Tag: Robby Alexander Sirait

  • DPD ISRI : Pertumbuhan Ekonomi 5,27 %

    DPD ISRI : Pertumbuhan Ekonomi 5,27 %

    Jakarta (SL) – Ketua II Bidang Dewan Pengurus Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (DPN ISRI), Robby Alexander Sirait mencermati capaian pertumbuhan ekonomi 5,27 persen yang baru saja dirilis oleh BPS patut diapresiasi, ditengah pemulihan ekonomi global yang masih berjalan lamban dan ekonomi dunia yang masih dibayang-bayangi oleh ketidakpastian.

    Meskipun demikian ada beberapa catatan-catatan kritis yang perlu menjadi perhatian pemerintah, seminimal-minimalnya hingga akhir tahun 2018 dan jangka panjang menengah ke depannya.

    Pertama, merujuk capaian hingga semester 1 tahun ini, sulit tampaknya pertumbuhan Indonesia di akhir tahun mencapai 5,4 persen, sesuai dengan target dalam APBN 2018. Tidak tercapainya target tersebut, pada akhirnya akan berimplikasi pada realisasi postur APBN, khususnya pendapatan negara dan belanja negara.

    Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya benar-benar mengkalkulasi dampak yang ditimbulkan. Meningkatkan effort pemungut pajak untuk memastikan kepatuhan WP membayar pajak dan merasionalisasi alokasi belanja yang tidak efektif plus belum urgent, merupakan langkah yang perlu diambil pemerintah. Kedepan, pemerintah juga harus lebih baik dan presisi dalam menentukan target pertumbuhan, agar APBN yang disusun lebih kredibel, tepat dan realistis.

    Kedua, kualitas pertumbuhan juga harus menjadi perhatian pemerintah. Capain pembangunan ekonomi tidak boleh hanya sebatas angka-angka kuantitatif pertumbuhan ekonomi saja, tapi juga memperhatikan capaian kualitatifnya. Kontribusi sektor manufaktur; pertanian, kehutanan dan perikanan;, serta perdagangan hingga semester 1 mengalami penurunan di banding 2017, baik per kuartal maupun semesteran. Padahal kontribusi ketiga sektor ini terhadap penyerapan tenaga kerja sangat tinggi, yakni 63,08 persen per agustus 2018. Daya serap per sektor diperinci sebagai berikut: Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 30,45%, Perdagangan sebesar 18,53% dan manufaktur sebesar 14,10%. Melihat kondisi capaian sektoral seperti ini, dapat disimpulkan bahwa capaian pertumbuhan masih belum benar-benar berkualitas.

    Hal ini juga semakin dikuatkan dari data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi masih sangat dominan didrive oleh konsumsi dan masih dominan disumbang oleh perekonomian di Jawa-Sumatera.

    Terakhir, peran dan intervensi pemerintah diperlukan agar kue ekonomi di akhir tahun 2018 (dan juga di masa-masa yang akan datang) terdistribusi secara merata, baik secara individu maupun wilayah/daerah.

    “Tanpa ada pemerataan kue pembangunan ekonomi, capaian pertumbuhan ekonomi hanyalah sebatas angka-angka tanpa makna yang berarti bagi perwujudan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur”, ujar Robby. (red)

  • Agar Kinerja Kemiskinan Tidak Semu, Pemerintah Sudah Harus Punya Parameter Baru Angka Kemiskinan

    Agar Kinerja Kemiskinan Tidak Semu, Pemerintah Sudah Harus Punya Parameter Baru Angka Kemiskinan

    Jakarta (SL) – Dua minggu lalu BPS merilis persentase penduduk miskin Maret 2018 turun menjadi 9,82 persen. Terendah sepanjang sejarah dalam berbagai media pemberitaan. Tak salah jika kita berikan apresiasi kepeada Pemerintah atas capaian penurunan kemiskinan ini, sebagai salah satu indikator kerja Pemerintah.

    Akan tetapi, yang jadi soal dan tantangan saat ini adalah apakah parameter yang digunakan dalam mengukur kemiskinan tersebut sudah benar-benar mampu secara tepat untuk memotret kemiskinan yang sesungguhnya. Atau sekurang-kurangnya sudah sangat dekat dengan realita “kemiskinan” yang sebenarnya.

    Mari kita lihat paramater yang digunakan, yakni Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Per maret 2018, nominal GK sebesar Rp401.220 per kapita per bulan.

    Pertanyaan mendasarnya adalah dengan parameter pengeluaran Rp401.220 per orang per bulan,tepatkah angka ini dijadikan sebagai ukuran batas kemiskinan? Kalau mau jujur, angka GK tersebut masih tidak tepat dan masih jauh untuk jadi acuan kemiskinan. Ada beberapa hal yang mendasari parameter yang digunakan masih tepat dan masih jauh.

