewas setelah sempat mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kotabaru, Kalimantan Selatan.

    Dari rilis yang diterima redaksi (14/6), malam. Sebelumnya Plt Ketua Umum PWI Pusat, Sasongko Tedjo membentuk Tim Pencari Fakta (TPF), yang diketuai oleh Ilham Bintang yang juga menjabat Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.

    Selain Ilham Bintang, TPF PWI Pusat diisi sejumlah nama lain seperti, Marah Sakti Siregar, Wakil Ketua dan Wina Armada Sukardi sebagai Sekretaris TPF.

    Selanjutnya untuk anggota TPF PWI terdiri dari beberapa nama yaitu, Uni Lubis, Gusti Rusdi Effendi, Zainal Helmi, Agus Sudibyo, Firdaus Banten, dan Teguh Santosa.

    TPF PWI mulai aktif betugas pada 22 Juni 2018 mendatang. Menurut rencana Tim Pencari Fakta PWI Pusat ini, akan membedah kembali karya jurnalistik serta kasus yang tengah didalami almarhum Muhammad Yusuf di Kalimantan Selatan.

    Sebelumnya, almarhum Muhammad Yusuf dijebloskan ke penjara setelah menulis pemberitaannya terkait sengketa perebutan lahan di antara PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) dan warga Pulau Laut.

    Tulisan almarhum Muhammad Yusuf, disebut bermuatan provokasi, tidak berimbang, dan menghasut yang merugikan MSAM.

    Muhammad Yusuf dijerat Pasal 45A UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancamannya pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. (red)

  • Pernyataan Sikap AJI dan IJTI Usulan Revisi HPN Perlu Disikapi Proporsional

    Pernyataan Sikap AJI dan IJTI Usulan Revisi HPN Perlu Disikapi Proporsional

    Jakarta (SL) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengajukan usulan perubahan tanggal Hari Pers Nasional (HPN) yang selama ini diperingati setiap 9 Februari. Usulan yang disampaikan pada Maret 2018 itu direspons Dewan Pers dengan menggelar pertemuan terbatas pada Rabu, 18 April 2018, di lantai 7 Gedung Dewan Pers di Jl Kebonsirih Jakarta.

    Pertemuan itu dihadiri anggota dan mantan anggota Dewan Pers serta konstituen Dewan Pers. Antara lain, wakil dari AJI, IJTI, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Pers (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Dalam pertemuan sekitar 3 jam itu wakil dari AJI dan IJTI menyampaikan apa dasar pemikiran munculnya usulan revisi tanggal pelaksanaan HPN dan dituliskan secara lengkap dalam bentuk kajian sejarah.

    Wakil dari konstituen Dewan Pers menyampaikan pandangannya terhadap usulan AJI dan IJTI tersebut. Ada sejumlah pandangan atas usulan itu. Seperti disampaikan Dewan Pers, pertemuan itu baru sebatas mendengarkan masukan dari konstituen sehingga belum ada keputusan atas usulan AJI dan IJTI itu.

    Menjelang pembahasan ini, soal revisi HPN ini sudah menjadi perdebatan hangat di komunitas media. PWI dari sejumlah daerah sudah mengeluarkan pernyataan, yang isinya antara lain: mempertanyakan sikap Dewan Pers yang berencana merevisi HPN; mendesak agar PWI mensomasi Dewan Pers dan mengganti ketuanya karena memfasilitasi pertemuan itu; mendesak PWI pusat menarik wakilnya dari Dewan Pers; dan menyatakan HPN tanggal 9 Februari adalah harga mati.

    Melihat dinamika yang berkembang atas usulan tersebut, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

    Pertama, meminta semua pihak untuk melihat soal ini secara bijak dan obyektif. Apa yang disampaikan AJI dan IJTI adalah upaya untuk menjawab aspirasi dari anggota AJI dan IJTI yang menghendaki agar ada upaya penyelesaian dari keengganan kedua organisasi ini untuk terlibat dalam HPN. Penyelesaian soal ini dilakukan melalui cara yang prosedural, yaitu meminta agar dibahas di komunitas pers dengan difasilitasi Dewan Pers. Menyelesaikan masalah melalui jalan musyawarah dan dialog adalah cara demokratis dan bermartabat untuk menyelesaikan masalah, termasuk soal HPN ini.

