Tag: Walhi Lampung

  • Kebakaran TPA Bakung, Walhi: Wujud Pengelolaan Sampah Yang Buruk

    Kebakaran TPA Bakung, Walhi: Wujud Pengelolaan Sampah Yang Buruk

    Bandar Lampung, sinarlampung.co – Kebakaran Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung Kota Bandar Lampung kembali terjadi pada tanggal 4 Desember 2024 yang sebelumnya juga terjadi pada Jumat 13 Oktober 2023.

    Hal tersebut merupakan preseden buruk terhadap manajemen pengelolaan sampah di TPA Bakung. Dalam pemantauan WALHI Lampung hingga kamis siang (5 Desember 2024), kebakaran masih belum bisa dipadamkan dan terlihat di lokasi sedang dilakukan upaya pemadaman oleh pihak terkait serta masih ditemukan adanya kepungan asap yang menyebar mengikuti arah angin.

    Walhi Lampung memandang hal itu harus diantisipasi oleh pemerintah selain pada upaya pemadaman juga pada penanggulangan asap yang akan berdampak terhadap kesehatan masyarakat yang berada di sekitar TPA bakung dan kemungkinan asap juga menyebar hingga wilayah pemukiman di kelurahan lainnya mengingat situasi angin yang lumayan kencang.

    Melalui siaran persnya, Walhi Lampung menilai kebakaran yang terjadi di TPA Bakung tidak hanya insiden lingkungan biasa, melainkan cerminan kegagalan sistemik dalam pengelolaan sampah dan resiko lingkungan yang berkelanjutan serta sebagai bukti pencemaran dan perusakan lingkungan yang tersistematis yang dilakukan oleh Negara.

    Api yang membesar di area pembuangan akhir ini menimbulkan sejumlah permasalahan serius. Diantaranya yaitu berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar, karena asap berpotensi mengandung zat-zat berbahaya seperti dioksin dan logam berat, resiko gangguan pernapasan, iritasi mata, dan potensi penyakit jangka panjang tentunya mengancam masyarakat di sekitar lokasi.

    Asap tebal yang dihasilkan dari proses kebakaran juga telah menyebabkan pelepasan Gas Metan ke atmosfer yang berkontribusi dalam pelepasan emisi dengan factor emisi 21 kali lebih besar dari karbondioksida.

    Irfan Tri Musri (Direktur WALHI Lampung) menegaskan bahwa peristiwa kebakaran TPA ini bukan yang pertama kali terjadi dan berulang sejak tahun 2023, hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar terkait komitmen pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup terutama dalam pengelolaan persampahan di Kota Bandar Lampung.

    Dengan tidak adanya Upaya mitigasi dalam mengantisipasi kebakaran di TPA Bakung kita menilai hal ini serupa dengan Upaya Sistematis pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh negara, dalam hal ini Pemerintah Kota Bandar Lampung. Karena pemerintah kota Bandar Lampung tidak pernah serius dalam menangani persoalan sampah dan membiarkan kejadian kebakaran di TPA bakung terulang Kembali.

    “Jadi kita juga bisa menyatakan apakah kebakaran ini terjadi dengan disengaja atau tidak. Tetapi yang pasti ini bentuk kegagalan dan pengabaian oleh negara dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan.” Kata Irfan.

    Oleh sebab itu Walhi meminta kepada pemerintah kota bandar lampung segera sadar dalam melakukan kerja dan pengabdian di kota bandar lampung. Jangan sampai persoalan sampah di Bandar Lampung terus menerus terjadi sampai ada korban jiwa yang dirugikan baru pemerintah sadar.

    Walhi menilai, kebakaran yang terjadi saat ini menjadi cerminan dan memperkuat fakta bahwa pengelolaan sampah dan TPA Bakung semakin memburuk. Dimana pengelolaan sampah di TPA Bakung Kota Bandar Lampung masih menggunakan sistem Open Damping belum menggunakan sistim sanitary landfill.

    Belum lagi masalah pengelolaan limbah tinja yang tidak terkelola dengan baik, kemudian munculnya kolam genangan air lindi yang meluap ke pemukiman masyarakat dan mengalir menuju langsung ke Pantai Keteguhan dan laut yang hari ini belum pernah terselesaikan serta beberapa bulan yang lalu juga terjadi robohnya tembok pembatas sampah di TPA Bakung yang berbatasan langsung dengan pemukiman warga perumahan keteguhan.

