Tag: Susilo Bambang Yudhoyono

  • Demokrat Tolak Ajakan PKS Kembali Ke Koalisi Perubahan,  Rocky Gerung Tajam Sampaikan Analisa Ini

    Demokrat Tolak Ajakan PKS Kembali Ke Koalisi Perubahan,  Rocky Gerung Tajam Sampaikan Analisa Ini

    JAKARTA – Partai Demokrat resmi menolak ajakan Partai Keadilan Sejahtera untuk kembali bersama-sama dalam Koalisi Perubahan yang sudah ditinggalkan Partai Demokrat paska Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dipromosikan oleh Ketua Umum NasDem Surya Paloh menjadi bacalon wapres mendampingi Anies Baswedan.

    Penolakan itu disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Jansen Sitindaon.

    “Majelis Tinggi Partai Demokrat kemarin secara resmi kan sudah memutuskan kami telah mencabut dukungan ke mas Anies dan kami secara resmi keluar atau tidak lagi berada di koalisi. Itu sikap kami Demokrat,” kata Jansen dalam keterangannya, Minggu (3/9).

    Jensen mengaku Partai Demokrat sangat menghargai ajakan PKS yang disebutnya sebagai rekan terbaik selama ini karena bersama-sama berada di luar koalisi pemerintah.

    Rocky Gerung Sebut Bagus bagi Elektoral Demokrat

    Sikap tegas Partai Demokrat menolak kembali bergabung ke Koalisi Perubahan tentu saja berimplikasi partai ini berjalan sendiri.

    Namun, menurut pengamat politik Rocky Gerung, sikap tegas Partai Demokrat itu justru menguntungkan Susilo Bambang Yudhoyono, (SBY) karena akan memberi dampak positif meningkatnya elektoral Partai Demokrat.

    “Bagus juga, karena dengan begitu, Partai Demokrat dianggap oleh pemilih paling serius menjadi partai yang tegak lurus mengusung perubahan dan antitesa bagi pemerintah,” tegasnya.

    Menurut Rocky, penolakan itu baik dari sisi etis dan moral, namun secara politis membunuh kesempatan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk tampil dan beredar dalam pencalonan kepala negara.

    Ia berpendapat, Pilpres 2024 adalah momentum terbaik bagi AHY untuk tampil dalam persaingan pemilihan presiden dan wakil presiden.

    Rocky menawarkan agar AHY membangun kerjasama dengan PDIP atau menjajaki kemungkinan berpasangan dengan Prabowo Subianto.

    “Pilihan pragmatis itu bisa diambil AHY untuk tetap menghidupkan arah politik AHY agar tetap hidup dan beredar di masa depan,” katanya.(IWA)

     

  • PERANG BESAR BISA TERJADI KARENA MISKALKULASI, PEMIMPIN YANG ERATIK DAN NASIONALISME YANG EKSTRIM

    PERANG BESAR BISA TERJADI KARENA MISKALKULASI, PEMIMPIN YANG ERATIK DAN NASIONALISME YANG EKSTRIM

    Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono*)

    Bagi yang berharap tahun 2020 ini dunia kita menjadi lebih aman dan damai, harus bersiap untuk kecewa. Bahkan frustrasi. Tidak ada tanda-tanda untuk itu. Yang terjadi, di awal tahun baru ini kawasan Timur Tengah kembali membara.

    Tahun 2019 yang baru kita tinggalkan ditandai dengan maraknya gerakan protes sosial. Kemarahan dan perlawanan rakyat terjadi di lebih dari 30 negara. Mereka melawan pemimpin dan pemerintahannya karena merasa tidak mendapatkan keadilan, ekonominya sulit dan ruang kebebasan untuk berekspresi dibatasi. Ragamnya berbeda-beda. Mulai dari sulitnya mendapatkan pekerjaan, harga-harga naik sementara daya beli rakyat turun, hingga pemerintahnya dinilai korup sementara beban utang negara meningkat tajam. Juga karena pemimpinnya dianggap ingin terus berkuasa dengan cara mengubah konstitusi dan undang-undang. Juga pemilihan umum yang baru saja dilaksanakan dianggap curang, sehingga rakyat tidak terima dan turun ke jalan. Yang lain, rakyat merasa ruang kebebasan untuk berekspresi ditutup disertai tindakan-tindakan yang represif dari pihak penguasa. Ada juga, terutama di negara-negara maju, rakyat marah karena pemerintahnya dianggap lalai dan tak serius dalam melawan perubahan iklim dan krisis lingkungan.