    AJI dan IJTI memakai cara yang prosedural untuk menyelesaikan masalah ini dan belum memakai cara legal, yaitu mencari penyelesaian kasus ini dengan mempersoalkan dasar hukum HPN ke Mahkamah Agung, misalnya. Cara itu tak kami tempuh karena kami menganggap bahwa kita memiliki Dewan Pers, yang menjadi tempat berhimpun konstituen Dewan Pers. HPN itu ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985, yang dasar hukumnya memakai Undang Undang No 21 tahun 1982. Undang-undang No 21 tahun 1982 ini sudah tidak berlaku lagi setelah lahirnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

    Kedua, meminta organisasi wartawan bersikap proporsional dan tidak emosional melihat perkembangan ini. Sikap mempertanyakan Dewan pers adalah bentuk ketidaktahuan atas atas apa yang terjadi selama ini. Dalam soal ini sikap Dewan Pers sudah benar dan tepat dengan menggelar pertemuan soal itu karena memang ada aspirasi dari konstituennhya yang meminta, yaitu AJI dan IJTI. Jadi, gugatan terhadap Dewan Pers jelas sesuatu yang berlebihan, emosional, dan mendasarkan pada kemarahan yang tidak jelas.

    Ketiga, kami kembali menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh AJI dan IJTI ini lebih sebagai upaya meminta komunitas pers memperbincangkan kembali soal penetapan HPN. Kami tak punya kepentingan dengan hari lahir organisasi wartawan PWI yang diperingati setiap 9 Februari. Kami hanya minta ada peninjauan ulang untuk peringatan HPN yang juga memakai tanggal 9 Februari. Sebab, pemakaian tanggal yang sama untuk dua peringatan (hari lahir PWI dan HPN) menimbulkan kesan bahwa itu hanya hari peringatan untuk satu organisasi wartawan dan bukan hari lahir yang patut diperingati oleh komuitas pers Indonesia. Tanpa ada perubahan signifikan, salah satunya berupa tanggal, akan sulit mengubah kultur pelaksanaan HPN secara signifikan.

    Keempat, dalam pertemuan itu wakil dari PWI mempertanyakan apakah benar anggota AJI dan IJTI adalah wartawan. AJI dan IJTI juga menjawab dengan menyatakan, apakah benar anggota PWI semuanya wartawan. Tapi kami sepakat bahwa ini harus menjadi perhatian Dewan Pers. Oleh karena itu kami setuju Dewan Pers melakukan penertiban kepada anggota konstituennya. Salah satu caranya adalah dengan mengecek apakah anggota organisasi wartawan itu memang jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik atau bukan? Atau hanya orang yang punya kartu pers dan mengaku sebagai wartawan tapi pekerjaannya hanya mencari uang dari nara sumber?

    Kami mengusulkan agar Dewan Pers membuka pengaduan soal ini. Misalnya, minta publik memberi laporan atas praktik-praktik seperti ini di tengah masyarakat. Sebab, sudah umum terdengar bahwa ada orang yang mengaku punya kartu pers atau kartu organisasi wartawan meski sebenarnya orang itu tak berhak memilikinya karena dia sebenarnya pegawai negeri atau lainnya, yang intinya sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kerja jurnalistik.

    Kelima, kami menghormati upaya yang dilakukan Dewan Pers dengan menyelenggarakn pertemuan untuk membahas soal itu. Seperti yang disampaikan Dewan Pers, pertemuan itu untuk mendengarkan apa pandangan dari komunitas pers atas usulan AJI dan IJTI yang minta perubahan tanggal HPN. Seusai pertemuan, Dewan Pers menyatakan akan merangkum usulan tersebut dan akan membahasnya di internal Dewan Pers. AJI dan IJTI, sebagai pengusul penggantian HPN, akan menyatakan sikap setelah ada hasil resmi dari Dewan pers atas usulan tersebut.