    “Lantas dengan kondisi yang seperti ini bagaimana mewujudkan pemenuhan hak hak Masyarakat sekitar atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan sebagai bagian dari hak asasi manusia.” Imbuh Irfan.

    WALHI Lampung sebagai organisasi lingkungan hidup dan bagian dari Gerakan Masyarakat sipil di Provinsi Lampung akan terus menyampaikan persoalan lingkungan hidup terutama terkait pengelolaan sampah agar pemerintah segera sadar dan melakukan Upaya-upaya perbaikan dalam tata Kelola sampah di Bandar Lampung.

    Berdasarkan hal tersebut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup dan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan berkeadilan sebagai bagian dari hak asasi manusia meminta kepada Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk:

    1. Mengusut tuntas sumber dan penyebab terjadinya kebakaran TPA Bakung Kota Bandar Lampung dan memberikan sanksi yang tegas apabila ditemukan pelanggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    2. Segera melakukan penanggulangan secara maksimal yang tidak hanya berfokus terhadap pemadaman kebakaran tetapi juga terhadap sebaran asap yang akan berdampak terhadap Masyarakat sekitar serta melakukan evakuasi dan penanganan darurat dan melakukan pemeriksaan kesehatan komprehensif bagi warga terdampak apabila sudah diperlukan.

    3. Melakukan evaluasi tata Kelola sampah di Kota bandar Lampung (termasuk dalam pengelolaan TPA Bakung) serta membuat sistem peringatan dini dan Upaya mitigasi dalam penanggulangan kebakaran di TPA Bakung.

    4. Segera merancang sistem pengelolaan sampah berkelanjutan dengan beralih menggunakan sistem sanitary landfill, mengembangkan teknologi pengelolaan sampah ramah lingkungan, melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan sampah serta menyediakan infrastruktur dan sarana-prasarana persampahan mulai dari hulu hingga hilir di Kota Bandar Lampung. (Red)

  • Gerakan Perempuan Indonesia Lawan Politik Patriarki

    Gerakan Perempuan Indonesia Lawan Politik Patriarki

    Bandar Lampung, (SL) – Puluhan Perempuan yang tergabung dalam Perserikatan Solidaritas Perempuan (PSP) menggelar Konferensi Nasional (Konfernas) Gerakan Perempuan Indonesia, di Hotel Horison, Rabu dan Kamis (2-3/8).

    Para aktivis perempuan Indonesia ini melakukan konsolidasi dan memperluas jaringan, sebagai bentuk perlawanan atas diskriminasi, eksploitasi dan penindasan berlapis pada kaum perempuan.

    Melalui keterangan resmi yang diterima sinarlampung.co, kamis (3/8), Gerakan Perempuan Indonesia dideklarasikan sebagai bentuk perlawanan kaum perempuan atas ketidakadilan politik patriarki.

    Sistem Politik Patriarki dinilai menegasikan eksistensi kaum perempuan dengan kepentingan mendasar dan hak yang melekat.

    Patriarki hari ini disebut telah merealisasikan diri dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kapitalisme, militerisme, serta fundamentalisme yang menindas masyarakat miskin yang notabene sebagian besar adalah perempuan.

    Manifestasi dan Ideologi Patriarki telah menjadikan kaum perempuan hanya sebagai objek pembangunan, bukan subjek pembangunan.

    Perempuan tidak memiliki ruang dan kuasa dalam pengambilan keputusan yang akan berdampak pada diri sendiri, keluarga, komunitas dan negara.

    Keterkaitan yang erat antara perempuan dengan alam sebagai sumber kehidupan, menjadikan perempuan mengalami dampak yang lebih spesifik yang tidak dialami oleh kelompok masyarakat lainnya.

    Situasi spesifik seperti itu yang seringkali absen dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi pembangunan di Indonesia.

    Sistem yang demikian, telah memiskinkan dan menghilangkan kedaulatan perempuan atas hidup dan kehidupannya.

    Situasi tersebut diperburuk oleh pandemi COVID-19 yang juga memberikan tantangan tersendiri bagi perempuan. Pandemi telah menunjukan pengalaman yang berbeda dari krisis lainnya yang pernah dialami oleh dunia sebelumnya.

