Tag: Rupiah Anjlok

  • Terus Menguat, Saat Ini Rupiah Berada di Level Rp 14.452 per Dolar AS

    Terus Menguat, Saat Ini Rupiah Berada di Level Rp 14.452 per Dolar AS

    Jakarta (SL) Nilai tukar rupiah pada Kamis (26/7) dibuka menguat 0,26 persen, dan melanjutkan tren penguatan sejak Rabu (25/7). Penguatan kurs rupiah ini ditopang oleh sentimen positif hubungan perdagangan Amerika Serikat dan Uni Eropa.

    Mata uang rupiah di pasar spot Kamis (26/7) dibuka sebesar Rp 14.437 poin atau terangkat 0,26 persen dibanding posisi penutupan Rabu (25/7). Hingga pukul 09.40 WIB rupiah diperdagangkan di Rp 14.452 per dolar AS atau masih menguat dibandingkan posisi penutupan Selasa (24/7) sebesar Rp 14.475 per dolar AS.

    Di kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (Jisdor) yang diumumkan Bank Indonesia, Kamis, rupiah juga apresiatif. Satu dolar AS setara Rp 14.443 atau menunjukkan penguatan rupiah 72 poin dibanding Rabu (25/7) yang sebesar Rp 14.515 per dolar AS.

    Rupiah memanfaatkan depresiatifnya dolar AS. Mata uang Greenback terkoreksi 0,44 persen, berdasarkan data yang dilansir Reuters, setelah kesepakatan untuk menurunkan tarif dan menghilangkan hambatan non-tarif perdagangan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Komisi Uni Eropa Jean Claude Juncker, Rabu waktu setempat.

    Membaiknya hubungan Trump dan koleganya membuat pasar bergairah untuk menyebar investasi. Mata uang Euro mengguat 0,4 persen terhadap dolar AS setelah kesepakatan itu.

    Melorotnya dolar AS diperkirakan juga karena pengumuman data ekonomi AS, khususnya penjualan rumah baru, yang mengecewakan. Penjualan rumah baru keluarga tunggal di AS pada Juni 2018 hanya 631 ribu unit, meleset dari ekspektasi pasar, dan terendah dalam delapan bulan terakhir. Angka itu lebih lemah 5,3 persen di bawah penjualan Mei 2018 yang sebesar 666 ribu unit. (net)

  • Rupiah Kembali Melemah Jadi Rp 14.413 Per Dolar AS

    Rupiah Kembali Melemah Jadi Rp 14.413 Per Dolar AS

    Jakarta (SL) – Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Jumat (6/7/2018) pagi bergerak melemah 19 poin menjadi Rp 14.413 dibanding posisi sebelumnya Rp14.394 per dolar AS.

    Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, pergerakan rupiah yang kembali melemah, membuka peluang pelemahan lanjutan.

    “Apalagi jika sentimen yang ada kurang mampu menahan pelemahan dan tidak memberi dampak yang cukup positif mengangkat rupiah,” ujar Reza di Jakarta, seperti dilansir teropongsenayan.com, Jumat (6/7/2018).

    Pada penutupan perdagangan sebelumnya, laju rupiah kembali melemah tipis setelah sempat menguat.

    Pergerakan sejumlah mata uang Asia yang melemah dinilai memberikan imbas negatif pada rupiah.

    Dari dalam negeri pun terlihat belum adanya sentimen yang cukup signifikan untuk mengangkat rupiah sehingga kenaikan sebelumnya kembali diuji.

    Aksi menahan diri dari pelaku pasar jelang pengenaan tarif terhadap sejumlah barang-barang impor Tiongkok berimbas pada pergerakan sejumlah mata uang yang cenderung flat.

    Sementara itu, pergerakan Yuan China (CNY) masih bertahan positif meski hanya naik tipis seiring masih adanya imbas dari langkah People`s Bank of China yang melakukan upaya untuk menahan pelemahan mata uang tersebut dengan mempertahankan Yuan pada tingkat yang stabil dan masuk akal serta arus modal yang masih terkendali.

    “Diperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran 14.405-14.369,” ujar Reza.

    Senada dengan rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) Jumat dibuka melemah sebesar 6,2 poin atau 0,11 persen ke posisi 5.733,13.

    Sementara kelompok 45 saham unggulan atau LQ45 bergerak turun 1,57 poin (0,17 persen) menjadi 904,03. (TR)

  • Dolar RP 15.000, Utang Rp6.000 T, Bertahankah Jokowi-JK Sampai 2019?

    Dolar RP 15.000, Utang Rp6.000 T, Bertahankah Jokowi-JK Sampai 2019?

    Jakarta (SL) – Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat kembali melemah, Rp 14.105 per dollar AS. Kondisi ini diprediksi meicu krisis besar yang akan dihadapi Indonesia. Disisi lain, jika nilai tukar rupiah mencapai Rp15 .000 per dollar AS dan utang mencapai Rp6.000 triliun, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus waspada.

    Bisakah Jokowi dan JK bertahan sampai 2019? Pertanyaan inilah yang kerap kita dengar di ranah publik. Namun bagi peneliti kebijakan publik dari Indonesian Public Institute (IPI) Jerry Massie, ambruknya rupiah dan utang yang terus bertambah menjadi peringatan bagi pemerintahan Jokowi untuk waspada.