    Jakarta, 19 April 2018

    Ketua Umum AJI, Abdul Manan
    Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana

  • Polemik Tanggal HPN Momentum 9 Februari Tak Dapat Tergantikan

    Polemik Tanggal HPN Momentum 9 Februari Tak Dapat Tergantikan

    Polemik tanggal 9 Februari menjadi Hari Pers Nasional (HPN) terus muncul tiap tahunnya oleh AJI dan kemudian diikuti IJTI. Penolakan mereka dilatarbelakangi oleh ‘dendam’ masa lalu, baik terhadap orde baru maupun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sehingga menganggap bahwa tanggal 9 Februari 1946, merupakan hari kelahiran organisasi PWI dan penetapannya pun dilakukan pada masa orde baru.

    Padahal sebetulnya, jika melihat sejarah, seperti kutipan berita Harian Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta yang terbit sejak 27 September 1945, dan fakta lainnya, tanggal tersebut merupakan momentum bertemunya sejumlah perhimpunan wartawan, perusahaan pers waktu itu, hingga pemerintah RI yang baru terbentuk, melalui Kongres Wartawan Indonesia di Kota Solo. Kongres berlangsung selama 2 hari, 9-10 Februari 1946.

    Kongres dilakukan dengan semangat mempersatukan para pelaku pers, untuk berperan besar dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Apalagi saat itu, Belanda sedang gencar ingin merebut kembali wilayah Indonesia melalui agresi militernya. Pers pada waktu itu menjadi tonggak penting dalam memberikan informasi mengenai perjuangan, perang dan nasionalisme kepada masyarakat. Pers pula yang saat itu memberitakan kondisi terbaru mengenai kemenangan perang para pejuang melawan Belanda.

    Nuansa kejuangan pun sangat terlihat dalam kongres tersebut. Terlebih menghadirkan tokoh pergerakan nasional yang cukup keras waktu, yakni Tan Malaka. Tokoh ini kemudian oleh Bung Karno ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Tan seperti dikutip KR, menyampaikan kondisi peperangan di Asia dan semangat untuk menghadapi peperangan khususnya melawan penjajahan kembali.

    Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan dalam kongres tersebut menyebutkan penting peran wartawan untuk menghadapi bahaya penjajahan kembali oleh Belanda. Ancaman penjajahan kembali akan mengganggu pembangunan negara yang baru saja merdeka.

    Untuk melawan penjajah tersebut, maka dibutuhkan persatuan, termasuk para wartawan yang waktu itu memang banyak terlibat dalam memberitakan perjuangan dan nasionalisme. Untuk itu kongres pun sepakat membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai wadah untuk mempersatukan semangat kejuangan insan pers dalam melawan penjajahan Belanda.

    Melihat peristiwa Kongres Wartawan Indonesia tersebut, sebetulnya tidak sebatas lahirnya organisasi PWI, tetapi harus dilihat bahwa tanggal 9 Februari merupakan momentum kesadaran bersama bersatunya insan pers dalam melawan penjajahan Belanda.

    Peristiwa yang menunjukkan semangat kejuangan juga dilakukan sebelumnya, seperti Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda tanggal 9 Oktober 1928 yang ditetapkan sebagai Hari Pemuda. Atau kemudian lahirnya organisasi Boedi Oetomo oleh dr Soetomo, Gunawan Mangoenkoesoemo dan Soeradji dand digagas oleh Wahidin Soedirohoesodo pada tanggal 20 Mei 1908 yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Tanggal 20 Mei tersebut ditetapkan sebagai Kebangkitan Nasional, meski sebetulnya tanggal 20 Mei merupakan kelahiran organisasi Boedi Oetomo.

    Jika kemudian ada upaya mencari tanggal HPN, termasuk gagasan tanggal yang disampaikan oleh AJI dan IJTI, tidak bisa mengalahkan momentum peristiwa Kongres Wartawan Indonesia yang begitu bermakna dan penting. Apalagi muncul ide memperingati dari meninggalnya tokoh pers, karena banyak sekali tokoh yang ada di Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan pers sehingga akan menimbulkan ketidakpuasan dari keluarga atau kelompok lain. Atau lahirnya UU Pers, yang tentu sangat berpeluang berganti atau direvisi.