    Sementara gejolak sosial global di tahun 2019 itu belum sepenuhnya usai, kini dunia menghadapai ancaman yang lebih serius. Geopolitik di kawasan Timur Tengah (Raya) kembali mendidih, yang sangat bisa merobek keamanan internasional yang sudah rapuh. Mengapa banyak pihak sungguh cemas dengan perkembangan terbaru di kawasan ini, karena banyaknya negara yang melibatkan diri dengan kepentingan yang berbeda-beda. Belum “non-state actors” yang selama ini turut meramaikan benturan politik, sosial dan keamanan yang ada. Meskipun seolah saat ini mata dunia tertuju kepada Iran, Irak dan Amerika Serikat, jangan diabaikan peran negara lain. Ada Rusia, Turki, Israel, Suriah, Saudi Arabia, Libya, Mesir, Qatar, Afghanistan dan Yaman serta sejumlah negara NATO. Tentu masih ada yang lain. Kalau situasi makin memburuk dan belasan negara itu melibatkan diri, apalagi pada posisi yang berhadap-hadapan memang keadaan sungguh menakutkan. Itulah sebabnya sebagian dari kita mulai bertanya, jangan-jangan perang dunia yang kita takutkan terjadi lagi. Akankah kesitu?

    Saya pribadi termasuk orang yang tak mudah percaya bahwa krisis di Timur Tengah saat ini bakal menjurus ke sebuah perang besar. Apalagi perang dunia. Namun, saya punya hak untuk cemas dan sekaligus menyerukan kepada para pemimpin dunia agar tidak abstain, dan tidak melakukan pembiaran. Maksud saya, janganlah para “world leaders” itu “do nothing”. Mereka, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, harus “do something”. Terlalu berbahaya jika nasib dunia, utamanya nasib 600 ratus juta lebih saudara-saudara kita yang hidup dan tinggal di kawasan itu, hanya diserahkan kepada para politisi dan para jenderal Amerika Serikat, Iran dan Irak. Timur Tengah dan bahkan dunia akan bernasib buruk jika para politisi, diplomat dan jenderal di negara-negara itu melakukan kesalahan yang besar. Risikonya bisa memunculkan terjadinya tragedi kemanusiaan yang juga besar. Generasi masa kini memang tidak pernah merasakan harga yang harus dibayar oleh sebuah perang dunia, sebagaimana yang terjadi di awal dan medio abad 20 dulu. Sebenarnya, melalui buku-buku sejarah atau film-film, sebagian dari mereka mengetahui getirnya penderitaan manusia yang menjadi korban dari sebuah peperangan berskala besar.

    Pasca tewasnya Jenderal Iran Qassem Soleimani oleh serangan udara Amerika Serikat beberapa hari lalu, siang dan malam saya mengikuti pemberitaan media internasional. Saya ikuti aksi-aksi (dan juga reaksi) politik, sosial dan militer di banyak negara yang punya kaitan dan kepentingan dengan Timur Tengah. Utamanya yang dilakukan oleh Irak, Iran dan Amerika Serikat. Bukan hanya pada tingkat pemimpin puncak, tetapi juga pada pihak eksekutif, legislatif, militer dan bahkan rakyatnya. Bukan hanya aksi-aksi nyata yang dilakukan di masing-masing negara, tetapi juga pada hebohnya sikap ancam-mengancan, perang mulut dan retorika besar yang digaungkan.

    Pertanyaannya sekarang adalah apakah sebuah perang besar yang mengerikan bakal benar-benar terjadi? Jawabannya tentu tak mudah. Saya yakin tak ada yang berani memastikan perang itu pasti terjadi. Atau sebaliknya. Oleh karena itu, dalam kaitan ini, saya hanya ingin menyampaikan pendapat dan harapan saya. Pendapat saya mengait pada kapan atau dalam keadaan apa perang di kawasan itu benar-benar terjadi. Sedangkan harapan saya adalah apa yang harus dilakukan oleh Amerika Serikat, Iran dan Irak dan juga dunia pada umumnya, agar sebuah peperangan di kawasan yang rakyatnya sudah cukup menderita itu dapat dicegah dan dihindari. Saya orang biasa dan tak punya kekuasaan yang formal. Namun, sebagai warga dunia yang mencintai perdamaian dan keadilan, secara moral saya merasa punya kewajiban untuk “to say something”.

    Penyebab terjadinya perang antar negara, atau yang melibatkan banyak negara, berbeda-beda. Pemicu meletusnya sebuah peperangan juga macam-macam. Perang Dunia ke-1, yang menyebabkan korban jiwa 40 juta orang, disebabkan oleh terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand dari Austria-Hongaria di Sarajevo pada bulan Juni 1914. Peristiwa yang menyulut peperangan besar ini sering disebut sebagai “kecelakaan sejarah” (unexpected accident). Sementara, Perang Dunia ke-2 yang terjadi di mandala Pasifik dipicu oleh serangan “pendadakan” angkatan udara Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, 7 Desember 1941. Untuk diingat, keseluruhan korban perang dunia ke-2 di mandala Eropa dan mandala Pasifik berjumlah 70-85 juta jiwa. Para ahli sejarah mengatakan bahwa Jepang menyerang Amerika Serikat itu adalah sebuah kesalahan. Diibaratkan Jepang sebagai membangunkan macan tidur. Kesalahan itu sebuah “strategic miscalculation” yang dilakukan oleh para politisi dan jenderal-jenderal militer Jepang.

    Kejadian miskalkulasi ini, atau salah hitung, kerap menjadi faktor yang mendorong terjadinya peperangan. Demikian juga kejadian di lapangan, yang tak terduga, seperti yang terjadi di Sarajevo tahun 1914 dulu.

