Tag: Soeharto

  • Jenderal Hoegeng Rela Diberhentikan Soeharto dari Jabatan Kapolri Demi Bela Kebenaran

    Jenderal Hoegeng Rela Diberhentikan Soeharto dari Jabatan Kapolri Demi Bela Kebenaran

    Jakarta (SL) – Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santosa terkenal akan kejujuran dan keberaniannya. Namanya begitu melegenda di republik ini. Berikut adalah salah satu fragmen kehidupan mantan Kapolri RI 1968-1971 ini.

    Yogyakarta, 21 September 1970. Sumarijem, seorang penjual telur berusia 18 tahun, tengah menunggu bus di pinggir jalan. Tiba-tiba dia diseret ke dalam mobil oleh beberapa pria. Sum dibius dan dibawa ke rumah kecil di wilayah Klaten. Di sana dia diperkosa bergiliran oleh para penculiknya. Setelah itu Sum ditinggal begitu saja dipinggir jalan.

    Gadis malang ini kemudian melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.

    Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding anggota Gerwani. Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan.

    Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah. Dalam putusan hakim dibeberkan pula nasib Sum selama ditahan. Dia dianiaya  dan dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa polisi.

    Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum. “Kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak,” tegas Hoegeng.

    Jenderal pemberani ini lantas membentuk tim khusus bernama Tim Pemeriksa Sum Kuning. Kasus ini terus membesar dan menjadi santapan media. Sejumlah pejabat polisi dan sipil yang anaknya terkait dengan kasus ini coba membantah lewat media massa. Tak disangka, kasus ini terus membesar dan dianggap mengganggu stabilitas nasional.

    Presiden Soeharto bahkan sampai turun tangan agar kasus ini berhenti. Dia meminta agar kasus ini diserahkan ke Tim pemeriksa Pusat Kopkamtib.  Wow! Persidangan lanjutan pun digelar. Polisi mengumumkan tersangka pemerkosa Sum ada 10 orang dan semuanya bukan anak pejabat seperti yang dituding Sum.

    Para terdakwa ini membantah keras dan menyatakan siap mati jika benar memperkosa. Hoegeng seperti tersadar. Ada kekuatan besar yang membelokkan kasus ini. Benar saja.  Pada 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri.

    Usai dipensiunkan di umur 49, seperti dikisahkan dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan karya Suhartono, Hoegeng kemudian mendatangi ibundanya untuk sungkem. “Saya tak punya pekerjaan lagi, Bu,” kata Hoegeng.

    Sang ibunda menjawab tenang. “Kalau kamu jujur dalam melangkah, kami masih bisa makan hanya dengan nasi dan garam,” kata sang ibunda. Kalimat sang ibunda menenangkan hati Hoegeng dan keluarganya. Dan, hingga akhir hayatnya, Hoegeng tetap setia di jalan kejujuran yang dipilihnya. (Red)

  • Sebut Soeharto “Guru Korupsi” Indonesia, Wakil Ketua MPR Dilaporkan ke Polisi

    Sebut Soeharto “Guru Korupsi” Indonesia, Wakil Ketua MPR Dilaporkan ke Polisi

    Jakarta (SL) – Wakil Sekretaris Jenderal atau Wasekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ahmad Basarah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri atas pernyataannya yang menyebut mantan Presiden Soeharto sebagai guru korupsi Indonesia. Pelaporan ini dibuat oleh Anhar dari Forum Advokat Penegak Keadilan dan Soehartonesia.

    “Kita melaporkan Ahmad Basarah atas ucapan Beliau yang menyatakan bahwa Soeharto sebagai guru korupsi. oleh karena itu kami merasa betul-betul sangat terpukul, sangat merasa dirugikan mengingat Soeharto bagi kami adalah tokoh bangsa, guru bangsa, dan bapak pembangunan,” kata Anhar di Bareskrim Mabes Polri, Gambir, Jakarta Pusat Senin malam.

    Anhar mengatakan sangat tidak pantas seorang wakil rakyat melontarkan pernyataan tersebut sebab Soeharto tak pernah diputus bersalah oleh pengadilan. “Tidak ada satu putusan pengadilan menyatakan pak Harto terbukti bersalah. Jadi dia harus pahami itu sebagai wakil rakyat enggak perlu dia berucap itu,” ujarnya.

    Anhar melaporkan Basarah yang merupakan Wakil Ketua MPR itu dengan UU Nomor 1 Tahun 1946 KUHP, UU Nomor 1 Tahun 1946 KUHP. Pasal 156 KUHP terkait kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Laporan tersebut diterima oleh Bareskrim Mabes Polri dengan nomor laporan LP/B/1571/XIl/2018/BARESKRIM tanggal 3 Desember 2018. (viva)

  • Nama Mantan Presiden Soeharto dan Gus Dur Tak Diusulkan Untuk Gelar Pahlawan Nasional?

    Nama Mantan Presiden Soeharto dan Gus Dur Tak Diusulkan Untuk Gelar Pahlawan Nasional?

    Jakarta (SL) – Pada tahun 2018 ini, nama Presiden RI ke-2, Soeharto dan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tidak diusulkan sebagai pahlawan nasional oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).

    “Ya, yang paling banyak pertanyaan itu Gus Dur dan Soeharto. Dua nama sudah berkali-kali diajukan, tapi tahun ini tidak diajukan TP2GP,” kata Wakil Ketua Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, Jimly Asshidiqqie, di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (1/11).

    Jimly mengaku tidak mengetahui alasan dua nama mantan Presiden RI itu tidak diajukan. Padahal lanjutnya, nama Soeharto dan Gus Dur sudah berulang kali diajukan sejak dua tahun lalu hingga 2017. “Itu tanya ke tim TP2GP di Kemensos, tahun ini tidak diajukan,” katanya.

    Pengajuan nama bakal calon pahlawan nasional bermula dari masyarakat kepada Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pahlawan (TP2GP). Setelah dikaji, beberapa nama akan diserahkan TP2GP kepada Menteri Sosial selaku ketua TP2GP.

    Mensos kemudian menyerahkan nama-nama itu kepada Dewan Gelar dan akhirnya diserahkan kepada Presiden Jokowi selaku Presiden berhak memilih nama-nama yang bakal ditetapkan sebagai pahlawan.

    Ketua Dewan Gelar Ryamizard Ryacudu mengatakan, timnya tahun ini menerima 18 nama dari TP2GP. Nama-nama itu kemudian mengerucut menjadi delapan saat diberikan kepada Presiden. “Kami ini diskusi ngotot-ngototan. Kalau dari tim dulu 18 orang lalu jadi enam. Tadi kami tiupkan delapan, kata Presiden kebanyakan,” ucap Ryamizard.

    Ryamizard tidak menyebutkan nama-nama calon pahlawan nasional tahun ini. Menurutnya, nama-nama itu sudah melalui banyak pertimbangan sebelum diserahkan kepada Presiden. Tahun lalu, empat nama diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, Presiden RI Joko Widodo.

    Mereka adalah TGK H M Zainuddin Abdul Madjid tokoh asal Nusa Tenggara Barat (NTB), Laksamana Malahayati (Keumalahayati) dari Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah (Kepulauan Riau), dan Lafran Pane (Yogyakarta) sebagai pahlawan nasional. (Koranradaronline)