    Jika kemudian mengabaikan peristiwa Kongres Wartawan Indonesia ini, sama saja mengesampingkan peran besar dari banyak pihak waktu itu, baik para tokoh pers, perusahaan pers, maupun perhimpunan wartawan yang bertujuan sangat mulia untuk bersatu melawan penjajahan.

    Melihat terus dimunculkannya wacana pergantian tanggal HPN, PWI Pusat perlu menyiapkan amunisi untuk melawannya dengan menggali sejarah peristiwa Kongres Wartawan Indonesia tersebut. Apalagi momentum peristiwa tersebut telah dimonumenkan oleh pemerintah dan menjadi museum di Solo.

    Selanjutnya dalam setiap perayaan HPN terus digelorakan semangat kejuangan untuk lebih mengingat peristiwa 9 Februari 1945. Kalau dulu semangat kejuangan melawan penjajahan, maka saat ini tetap semangat kejuangan dalam konteks kekinian. (Primaswolo Sudjono, Sekretaris Dewan Kehormatan Daerah PWI DIY)

  • PWI Minta Dewan Pers Verifikasi Ulang Anggota Organisasi Wartawan

    PWI Minta Dewan Pers Verifikasi Ulang Anggota Organisasi Wartawan

    Jakarta (SL) – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengajukan permintaan kepada Dewan Pers agar seluruh organisasi wartawan yang menjadi angggota Dewan Pers diverifikasi ulang jumlah anggotanya.

    Hal tersebut dikemukan delegasi PWI dalam rapat yang selenggarakan Dewan Pers hari ini di Jakarta. “Semua wartawan AJI, IJTI dan PWI diverifikasi sesuai aturan perundang-undangan dan Peraturan Dewan Pers,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PWI, Hendri CH Bangun.

    PWI meminga agar dalam verifikasi ulang ini, hanya mereka yang memenuhi persyaratan sebagai wartawan yang sesuai peraturan Dewan Pers saja yang dihitung sebagai anggota organisasi wartawan. Di antara syarat itu harus bekerja pada perusahaan pers yang berbadan hukum.

    “Sedangkan yang tidak memenuh syarat, tidak dapat lagi dihitung sebagai anggota sebuah organisasi wartawan,” tambah Hendry.

    Sesuai Peraturan Dewan Pers orang yang dikatagorikan sebagai wartawan diatur harus masih aktif melakukan pekerjaan jurnalistik dan tergabung dalam perusahaan pers yang berbadan hukum. Sebuah organisasi wartawan sekurang-kurangnya harus memiliki 500 wartawan yang masih aktif.

    Dalam verifikasi ulang PWI minta dilakukan secara menyeluruh baik verifikasi administratif maupun verifikasi faktual.

    Keangggota Proposional. Selain meminta diadakan verifikasi ulang, untuk meneggakkan keadilan PWI juga meminta agar sistem keanggotan Dewan Pers diatur secara proposional berdasarkan jumlah anggota.

    Dengan demikian organisasi wartawan yang lebih besar tidak disamakan dengan organisasi wartawan yang lebih kecil, apalagi yang benar-benar kecil. Sistem keanggotaan yang proposional akan membawa perubahan dalam jumlah suara organisasi wartawan di Dewan Pers.

    Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Ilham Bintang, mengemukakan sebagai anggota Dewan Pers dengan jumlah anggota terbesar, sudah sewajarnya PWI mempunyai suara di Dewan Pers yang sebanding dengan jumlah anggotanya.

