Tag: UU PERS

  • Liput Proyek BMBK Lampung, Wartawan Diintimidasi Preman

    Liput Proyek BMBK Lampung, Wartawan Diintimidasi Preman

    Mesuji, (SL) – Aksi Kekerasan Terhadap Wartawan kembali terjadi dengan korban Ishar Wartawan Independen Post.

    Pemukulan dan Intimidasi terhadap Wartawan itu dilakukan oleh Preman alias keamanan proyek pembangunan jalan provinsi pada ruas pertigaan Desa Sungai Badak, Kecamatan Mesuji, milik Dinas Bina Marga Bina Konstruksi (BMBK) Provinsi Lampung.

    Intimidasi dilakukan Preman lantaran tidak terima saat Wartawan mengunjungi lokasi pekerjaan tersebut untuk meliput kegiatan proyek.

    Ishar mengatakan Kejadian kekerasan terhadap wartawan itu terjadi pada Kamis 9 Agustus 2023 lalu, di lokasi Stock File material pembangunan jalan, di Desa Sungai Badak, Kecamatan Mesuji.

    “Bermula saat saya menghampiri lokasi stock file material untuk mencari informasi mengenai pembangunan jalan tersebut.” Kata Ishar yang juga anggota PWI Mesuji itu, senin (14/8).

    Di lokasi tersebut Ishar menemui Mulyadi salah satu pengawas dari Dinas BMBK Provinsi Lampung, untuk mengonfirmasi data volume jalan dan juknis mengenai pembangunan.

    “Setelah ngobrol dengan pak Mulyadi, selanjutnya saya mengambil gambar dan video alat berat yang sedang merapikan material untuk pembangunan jalan.” Imbuh Ishar.

    Selanjutnya Ishar kembali menemui pak mulyadi untuk izin mempublikasikan pembangunan jalan tersebut.

    “Nah saat saya sedang berbincang dengan pak Mulyadi datang dua orang, yang satu mengaku bernama Tapeng langsung menghardik sembari menarik tangan saya menyuruh saya pergi.” Jelas Ishar.

    Dirinya tentunya heran, kenapa dirinya diperintahkan oleh Preman yang mengaku atas nama Tapeng itu untuk pergi dengan bahasa yang kasar. Karena dirinya merasa tidak ada yang salah dalam melakukan kegiatan jurnalistik.

    “Ngapain kamu ngeliput disini, gak usah kamu usik usik proyek ini. Kamu tahu, saya Tapeng, ini kerjaan saya, saya yang ngamanin proyek ini. Jadi gak usah kamu sok sok mau cari masalah. Kamu lebih baik cepet pergi dari pada saya tambah emosi liat kamu, nanti kamu mati disini sembari menarik saya ke motor.” Kata Ishar menirukan ucapan Tapeng.

    Tidak sampai disitu, setelah dirinya diintimidasi dan diusir dari lokasi proyek. Tidak berselang lama datang teman preman itu dan langsung melakukan pemukulan di bagian belakang tubuh Ishar.

    “Saat saya diatas motor, tiba tiba sambil mengoceh tidak jelas, rekan Tapeng memukul punggung bagian belakang saya. Saat hendak memukul yang kedua kalinya saya langsung menarik gas motor jadi tidak kena. Kemudian keluar satu orang lagi dari rumah membawa parang apa kayu saya kurang jelas melihat hendak mencegat saya, namun saya tancap gas pergi dengan motor.” Papar Ishar.

    Atas kejadian tersebut, Ishar yang merasa terancam lantas melaporkan kejadian kekerasan terhadap wartawan itu ke Polres Mesuji dengan registrasi laporan Nomor : STPL/112/VIII/2023/SPKT/RES MESUJI/POLDA LAMPUNG.