    Krisis kali ini telah mengubah dan mengganggu pola serta jaringan sosial dan mobilitas, memutus dikotomi tenaga kerja formal dan informal, serta mendefinisikan kembali konsep pekerjaan perawatan, pekerjaan esensial dan siapa yang melaksanakannya.

    Pada banyak kasus temuan PSP, norma patriarki di berbagai ranah seperti tempat kerja maupun ruang publik semakin kuat.

    Dari lonjakan kekerasan berbasis gender, hilangnya pendapatan dan mata pencaharian perempuan yang sebagian besar dipekerjakan yang secara lepas, harian dan pendek, kemudian peningkatan
    beban perempuan atas pekerjaan perawatan yang tidak berbayar.

    Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sendiri dalam laporan yang berjudul “Menilai Dampak COVID-19 terhadap Gender dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia,” menyebutkan bahwa pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan tapi juga sosio-ekonomi khususnya bagi perempuan sebagai kelompok rentan.

    Senada dengan Survei Komnas Perempuan pada 2020 yang mengungkapkan, meningkatnya kekerasan terhadap perempuan pada saat pandemi.

    Data tersebut juga menunjukkan bahwa beban pekerjaan rumah tangga selama pandemi secara umum masih ditanggung oleh perempuan, dibandingkan laki-laki.

    Dengan kata lain, krisis kesehatan ini berkelindan dengan krisis lainnya seperti krisis ekonomi, krisis sosial, krisis politik, krisis hukum, krisis akibat bencana alam dan ekologis, krisis iklim, sebagai sebuah krisis multidimensi.

    Situasi perempuan yang mengalami krisis berlapis di berbagai dimensi kehidupannya tidak terjadi begitu saja, melainkan terjadi secara sistematis akibat politik ekonomi patriarki yang menjadi pijakan dalam mengeluarkan kebijakan.

    Politik patriarki tercermin dalam regulasi yang dihasilkan maupun langkah yang dilakukan oleh Negara sebagai pemangku tanggung jawab pengakuan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia.

    Struktur kuasa yang tidak adil menyebabkan perempuan dengan lapisan identitasnya harus berhadapan dengan relasi kuasa yang timpang, baik berhadapan dengan negara dan perusahaan yang merampas kedaulatan perempuan, maupun dalam struktur sosial patriarkis yang
    masih meminggirkan dan tidak mengakui peran serta posisi perempuan.

    Situasi tersebut telah berkontribusi memperkuat pemiskinan perempuan marginal.

    Pengejawantahan sistem politik patriarkis dihasilkan dari pola pembajakan sistem Pemilihan Umum (Pemilu) yang menggunakan polarisasi, politisasi agama, maupun
    politik identitas sebagai alat untuk memenangkan kontestasi politik.

    Pemilu dianggap hanya sebatas mendapatkan kuasa dan dijadikan target perolehan suara tanpa membincangkan substansi situasi dan kepentingan perempuan.

    Disebutkan pada Pemilu 2024 adalah momentum politik yang penting untuk mengubah situasi tersebut. Sebuah momentum yang perlu diperjuangkan dan direbut gerakan perempuan, sehingga dapat berkontribusi terhadap transformasi sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan dan masyarakat lainnya.

    Konfernas Gerakan Perempuan Indonesia ini, dilakukan untuk mensinergikan gerak pada ragam perjuangan perempuan di berbagai konteks, maupun di berbagai tingkat, baik lokal, nasional, regional maupun internasional.

    Dengan konsolidasi pada konfernas Gerakan Perempuan Indonesia tersebut, para aktivis menyatukan visi mewujudkan kedaulatan perempuan atas hidup dan sumber-sumber kehidupannya, serta menyusun strategi dan perlawanan yang mendorong transformasi sistem. (Red)

  • Perusak Mangrove Teluk Betung Ditangkap Polda Lampung

    Perusak Mangrove Teluk Betung Ditangkap Polda Lampung

    Bandar Lampung, (SL) – Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Subdit IV Tipidter Polda Lampung menangkap pelaku perusakan ekosistem Mangrove di pesisir pantai di Telukbetung Selatan Bandarlampung.

    Kasubdit IV Tipidter Akbp Yusriandi menjelaskan, perusakan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil terjadi sejak Mei 2022 sampai Oktober 2022. Lokasinya di Jalan Teluk Bone I rt 05 Lk II, Kelurahan Kota Karang, Kecamatan Teluk Betung Timur.