    Dari kacamata ini, sejarah tengah menunggu apakah politisi dan jenderal Amerika Serikat dan Iran melakukan miskalkulasi, sehingga akhirnya mendorong terjadinya perang terbuka di antara mereka. Di luar itu, apakah juga tiba-tiba terjadi peristiwa di lapangan, entah di Irak, di Iran, ataupun di tempat dimana aset dan satuan-satuan militer Amerika Serikat berada. Sebuah peristiwa yang bisa ditafsirkan sebagai aksi untuk melancarkan peperangan, meskipun para politisi dan petinggi militer tak merencanakan dan memerintahkannya. Kalau kedua hal ini tak terjadi dalam waktu mendatang, dunia bisa menghela nafas lega. Paling tidak untuk sementara.

    Tetapi, harus diingat, di kawasan Timur Tengah terlalu banyak elemen yang tidak selalu berada dalam satu garis komando dengan pemimpin puncaknya. Dalam konteks permusuhan dan ketegangan Amerika Serikat dengan Iran saat ini, ada sejumlah elemen di luar Iran (dalam kapasitasnya sebagai negara). Misalnya Hesbollah di Libanon, Hamas di Palestina, dan elemen dalam negeri Irak yang sangat pro Iran. Belum organisasi radikal dan terorisme yang meskipun tidak ada kaitannya dengan Iran, tetapi anti Amerika. Jadi, segala kemungkinan yang menjadi pemicu meletusnya sebuah perang terbuka selalu ada.

    Perang juga mudah terjadi di tangan pemimpin yang eratik (erratic) dan “gemar perang” (warlike). Saat ini sejarah juga sedang menguji apakah Presiden Trump, Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani termasuk kategori pemimpin yang eratik dan suka perang atau tidak. Semoga mereka bukan tipe itu. Semoga pikiran jernih, kalkulasi yang matang dan kearifan hati menyertai para pemimpin tersebut. Semoga doa dan harapan saya ini, saya yakin juga banyak yang berdoa dan berharap demikian, dikabulkan oleh Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya tahu bahwa para pemimpin itu sangat mencintai bangsa dan negaranya. Saya tahu bahwa mereka juga patriot sejati bagi tanah airnya. Namun, patriotisme dan nasionalisme yang positif tidaklah boleh menghalang-halangi para pemimpin itu jika hendak menyelesaikan masalah sedamai mungkin. Paling tidak bukan memilih perang sebagai satu-satunya cara. Saya yakin “political and diplomatic resources” masih tersedia. Saya yakin masih ada jalan untuk mencegah terjadinya peperangan besar.

    Saya tahu memang keadaan sangat tidak mudah bagi para pemimpin Iran dan Amerika Serikat. Ada persoalan harga diri dan juga keadilan (justice) yang harus ditegakkan. Akar permusuhan di antara mereka juga sangat dalam. Iran merasa sangat dipermalukan (humiliated) dengan tewasnya Jenderal Soleimani yang sangat dibanggakan dan dicintainya. Namun, jangan lupa pula Amerika Serikat juga pernah merasa terhina ketika 52 orang warga negaranya disandera selama 444 hari di Kedutaan Besar mereka di Teheran tahun 1979-1981 yang lalu.

    Sekali lagi, situasinya memang tidak mudah saat ini. Kita saksikan di layar televisi, emosi dan kemarahan rakyat Iran tinggi sekali. Para pemimpin Iran “pastilah” berada di ombak dan arus besar yang menyeru dilakukannya pembalasan yang lebih keras terhadap Amerika Serikat. Namun, orang bijak menasehatkan kepada para pemimpin agar tidak mengambil keputusan yang gegabah tatkala hati dan pikiran mereka sedang diliputi oleh amarah yang memuncak. Maknanya… keputusan itu bisa salah. Hal begini tentu berlaku pula bagi para pemimpin Amerika Serikat. Di samping itu, politik selalu menyediakan pilihan. Dalam politik segalanya juga mungkin. Tidakkah Otto Von Bismarck pernah mengatakan bahwa politik adalah “the art of the possible”. Politik juga berangkat dari kehendak para pemimpinnya. “So, if there is a will, there is a way”.

    Dewasa ini dunia berada dalam situasi yang jauh dari teduh. Banyak sikap dan pandangan yang serba ekstrim. Paling tidak lebih ekstrim dibandingkan dengan situasi sepuluh-dua puluh tahun yang lalu. Gelombang nasionalisme, populisme, rasisme dan radikalisme makin menguat (on the rise). Demikian juga otoritarianisme. Saya kira bukan hanya Donald Trump yang mengangkat simbol-simbol nasionalisme “America First”. Saya amati banyak pemimpin dunia seperti itu. Barangkali itu pula sikap pemimpin Iran. Demikian pula Tiongkok, Rusia, Inggris, Korea Utara dan banyak lagi yang lain. Barangkali, semua negara juga begitu. Apa yang dikatakan oleh Ian Bremmer dalam bukunya G Zero World ~ Every Nation for Itself, bagai mendapatkan pembenaran sejarah.

