Jakarta (SL) – Ketua Majelis Hakim Tipikor Yanto, SH menjatuhkan hukuman mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto selama 15 Tahun penjara, Selasa (24/4/2018).
Novanto juga diwajibkan membayar denda sebesar denda Rp 500 juta subsider dua bulan kurungan.
Hakim memvonis Novanto, lantaran menurut hakim pria berumur 62 tahun itu terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
“Mengadili, menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama-sama,” ujar Ketua Majelis Hakim Yanto saat membaca amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa(24/4).
Dalam pertimbangannya, hakim menilai perbuatan Novanto tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi.
Adapun tindak pidana yang dilakukan Novanto dianggap dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif sehingga menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar.
Menurut hakim, akibat perbuatan para terdakwa mengakibatkan masyarakat hingga kini masih kesulitan mendapat e-KTP hingga saat ini. “Dijatuhkan hak politiknya untuk tidak dipilih dan tidak dapat mengikuti pemilu,” tutur hakim
Meski demikian, Novanto belum pernah dihukum, menyesali perbuatan, dan berterus terang dalam persidangan. Selain itu, Novanto telah mengembalikan sebagian uang korupsi yang ia terima.
Hakim menyatakan bahwa Novanto terlibat dalam pemberian suap terkait proses penganggaran proyek e-KTP di DPR RI, untuk tahun anggaran 2011-2013.
Selain itu, ia juga terlibat dalam mengarahkan dan memenangkan perusahaan tertentu untuk menjadi pelaksana proyek pengadaan e-KTP.
Dalam kasus ini, Novanto terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Jakarta (SL) – Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akan menggelar rapat internal membahas putusan Pengadilan Tipikor yang memvonis Setya Novanto 15 tahun penjara. Rapat internal untuk menentukan sikap MKD terkait posisi politikus Partai Golkar itu sebagai anggota DPR.
“Kami akan menggelar rapat internal, rapat ini bukan hanya secara khusus membahas Novanto tapi biasa rapat internal akhir masa reses,” kata Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (24/4).
Dasco mengatakan, belum mengetahui lebih lanjut pembahasan dalam rapat nanti. Namun, salah satunya akan membahas sikap MKD dalam merespons putusan pengadilan terhadap Novanto.
Menurut dia, MKD mengacu pada UU nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) terkait status Novanto sebagai anggota DPR pasca putusan pengadilan. “Sampai keputusan inkracht, UU bunyinya seperti itu kecuali ditarik dari Fraksi Partai Golkar atau yang bersangkutan mengundurkan diri,” ujarnya.
Dasco menjelaskan, opsi-opsi lain akan tergantung dari sikap fraksi-fraksi partai di MKD yang akan dibahas di rapat. Berdasarkan Pasal 237 ayat 3, anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan larangan korupsi, kolusi dan nepotisme berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR.
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan peluang opsi pemberhentian Novanto tanpa menunggu keputusan berkekuatan hukum tetap tidak memungkinkan kecuali fraksi dan partai menarik keanggotaan Novanto. Sebelumnya, mantan Ketua DPR Setya Novanto divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-el tahun anggaran 2011-2012.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Setya Novanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama seperti dakwaan kedua menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 15 tahun dan denda Rp 500 juta,” kata Ketua Majelis Hakim Yanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/4).
Setya Novanti Saat Menghadiri Sidang Kasus Korupsi Mega Proyek e-KTP
Jakarta (SL) – Setya Novanto menyebut uang proyek e-KTP juga mengalir ke Puan Maharani dan Pramono Anung. Keduanya disebut Novanto menerima masing-masing USD 500 ribu.
Novanto menyebut uang untuk Puan dan Pramono diberikan oleh orang kepercayaannya, Made Oka Masagung. Hal itu diketahui Novanto dari Made dan Andi Agustinus alias Andi Narogong yang menceritakan itu ketika berkunjung ke kediamannya.
“Oka menyampaikan dia menyerahkan uang ke dewan, saya tanya ‘wah untuk siapa’. Disebutlah tidak mengurangi rasa hormat, saya minta maaf, waktu itu ada Andi untuk Puan Maharani 500 ribu dan Pramono 500 ribu dolar,” ujar Novanto ketika menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa kasus korupsi proyek e-KTP dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (22/3/2018)
Ketua majelis hakim Yanto meminta Novanto mengulangi pernyataannya. “Untuk siapa? Ulangi,” kata Yanto.
“Bu Puan Maharani waktu itu Ketua Fraksi PDIP dan Pramono adalah 500 ribu ini hal-hal,” ucap Novanto.