    “Saya berharap agar kiranya Polres Mesuji dapat segera menindaklanjuti laporan tersebut.” Harap Ishar. (Red)

  • Preman Ancam Jurnalis Divonis 1 Tahun Penjara, Jadi Contoh Penegakan UU Pers

    Preman Ancam Jurnalis Divonis 1 Tahun Penjara, Jadi Contoh Penegakan UU Pers

    sinarlampung.co – Komite Keselamatan Jurnalis (AJI, PFI & IJTI) Kota Medan menegaskan kasus preman yang mengancam jurnalis bisa dijadikan contoh penanganan kasus pelanggaran UU Pers ke depan.

    Kasus tersebut dengan terdakwa Jai Sanker alias Rakes yang telah dijatuhi hukuman 1 tahun penjara oleh hakim PN Medan.

    “Ini membuktikan siapa yang merintangi, mengancam, serta melakukan kekerasan terhadap kerja jurnalis akan mendapat konsekuensi hukum,” kata Ketua AJI Medan, Cristison Sondang Pane, melansir detiksumut, minggu (16 Juli 2023).

    Baca Juga: Erick Thohir Laporkan Podcast Tempodotco Ke Dewan Pers

    Dengan adanya contoh tersebut, Tison berharap tindakan serupa tidak terulang lagi. Ia meminta agar semua pihak dapat menghormati kerja jurnalis di lapangan. Ia mengimbau agar seluruh jurnalis turut pula menjalankan tugas secara profesional.

    “Sesuai dengan kode etik dan UU Pers. Ini jadi pelajaran pula, bila jurnalis mendapatkan kasus serupa agar segera melapor ke polisi. Sebab, jurnalis untuk memenuhi kepentingan publik,” ujarnya.

    Sementara, Sekretaris PFI Medan, Arifin Al Alamudi menambahkan kasus Rakes merupakan peringatan bagi pihak mana pun agar tidak memandang sepele terhadap kerja jurnalis.

    “Bagi rekan jurnalis harus ingat pula di lapangan sebaiknya membawa kartu identitas sebagai penanda,” ucapnya.

    Lagi Viral: Kabar Habib Bahar Nikahi Gadis Ternyata Hoax

    Ketua Pengda IJTI Sumut, Tuti Alawiyah Lubis menambahkan aparat penegak hukum juga harus memahami implementasi Pasal 18 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.

    Sehingga, ketika terjadi kasus serupa kepolisian dimana pun dapat memproses laporan yang dilayangkan korban.

    Terpisah, Wakil Direktur LBH Medan, Alinafiah Matondang mengatakan jurnalis merupakan pilar demokrasi. Menurutnya, jika jurnalis dihalangi maka masyarakat terhalang mendapatkan hak informasi.

    “Menghalangi kerja jurnalis sama artinya menghalangi pemenuhan informasi kepada publik,” sebutnya.

    Ia menegaskan, bahwa informasi yang disampaikan jurnalis, seyogyanya menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengontrol beragam kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.

    Sebelumnya diberitakan, majelis hakim PN Medan memvonis terdakwa Rakes dengan hukuman 1 tahun penjara. Vonis itu diketahui lebih berat dari tuntutan jaksa.

    Ketua Majelis Hakim As’ad Rahim mengatakan terdakwa secara sah melanggar Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam perkara ini, Rakes didakwa karena menghalangi kerja jurnalistik dengan mengancam wartawan di lapangan.

    Pertama, mengadili menyatakan terdakwa Jai Sanker terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja menghalangi peliputan pers sebagaimana dakwaan ke-1. Dua menjatuhkan terdakwa pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 tahun,” kata Hakim As’ad, Selasa, (11/7/2023) lalu.

    Setelah membacakan putusan, hakim menanyakan tanggapan terkait putusan itu. Penasihat hukum dan jaksa sama-sama mengatakan pikir-pikir.

    Untuk diketahui, vonis terhadap terdakwa lebih berat dari tuntutan JPU. Jaksa Septian Napitupulu menilai perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa telah melanggar Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

    Sehingga jaksa Septian meminta kepada majelis hakim untuk menjatuhkan pidana selama 6 bulan penjara.

