Tag: Walhi

  • Perusak Mangrove Teluk Betung Ditangkap Polda Lampung

    Perusak Mangrove Teluk Betung Ditangkap Polda Lampung

    Bandar Lampung, (SL) – Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Subdit IV Tipidter Polda Lampung menangkap pelaku perusakan ekosistem Mangrove di pesisir pantai di Telukbetung Selatan Bandarlampung.

    Kasubdit IV Tipidter Akbp Yusriandi menjelaskan, perusakan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil terjadi sejak Mei 2022 sampai Oktober 2022. Lokasinya di Jalan Teluk Bone I rt 05 Lk II, Kelurahan Kota Karang, Kecamatan Teluk Betung Timur.

    “Pelaku adalah saudara HS. Perusakan dilaporkan oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Lampung ke Polda Lampung. Setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh Subdit IV Tipidter, benar bahwa saudara HS Bin Ambontang melakukan perbuatan penebangan pada ekosistem mangrove di kawasan ruang zonasi ekosistem mangrove tersebut,” ungkapnya.

    Baca Juga: Walhi Ajak Generasi Muda Peduli Lingkungan

    “Peristiwa tersebut sebelumnya sudah dilakukan upaya preventif berupa peneguran oleh pihak Kelurahan Kota Karang, Bandar Lampung bersama WALHI Lampung, Team Gakkum Lingkungan Provinsi Lampung yang terdiri Dinas Kelautan dan Perikanan didampingi Dinas Lingkungan Hidup Kota/Provinsi Lampung. Sayangnya teguran tersebut tidak dindahkan oleh saudara HS,” ucap Yusriandi.

    Pelaku HS telah melakukan penebangan/ perusakan mangrove pada kawasan konservasi tersebut seluas 2.500 m2 yang kemudian pada lokasi bekas penebangan dijadikan kolam untuk budidaya udang.

    Adapun barang bukti yang berhasil diamankan yakni :

    1 (Satu) buah alat batang besi yang digunakan untuk menggali lumpur pada ekosistem Mangrove atau alat tersebut lazim disebut Petiba

    1 (Satu) buah cangkul

    1 (Satu) batang pipa paralon ukuran 12 inci dengan panjang sekitar 1,5 meter

    2 (Dua) batang kayu Mangrove bekas tebangan

    HS telah melanggar Pasal 73 ayat 1 huruf b Jo Pasal 35 huruf e, f dan g UU RI nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diubah pada pasal 18 perpu pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang cipta kerja menjadi Undang-undang.

    Dengan ancaman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.

    Saat ini berkas sudah dilimpahkan ke JPU dan sampai dengan saat ini proses penyidikan berkas perkara tersebut dalam tahapan penelitian Kejaksaan tinggi Lampung (Tahap I), guna melanjutkan perkara tersebut secara tuntas sampai dengan P21 (lengkap). (Red)

  • ‘Kangkangi’ Penegak Hukum, Tambang Illegal Tetap Beroperasi

    ‘Kangkangi’ Penegak Hukum, Tambang Illegal Tetap Beroperasi

    Bandarlampung (SL) – Walau sudah ada tiga tambang yang tutup terkait laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Lampung, menyikapi puluhan tambang Illegal, namun masih banyak tambang illegal lainnya tetap beroperasi tanpa mengindahkan prosedur hukum (Kangkangi-red).

    Hal ini terlihat dari penyelusuran sinarLampung.co, pada Jumat (16/04/2021), saat meninjau lokasi tambang milik HK yang berada di Jalan Soekarno-Hatta ByPass sekitaran simpang Jalan Ir. Sutami Bandarlampung.

    Salah seorang petugas jaga tambang illegal mengatakan, jika kondisi sedang sepi dan mengatakan jika tambang merupakan milik oknum DPRD, sedangkan HK hanya pengelola dan pemilik alatnya.

    Sayangnya, baik HK selaku pengelola dan oknum DPRD yang dimaksud saat dihubungi melalui seluler enggan menjawab dan tidak aktif.

    Padahal, Walhi sebelumnya akan kembali melayangkan surat ke Polda dan Pemerintah Provinsi Lampung, terkait masih beroperasinya tambang illegal.