    “Pelaku adalah saudara HS. Perusakan dilaporkan oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Lampung ke Polda Lampung. Setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh Subdit IV Tipidter, benar bahwa saudara HS Bin Ambontang melakukan perbuatan penebangan pada ekosistem mangrove di kawasan ruang zonasi ekosistem mangrove tersebut,” ungkapnya.

    Baca Juga: Walhi Ajak Generasi Muda Peduli Lingkungan

    “Peristiwa tersebut sebelumnya sudah dilakukan upaya preventif berupa peneguran oleh pihak Kelurahan Kota Karang, Bandar Lampung bersama WALHI Lampung, Team Gakkum Lingkungan Provinsi Lampung yang terdiri Dinas Kelautan dan Perikanan didampingi Dinas Lingkungan Hidup Kota/Provinsi Lampung. Sayangnya teguran tersebut tidak dindahkan oleh saudara HS,” ucap Yusriandi.

    Pelaku HS telah melakukan penebangan/ perusakan mangrove pada kawasan konservasi tersebut seluas 2.500 m2 yang kemudian pada lokasi bekas penebangan dijadikan kolam untuk budidaya udang.

    Adapun barang bukti yang berhasil diamankan yakni :

    1 (Satu) buah alat batang besi yang digunakan untuk menggali lumpur pada ekosistem Mangrove atau alat tersebut lazim disebut Petiba

    1 (Satu) buah cangkul

    1 (Satu) batang pipa paralon ukuran 12 inci dengan panjang sekitar 1,5 meter

    2 (Dua) batang kayu Mangrove bekas tebangan

    HS telah melanggar Pasal 73 ayat 1 huruf b Jo Pasal 35 huruf e, f dan g UU RI nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diubah pada pasal 18 perpu pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang cipta kerja menjadi Undang-undang.

    Dengan ancaman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.

    Saat ini berkas sudah dilimpahkan ke JPU dan sampai dengan saat ini proses penyidikan berkas perkara tersebut dalam tahapan penelitian Kejaksaan tinggi Lampung (Tahap I), guna melanjutkan perkara tersebut secara tuntas sampai dengan P21 (lengkap). (Red)

  • Walhi Ajak Generasi Muda Peduli Lingkungan

    Walhi Ajak Generasi Muda Peduli Lingkungan

    Bandar Lampung, (SL) – Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung menggelar diskusi publik bertema “Suara Anak Muda Menghadapi Krisis Iklim” di Lapangan Kalpataru Kemiling Bandar Lampung, Minggu (4/6) petang.

    Diskusi yang diikuti para mahasiswa dan organisasi pecinta alam Lampung ini, mendorong keterlibatan kaum muda agar peduli terhadap isu lingkungan hidup ditengah krisis iklim yang terjadi.

    Diskusi membahas berbagai isu dan persoalan lingkungan hidup yang terjadi, termasuk di Provinsi Lampung.

    “Di Bandar Lampung ini Ruang Terbuka Hijau masih minim dibawah 10%, padahal pohon berperan aktif sebagai penyerap karbon yang mampu merusak lapisan ozon.” Ujar Dimas dari Organisasi Pecinta Alam SMKN 4 Bandar Lampung.

    Selain itu, diskusi juga membahas terkait pengelolaan sampah Bandar Lampung yang dianggap masih belum ideal.

    “Sosialisasi dan gerakan untuk memilah sampah plastik dan organik sebenarnya sudah dilakukan, namun menjadi sia-sia karena ketika dibuang di TPA, sampah kembali bercampur.” Ujar Raya salah seorang peserta diskusi.

    Sementara Aulia dari Teknik Lingkungan Itera, mengatakan bahwa butuh koordinasi semua pihak baik NGO dan organisasi lingkungan termasuk dukungan pemerintah agar persoalan lingkungan hidup di Lampung dapat diatasi.

    Koordinator kegiatan Diskusi, Jefri dari Walhi Lampung, mengatakan bahwa Pemerintah harus dapat menyelesaikan persoalan lingkungan yang ada.