    “Meminta kepada majelis hakim yang mengadili dan menangani perkara ini agar menjatuhkan hukuman kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 6 bulan,” kata jaksa Septian di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (27/6). (Red)

  • Mahkamah Konstitusi Tolak Seluruh Gugatan Uji Materil UU Pers

    Mahkamah Konstitusi Tolak Seluruh Gugatan Uji Materil UU Pers

    Jakarta (SL)-Permohonan uji materi atau judicial review tentang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya menolak gugatan uji materiil UU Pers diajukan oleh pemohon, Rabu, 31 Agustus 2022.

    “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Usman Anwar saat memimpin sidang.

    Dengan demikian permohonan uji materiil terhadap UU Pers itu pun gugur. MK juga membantah beberapa argumen yang diajukan pemohon.

    Tudingan, bahwa hanya Dewan Pers yang membuat aturan organisasi pers dimentahkan oleh MK. Menurut MK, Dewan Pers memfasilitasi pembahasan bersama dalam pembentukan peraturan organisasi konstituen pers.

    Dalam hal ini tidak ada intervensi dari pemerintah maupun Dewan Pers. Fungsi memfasilitasi, dinilai MK sesuai dengan semangat independensi dan kemandirian organisasi pers.

    Adanya tuduhan bahwa Pasal 15 ayat 2 UU Pers membuat Dewan Pers memonopoli pembuatan peraturan tentang pers juga dibantah MK. “Tuduhan monopoli pembuatan peraturan oleh Dewan Pers adalah tidak berdasar,” tutur Usman.

    Tentang gugatan atas uji kompetensi wartawan (UKW), MK menyatakan, bahwa hal itu merupakan persoalan konkret dan bukan norma (aturan). Masalah ini juga sudah diputuskan pada tahun 2019 dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Soal kemerdekaan pers, MK menyatakan, Pasal 15 ayat 2 huruf (f) dan Pasal 15 ayat 5 UU Pers tidak melanggar kebebasan pers. Bahkan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat pun tidak dihalangi oleh pasal tersebut.

    Menanggapi keputusan tersebut, Wakil Ketua Dewan Pers, M Agung Dharmajaya, mengaku bersyukur. Ia berpendapat, sembilan hakim MK telah menjalankan tugasnya dengan pikiran jernih dan bersikap adil.

    “Itu juga menandakan tidak ada hal yang kontradiktif antara Pasal 15 ayat 2 huruf (f) dan Pasal 15 ayat 5 dalam UU Pers dengan UUD 1945. Justru pasal-pasal dalam UU Pers itu sinkron dengan UUD 1945,” ungkap dia.

    Sedangkan anggota Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengutarakan secara umum apa yang digugat oleh para pemohon adalah masalah konkret dan bukan norma. Itu sebabnya dia mengimbau agar semua konstituen pers yang merasa tidak puas atas ketentuan yang dibuat oleh organisasi pers hendaknya memberi masukan.

    Masukan itu akan melengkapi dan memperbaiki ketentuan yang dibuat oleh insan pers tersebut. “Dengan keputusan MK ini, kami berharap semua pihak bisa mematuhi. Tak hanya terbatas pada insan dan organisasi pers, akan tetapi pemerintah pun perlu mematuhinya,” katanya. (/Red)

  • Presiden Beri Jawaban Tertulis Dalam Gugatan Soal Dewan Pers

    Presiden Beri Jawaban Tertulis Dalam Gugatan Soal Dewan Pers

    Jakarta (SL)-Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memberikan keterangan tertulis secara daring pada sidang Uji Materi pasal 15 Ayat (2) huruf f dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin 11 Oktober 2021 siang.

    Keterangan Presiden Joko Widodo disampaikan melalui kuasa hukumnya Menteri Hukum dan Ham RI Yasona Laoli dan Menteri Kominfo Johny Plate, dibacakan langsung oleh Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Usman Kansong.

    Menurut Presiden, pasal 15 Ayat (2) huruf f bukanlah ketentuan yang sumir untuk ditafsirkan, rumusannya sudah sangat jelas dalam memberikan suatu pemaknaan bahwa fungsi Dewan Pers adalah fasilitator dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers.