    Pasalnya, walau sudah ada beberapa tambang yang ditutup, namun masih ada tambang illegal yang tetap beroperasi tanpa takut berurusan dengan penegak hukum.

    Dikatakan Irfan Tri Musri, Minggu (11/04/2021), jika pihaknya telah memberitahukan ke aparat terkait guna menindaklanjuti hasil temuan penggerusan bukit yang akan berdampak lingkungan hidup masyarakat akibat debu dan banjir.

    “Walau sudah diambil tindakan oleh pihak aparat, tapi pengelola tambang Illegal sepertinya kebal hukum dan masih terus beroperasi,” ujar Irfan.

    Bahkan, lanjut Direktur Walhi ini, terlihat dilapangan hilir mudik kendaraan truk pengangkut penggerusan bukit Illegal kian marak dan menimbulkan debu dan kotoran karena tertiup angin.

    “Saat ini sedang musin hujan dan panas serta angin kencang. Kalau hujan turun sebagian wilayah yang dilalui truk menjadi kotor dan kalau musim panas maka akan timbul debu dan beterbangan terhempas angin sehingga menimbulkan polusi udara di lingkungan masyarakat,” ungkapnya.

    Untuk itu, Walhi kembali akan melayangkan surat mendesak aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan tegas dan jangan tebang pilih dalam penegalan hukum bagi para penambang Illegal.

    “Saya harap Polda bertindak tegas karena ini menyangkut kelangsungan hidup orang banyak, bukan segelintir orang yang hanya menuntut kepentingan sendiri,” tegas Irfan Tri Musri.

    Gubernur Lampung pula sebelumnya berjanji akan menutup seluruh tambang ilegal di wilayah Kota Bandarlampung.

    “Saya segera memerintahkan Sekda agar Kepala Dinas ESDM menindaklanjuti ini. Pengerusan bukit harus dihentikan. Jangan lihat orang dibelakangnya. Ini menyangkut lingkungan. Kita harus jaga lingkungan perbukitan. Seharusnya bukit bukit yang ada di Provinsi Lampung termasuk di Bandarlampung dijaga keberadaanya. Jangan dirusak,” kata Arinal Djunaidi. (Aan/Red)

  • Walhi Catat Sejumlah Kasus Paling Menonjol di Provinsi Lampung Tahun 2020

    Walhi Catat Sejumlah Kasus Paling Menonjol di Provinsi Lampung Tahun 2020

    Bandar Lampung (SL)-Sepanjang tahun 2020, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Lampung mencatat sejumlah hal yang paling menonjol terkait dengan kebijakan dan kasus pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Lampung.

    Ada pun salah satunya yaini terkait disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) secara nasional, akan mengancam keberlangsungan lingkungan hidup.

    Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri mengatakan, untuk di Provinsi Lampung hal lain yang menonjol terkait revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 tahun 2018, tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Lampung. Dalam hal ini Walhi meminta DPRD Provinsi Lampung, untuk menghentikan revisi perda tersebut.

    “Hal lainnya yang menonjol, kasus penambangan pasir di Lampung Timur yang mengkriminalisasi para nelayan. Kemudian kasus illegal loging di Taman Hutan Raya Wah Abdul Rahman, terdapat dua kasus yang memotong ratusan pohon,” kata Irfan Tri Musri saat ekspos catatan akhir tahun 2020, Selasa 19 Januari 2021.

    Selanjutnya ada eksploitasi alih fungsi lahan mangroove di Lampung Selatan. Catatan sementara Walhi, ada sekitar 2.000 hektar hutan mangroove di Lampung. Junlah ini jika dikalkulasikan 30 persen garis pantainya, harusnya mininal ada 4.000 hektar hutan mangroove di Lampung.

    “Selain itu, alih fungsi ini akan semakin memperparah kerusakan iklim global. Hal ini dikarenakan pohon mangroove, memiliki cadangan karbon lebih banyak dari tumbuhan dan pepohonan biasanya,” ujar Irfan Tri Musri seperti dilansir lampungpro.co.

    Terkait potensi bencana alam di Lampung, saat ini cukup beragam mulai besaran iklim yang berpotensi menimbulkan bencana kekeringan, kebanjiran, hingga abrasi pantai. Kemudian kenaikan permukaan air laut dan lainnya, terutama di Bandar Lampung potensi banjir cukup masif.

