Tag: Remisi

  • AJI Kecam Remisi Terpidana Pembunuhan Jurnalis

    AJI Kecam Remisi Terpidana Pembunuhan Jurnalis

    Jakarta (SL) – Presiden Joko Widodo memicu kekecewaan komunitas pers karena memberikan remisi terhadap Susrama, terpidana kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali, AA Prabangsa. Keputusan itu tertuang dalam Kepres No. 29 tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara tertanggal 7 Desember 2018. Susrama merupakan satu dari 115 terpidana yang mendapatkan keringan hukuman tersebut.

    Susrama diadili karena kasus pembunuhan terhadap Prabangsa, 9 tahun lalu. Pembunuhan itu terkait dengan berita-berita dugaan korupsi dan penyelewengan yang melibatkannya oleh Prabangsa di harian Radar Bali, dua bulan sebelumnya. Hasil penyelidikan polisi, pemeriksaan saksi dan barang bukti di persidangan menunjukkan bahwa Susrama adalah otak di balik pembunuhan itu. Ia diketahui memerintahkan anak buahnya menjemput Prabangsa di rumah orangtuanya di Taman Bali, Bangli, pada 11 Februari 2009 itu.

    Prabangsa lantas dibawa ke halaman belakang rumah Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli. Di sanalah ia memerintahkan anak buahnya memukuli dan akhirnya menghabisi Prabangsa. Dalam keadaan bernyawa Prabangsa dibawa ke Pantai Goa Lawah, tepatnya di Dusun Blatung, Desa Pesinggahan, Kabupaten Klungkung. Prabangsa lantas dibawa naik perahu dan dibuang ke laut. Mayatnya ditemukan mengapung oleh awak kapal yang lewat di Teluk Bungsil, Bali, lima hari kemudian.

    Berdasarkan data AJI, kasus Prabangsa adalah satu dari banyak kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia. Kasus Prabangsa adalah satu dari sedikit kasus yang sudah diusut. Sementara, 8 kasus lainnya belum tersentuh hukum. Delapan kasus itu, antara lain: Fuad M Syarifuddin (Udin), wartawan Harian Bernas Yogya (1996), pembunuhan Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006), kematian Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010), dan kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010).

    Berbeda dengan lainnya, kasus Prabangsa ini bisa diproses hukum dan pelakunya divonis penjara. Dalam sidang Pengadilan Negeri Denpasar 15 Februari 2010, hakim menghukum Susarama dengan divonis penjara seumur hidup. Sebanyak delapan orang lainnya yang ikut terlibat, juga dihukum dari 5 tahun sampai 20 tahun. Upaya mereka untuk banding tak membuahkan hasil. Pengadilan Tinggi Bali menolak upaya kesembilan terdakwa, April 2010. Keputusan ini diperkuat oleh hakim Mahkamah Agung pada 24 September 2010.

    Kini Presiden Joko Widodo, melalui Kepres No. 29 tahun 2018, memberi keringanan hukuman kepada Susrama. Menanggapi keluarnya keputusan presiden itu, AJI menyatakan sikap:

    1. Mengecam kebijakan Presiden Joko Widodo yang memberikan remisi kepada pelaku pembunuhan keji terhadap jurnalis. Fakta persidangan jelas menyatakan bahwa pembunuhan ini terkait berita dan pembunuhannya dilakukan secara terencana. Susrama sudah dihukum ringan karena jaksa sebenarnya menuntutnya dengan hukuman mati, tapi hakim mengganjarnya dengan hukuman seumur hidup.

    2. Kebijakan presiden yang mengurangi hukuman itu melukai rasa keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia.

    3. Meminta Presiden Joko Widodo mencabut keputusan presiden pemberian remisi terhadap Susrama. Kami menilai kebijakan semacam ini tidak arif dan memberikan pesan yang kurang bersahabat bagi pers Indonesia. AJI menilai, tak diadilinya pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk juga memberikan keringanan hukuman bagi para pelakunya, akan menyuburkan iklim impunitas dan membuat para pelaku kekerasan tidak jera, dan itu bisa memicu kekerasan terus berlanjut.