    “Memperhatikan definisi kata memfasilitasi tersebut maka maknanya, Dewan Pers tidak bertindak sebagai lembaga pembentuk atau regulator karena berdasarkan ketentuan a quo UU pers, penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers dilakukan oleh organisasi-organisasi pers,” katanya.

    “Hal tersebut telah secara jelas disebutkan setelah kata memfasilitasi dalam ketentuan a quo terdapat frasa organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan pers. Sehingga rumusan tersebut tidak dapat ditafsirkan menghalangi hak organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers. Namun justru Dewan Pers yang memfasiltasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan pers,” lanjutnya.

    Presiden juga menjelaskan, dalam implementasinya berkenaan dengan peraturan-peraturan yang disusun oleh organisasi pers, diterbitkan sebagai peraturan Dewan Pers. Hal tersebut lebih kepada konsensus di antara organisasi-organisasi pers agar terciptanya suatu peraturan-peraturan pers yang kohesif yang dapat memayungi seluruh insan pers.

    Sehingga tidak terdapat peraturan-peraturan organisasi pers yang bersifat terpisah, sporadis, dan justru bertentangan dan menyebabkan ketidakpastian hukum, dan menghambat terciptanya peningkatan kehidupan pers nasional yang sehat.

    Pada bagian lain, Presiden menjelaskan, apabila para pemohon mendalilkan organisasi nya bernama Dewan Pers Indonesia maka itu bukanlah nomen klatur dan entitas yang dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1) UU Pers.

    “Berdasaran hal tersebut Dewan Pers Indonesia, organisasi atau forum organisasi pers yang menjadi anggotanya tidak memerlukan penetapan dari presiden dalam bentuk keputusan presiden. Dan tidak ditangapinya permohonan penetapan anggota Dewan Pers Indonesia oleh Presiden bukanlah suatu perlakuan diskiriminatif yang melanggar UUD 1945 melainkan suatu tindakan yang telah sesuai dengan hukum yang berlaku,” urainya.

    Pada kesempatan yang sama, Anggota Majelis Hakim Saldi Isra meminta kepada pihak pemerintah supaya Mahkamah Konstitusi diberi tambahan keterangan terutama tentang risalah pembahasan terkait dengan perumusan konstruksi Pasal 15 Ayat (2) dan ayat (3) UU Pers.

    “Kami perlu tahu apa yang disampaikan oleh para penyusun UU itu. Karena kami khawatir bisa saja apa yang dikemukakan oleh pemerintah adalah pemahaman tentang hari ini. Oleh karena itu kami (perlu) dibantu agar tidak terjadi keterputusan semangat yang ada dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Pers tersebut untuk membantu kami secara komprehensif memahami dua norma yang diuji materi oleh pemohon,” tandasnya.

    Sementara Anggota Majelis Hakim Suhartoyo menanggapi langsung pernyataan pemerintah yang mempertanyakan legal standing pemohon. “Sebenarnya kami tidak begitu memerlukan keterangan soal legal standing yang disampaikan pemerintah karena itu menjadi wilayah mahkamah untuk mencermati dan menilai. Tapi sebagaimana keterangan dari Presiden itu selalu mempersoalkan pada legal standing padahal diperlukan sesungguhnya adalah substansi dari pada yang dipersoalkan atau norma yang dipersoalkan oleh pemohon itu,” kata Suhartoyo.

    Karena sudah mengaitkan dengan legal standing maka, Suhartoyo mempertanyakan, bagaimana kementerian Kominfo ikut mengendalikan soal organisasi pers ini. “Karena hal itu penting untuk kaitannya dengan legal standing yang dipersoalkan di keterangan presiden itu.,” katanya.

    “Bisa ditambahkan organsiasi apa saja yang kemudian terdaftar dan memenuhi. Apakah kemudian tetap diserahkan kepada dewan pers melalui konsensusnya itu ataukah ada persyaratan yang secara yuridis tidak terpenuhi,” ungkapnya.