    Terkait zona merah bencana alam secara spesifik Walhi belum memetakan, tapi yang menjadi perhatian tentu wilayah pesisir Lampung yang berpotensi.

  • Walhi Somasi Presiden Jokowi Soal Maraknya Kriminalisasi Aktivis Lingkungan

    Walhi Somasi Presiden Jokowi Soal Maraknya Kriminalisasi Aktivis Lingkungan

    Jakarta (SL)-Aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melayangkan somasi terbuka kepada Presiden Jokowi. Mereka menilai Kepala Negara bertanggung jawab atas kriminalisasi terhadap para aktivis lingkungan. Manager Departemen Kebijakan dan Pembelaan Hukum Lingkungan Eksekutif Nasional Walhi, Edo Rakhman  mengungkapkan kekerasan fisik yang dialami para aktivis lingkungan hidup semakin meningkat.

    Bahkan, menurut mereka seperti dilansir dari RMOL, berujung pada penjara karena adanya kriminalisasi. “Pola kriminalisasi melibatkan aparat penegak hukum, khususnya penyidik, menggunakan proses hukum pidana tanpa bukti permulaan yang cukup atau probable cause atau bukti yang diada-adakan,” kata Edo Rakhman.

    Aparat melakukan dengan itikad buruk atau improper motive atau improper purpose, ujarnya dalam konferensi pers di kantor Walhi, kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (28/12). Menurut dia, kriminalisasi biasanya menggunakan pasal-pasal pembalasan, seperti penghinaan kehormatan lambang negara, penyebaran ajaran komunisme, pencurian, perusakan dan lain-lain dengan proses terbilang tidak wajar.

    Tujuannya adalah untuk merusak reputasi dan menghalangi aktivis lingkungan hidup selaku korban dalam melakukan aktivitasnya. Hal itu diduga dilakukan berlatarkan motif politik dan ekonomi. Padahal ditegaskannya, jaminan atas hak dan perlindungan kerja-kerja terhadap pembela HAM dan lingkungan hidup sudah jelas-jelas diatur dalam Pasal 66 UU PPLH Nomor 32/2009. Yang mana pasal ini menjelaskan bahwa para aktivis lingkungan hidup seyogyanya mendapatkan perlindungan dari penuntutan secara pidana ataupun gugatan secara perdata.

    Bahkan pada 2013, Mahkamah Agung telah menerbitkan Keputusan Ketua MA No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup yang secara umum mengatur agar para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup agar bersifat progresif, subtantif dan humanis.

    “Makanya bersama ini menyampaikan somasi terbuka kepada Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia yang tidak b ertanggung jawab atas kriminalisasi para pejuang lingkungan hidup di berbagai daerah di Indonesia,” tegasnya.

    Berdasarkan catatan Walhi, setidaknya ada delapan contoh kasus yang diduga hasil kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan. Diantaranya kasus Budi Pego di Jawa Timur, kasus Deddy Febrianto di NTT, Trisno Susilo di Kalimantan Barat, di Sulawesi Tengah ada beberapa pejuang lingkungan hidup seperti Frans, M. Jufri, Suparto, Sikusman, dan Mulyadi.

    Kelima kasus Weldi Pranico, Yandri Suparto, Yuli Mesti, dan Lenri di Sumatera Barat. Kemudian kasus Sulaiman, Mastono, Bahrudin, Musqafirin, dan Surdin di Pulau Pari Kepulauan Seribu. Lalu kasus Sukma, Dananto, dan Samin di Indramayu Jawa Barat. Lalu yang terakhir kasus yang menimpa Muhammad Hisbun Payu, Kelvin Ferdiansyah, Sutarno, Sukemi Edi Susanto, serta Brilian Yosef Naufal di Jawa Tengah. (rml/jun)

  • Aksi Warga Pedukuhan Sepat Mempertahankan Kelestarian Waduk Berbuah Kriminalisasi

    Aksi Warga Pedukuhan Sepat Mempertahankan Kelestarian Waduk Berbuah Kriminalisasi