  • Presiden Jokowi Didesak IJTI Pengda Papua Barat Cabut Pemberian Remisi Otak Pelaku Pembunuhan Wartawan

    Presiden Jokowi Didesak IJTI Pengda Papua Barat Cabut Pemberian Remisi Otak Pelaku Pembunuhan Wartawan

    Papua Barat (SL) – Ikatan Jurnalis TV Indonesia (IJTI) Pengda Papua Barat mendesak Presiden Joko Widodo mencabut pemberian remisi terhadap I Nyoman Susrama selaku otak pelaku pembunuh AA Gde Bagus Narendra Prabangsa yang merupakan wartawan Radar Bali beberapa tahun silam

    Ketua IJTI Pengda Papua Barat, Chanry Andrew Suripatty mengatakan jika Susrama diadili pada 9 tahun lalu, dimana dia telah membunuh Prabangsa yang telah memberitakan kasus dugaan korupsi dan penyelewengan yang melibatkan nama Susrama dua bulan sebelum pembunuhan.

    Dari hasil penyelidikan polisi, dan pemeriksaan saksi dan barang bukti menunjukkan bahwa Susrama merupakan otak dari pembunuhan kepada Prabangsa. “Anak buah dari Susrama menghabisi nyawa Prabangsa, lantas mayatnya dibuang ke laut. Lima hari kemudian, jasad Prabangsa ditemukan mengapung oleh awak kapal yang lewat di Teluk Bungsil, Bali,” terangnya pada awak media, di Waisai, Kamis (24/1/2019).

    Andrew menjelaskan jika kasus yang dialami oleh Prabangsa merupakan satu dari banyak kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia. Tidak banyak kasus pembunuhan terhadap jurnalis yang telah berhasil diusut, sementara itu, terdapat delapan kasus lainnya yang belum tersentuh hukum.

    Ke delapan kasus tersebut diantaranya Pembunuhan terhadap Fuad M Syarifuddin wartawan Bernas Yogya (1996), Herliyanto wartawan lepas Harian Radar Surabaya (2006), kematian Ardiansyah Martrais wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010), dan kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar Maluku Barat Daya (2010). “Kasus Prabangsa ini diproses hukum dan pelakunya divonis penjara seumur hidup. Delapan orang lain yang terlibat juga dihukum 5-20 tahun. Namun kini Presiden Joko Widodo melalui Kepres memberikan keringanan hukuman kepada Susrama. Oleh karenanya, kami menyatakan sikap,” terang Chanry Andrew kepada awak media, Rabu (23/1/2019).

    Setidaknya terdapat beberapa sikap yang dinyatakan oleh IJTI Pengda Papua Barat. Sikap tersebut antara lain, mengecam kebijakan Presiden Joko Widodo yang memberikan remisi kepada pelaku pembunuhan keji terhadap jurnalis.

    Dimana sebelumnya Susrama sudah dihukum ringan karena jaksa sebenarnya menuntutnya dengan hukuman mati, tapi hakim mengganjarnya dengan hukuman seumur hidup. Kedua, kebijakan pengurangan hukuman oleh presiden dinilai melukai keadilan, bukan hanya kepada keluarga korban namun juga jurnalis di Indonesia.

    Ketiga mendesak Presiden mencabut Kepres pemberian remisi kepada Susrama, dimana kebijakan Presiden dinilai tidak arif. “Apabila Kepres ini tidak dicabut 7×24 jam, maka kami dengan tegas akan menobatkan Presiden Joko Widodo sebagai musuh kebebasan pers dan pemberantasan korupsi,” ujar Chanry yang juga merupakan Wakabid Advoakasi IJTI Pusat.