    Selama 10 tahun memimpin Indonesia dulu saya masih merasakan suasana dunia yang lebih baik. “Kehangatan dan kedekatan” di antara pemimpin dunia masih terasa. Misalnya, meskipun ada perbedaan kepentingan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan Rusia, namun para pemimpinnya masih membuka ruang untuk berdialog dan berkolaborasi untuk kepentingan bersama. Demikan juga antara Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Demikian juga antara Inggris, Perancis dan Jerman untuk urusan Eropa. Juga antara Tiongkok dengan negara-negara ASEAN menyangkut urusan Laut Tiongkok Selatan. Juga antara Saudi Arabia, Iran, Qatar, Mesir dan negara-negara Islam di Timur Tengah dalam urusan kerjasama dunia Islam. Termasuk tentunya kemesraan antara Amerika Serikat dengan kedua tetangganya, Kanada dan Meksiko.

    Kesediaan untuk duduk bersama dan mencari solusi atas berbagai permasalahan global di antara negara-negara besar (global players and regional powers) amat dirasakan. Apakah itu berkaitan dengan kerjasama mengatasi krisis ekonomi dunia 2008-2009, mengelola perubahan iklim, memerangi kemiskinan global, melawan terorisme dan kejahatan transnasional, serta kerjasama-kerjasama yang lain.

    Kedekatan antar pemimpin dunia juga tercermin dalam kebersamaan di berbagai forum. Misalnya PBB, G20, G8 (+), APEC, OKI, D8, ASEAN, EAS, GNB, ASEM (yang secara pribadi saya aktif berperan di dalamnya), serta forum-forum kerjasama multilateral dan regional yang lain. Apapun latar belakang ideologi dan sistem politik yang dianut, apapun tingkatan kemajuan ekonomi serta kepentingan nasionalnya, para pemimpin dunia masih relatif “rukun”. Tentu saja minus perseteruan yang terjadi di antara negara-negara tertentu yang memang sudah berlangsung lama dan nyaris permanen. Misalnya, antara Iran dengan Israel, antara Amerika Serikat dengan Korea Utara, Iran dan juga Venezuela.

    Dalam pengamatan saya, G20 tidak sekokoh dulu. G8 sudah mati suri. Di tubuh OKI nampak ada jarak dan ketegangan internal yang meningkat. Bahkan, ASEANpun tidak sekohesif dulu. Di internal Uni Eropa sering terjadi “pertengkaran” yang antara lain ditandai dengan keluarnya Inggris dari organisasi yang berusia tua itu. Mengapa ini terjadi? Tentu banyak teori dan alasan yang bisa diungkapkan. Namun, menguatnya kembali sentimen nasionalisme dan populisme turut menjadi penyebab. Berbagai organisasi kerjasama kawasan ikut melemah semangatnya untuk selalu berada dalam satu posisi, karena barangkali masing-masing negara harus mengutamakan kepentingan nasionalnya masing-masing.

    Kembali pada topik tulisan ini, kalau ada yang sangat mencemaskan dan sungguh ingin tahu apakah ketegangan yang begitu memuncak di Timur Tengah ini bakal menyulut terjadinya perang terbuka di kawasan itu, tiga faktor yang saya kedepankan tersebut bisa dijadikan pisau analisis. Miskalkulasi, pemimpin yang eratik dan nasionalisme yang ekstrim. Silahkan ditelaah sendiri.

    Namun, ada satu hal yang mungkin luput dari percaturan para pengamat geopolitik dan hubungan antar bangsa. Yang satu ini justru yang mungkin akan sangat menentukan “endgame” dari kemelut berintensitas tinggi di Timur Tengah ini. Saya tidak yakin, paling tidak saat ini, kalau baik Presiden Trump maupun Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani benar-benar siap dan sungguh ingin berperang. Pasti para pemimpin itu sangat menyadari bahwa di belakangnya ada puluhan bahkan ratusan juta manusia yang dipimpinnya. Mereka juga tahu keputusan dan tindakan yang akan diambil akan berdampak pada situasi kawasan secara keseluruhan, bahkan dunia. Mereka juga tidak ingin punya “legacy” yang buruk dalam biografinya masing-masing jika keputusan dan pilihannya salah. Dengan ini semua, saya masih punya keyakinan bahwa pilihan yang diambil akan sangat rasional. Rasional dan “bermoral”. Artinya, perang terbuka di antara kedua negara bukanlah pilihan utama. Jika bukan, apa yang akan terjadi?

    Sangat mungkin ketegangan bahkan permusuhan yang sangat memuncak ini akan berakhir dengan sebuah “kesepakatan besar” (great deal). Sebuah kesepakatan strategis yang adil. (A strategic, fair deal). Tentu ada “take and give” diantara mereka. Elemennya bisa soal sanksi ekonomi, pengembangan nuklir Iran, komitmen untuk tidak saling menyerang aset dan objek militer masing-masing. Apa bentuknya? Biarlah para pemimpin kedua negara itu yang akan menentukan dan memilihnya. Dunia dan sejarah harus memberikan kesempatan kepada mereka. Semua pihak juga harus mendorong dan mempersuasi agar solusi indah itu terjadi, jangan sebaliknya merintangi dan memprovokasi untuk tidak terjadi.