    Surabaya (SL) – Usaha mempertahankan waduk sepat, oleh warga di Surabaya Jawa Timur sejak 2008, justru “berbuah” kriminalisasi warganya , saat ini waduk sepat ditukar guling kepada pengelola swasta Ciputra, meski memiliki fungsi resapan yang penting (termasuk pengendalian banjir), namun pemerintah justru tetap melakukan tukar guling yang diduga kuat terindikasi maladministrasi, meski belum ada izin apapun serta analisa lingkungan yang memadai, namun fakta dilapangan waduk sudah mulai diuruk untuk perumahan. Siang tadi, 3 Desember 2018. Pukul 11.00-12.00 warga didampingi WALHI akan melakukan pengaduan ke KOMNAS HAM

    Pemerintah Kota Surabaya saat ini gencar menunjukkan keindahan pengelolaan ruangnya dengan gambaran pohon-pohon Tabebuya yang tengah berbunga dengan tagline yang begitu menawan: Surabaya Berbunga. Namun kampanye keindahan tersebut seolah menutup mata pada kenyataan bahwa kegagalan tata kelola wilayah Kota Surabaya yang telah membiarkan aset-aset publik dikuasai pengambang-pengembang besar telah mengakibatkan setidaknya dua orang warga menghadapi ancaman kriminalisasi. Senin (3/12) 15 warga kota Surabaya yang berasal dari Pedukuhan Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri mendatangi kantor Komnas HAM dan Kompolnas untuk mengadukan nasib mereka yang sekarang dilaporkan oleh pengembang perumahan PT Ciputra Surya kepada pihak kepolisian. Padahal aksi spontan yang dilakukan warga merupakan respon dari usaha mereka untuk mempertahankan kelestarian waduk yang berada di lingkungan mereka.

    Dalam laporannya, pihak PT Ciputra Surya, Tbk membuat tuduhan bahwa warga pedukuhan Sepat telah memasuki pekarangan tanpa izin dan melakukan perusakan properti. Sebagai akibatnya dua orang warga bernama DARNO dan DIAN PURNOMO ditetapkan sebagai tersangka oleh POLDA JAWA TIMUR. Penetapan tersangka kepada dua orang ini jelas dapat dilihat sebagai upaya kriminalisasi atas dasar hal-hal berikut:

    Pertama, Warga masuk ke area waduk karena mendengar suara air deras menyerupai banjir, saat sedang melakukan Sholat Tarawih di dekat waduk. Padahal saat itu kondisinya tidak sedang hujan. Selain itu, Debit air yang mengalir di selokan yang terhubung dengan waduk, arusnya terpantau deras. Hal ini tentunya menimbulkan kecurigaan warga, bahwa ada upaya pengeringan waduk secara paksa, sehingga membuat warga harus bertindak agar waduk Sepat tidak mengering.

    Kedua, Sebelum memasuki lokasi waduk, warga terlebih dahulu berkoordinasi dengan LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) Lidah Kulon. Ketua LPMK Lidah Kulon justru menyarankan untuk bertemu di lokasi waduk Sepat langsung. Dengan dasar ini, warga akhirnya berbondong-bondong memasuki waduk melalui pintu utama waduk. Setelah di dalam waduk, warga langsung menghubungi Polsek Lakasantri dan Camat Lakasantri untuk datang ke lokasi. Tidak lama kemudian petugas Kepolisian Polsek Lakasantri tiba di lokasi.

    Ketiga, saat memasuki waduk dan mengecek pintu air waduk, warga menemukan bahwa memang pintu penutup air di bagian bawah sudah terpotong, sehingga tidak bisa ditutup kembali. Melihat hal tersebut, warga berkoordinasi dengan Polsek Lakasantri, Camat Lakasantri dan PT Ciputra Surya. Pihak Ciputra kemudian sepakat untuk membuatkan penutup pintu air yang sudah dipotong. Setelah menunggu hampir tiga jam penutup pintu air tersbut tidak kunjung datang, agar air di waduk tidak keluar terus menerus, warga berinisiatif menutup sementara pintu air dengan tanah yang ada di sekitar waduk sampai pintu air tertutup.

    Keempat, tidak ada perusakan apapun yang dilakukan oleh warga saat berada di lokasi waduk, bahkan tidak ada paksaan atau himbauan supaya warga keluar dari waduk. Warga keluar dari waduk karena inisiatif mereka sendiri. Jika diilihat dari hal tersebut, maka tuduhan kejahatan atas warga berdasarkan pasal 167 KUHP dan 170 KUHP tersebut menjadi tidak terbukti.