Novanto mengaku awalnya hanya mendengar nama Puan yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP. Namun belakangan dia juga mendengar nama Jafar Hafsah, yang juga Ketua Fraksi Partai Demokrat ketika proyek itu bergulir, turut menerima uang.
“Hanya itu saja saya kalau nggak salah Jafar Hafsah. Saya tahu waktu pemeriksaan semalam dengan Irvanto,” ujar Novanto.
Dalam perkara ini, Novanto didakwa melakukan intervensi dalam proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa proyek e-KTP. Novanto juga didakwa menerima USD 7,3 juta melalui keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, dan orang kepercayaannya, Made Oka Masagung.
KPK menangkap Fredrich Yunadi, terlibat rekayasa medis Setya Novanto.
Jakarta (SL) -KPK menangkap Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto di Jakarta Selatan, selang beberapa jam KPK menahan Dokter RS Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo, Jumat malam (12/1/2018). Keduanya disangka telah merekayasa medis tersangka E-KTP Setya Novanto.
Untuk menangkap Fredrich, Tim KPK melibatkan sejumlah anggota Brimob bersenjata lengkap saat berada di dalam RS Medistra, di Jalan Jenderal Gatot Subroto kavling 59, Jaksel, pada Jumat malam.
Sementara Fredrich beralasan hendak mengecek sakit jantung yang dideritanya, Akhirnya tim penyidik membawa Fredrich tanpa perlawanan fisik setelah ditunjukkan Surat Perintah Penangkapan.
Tiga mobil tim KPK mengiringi, sementara satu mobil lainnya membawa Fedrich. Didalam mobil tersebut Fedrich dikawal Ketua tim Satgas KPK, Ambarita Damanik yang duduk disampingnya, driver dan seorang anggota Brimob duduk di kursi depan.
Sabtu dini hari sekitar pukul 00.11 WIB, mobil Kijang Innova yang membawa Fredrich tiba di kantor KPK dan langsung membawa Fredrich ke dalam kantor KPK.
Dengan ditangkapnya Fedrich, KPK menunjukkan ketegasan kepada dua orang yang membantu rekayasa medis tersangka E-KTP Setya Novanto yang saat itu sudah menjadi daptar pencarian orang (DPO) KPK, Setya Novanto.
Bimanesh yang di kenal juga merupakan dokter kepolisian (sudah pensiun dari kepolisian tahun 2013 lalu dengan pangkat kombes), ditahan di Rutan Guntur untuk 20 hari kedepan.
“Setelah dilakukan diskusi, akhirnya diputuskan untuk tim melakukan pencarian terhadap tersangka FY. Diturunkan beberapa tim untuk melakukan pencarian. Akhirnya tim menemukan tersangka FY di bilangan Jakarta Selatan,” jelas Juru Bicara KPK Febri Diansyah di kantor KPK, Jakarta, Sabtu (13/1/2018) dini hari.
Seperti diketahui, setelah dilakukan pemeriksaan KPK selama hampir 13 jam, Jumat sekitar pukul 22.43 WIB, Dokter RS Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo langsung ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jumat malam (12/1/2018).
Pada hari yang sama sejatinya Bimanesh diperiksa bersama dengan Fredrich Yunadi pengacara Setya Novanto. namun Fedrich tidak hadir.
Bimanesh dan Fredrich ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (10/1/2018) kemarin lusa.
Keduanya diduga bekerja sama memasukkan Novanto ke rumah sakit untuk dilakukan rawat inap dalam pemesanan kamar perawatan dilantai 1 RS Medika Permata Hijau dan merekayasa data medis tersangka E-KTP Setya Novanto yang saat itu sudah menjadi daptar pencarian orang (DPO) KPK.
Keduanya disangka dalam kasus menghalangi dan merintangi penyidikan kasus e-KTP dengan tersangka Setya Novanto sehingga dijerat melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP. (tri/nt/*).
Jakarta (SL)- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI Setya Novanto, kini tengah menanti nasibnya yang ditahan KPK setelah kali kedua ditetapkan terrsangka kasus Korupsi E-KTP. Dan untuk kali kedua juga menggugat prapradilan.
Setya Novanto juga diduga pernah mencatut nama Presiden Jokowi untuk meminta jatah saham ke PT Freeport Indonesia yang dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kepada MKD.
Setya Novanto memang selalu jadi kontroversi. Namanya dikenal publik ketika tersandung kasus Bank Bali. PT Era Giat Prima, perkongsiannya dengan Djoko S. Tjandra—pemilik Mulia Group—menjadi juru tagih cessie Bank Bali di empat bank yang dilikuidasi pemerintah.