    Siapa tahu sejarah menyediakan peluang baru bagi hubungan antara Amerika Serikat dan Iran. Siapa tahu para pemimpin di kedua negara penting ini tergerak untuk berpikir “out of the box”, misalnya membangun paradigma dan cara pandang baru dalam hubungan bilateralnya di masa depan. Haruskah kedua bangsa itu menjadi musuh permanen di abad 21 yang banyak menjanjikan jalan bagi sebuah perubahan?

    Apa yang bakal terjadi di hari-hari, atau di minggu-minggu mendatang, bisa menjadi “game changer”. Artinya, apa yang akan diputuskan dan dilakukan oleh para pemimpin Amerika Serikat dan Iran bisa mengubah jalannya sejarah di masa depan. Semoga yang akan datang adalah yang membawa harapan baik, bukan sebaliknya, sebuah malapetaka dan titik gelap dalam sejarah kemanusiaan.

    Cikeas, 6 Januari 2020

    *) Presiden RI ke-6 dan Ketua Umum Partai Demokrat

  • Partai Demokrat Akan Lebih Aktif Kampanye pada Awal Tahun 2019

    Partai Demokrat Akan Lebih Aktif Kampanye pada Awal Tahun 2019

    Jakarta (SL) – Pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang didampingi Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dengan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto telah usai.

    Dalam pertemuan tersebut, SBY menyampaikan Prabowo akan lebih aktif lagi berkampanye pada awal 2019. “Dalam konteks Pilpres, superstar adalah capres. Beliaulah yang harus aktif dan mengambil peran menjelaskan ke rakyat, akan diintegrasikan pada Januari hingga pengambilan suara,” ujar SBY seusai pertemuan di kediamannya, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (21/12/2018).

    SBY menyampaikan meski dalam 4 bulan kampanye kemarin, Demokrat seolah belum banyak bergerak pada kampanye Prabowo-Sandi, tetapi sesungguhnya pertemuan rutin tetap dilakukan para pimpinan partai koalisi pendukung Prabowo-Sandi, terutama para sekretaris jenderal. Demokrat tentu juga harus berupaya maksimal untuk memenangkan Pileg 2019. Apalagi Pilpres dan Pileg diselenggarakan serentak pada 17 April 2019.

    Setelah pertemuan ini, Partai Demokrat dipastikan lebih berperan aktif pada kampanye Pilpres. SBY menyebut akan menggunakan strategi kembar agar Pileg dan Pilpres bisa sama-sama mendapat hasil maksimal. “Kami utamakan tujuan kembar, double track strategy. Pileg agar suara lebih tinggi dari Pileg 2014 dan kami ingin Pak Prabowo jadi Presiden pada 5 tahun ke depan. Itu tanggung jawab kami secara moral dan politik,” SBY menegaskan.

    SBY lantas menuturkan PD dan Gerindra siap membangun sinergi yang baik menghadapi Pilpres. Mulai Januari, kampanye akan dilakukan semakin masif. “Diperlukan sinergi dan kerja sama yang baik pula. Ini bagian dari strategi kami untuk memenangkan Pemilihan Presiden 2019,” SBY menegaskan. (BRN)

  • Prabowo Ikut Geram Atas Perusakan Baliho SBY di Pekanbaru

    Prabowo Ikut Geram Atas Perusakan Baliho SBY di Pekanbaru

    Riau (SL) – Ketum Gerindra Prabowo Subianto geram dengan aksi perusakan baliho Partai Demokrat (PD) dan ketumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pekanbaru, Riau. Prabowo menyebut, barang siapa yang merobek baliho PD sama saja merobek baliho Gerindra. “Kalau Demokrat disakiti, kita merasa disakiti juga. Kalau ada yang robek-robek baliho Demokrat, sama dengan robek-robek balihonya Gerindra!” kata Prabowo saat menyampaikan pidato politiknya di Konferensi Nasional Gerindra di Sentul International Convention Center, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Senin (17/12/2018).

    Sebagaimana diketahui, atribut PD yang ada di Jalan Sudirman Pekanbaru dirusak dan buang ke parit. Baliho yang dirusak termasuk ucapan selamat datang untuk SBY. Diduga pelakunya berinisial HS. Di hari yang sama, dua pelaku pengerusakan atribut PDI Perjuangan juga diamankan di Kecamatan Tenayaran Raya.

    Prabowo mengingatkan untuk melaksanakan demokrasi yang santun. Capres nomor urut 02 itu bahkan sampai menyinggung soal kekuatan yang dimilikinya. “Kita imbau jangan robek-robek baliho, jangan robek-robek spanduk, laksanakan demokrasi yang baik. Karena hati-hati lho, kita juga punya kekuatan,” tegas Prabowo. (djn)

  • Annisa Pohan Kesal dengan Perusakan Baliho SBY di Pekanbaru

    Annisa Pohan Kesal dengan Perusakan Baliho SBY di Pekanbaru

    Jakarta (SL) – Menantu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Annisa Pohan ikut kesal dengan perusakan baliho dan spanduk mertuanya itu di Pekanbaru, Riau. Dia mempertanyakan arti demokrasi dari perusakan itu.