    Upaya kriminalisasi terhadap warga yang sedang memperjuangkan kelestarian lingkungan dan ruang hidupnya ini tentu saja bertentangan dengan pasal No. 66 UU 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memuat sebuah pasal yang berbunyi: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

    Namun pasal ini seolah tidak berarti dihadapan kerakusan investasi pemodal yang mengancam keselamatan lingkungan dan ruang hidup rakyat. Padahal warga dalam konteks kejadian, sedang menyelamatkan waduknya agar tidak dikeringkan. Apalagi, kasus ini terkesan dipaksakan dan seperti drama. Ada alur ceritanya, cukup klise dan naif. Padahal, dalam hukum harus benar-benar melihat konteks dan substansi. Jika memang warga dikriminalisasi atas nama hukum, maka ini preseden buruk bagi penerapan dan penegakkan hukum di Indonesia.
    Narahubung
    Rere Christanto (Direktur WALHI JATIM) +62 838-5764-2883
    Wahyu A. Perdana (Manajer Kampanye-Eksekutif Nasional WALHI) 082112395919

  • Sumatran Tiger Gelar Pelatihan Advokasi Konservasi Harimau Sumatera 

    Sumatran Tiger Gelar Pelatihan Advokasi Konservasi Harimau Sumatera 

    Acara Pelatihan Advokasi Untuk Mendorong Upaya Konservasi Harimau Sumatera Pada Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kabupaten Tanggamus, Kamis (15/3/18)

    Tanggamus (SL) – Populasi dan keberlangsungan harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) yang ada di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kabupaten Tanggamus dan Pesisir Barat perlu dijaga dan membutuhkan perhatian besar oleh semua pihak .

    Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini populasi harimau sumatera tersisa sebanyak 700 ekor. Diantara tiga spesies harimau di Indonesia, terdapat tiga spesies yakni harimau Bali,  Jawa dan Sumatera. Dari tiga spesies ini hanya harimau sumatra yang tersisa, dua diantaranya sudah punah.

    Sebagai upaya penyelamatan populasi harimau sumatera,  maka organisasi pemerhati lingkungan Sumatran Tiger merasa sangat perlu untuk melakukan berbagai upaya untuk menjaga keberlangsungan harimau sumatera.

    Hermansyah Dari Wanacala Lampung Sebagai Lembaga Anggota Forum Walhi. Kamis (15/3/18)

    Salah satu upaya tersebut yakni dengan dilakukannya pelatihan advokasi untuk mendorong upaya konservasi harimau sumatera pada Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kabupaten Tanggamus. Pelatihan ini dihadiri unsur WCS,  pemerintah dan kalangan media yang dipusatkan di Hotel 21 Gisting,  Tanggamus, Kamis (15/3/18). (r)

  • Wahrul Fauzi : Tangkap Pengrusak Kawasan Konservasi TNBBS

    Wahrul Fauzi : Tangkap Pengrusak Kawasan Konservasi TNBBS

    Wahrul Fauzi Silalahi SH, MH, saat rapat di DPP Nasdem, Jakarta waktu lalu. (Foto/dok/istri)

    Bandarlampung (SL)-Ketua Badan Hukum DPW Partai Nasdem Lampung, Wahrul Fauzi Silalahi, mengapresiasi langkah cepat Kepolisian Daerah Lampung dalam respon proses dalam mengantisipasi kerusakan lingkungan di kawasan ikon dunia, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di Way Haru, Pesisir Barat.

    “Kita sangat apresiasi Polda Lampung yang telah melakukan proses hukum cepat, terkait adanya pembangunan tambak ilegal dilahan konservasi, dengan menetapkan pengusaha tambak ilegal sebagai tersangka. Ini adalah bukti kerja cepat kepolisian,” kata Wahrul, di Bandarlampung, Senin (20/12).

    Menurut Wahrul, Partai Nasdem dalam restorasi linkungan hidup, yang juga fokus dengan kelestarian lingkungan, berterimakasih kepada WALHI yang cepat melapor ke Divisi KLKH Kemenhut, terkait temuan pengusaha tambak ilegal itu. “Negara harus melakukan audit, dan periksa para pihak yang terlibat dalam kegiatan dan meloloskan tambak tak berijin itu,” katanya.