    “Selama ini kami sudah sangat toleransi dan tidak pernah mengusik organisasi wartawan lainnya,” kata Ilham. Tetapi agar lebih demokratis dan mencerminkan kenyataan, sudah saatnya keanggotan organisasi wartawan diatur secara proposional berdasarkan jumlah anggota organisasi wartawan tersebut.*

  • Dewan Pers Digugat Perbuatan Melawan Hukum

    Dewan Pers Digugat Perbuatan Melawan Hukum

    Jakarta (SL) – Protes keras insan pers atas kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh Dewan Pers kian deras mengalir dari berbagai penjuru tanah air. Gerakan protes itu makin memuncak akibat maraknya tindakan kriminalisasi terhadap pers di berbagai daerah namun Dewan Pers terlihat diam saja, bahkan terkesan ikut mendorong agar para jurnalis kritis dipenjarakan.

    Menyikapi permasalahan ini, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia Hence Mandagi dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Persatuan Pewarta Warga Indonesia Wilson Lalengke telah mengambil langkah hukum sebagai upaya mengakomodir aspirasi para wartawan dan media dari berbagai daerah yang merasa dirugikan oleh kebijakan dan aturan yang dibuat oleh Dewan Pers. Pada Kamis. 19 April 2018, kedua pimpinan organisasi pers ini resmi melayangkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Dewan Pers di kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menunjuk tim kuasa hukum yang diketuai Dolfi Rompas, SH, MH.

    Berbagai aturan dan kebijakan Dewan Pers yang dinilai melampaui kewenangannya antara lain adalah melaksanakan kegiatan wajib bagi wartawan Indonesia untuk ikut Uji Kompetensi Wartawan melalui Lembaga Penguji Standar Kompetensi Wartawan yang ditetapkan sendiri oleh Dewan Pers dengan cara membuat peraturan-peraturan sepihak. Tindakan yang dilakukan Dewan Pers ini merupakan Perbuatan Melawan Hukum karena melampaui kewenangan fungsi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (2) UU Pers.

    “Berdasarkan fungsi Dewan Pers tersebut tidak ada satupun ketentuan yang mengatur Dewan Pers sebagai lembaga yang dapat menyelenggarakan uji kompetensi wartawan,” ujar Dolfi Rompas, selaku kuasa hukum penggugat.

    Perbuatan Dewan Pers menyelenggarakan kegiatan uji kompetensi wartawan juga sangat bertentangan atau menyalahi Pasal 18 ayat (4) dan (5) UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: “(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang independen.(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

    Kegiatan uji kompetensi wartawan tersebut di atas juga menyalahi atau melanggar pasal 1 ayat (1) & (2); dan pasal 3, serta pasal 4 ayat (1) & (2) Peraturan Pemerintah tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi. “Jadi sangat jelas di sini aturan hukum menjelaskan bahwa lembaga yang berwenang menetapkan atau mengeluarkan lisensi bagi Lembaga Uji Kompetensi atau Lembaga Sertifikasi Profesi adalah BNSP bukannya Dewan Pers. Sehingga Lembaga Uji Kompetensi Wartawan yang ditunjuk atau ditetapkan Dewan Pers dalam Surat Keputusannya adalah ilegal dan tidak memiliki dasar hukum dan sangat merugikan wartawan,” imbuh Dolfie Rompas.

    Sementara itu, Hence Mandagi selaku Ketua Umum DPP SPRI menegaskan, tindakan Dewan Pers melaksanakan verifikasi organisasi wartawan yang menetapkan sendiri peraturannya dengan cara membuat dan menerapkan Peraturan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Wartawan kepada seluruh organisasi pers masuk kategori Perbuatan Melawan Hukum.

    Akibat perbuatan tersebut menyebabkan anggota dari organisasi-organisasi Pers yang memilih anggota Dewan Pers pada saat diberlakukan UU Pers tahun 1999 kini kehilangan hak dan kesempatan untuk ikut memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers. Dan bahkan organisasi-organisasi pers tersebut, termasuk SPRI, tidak dijadikan konstituen Dewan Pers akibat peraturan yang dibuat oleh Dewan Pers tentang Standar Organisasi Wartawan dengan menetapkan sepihak bahwa hanya tiga organisasi pers sebagai konstituen Dewan Pers yakni PWI, Aji, dan IJTI.