    Pertama, coba kita bandingkan nilai GK tersebut (yang sudah dikonversi dengan berapa kg beras yang dapat dibeli) dengan rata-rata konsumsi beras per kapita per bulan orang Indonesia. Rata-rata konsumsi beras per orang per bulan sebesar 6 kg atau setara 200 gram per hari. Sedangkan GK hanya mampu membeli 1-1,5 kg per bulan atau 34-53 gram per hari (ini masih menggunakan harga beras kualitas bawah II).

    Artinya, seluruh nilai GK tersebut hanya mampu membiayai (sedikit) kebutuhan beras. Tanpa sayur, buah dan lauk pauk. Dengan demikian, terlihat sangat jelas bahwa nilai GK sangat kecil dan bukanlah ukuran yang tepat dalam memotret kemiskinan yang sesungguhnya.

    Kedua, mari kita kalkulasi berapa kira-kira penghasilan minimal seorang kepala rumah tangga (RT) agar sekeluarga tidak dikatakan orang miskin. Saat ini jumlah orang per rumah tangga sekitar 4 orang dan kita asumsikan hanya kepala rumah tangga yang bekerja. Dengan menggunakan asumsi tersebut, maka seorang (laki-laki) kepala rumah tangga harus berpenghasilan seminimal-minimalnya Rp1.604.880 per bulan atau Rp53.496 per hari.

    Besaran ini relatif sama dengan rata-rata upah buruh tani harian per maret 2018 yang sebesar Rp51.598 per hari. Artinya, rata-rata buruh tani kita sudah nyaris tidak miskin (karena upah hariannya sudah mendekati batas minimal GK per hari). Apa iya? rasanya sangat tidak mungkin.

    Ketiga, mari kita bandingkan angka Rp1.604.880 per bulan tadi (penghasilan minimal kepala RT agar tidak dikategorikan miskin) dengan rata-rata upah industri pengolahan yang sebesar Rp2.174.000/bulan per menurut data BPS per desember 2014. Dengan perbandingan data ini, seolah-olah kita dapat menyimpulkan bahwa rata-rata semua buruh di industri pengolahan bukan masyarakat miskin (upahnya sudah jauh diatas garis kemiskinan untuk sekeluarga). Apa iya?, rasanya sangat tidak mungkin. Yang namanya (mayoritas) buruh, saat ini pasti bagian dari kelompok masyarakat miskin.

    Terakhir, mari kita bandingkan antara angka GK dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Menurut BPS, KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 bulan. KHL juga menjadi dasar dalam penetapan Upah Minimum. “Kebutuhan hidup layak”, ini yang perlu di bold. KHL per 2015 sebesar Rp1.813.396/bulan. Ini untuk lajang dan batas minimum hidup layak secara fisik, belum non fisik-psikologis dan lain sebagainya.

    Bayangkan berapa KHL untuk pekerja kepala rumah tangga, agar hidupnya dan keluarga dikatakan hidup layak. Sudah pasti KHL untuk pekerja kepala tangga jauh lebih besar dari Rp2 – 2,5 juta/bulan. Sedangkan menurut GK, seorang kepala rumah tangga (pendapatan tunggal) cukup berpenghasilan Rp1.604.880 agar sekeluarga tidak dikatakan miskin. Padahal KHL lajang saja sudah Rp1,8 juta agar dianggap hidupnya layak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa garis kemiskinan (GK) yang digunakan masih sangat jauh untuk dapat benar-benar memotret kemiskinan yang sesungguhnya.

    Dari keempat penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan garis kemiskinan (Rp401.220 per kapita per bulan) masih jauh dari layak sebagai paramater yang tepat untuk memotret realitas kemiskinan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Pemerintah sebaiknya jangan berpuas diri dengan angka kemiskinan versi GK yang dirilis BPS tersebut dan sebaiknya Pemerintah dan BPS (bersama parlemen juga) sudah harus menyusun parameter baru yang lebih tepat dan mantep dalam memotret kemiskinan yang seutuhnya.

    Bank dunia saja sudah menggunakan pengeluaran 3,2 USD dan 5,5 USD per hari (setara Rp44.000 dan Rp77.000 per bulan), sebagai paramater kemiskinan. Parameter baru itulah yang nantinya digunakan untuk mengukur capaian angka kemiskinan negara kita yang sudah benar-benar sesuai kenyataan/kebutuhan hidup layak yang sesunggihnya. Paramater baru tersebut juga nantinya menjadi (benar-benar) ukuran kinerja pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, agar tidak lagi angka-angka semu seperti saat ini.

    Selain itu, Pemerintah juga harus benar-benar memastikan penurunan angka kemiskinan bukan karena program pemerintah yang berdurasi pendek dan tidak sustain. Tetapi harus melalui program pemerintah yang berdimensi jangka panjang dan sustain. (Robby Alexander Sirait,M.E)