    Sedangkan Ketua Majelis Hakim Anwar Usman mengatakan, keterangan pemerintah sudah cukup lengkap. “Dan ini tumben dilampiri dengan daftar bukti pemerintah yang berupa memori fantulikting yang dikaitkan dengan apa yang diujikan,” ujar Usman.

    Usman juga meminta pihak terkait Dewan Pers untuk memberi keterangan terkait praktek dewan pers selama ini. “Mahkamah meminta dijelaskan praktek selama ini dan bagimana keunggulan kelebihan yang selama ini terjadi dalam rangka Dewan Pers itu bisa menjadi satu garda terdepan dalam rangka menjaga pemberitaan yang dilakukan media cetak maupun elektronik, dan media sosial bisa betul-betul mengawal berita-berita yang bertanggungjawab, objektif, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (bukan) berita yang malah bisa merusak kohesi nasional selama ini,” ujarnya.

    Daniel Yusman, Angota Majelis Hakim lainnya, juga meminta penjelasan pemerintah dan pihak terkait mengenai jumlah perusahaan pers dan jumlah organsiasi pers. Selain itu Yusman meminta keterangan mengenai sejarah sejak perubahan UU Pers apakah pernah tidak di SK kan oleh Presiden, atau selama ini setelah perubahan selalu ada SK Presiden terkait pengakatan anggota Dewan Pers.

    “Karena dalam permohonan pemohon semangatnya berharap presiden hanya menjalankan fungsi administratif jadi tidak ada kewenangan untuk tidak mengeluarkan SK Presiden,” ujarnya.

    Menanggapi keterangan Presiden, Hence Mandagi selaku pemohon membantah pernyataan pemerintah bahwa bahwa sejak UU Pers berlaku selama 22 tahun tidak ada pemohon yang mempermasalahkan ketentuan a quo namun begitu ada implementasi yang tidak menguntungkan para pemohon maka baru mengajukan uji materi.

    “Faktanya organisasi dan wartawan sering melakukan protes atas kebijakan dan peraturan Dewan Pers baik di Gedung DPR RI maupun di depan Gedung Dewan Pers. Dan memuncak pada tahun 2018 lalu. Bahkan pelaksanaan Musyawarah Besar Pers Indonesia 2018 dan Kongres Pers Indonesia 2019, termasuk gugatan di PN Jakata Pusat adalah wujud protes terhadap kebijakan Dewan Pers yang banyak menyebabkan terjadinya kriminalisasi pers di berbagai daerah, dan termasuk protes terhadap peraturan Dewan Pers yang mengambil alih kewenangan organisasi pers,” ungkap Mandagi.

    Bahwa pemerintah mengungkapkan, telah ada keputusan sengketa pers yang sudah berkekuatan hukum tetap hingga ke tingkat Pengadilan Tinggi atas gugatan yang diajukan Ketum SPRI Hence Mandagi dan Ketum PPWI Wilson Lalengke.

    “Sesunguhnya ada informasi yang tidak diungkap secara utuh oleh pemerintah. Bahwa Keputusan Majelis Hakim tingkat Pengadilan Tinggi memang tidak mengabulkan gugatan pemohon. Namun telah menerima permohonan penggugat untuk membatalkan keputusan majelis hakim tingkat PN yang menyatakan peraturan Dewan Pers adalah merupakan peraturan perundang-undangan.

    “Kami tidak memilih kasasi ke Mahkamah Agung RI karena syarat pembatalan sebuah peraturan lembaga di Mahkamah Agung adalah peraturan tersebut harus merupakan peraturan perundang-undangan dan masuk dalam lembar negara. Sementara peraturan Dewan Pers bukan peraturan perundangan karena sudah dibatalkan di tingkat PN dan peraturan Dewan Pers tidak ada dalam lembar negara yang bisa dibatalkan oleh MA,” katanya lagi.