    Mandagi juga mengatakan, tindakan Dewan Pers melaksanakan verifikasi terhadap perusahaan pers dengan cara membuat Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers, sangat bertentangan dan melampaui fungsi dan kewenangan Dewan Pers sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat 2 huruf g UU Pers. “Dampak dari hasil verifikasi perusahaan pers yang diumumkan ke publik menyebabkan media massa atau perusahaan pers yang tidak atau belum diverifikasi menjadi kehilangan legitimasi di hadapan publik. Perusahaan pers yang belum atau tidak diverifikasi mengalami kerugian materil maupun imateril karena kehilangan peluang dan kesempatan serta terkendala untuk mendapatkan belanja iklan,” jelas Mandagi.

    Selain itu, ada edaran Dewan Pers terkait hasil verifikasi perusahan pers di berbagai daerah menyebabkan sejumlah instansi pemerintah daerah dan lembaga penegak hukum di daerah mengeluarkan kebijakan yang hanya melayani atau memberi akses informasi kepada media yang sudah diverifikasi Dewan Pers. Hal ini sangat merugikan perusahaan pers maupun wartawan yang bekerja pada perusahan pers yang dinyatakan belum lolos verifikasi Dewan Pers, karena mengalami kesulitan dalam memperoleh akses informasi dan akses pengembangan usaha.

    Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum DPN PPWI Wilson Lalengke menegaskan, pihaknya mengajukan gugatan ini sebagai bentuk pembelaan kepada seluruh pekerja media, secara khusus terhadap para jurnalis yang terdampak langsung dengan kebijakan Dewan Pers selama ini. Dua kasus yang diadukan dan ditangani PPWI yang terkait langsung dengan kebijakan Dewan Pers menjadi pertimbangan PPWI Nasional, sehingga merasa perlu melibatkan diri dalam proses gugat-menggugat secara hukum ini.

    Kasus itu menurut data PPWI adalah:

    1. Kriminalisasi terhadap dua jurnalis Aceh, Umar Effendi dan Mawardi terkait pemberitaan tentang “Tidak Sholat Jumat seorang oknum anggota DPRA, Azhari alias Cage, yang dimuat di media online Berita Atjeh dan berdasarkan rekomendasi Dewan Pers mereka akhirnya dijebloskan ke penjara.

    2. Kriminalisasi terhadap pers yang menimpa Pemimpin Umum media Jejak News Ismail Novendra terkait berita tentang dugaan KKN oknum pengusaha yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Kapolda Sumatera Barat, dan meraup beberapa proyek strategis di sejumlah instansi pemerintah di Sumatera Barat. Kasus ini tetap berlanjut ke Pengadilan Negeri setempat meskipun Dewan Pers telah merekomendasikan agar kasus tersebut diselesaikan dengan menggunakan UU Pers, namun polisi tetap memproses menggunakan pasal 310 dan 311 KUHP.

    Salah satu kesimpulan dari dua kasus di atas, menurut Lalengke, bahwa sebenarnya rekomendasi Dewan Pers, dari pangkal hingga ke ujung hanyalah akal-akalan saja dan tidak membantu, serta tidak berguna alias tidak diperlukan. “Untuk itu Dewan Pers perlu ditinjau kembali atau dibubarkan saja sebelum uang negara habis digunakan untuk biaya operasional lembaga yang tidak berguna bagi dunia jurnalisme di negeri ini,” kata Wilson Lalengke.

    Jebolan PPRA XLVIII Lemhanas RI tahun 2012 ini juga mengajak seluruh insan pers tanah air untuk ikut berjuang menegakan kemerdekaan pers agar tidak ada lagi kriminalisasi terhadap pers.

  • PWI Sesalkan Tak Hadinya Ketua DP 

    PWI Sesalkan Tak Hadinya Ketua DP 

    Bandarlampung (SL) – PWI menyesalkan ketidakhadiran Ketua Dewan Pers Yoseph Adhi Prasetio (Stanly) atas undangannya untuk membahas usul perubahan hari HPN (Hari Pers Nasional) di Gedung Dewan Pers, Rabu (18/4/2018), pukul 16.00 WIB.