    Kekesalan itu diungkapkan Annisa di Twitter. Istri dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu mengunggah sejumlah foto baliho dan spanduk SBY yang dirusak.

    “Apakah ini yang dinamakan demokrasi? #PerusakDemokrasi” tulis Annisa, Sabtu (15/12/2018).

    Sang suami juga ikut me-retweet cuitan Annisa itu.

    Sebelumnya, SBY mengatakan subuh tadi dirinya mendapat laporan telah terjadi perusakan terhadap baliho, spanduk, hingga bendera PD di Pekanbaru. SBY dan elite PD pun pagi tadi bergerak menyusuri jalan untuk mengecek karena tidak langsung percaya. Dan setelah dicek, informasi tersebut didapati benar adanya. “Saya ingin menyaksikan sendiri supaya saya tidak mendapatkan laporan yang keliru. Sepanjang jalan ini, yang cukup panjang, memang dengan hati yang sedih saya menyaksikan hampir semua atribut Demokrat dirusak, dicabut, bahkan dipotong-potong, dibuang ke parit-parit atau pun berserakan ke jalan-jalan,” kata SBY saat diwawancarai wartawan di lokasi. (Lensawarga)

  • Polisi Amankan Satu Terduga Pelaku Perusakan Baliho SBY di Pekanbaru

    Polisi Amankan Satu Terduga Pelaku Perusakan Baliho SBY di Pekanbaru

    Pekanbaru (SL) – Polisi mengamankan satu terduga pelaku perusakan baliho selamat datang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga bendera Partai Demokrat di Pekanbaru, Riau.

    Dilansir detikcom, Politikus PD, Andi Arief, mengungkapkan, dari pelaku, didapatkan keterangan bahwa ‘order’ berasal dari PDIP. Hal tersebut diungkapkan Andi Arief lewat akun Twitter-nya. “Keterangan pelaku perusakan yang ditangkap DPC Demokrat malam tadi menyebut dia disuruh Pengurus PDIP,” kata Andi Arief di akun Twitter-nya dan mengizinkan detikcom mengutipnya, Sabtu (15/12/2018).

    Andi mengatakan, berdasarkan pengakuan orang yang ditangkap polisi, ada 35 orang yang diperintahkan untuk merusak baliho, spanduk, dan bendera tersebut. Ke-35 orang tersebut dibagi dalam 5 kelompok. “Satu regu 7 orang. Mereka dibayar Rp 150 ribu per orang. Yang menyedihkan, pemberi order dari partai berkuasa,” ujarnya.

    Kendati demikian, Andi mengaku pihaknya tidak ingin gegabah untuk langsung memercayai informasi dari terduga pelaku itu. Dia pun meminta polisi mengusut tuntas peristiwa yang membuat ketum-nya tersebut sedih dan kecewa. “Info awal itu terlalu gegabah jika dipercaya begitu saja. Selama ini hubungan kami baik. Tugas polisi menyimpulkannya. Tidak ada alasan, pelakunya ada. Beda dengan kasus lain. Partai Demokrat tak akan meladeni provokasi murahan dengan merusak atribut. Kami yakin polisi akan profesional dalam menangani, adil itu diungkap sampai jelas ,” kata Andi.

    Andi kemudian menyinggung pemasangan atribut parpol pada zaman Orde Baru. Dia mengatakan, di masa kepemimpinan Soeharto, atribut parpol, seperti PDIP dan PPP, selalu diberi ruang. “Zaman Orde Baru, atribut PPP dan PDI tetap diberi kesempatan tampil. Tidak dirusak massal. Cara Orde Baru atau Golkar waktu itu membuat atribut di tempat yang sama dengan lebih besar dan menutupi atribut PPP dan PDI. Itu cara orang politik. Bukan dengan merusak,” tutur Andi Arief.

    Perusakan baliho dan spanduk SBY serta bendera Partai Demokrat terjadi pada dini hari tadi. SBY, yang pagi ini mengecek langsung ke lokasi, mengaku sedih dan kecewa atas perusakan itu.

    Atas peristiwa itu, polisi telah mengamankan pemuda bernama Heryd Swanto (22), terduga pelaku perusakan baliho selamat datang SBY, spanduk, hingga bendera Partai Demokrat (PD), di Pekanbaru, Riau. Heryd hingga kini masih diperiksa secara intensif terkait motifnya. (Lensawarga)

  • SBY Kantongi Bukti Pelaku Perusakan Atribut Partai Demokrat

    SBY Kantongi Bukti Pelaku Perusakan Atribut Partai Demokrat

    Pekanbaru (SL) – Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku sudah mengantongi bukti pihak mana dan siapa yang menjadi arsitek yang merusak atribut Partai Demokrat di Pekanbaru, Riau.

    “Alhamdulillah semakin terang, semakin jelas pihak mana, siapa-siapa yang mengartsitekin dan mengarahkan dilakukannya tindakan yang sangat tidak terpuji ini,” katanya kepada wartawan di Pekanbaru, Sabtu (15/12).