    Sementara, dalam pernyataan Presiden bahwa pelaksanaan pemilihan Anggota Dewan Pers Indonesia tidak ada cerminan dari pasal aquo karena dilakukan tanpa menggunakan perwakilan unsur. Melainkan hanya berdasarkan Kongres Pers yang demokratis, menurut Mandagi adalah tidak benar.

    “Pelaksanaan pemilihan anggota Dewan Pers Indonesia pada kongres Pers dilakukan berdasarkan pengusulan nama-nama calon yang mewakili unsur wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan, pimpinan perusahaan pers yang dipilih organsiasi perusahaan pers, dan tokoh masyarakat, ahli di bidang pers atau komunikasi dan bidang lainnya dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Buktinya dalam daftar anggota Dewan Pers terdapat nama-nama yang berasal dari tokoh masyarakat dan ahli di bidang komunikasi, salah satunya adalah pakar komunikasi Emrus Sihombing,” papar Mandagi.

    Pemohon lainnya, Soegiharto Santoso usai persidangan mengatakan, pihaknya memberi apresiasi atas kehadiran Presiden melalui keterangan tertulis yang disampaikan oleh kuasa hukum Menteri Kominfo dan Menkumham RI.

    “Saya menilai apa yang sudah disampaikan Presiden makin memperjelas bahwa kewenangan membuat peraturan pers ada pada organisasi-organisasi pers bukan oleh Dewan Pers. Jadi selama ini peraturan Dewan Pers yang mengatasnamakan konsensus dengan para pimpinan organisasi pers seharusnya tidak boleh diterjemahkan menjadi peraturan Dewan Pers,” uraianya.

    “Seharusnya konsensus itu harus diterapkan dan ditetapkan dengan Surat Keputusan oleh masing-masing organisasi pers menjadi Peraturan Pers secara serentak dan seragam di seluruh organisasi pers termasuk kode etik jurnalistik,” ungkap Soegiharto yang juga menjabat Ketua Dewan Pengawas LSP Pers Indonesia, serta sempat menjadi ketua panitia kongres Pers Indonesia tahun 2019 di Gedung Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.

    Namun menurut Hoky sapaan akrabnya, dalam prakteknya Dewan Pers justru membuat konsensus itu menjadi peraturan Dewan Pers dan menerapkannya kepada seluruh organisasi pers, kemudian menghilangkan hak organisasi pers untuk memilih dan dipilih menjadi anggota Dewan Pers dengan cara menentukan secara sepihak organisasi pers yang jadi konstituennya.

    “Hampir seluruh organisasi pers yang membuat konsensus dinyatakan secara sepihak oleh Dewan Pers bukan lagi sebagai konstituennya sehingga tidak berhak lagi mengajukan calon dan memilih anggota Dewan Pers,” ungkap Hoky mengurai fakta sejarahnya.

    Sementara itu, di luar persidangan, Ketua Persatuan Wartawan Mingguan Indonesia Gusti Suryadarma yang ikut menyaksikan jalannya persidangan melalui chanel youtube MK, mengatakan, pemerintah kelihatan jelas tidak tahu apa yang terjadi di insan pers Indonesia selama ini. Pemerintah menurutnya, tidak tahu ada kezaliman, ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum, dan bahkan cenderung ke arah pelanggaran hukum.

    “Pemerintah mengatakan Dewan Pers menjalankan fungsinya sesuai UU Pers, namun pemerintah tidak tahu bahwa Dewan Pers sudah berubah fungsi menjadi eksekutor yang mengakibatkan kerugian materi berbagai pihak dan bahkan terjadi kriminalisasi wartawan dan perpecahan insan pers nasional. Kebijakan Dewan Pers yang melampaui kewenangannya siapa yang bertanggung-jawab? Makanya Pasal 15 UU Pers perlu direvisi,” kata Gusti.