    Sebelum rapat dibuka oleh Wakil Ketua DP Ahmad Djauhar, Uni Lubis bahkan sempat mengecam ketidakhadiran Stanly karena PWI menilai pentingnya menghadiri undangan dari Dewan Pers itu sendiri.

    Akibat adanya wacana perubahan waktu Hari Pers, ebagian besar PWI daerah menyatakan sikap atas usul tersebut. Mereka menolak karena itu bagian dari sejarah dan dapat memecahbelah insan pers.

    Menurut Ahmad Djauhar, Stanly tidak dapat hadir karena sedang berada di Manado. “Kok gak ada di acara penting menyangkut konstituen? Mestinya, dia memilih hadir di rapat ini,” ujar Uni Lubis.

    Pada rapat tersebut, hampir semua konstituen Dewan Pers hadir pada rapat tersebut. Wakil P3I (Perusahaan Periklanan dan SGP (Grafika Pers) yang tampak tak hadir di rapat tersebut.

    Rapat akhirnya tetap dilaksanakan dengan diskusi soal usulan AJI dan IJTI yang menginginkan perubahan hari HPN dari tanggal 9 Februari ke 23 September, hari ditandatanganinya UU Pers 40/1999.

    Pengurus PWI Pusat yang diwakili Sekretaris Jendral Hendry CH Bangun,

    Ketua Bidang Pendidikan Marah Sakti Siregar, dan lainnya menolak usulan AJI dan IJTI. Alasannya antara lain, usulan tersebut tidak urgen.

    Uni Lubis bahkan mengusulkan HPN sepenuhnya ditangani Dewan Pers.

    “Saya dan Hendry CH Bangun menegaskan bagi PWI HPN 9 Februari merupakan tanggal bersejarah dan warisan pejuang pers Indonesia. Jadi harga mati bagi PWI,” ujar Marah Sakti Siregar.

    Ditegaskannya lagi,  PWI tidak ingin tanggal tersebut diubah atau diganti. “Kalau mau diubah, silakan saja. PWI tetap akan memperingati ulang tahunnya di seluruh Indonesia,” katanya. (Pakho)

  • PWI : Hari Pers 9 Februari Harga Mati

    PWI : Hari Pers 9 Februari Harga Mati

    Bandarlampung (SL) – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sepakat mempertahankan Hari Pers Nasional (HPN) pada tanggal 9 Februari. “Harga mati,” kata Ketua Bidang Pendidikan Marah Sakti Siregar.

    “Saya dan Hendry CH Bangun menegaskan 9 Februari tanggal bersejarah dan warisan pejuang pers Indonesia. Jadi harga mati bagi PWI,” kata Marah Sakti pada di Gedung Dewan Pers, Rabu (18/4/2018), pukul 16.00 WIB.

    Dewan Pers mengundang para konstituen Dewan Pers untuk membahas usul Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengubah hari HPN jadi tanggal 23 September, hari ditandatanganinya UU Pers 40/1999.

    Hampir seluruh PWI daerah menolak perubahan tanggal tersebut. Para pengurus PWI daerah telah menyatakan sikap yan ditujukan kepada Dewan Pers atas usul perubahan hari HPN, katanya.

    Marah Sakti Siregar menegaskan dalam rapat tersebut PWI tidak ingin tanggal itu diubah atau diganti. Kalau mau diubah, silakan saja, PWI tetap akan memeringati ulang tahunnya di seluruh Indonesia, katanya.

    Menurut Marah Sakti Siregar, PWI selama ini toleran dan bersabar pada organisasi pers lain. Tapi, katanya, adanya usulan pergantian hari HPN,  PWI merasa amat terganggu meski masih menghargai dengan datang untuk berdialog.

    Menurut Marah Sakti Siregar, semua PWI provinsi telah menyatakan ketidaksuka terhadap Dewan Pers yang memenuhi aspirasi organisasi pers minoritas, kata Marah Sakti Siregar pada rapat yang dihadiri tokoh pers : Harymurti, Lukas Luwarso, Tommy Suryopratomo, dan Retno Shanti. (Pakho).