    Namun, dia belum bersedia mengungkapkannya. Kepolisian setempat sudah menangkap orang yang diduga melakukan perusakan di lapangan, yakni pria berinisial HS. HS saat ini masih dalam tahap pemeriksaan. Polisi masih menggali motif HS yang merusak dan membakar atribut partai berlambang bintang mercy itu.

    SBY memastikan pihaknya akan konsen terkait kasus tersebut sehingga otak pelaku perusakan dapat ditangkap. “Saya akan melanjutkan. Bagi saya, kebenaran dan keadilan harus terang di bumi yang sama-sama kita cintai ini,” ujar Presiden keenam RI itu. (rml)

  • SBY Tegaskan Tak Pernah Tuduh PDIP Sebagai Dalang Perusakan Atribut Partai Demokrat

    SBY Tegaskan Tak Pernah Tuduh PDIP Sebagai Dalang Perusakan Atribut Partai Demokrat

    Pekanbaru (SL) – Ketum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sedianya akan dilaporkan caleg PDIP Kapitra Ampera ke polisi, namun batal karena dilarang Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. SBY menegaskan tak pernah menuduh PDIP.

    “Silakan (Dilaporkan ke Polda Riau). Saya tadi malam juga mendengar. Ingat. Saya tidak pernah menuduh PDI Perjuangan di balik apa yang dilakukan kemarin, (perusakan atribut PD) tidak pernah (menuduh),” kata SBY kepada wartawan di acara Care Free Day (CFD), Jl Sudirman, Pekanbaru, Minggu (16/12/2018).

    SBY mengatakan pihaknya sudah mengantongi bukti kuat terkait perusakan atribut partainya. Dia berharap bukti yang dia miliki bisa digunakan polisi untuk mengungkap kasus tersebut. “Kami punya evidence (bukti), punya strong evidence. Insyaallah akan membuka jalan bagi kepolisian untuk menemukan siapa-siapa di belakang aksi perusakan itu,” kata SBY.

    SBY menunggu polisi menyelesaikan kasus itu. Dia mengungkit performa Polri selama masa 10 tahun kepemimpinannya. “Rakyat menunggu, kami menunggu. Kepolisian kita itu hebat, waktu 10 tahun saya memimpin banyak sekali menyelesaikan masalah, cepat, tepat, tuntas,” katanya.

    “Kali ini saya menunggu, rakyat menunggu. Adakah bisa dilakukan lagi. Silakan (dilaporkan). Saya juga ingin kebenaran kiranya terwujud untuk keadilan,” tutup SBY. (dtn)

  • Asia Sentinel Hapus Berita Tentang SBY, Demokrat Tetap Tempuh Jalur Hukum

    Asia Sentinel Hapus Berita Tentang SBY, Demokrat Tetap Tempuh Jalur Hukum

    Jakarta (SL) – Partai Demokrat menegaskan akan tetap menempuh langkah hukum terhadap media Asia Sentinel yang memuat berita tuduhan terhadap Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono.

    Upaya hukum tetap dilakukan meskipun Asia Sentinel belakangan sudah menghapus berita yang diterbitkan pada 12 September lalu itu.

    “Dengan dihapusnya berita itu, justru membuat kami semakin yakin bahwa itu adalah berita propaganda untuk menyudutkan SBY dan Partai Demokrat di tahun politik ini,” kata Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean seperti dikutip Kompas.com, Sabtu (15/9)

    Ferdinand mengatakan, saat ini Partai Demokrat masih terus merumuskan langkah hukum seperti apa yang akan ditempuh.
    Semalam, menurut dia, SBY dan elite Partai Demokrat sudah menggelar rapat perdana untuk membahas permasalahan ini.

    “Pasti Partai Demokrat akan melakukan langkah yang tepat dan terukur,” kata dia.
    Ferdinand menambahkan, Partai Demokrat sudah melakukan komunikasi dengan pihak terkait, termasuk dengan pihak Asia Sentinel.

    Namun, Demokrat sama sekali tidak meminta media tersebut untuk menghapus berita yang menyudutkan SBY.

    Asia Sentinel, media asal Hong Kong, pada Rabu (12/9/2018), memuat artikel soal dugaan konspirasi kejahatan keuangan di era pemerintahan SBY.

    Pada artikel yang ditulis editor yang juga pendiri Asia Sentinel, John Berthelsen, disebut bahwa Bank Century digunakan untuk merampok uang negara.

    Menurut tulisan tersebut, Century direkayasa sebagai bank gagal pada 2008. Berita yang berjudul “Indonesia’s Vast Criminal Conspiracy’  terbit pada 11 September 2018. Artikel itu mengulas hasil investigasi setebal 488 halaman terkait kasus bailout Bank Century.

    Hasil investigasi itu termaktub dalam berkas gugatan yang diajukan Weston Capital International ke Mahkamah Agung Mauritania bulan lalu.

    Dalam beritanya, John menuding pemerintah SBY telah melakukan konspirasi kriminal terbesar dengan mencuri dana USD 12 miliar dari pembayar pajak dan mencucinya melalui bank-bank internasional. Kasus itu disebut melibatkan 30 pejabat dan sejumlah lembaga keuangan internasional.