    Menurut Chanry yang juga jurnalis senior pada salah satu media Televisi swasta Nasional ini menerangkan jika pemberian remisi yang dilakukan oleh Presiden merupakan langkah yang buruk. Menurutnya, alasan kemanusiaan dan perubahan perilaku yang lebih baik jangan sampai membuat Presiden tergesa-gesa dalam memberikan remisi. “Jangan hanya dengan alasan kemanusiaan dan adanya perubahan perilaku yang lebih baik, dan penjara akan penuh kalau tidak ada remisi, kemudian membuat Presiden grusa-grusu membuat remisi. Saya pikir ini harus dipertanyakan, kenapa presiden memberikan remisi, padahal kasus-kasus jurnalis banyak yang belum bisa diusut tuntas,” terangnya

    Menurut Chanry pemberian remisi sangat mengancam kemerdekaan pers, karena tidak menutup kemungkinan jika kasus-kasus terhadap jurnalis yang lain akan mengalami impunitas. Selain kepada jurnalis, menurut Chanry, banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak dipedulikan oleh Presiden, seperti halnya kasus yang terjadi pada Novel. “Kasus Novel, Pesiden juga tidak ada itikad menuntaskannya, bahkan selalu beralih dikembalikan kepada kepolisian, dan seorang presiden tidak akan ikut campur. Tapi ketika kasus yang telah divonis oleh Hakim, dengan kekonyong-konyong Presiden mengeluarkan Kerpres nomor 29 tahun 2018. Ini saya pikir langkah Presiden yang tidak peduli dengan keadilan dan suara korban,” jelasnya. (metrorakyat)

  • Mantan Dirut Bank Century Bebas Bersyarat

    Mantan Dirut Bank Century Bebas Bersyarat

    Jakarta (SL) – Mantan Dirut Bank Century Robert Tantular mendapat bebas bersyarat setelah menjalani sekitar 10 dari total 21 tahun hukuman penjaranya. Total remisi yang didapat Robert ialah 74 bulan 110 hari atau sekitar 77 bulan. “Total perolehan remisi 74 bulan, 110 hari,” kata Kabag Humas Ditjen Pas Ade Kusmanto kepada detikcom, Jumat (21/12/2018).

    Ade menyebut Robert divonis 21 tahun penjara dalam 4 kasus, yaitu vonis 9 tahun dan denda Rp 100 miliar subsider 8 bulan kurungan dalam kasus perbankan, vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 6 bulan kurungan di kasus perbankan yang kedua. Berikutnya, dia juga divonis bersalah dalam 2 kasus pencucian uang, yakni masing-masing 1 tahun dan 1 tahun serta denda Rp 2,5 miliar subsider 3 bulan kurungan.

    Pembebasan bersayarat Robert itu, menurut Ade, diajukan oleh Lapas Cipinang sesuai usulan nomor W10.Pas.01.05.06-540 tertanggal 5 Mei 2017.

    Pembebasan bersyarat Robert disebut harusnya dimulai pada 18 Mei 2018, namun dia harus menjalani pidana kurungan pengganti denda selama 17 bulan sejak 18 Mei hingga 10 Oktober 2018. “Robert Tantular telah menjalani subsider kurungan 14 bulan karena tidak membayar denda pada perkara pertamanya sebesar Rp 100 miliar dan perkara keduanya sebesar Rp 10 miliar, terhitung mulai 18 Mei 2017 sampai dengan 12 Juli 2018,” ujar Ade.

    Robert kemudian membayar denda perkara keempatnya senilai Rp 2,5 miliar pada Juli 2018 hingga tidak harus menjalani subsider kurungan 3 bulan. Dia akhirnya menjalani bebas bersyaratnya mulai 25 Juli 2018 lalu. “Dibebaskan dari kurungan untuk menjalani pembebasan bersyarat sampai dengan 11 Juli 2024. Selama pembebasan bersyarat diawasi oleh Kejaksaan Negeri Bekasi dan dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan Bogor,” ucapnya.

    Dia menyatakan pembebasan bersyarat itu telah dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Ade juga menjelaskan sejumlah syarat bagi narapidana yang berhak mendapat pembebasan bersyarat. “Pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi syarat, yaitu telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3, berkelakuan baik selama menjalani pidana, telah mengikuti program pembinaan dengan baik, masyarakat dapat menerima program pembinaan,” tutur Ade. (faktakini)