  • Miris, Rilis Rakata Institute Ciderai Pers Lampung

    Miris, Rilis Rakata Institute Ciderai Pers Lampung

    Bandarlampung (SL) – Miris, di tengah gembar-gembor penerapan keterbukaan informasi publik hingga berita bohong ‘hoax, dunia pers harus diciderai dengan beredarnya rilis hasil survei Rakata Institute dalam aplikasi group WhatsApp yang hanya mengundang tujuh media di Provinsi Lampung.

    Dalam undangan lembaga yang dimotori oleh Eko Kuswanto selaku Direktur Eksekutif Rakata Institute itu merilis hasil survei peta politik Pilgub Lampung, DPD dan DPR RI daerah pemilihan Lampung, peta parpol, peta politik Pilpres, dan Pilbup Tanggamus. Sedianya kegiatan digelar di Wiseman Cafe Pahoman, Bandarlampung, Kamis (12/42018) sekira pukul 11.30 sampai 13.00 WIB.

    Adapun bunyi pesan group WhatsApp yang diterima harianmomentum.com, Kamis (12/4) yaitu:
    Assalamu’alaikum
    Rakata Institute mengundang secara khusus dengan hormat kepada 7 media:
    1. Tribun Lampung
    2. duajurai.co
    3. teraslampung.com
    4. Radar Lampung
    5. iNewsTv
    6. SigerTv
    7. Radar Lampung Tv
    untuk hadir dalam Rilis Hasil Survei, meliputi:
    1. Peta politik Pilgub Lampung
    2. Peta politik DPD RI Dapil Lampung
    3. Peta politik DPR RI Dapil Lampung1
    4. Peta politik DPR RI Dapil Lampung2
    5. Peta parpol di Lampung
    6. Peta politik Pilpres di Lampung
    7. Peta politik Pilbup Tanggamus
    pada hari Kamis, 12 April 2018, pukul 11.30-13.00 WIB, di Wiseman Cafe (Jalan Way Rarem 72 Pahoman, Bandar Lampung) yang akan dipresentasikan secara langsung oleh Direktur Eksekutif Rakata Institute.

    Demikian, atas perhatian dan perkenan rekan-rekan jurnalis/wartawan/pewarta kami haturkan terima kasih.

    Wassalamu’alaikum
    Eko Kuswanto

    Note:
    Undangan ini khusus diperuntukkan bagi mitra Rakata. Kami akan sangat berterima kasih jika undangan ini tidak menyebar ke media diluar 7 media di atas.

    Terkait undangan sepihak itu, harianmomentum.com pun belum mendapatkan keterangan resmi dari pihak tersebut. Eko Kuswanto belum berhasil dikonfirmasi hingga berita ini diturunkan.

    Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Kehormatan PWI Lampung Iskandar Zulkarnain menyayangkan undangan Rakata Institute yang membatasi peliputan pers. Menurutnya, lembaga survei tersebut bisa dipidana dua tahun penjara atau denda Rp500 juta. Hal itu berkaitan dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

    Disebutkan pada pasal 4 ayat 2 dan 3, pasal 6 ayat 4, maka seseorang dikenai pasal 18 ayat 1. Dalam pasal 4 ayat 2 ditegaskan pers nasional tidak dikenakan pelarangan penyiaran, lalu ayat 3 disebutkan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi.

    “Kedua ayat dalam pasal 4 itu dipertegas pula pasal 6 ayat 4 tentang peranan pers menyebut bahwa pers nasional melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,” jelas Iskandar dalam siaran persnya.

    Dengan dua pasal itu, lanjut dia, maka dapat dikatakan lembaga atau seseorang sudah melanggar UU Pers. “Dalam UU itu ditegaskan pada pasal 18 ayat 1 bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelarangan pada pasal 4 ayat 2 dan 3 dalam UU Pers, maka ia dipidana paling lama dua tahun atau didenda Rp500 juta,” paparnya.(rel)