    Menurut Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan, John telah menulis berita yang tidak benar dan dia bangun dari opini pribadi. Hinca mengatakan John mengambil berita dari materi gugatan yang sama sekali tidak menyebut SBY ataupun Partai Demokrat.

    Hinca Panjaitan seperti dikutip Tempo.co mengatakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus Century telah menunjukan tidak ada aliran dana ke Partai Demokrat ataupun SBY. Begitu pula hasil Panitia Khusus Hak Angket Bank Century di DPR serta proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Berita yang menjadi heboh dan viral di tengah berita-berita politik menjelang Pilpres 2019 ini berdasarkan pantauan Kanigoro.com sudah tidak bisa diakses lagi melalui link https://www.asiasentinel.com/politics/indonesia-sby-government-criminal-conspiracy/ (kg/net)

  • SBY: Hutang Indonesia ke IMF Lunas Pada 2006

    SBY: Hutang Indonesia ke IMF Lunas Pada 2006

    Jakarta (SL) – Pernyataan Presiden Joko Widodo soal Indonesia masih berutang pada IMF
    membuat mantan Presiden Susilo Yudhoyono angkat bicara. Dikutip di Jakarta, dari akun facebook-nya, yang
    dilansir Selasa siang, presiden keenam Indonesia itu menulis pendapatnya.

    “Saya terpaksa menanggapi dan mengoreksi pernyataan Presiden Jokowi menyangkut utang Indonesia ke IMF.
    Kemarin, tanggal 27 April 2015, harian Rakyat Merdeka memuat pernyataan Pak Jokowi yang intinya adalah Indonesia masih pinjam uang sama IMF,” kata Yudhoyono dalam akun facebook itu.
    Jika demikian, kata dia, berarti kita (Indonesia) masih punya utang kepada IMF. “Maaf, demi tegaknya
    kebenaran, saya harus mengatakan bahwa seluruh utang Indonesia kepada IMF sudah kita lunasi pada 2006
    yang lalu,” pungkasnya dia.

    Keseluruhan utang Indonesia terhadap IMF adalah 9,1 miliar dolar Amerika Serikat, jika dengan nilai tukar
    sekarang setara dengan Rp117 triliun, dan pembayaran terakhirnya kita lunasi pada 2006, atau empat tahun
    lebih cepat dari jadwal yang ada. “Sejak itu kita tidak lagi jadi pasien IMF,” pungkasnya.

    Secara singkat, Yudhoyono memberi tiga alasan percepatan pembayaran utang kepada IMF itu.
    Yaitu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang baik (di atas enam persen) sehingga aman secara skal
    dan moneter, IMF tidak bisa lagi mendikte Indonesia sehingga pemerintah dan rakyat tidak disandera mereka, dan
    selama Indonesia berutang pada IMF maka rakyat Indonesia akan terhina.

    Dia memberi ilustrasi saat menjadi menteri pertambangan dan energi (1999-2000) di bawah pemerintahan
    Presiden Megawati Soekarnoputri. Dia diminta Consultative Group on Indonesia sebagai donor menaikkan
    secara bersamaan harga dasar listrik dan BBM dalam jumlah tinggi.

    “Hal itu saya tolak, karena pasti ekonomi rakyat akan menjadi lebih buruk,” kata dia.
    Selama Yudhoyono memerintah, tiga pemimpin IMF dia terima di Kantor Kepresidenan, mulai dari Rodrigo de
    Rato (2007), Dominique Strauss-Kahn (2011), hingga Chistine Lagarde (2012).

    Bahkan, pada kunjungan pemimpin IMF pada 2012, IMF berharap Indonesia bisa ikut menaruh dananya di IMF
    karena Indonesia telah menjadi anggota G20, dengan peringkat nomor 16 ekonomi besar dunia.

    “Pasalnya, IMF kekurangan dana untuk digunakan membantu negara yang mengalami krisis berat dan perlu
    penyelamatan dari IMF. Artinya, tangan kita tidak lagi berada di bawah, tetapi sudah berada di atas,” kata dia,dalam akun facebook yang di baris akhirnya diimbuhi kata-kata: Ditulis oleh Susilo Bambang Yudhoyono itu.

    “Jika yang dimaksudkan Presiden Jokowi, Indonesia masih punya utang luar negeri, itu benar adanya. Utang
    Indonesia ada sejak era Presiden Soekarno,” kata Yudhoyono.
    Pada akhir 2004 rasio utang terhadap GDP itu sekitar 50,6 persen, kata dia, dan pada akhir masa jabatannya
    tinggal sekitar 25 persen.

    “Tetapi, kalau yang dimaksudkan Pak Jokowi bahwa kita masih punya utang kepada IMF, hal itu jelas keliru.
    Kalau hal ini tidak saya luruskan dan koreksi, dikira saya yang berbohong kepada rakyat, karena sejak 2006
    sudah beberapa kali saya sampaikan Indonesia tidak berutang lagi kepada IMF,” kata dia.