    Sidang lanjutan perkara nomor 38/PUU-XIX/2021 akan dilaksanakan pada Selasa 9 November 2021 jam 11.00 wib untuk mendengarkan keterangan pihak DPR RI dan pihak terkait Dewan Pers. (*/wagiman)

  • Juniardi: Halangi Wartawan dalam Bertugas, Dipidana 2 Tahun Penjara dan Denda Rp500 Juta

    Juniardi: Halangi Wartawan dalam Bertugas, Dipidana 2 Tahun Penjara dan Denda Rp500 Juta

    Tulang Bawang (SL) –  Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung, Juniardi, mengatakan siapa saja yang melakukan kekerasan dan menghalangi wartawan dalam melaksanakan tugas peliputannya, maka si pelaku dapat dikenakan sanksi pidana.

    Ancamannya tidak main-main, pelaku dapat dikenakan hukuman penjara selama 2 tahun dan denda maksimal Rp500 juta. Sanksi itu, tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 1999 tentang pers.

    Hal itu, ia utarakan saat memberikan materi pelatihan kepada operator kampung se-Kabupaten Tulang Bawang, di Hotel Le’Man, Selasa, 21 September 2021.

    “Dalam ketentuan pidana pasal 18 itu dikatakan setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang dapat menghambat atau menghalangi ketentuan pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 terkait penghalang-halangan upaya media untuk mencari dan mengolah informasi, dapat dipidana dalam pidana kurungan penjara selama 2 tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah. Jadi ini ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang pers,” ujar Juniardi.

    Dia menjelaskan, dalam pasal 4 Undang-Undang Pers menjamin kemerdekaan pers, dan pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh dan menyebar luaskan gagasan dan informasi.

    Dalam sejumlah kasus, jurnalis kerap mendapatkan kekerasan fisik, verbal, perampasan alat kerja maupun teror.

    Pelakunya pun beragam, mulai dari aparat keamanan, pejabat maupun masyarakat, terutama ketika meliput di daerah konflik.

    Ia pun mengingatkan, semua pihak agar tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap jurnalis, ketika tengah melakukan tugas peliputan.

    Kata dia, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan narasumber atau objek pemberitaan, saat merasa tidak puas dan kecewa terhadap kerja wartawan.

    Cara yang ia maksud yakni dengan melaporkan persoalan tersebut kepada dewan pers atau kepada kantor media yang melakukan peliputan.

    Dirinya berharap, wawasan yang didapatkan peserta dalam pendidikan singkat itu, dapat menjadi pelajaran ketika berhadapan dengan media dan wartawan yang sedang melakukan peliputan. (red)

  • Rizal Ramli : Surya Paloh Seharusnya Paham UU Pers

    Rizal Ramli : Surya Paloh Seharusnya Paham UU Pers

    Jakarta (SL) – Surya Paloh, sebagai tokoh pers, seharusnya paham bahwa berbeda pendapat lewat media, sesuai UU Pers, diperkarakan lewat Dewan Pers, bukan pidana polisi. Hal itu di katakan ekonom Rizal Ramli, terkait laporan Surya Paloh ke Bareskrim Polri.

    “Saudara Surya Paloh itu tokoh pers Indonesia. Seharusnya, beliau komit dengan demokratisasi dan komit untuk menegakan UU Pers,” kata RR, singkatan Rizal Ramli, di Bareskrim Polri, Jakarta Pusat, Senin (26/11).

    Dijelaskan RR, dalam UU 40/1999 tentang Pers, jika ada perbedaan interpretasi diselesaikan melalui Dewan Pers. Apalagi, ada nota kesepahaman antara kepolisian dan pers bahwa sengketa jurnalistik diselesaikan Dewan Pers.

    “Tetapi, yang terjadi, saya enggak ngerti kenapa tiba-tiba kami dipolisikan  padahal yang kami sampaikan itu semua di televisi, seharusnya Bung Surya memahami betul itu,” ujar Ramli.

    Ekonom senior tersebut memenuhi panggilan penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber (Ditipidsiber) Bareskrim Polri untuk diperiksa sebagai saksi pelapor atas dugaan pencemaran nama baik dengan terlapor Surya Paloh. (Rml/nt)