    “Pemerintahan Jokowi harus waspada. Nilai tukar rupiah terus merosot terhadap dolar akan berpengaruh pada president election 2019. Ini perlu diwaspadai, pasalnya Soeharto jatuh lantaran ekonomi tak stabil kala itu,” kata Jerry kepada Harian Terbit, Senin (25/6/2018).

    Menurutnya, jika pemerintahan Jokowi  ingin tetap bertahan hingga 2019 maka sektor ekonomi diperkuat dengan public and goverment policy.

    “Pemerintah juga harus tahu forecast market ramalan pasar dan juga dengan cara mulai membangun industri-industri substitusi impor, perkuat trading dan industry, selling power and buying power domestik bahkan internasional juga perlu diperhatikan,” paparnya.

    Sementara itu pengamat politik Indro S Tjahyono mengemukakan, kondisi ekonomi yang tidak membaik dan tingginya utang , kalau dikaitkan dengan jatuhnya pemerintah, tentu masih jauh.

    “Indonesia tidak menganut sistem (kabinet) parlementer yang bisa dengan mudah mengganti pemerintah (perdana menteri) setiap kali dinilai gagal. Kecuali itu rezim kapitalisme global juga tidak membiarkan ekonomi regional kolaps, karena akan berpengaruh pada sistem ekonomi keseluruhan. Bahkan Yunani yang ekonominya pernah kolaps, kemudian buru-buru dibenahi secara kroyokan,” ujar Indro  dihubungi terpisah.

    Dia mengatakan, persoalannya berbeda dengan masa terakhir kejatuhan Soeharto. Waktu itu legitimasi Suharto sudah sangat merosot. Kalau dibiarkan, Indonesia yang dipandang sebagai ladang eksploitasi sumberdaya alam, akan kehilanngan oportunitas investasi. Apalagi saat-saat terakhir Soeharto sudah menunjukkan indikasi anti pasar, anti investasi, dan anti Barat.

    Karenanya, lanjut Indro,  ada upaya yang disengaja untuk menggoyang kurs rupiah terhadap dolar (sampai 17 ribu per dolar AS). Hal itu disusul dengan rush dana yang tersimpan di berbagai bank. Dan yang penting kurs dolar berdampak langsung terhadap sektor riel, sehingga barang-barang menjadi langka di pasaran.

    Menurut Indro, persepsi dunia usaha terhadap Jokowi masih positif, walau banyak terjadi hambatan di birokrasi. Pembangunan (infrastruktur) masih dianggap ekspektatif. Jika terjadi krisis masih mudah diatasi melalui komitmen-komitmen baru. Elektabilitas dan popularitas Jokowi cukup tinggi.

    “Koalisi pendukung pemerintahan Jokowi masih mantab dan terkonsolidasi. Sedangkan partai-partai anti pemerintah belum punya basis pendukung yang solid. Kesan kondisi ekonomi yang buruk kebanyakan hanya ada di lingkungan elit seperti terekspos di media sosial. Apalagi pihak yang selama ini kritis terhadap pemerintah sedikit demi sedikit semakin memahami kondisi yang sebenarnya,” ujar Indro.

    Bisa Jatuh

    Sebelumnya, Wakil Ketua DPP Gerindra Ferry Juliantono menyatakan tidak ada pemerintahan yang kuat kalau nilai tukar rupiah terhadap dolar tembus Rp 15 Ribu. Hal ini disampaikan Ferry menanggapi nilai tukar rupiah yang semakin hari kian memburuk.

    “Sekarang kan Rp 14.200/U$, sedikit lagi tembus Rp14.500 kalau sudah Rp 15 ribu tidak ada (pemerintah) yang kuat,” ungkap Ferry di hotel Atlet Century, Jakarta, Selasa, (22/5/2018).

    Ia mencontohkan, hal serupa yang pernah terjadi pada tahun 1998, di mana saat itu Presiden Soeharto yang sangat kuat, akhirnya tumbang setelah dolar membumbung tinggi.

    Dia memprediksi, partai-partai pendukung pemerintah akan berfikir ulang jika dolar terus naik. “Tembus Rp15 ribu jatuh itu pemerintah (Jokowi),” Ferry mengingatkan.

    Sebab, kata dia, dampak inflasi dari itu akan dirasakan langsung  oleh seluruh rakyat Indonesia. Ia mengaku sudah bertemu dengan para pedagang yang juga mengeluhkan inflasi ini. “Jadi, kalau ada yang bilang puas dengan pemerintah sekarang, itu hanya persepsi saja,” pungkasnya.

    Krisis Besar

    Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy menungkapkan potensi krisis besar yang akan dihadapi Indonesia menyusul nilai kurs rupiah yang sudah mencapai Rp14ribu per US Dolar Amerika Serikat (AS). Nilai tukar rupiah tersebut merupakan yang terlemah sejak Desember 2015.

    Menurut dia, jika krisis tahun 1997 yang melanda Indonesia disebabkan oleh faktor moneter, sementara krisis tahun 2008 pemicunya adalah perdagangan, maka krisis yang akan terjadi di tahun 2018 lebih berbahaya.

    “Karena krisis yang akan dihadapi di 2018 ini pemicunya sekaligus dua. Ada moneter dan perdagangan,” kata Noorsy kepada CNNIndonesia.com, Jumat (11/5).

    Noorsy sudah memprediksi jika perekonomian Indonesia akan mengalami stagnasi sejak tiga tahun lalu. Seharusnya dengan kondisi yang makin parah seperti saat ini, pemerintah harus mulai lepas dari investasi dan tenaga kerja asing. (HanTer/Safari)