Dari piutang Rp 904 miliar, Setya mendapat fee Rp 546 miliar, yang diduga mengalir ke kas Partai Golkar. Kendati jelas merugikan negara, kasus ini dihentikan Kejaksaan Agung. “Itu bukti saya tak bersalah,” kata Setya, September tahun lalu.
Dari kasus itulah dia menjadi politikus andalan di Golkar. Jabatannya selalu bendahara. Namanya disebut dalam banyak kasus korupsi yang berhubungan dengan keputusan anggaran di parlemen. Dari suap anggaran Pekan Olahraga Nasional di Riau, pengaturan tender kartu tanda penduduk elektronik, hingga dugaan penyuapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. “Saya sering dituduh macam-macam,” ujarnya.
Ketua DPR RI Setya Novanto Digelandang ke Tahanan. (Foto/dok/net/Herman)
Setya Novanto mengaku tidak mudah dalam mengawali kariernya untuk menjadi sekarang. Dia mengaku harus berjualan madu dan beras untuk menutupi hidup saat kuliah di Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Berbagai pekerjaan dia lakoni, dari menjadi anggota staf penjualan PT Sinar Mas Galaxy, diler mobil Suzuki, hingga menjadi model dan terpilih jadi pria tampan Surabaya pada 1975.
Lulus kuliah, dia pindah ke PT Aninda Cipta Perdana, penyalur pupuk PT Petrokimia Gresik untuk wilayah Surabaya dan Nusa Tenggara Timur, milik Hayono Isman, Menteri Pemuda dan Olahraga kabinet Presiden Soeharto, yang tak lain teman sekelas Setya di SMA Negeri 9 Jakarta. Menjadi penyalur pupuk itulah awal mula persinggungan Setya dengan Nusa Tenggara Timur.
Selama tiga periode menjadi anggota DPR dari Golkar, ia mewakili provinsi itu. Di Kupang, ia memiliki rumah 700 meter persegi, dua lantai, yang dilengkapi kolam renang. Rumah itu belakangan menjadi Novanto Center. Tiap kali berkunjung ke sana, ia rajin menyumbang banyak gereja, petani, dan peternak.
Pada 1982, ia balik ke Jakarta untuk meneruskan kuliah sarjana akuntansi di Universitas Trisakti. Pekerjaannya di perusahaan pupuk tetap diteruskan dan ia menumpang tinggal di rumah Hayono di Menteng. Menurut Leo Nababan, Wakil Sekretaris Jenderal Golkar, selain menjadi anggota staf, Setya menjadi sopir pribadi keluarga Hayono.
Setya menikah dengan Luciana Lily Herliyanti, putri Brigadir Jenderal Sudharsono, mantan Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat. Menjadi menantu pejabat kepolisian membuat Setya punya akses ke dunia bisnis. Ia dipercaya mengelola pompa bensin milik mertuanya di Cikokol, Tangerang.
Dari pompa bensin, usahanya merembet ke peternakan, kontraktor, jual-beli bahan baku kertas, tekstil, hotel, hingga lapangan golf. Perusahaannya tersebar di Jakarta, Batam, dan Kupang. Meski usahanya berhasil, perkawinannya kandas. Ia bercerai dengan Lily dan menikahi Deisti Astriani Tagor. Dari pernikahan itu, Setya memiliki empat anak.
Kini Setya Novanto mendekam di sel tahanan KPK, dua posisi jabatan strategis sebagai Ketua DPR RI, dan Ketua Umum Partai Golkar, tentu saja berpengaruh terhadap situasi politik nasional, dan konstelasi Politik daerah jelang Pilkada 2018, dan Pilpres, Pileg 2019.
Akankah kali kedua Setya Novanto memenangkan gugatan praperadilan?. (Tmp/nt/Jun)
Jakarta (SL) -Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah dua tempat di lokasi berbeda pada 28 dan 30 Agustus 2017. Penggeledahan tersebut berkaitan dengan kasus e-KTP yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka.
“Senin dan Rabu yang lalu, penyidik KPK menggeledah rumah saksi. Ada dua lokasi yang digeledah, saksi dalam kasus e-KTP dengan tersangka SN ,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (31/8/2017).
Dua lokasi penggeledahan yakni kediaman mantan Direktur Produksi Perum PNRI Yuniarto di Pulogadung, Jakarta Timur, dan mantan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana di Grogol, Jakarta Barat.
Penyidik menemukan sejumlah barang bukti yang menguatkan keterlibatan Setya Novanto dari penggeledahan tersebut. Barang bukti itu sudah disita oleh penyidik KPK.
“Ada dokumen terkait kasus e-KTP dan barang bukti elektronik. Dari sana akan dipelajari lebih lanjut bukti-bukti tersebut,” kata Febri. (Jun/nt/L6)