    Temuan WALHI, kata Wahrul, adalah fakta fakta bahwa perusahaan itu bodong baik secara dokumen ijinnya. “Karena itu, negara harus berani menangkap pelaku yang terlibat, dan usir semua pelaku ilegal, Jangan sampai berkedok investasi tapi merusak lingkungan,” kata pria yang pernah tampil di acara Mata Nazwa itu.

    Wakil ketua bidang hukum dan Ham DPW Nasdem Lampung itu menjelaskan jika perusahaan sudah tidak patuh UU lingkungan hidup, artinya tidak taat hukum, “Maka indikasi akan merusak ikon dunia TNBBS itu ada, maka harus diberikan sangsi tegas. Negara harus ambil peran demi menyelamatkan ikon dunia, dalam menjaga kelestarian TNBBS,” katanya.

    Terkait hal itu, pihak akan berkordinasi dengan anggota Fraksi Partai Nasdem Provinsi DPRD Lampung, untuk melakukan pengawasan dan turun ke lapangan, melihat langsung kawasan tambak ilegal itu. “Kita akan koordinasikan dengan fraksi baik komisi II dan Komisi 5, untuk mengawal proses ini,” katanya. (Nt/Jun)

  • TW Bantah Tudingan Agus Istiqlal Soal Hambat Pembangunan

    TW Bantah Tudingan Agus Istiqlal Soal Hambat Pembangunan

    JAKARTA (SL)-Pengusaha nasional Tomy Winata memberi klarifikasi terhadap pernyataan Bupati Kabupaten Pesisir Barat (Pesibar) Lampung Agus Istiqlal.

    Dalam pernyataan di media online suarapedia.com, Senin, 30 Oktober 2017 pukul 17:21 WIB dengan judul “Pembangunan Jalan Wayharu Dihambat Pengusaha, Bupati Pesisir Barat Lapor Presiden.

    “Kami hanya ingin meng klarifikasi dan meluruskan pernyataan bupati Pasibar,” jelas Desrizal Kuasa Hukum Tomy Winata kepada media, Selasa, 31 Oktober 2017.

    Desrizal menuturkan, sebagaimana dikutip dari media online itu yakni bupati mengatakan ada permasalahan lantaran adanya penghambatan dari oknum hukum yang disponsori oleh Tomi Winata untuk tidak melanjutkan pembukaan badan jalan menuju Wayharu.

    “Permasalahan di sana sama sekali tidak ada kaitan dengan kami dan tidak ada wewenang dari kami untuk menghambat ataupun ikut campur kewewenangan pemda atau pemerintah pusat,” papar Desrizal di Jakarta.

    Desrizal mengungkapkan, semua perizinan adalah hak dan wewenang dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sebagai pemerhati lingkungan dan pelaksana kolaborasi dengan TNBBS , kami bertanggung jawab terhadap pengamanan lingkungan , menjaga kelestarian Hutan Konservasi dan pemberdayaan masyarakat di dalam ruang lingkup yang tertera pada peta kolaborasi TNBBS.

    Desrizal melanjutkan, namun apabila ada kebijakan lain dari pemerintah daerah dan pusat sehingga zona pemaafatan dalam wilayah TNBBS – yg sudah mendapat pengakuan sebagai warisan dunia – akan diubah pemanfaatannya untuk perusahaan perkebunam maupun dicabut fungsi tata ruang hutannya menjadi lebih kecil, silakan saja.  Kami tidak pernah menghambat dan tidak punya kewenangan untuk mencegah.

    Desrizal mengingatkan jangan semata-mata karena pembangunan daerah yang belum sukses , kepentingan masyarakat yang dikambinghitamkan. Untuk penjelasan lebih lanjut, Desrizal menyatakan siap memberikan klarifikasi lebih lengkap kepada bupati.

    “Jika pemda sudah memperoleh izin dari TNBBS dan KLHK, pembangunan jalan ke Wayharu silahkan saja dilaksanakan. Jadi jangan tuduh kami sebagai penghambat,” kata Desrizal. (rls/jun)