    Terutama Kota Bandar Lampung, menurut Jefri, bahwa masifnya tambang atau pengerukan bukit dan pembangunan yang tidak mempertimbangkan Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW), akan berakibat pada pengurangan Ruang Terbuka Hijau dan berdampak berkurangnya resapan air yang akhirnya akan menjadi penyebab banjir dan longsor.

    Selain itu, menurut Jefri, meski Bandar Lampung pernah mendapat predikat Kota Metropolitan Terkotor pada 2018 lalu, namun hingga saat ini belum ada progres yang dianggap berhasil terkait pengelolaan sampah.

    “Pengelolaan sampah ini sudah ada Peraturannya, namun implementasinya yang masih kurang baik. Dari diskusi yang pernah kami lakukan, yang menjadi persoalan yakni minimnya fasilitas kebersihan seperti moda transportasi angkut, SDM hingga tidak adanya zona Pembuangan Sampah Sementara sebelum dibawa ke TPA.” Ujar Jefri.

    Meski begitu, Jefri berharap untuk mengatasi persoalan sampah tersebut dibutuhkan kerjasama semua pihak, lintas sektoral dan lintas generasi.

    “Sebagai contoh, seperti Bank Sampah yang ada di Kemiling ini sebenarnya sudah bagus, tapi persoalannya tidak ada orang yang concern dan serius mengelolanya. Artinya dibutuhkan kerjasama yang baik antar semua pihak. ” Tutup Jefri. (Endra/red)

  • Walhi Desak Pemkot Proses Hukum Reklamasi Ilegal RM Jumbo Seafood

    Walhi Desak Pemkot Proses Hukum Reklamasi Ilegal RM Jumbo Seafood

    Bandar Lampung (SL) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung mendesak Pemerintah Kota Bandar Lampung menindak tegas dan melakukan proses penegakan hukum terkait reklamasi secara ilegal yang dilakukan pengusaha RM Jumbo Seafood di Kelurahan Pesawahan, Kecamatan Telukbetung Selatan, Bandar Lampung.

    Direktur Eksekutif Walhi Lampung Irfan Tri Musri mengatakan, reklamasi tanpa izin telah melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Penegakkan hukum itu penting, sebagai upaya perlindungan lingkungan hidup di wilayah Pesisir,” kata Irfan Tri Musri.

    Aturan lain, kata Irfan adalah Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Lampung Tahun 2018-2038.

    Serta Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. “Tentu hal ini memutus akses nelayan karena lokasi tersebut merupakan tempat bersandar kapal,” ujarnya melalui pesan tertulis, Senin 6 September 2021.

    Menurut Irfan, ilegalnya reklamasi tersebut juga telah diakui pemilik tempat makan tersebut dalam hearing DPRD Bandarlampung beberapa waktu lalu. “Pengakuan tersebut tentu tidak menggugurkan tanggung jawab oleh pelaku atas kerusakan lingkungan,” katanya.

    Irfan berharap pemerintah dan aparat penegak hukum dapat melihat kejahatan ini secara komprehensif dan tidak saling lempar tanggung jawab serta memberikan sanksi yang tegas sehingga menimbulkan efek jera. “Karena selama ini pemerintah kita agak latah melegalkan sebuah kesalahan dan akhirnya kita lihat sampai dengan saat ini tidak memberikan efek jera,” kata dia.

    Selain reklamasi, Walhi menilai pembangunan pagar beton dengan tinggi sekitar 2 meter dan berjarak hanya 1,5 meter dengan rumah warga. “Ini sangat berbahaya, dan mengancam keselamatan warga karena saat ini kondisi pagar tersebut semakin miring,” ujarnya. (Red)

  • Walhi Catat Sejumlah Kasus Paling Menonjol di Provinsi Lampung Tahun 2020

    Walhi Catat Sejumlah Kasus Paling Menonjol di Provinsi Lampung Tahun 2020

    Bandar Lampung (SL)-Sepanjang tahun 2020, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Lampung mencatat sejumlah hal yang paling menonjol terkait dengan kebijakan dan kasus pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Lampung.

    Ada pun salah satunya yaini terkait disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) secara nasional, akan mengancam keberlangsungan lingkungan hidup.

    Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri mengatakan, untuk di Provinsi Lampung hal lain yang menonjol terkait revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 tahun 2018, tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Lampung. Dalam hal ini Walhi meminta DPRD Provinsi Lampung, untuk menghentikan revisi perda tersebut.

    “Hal lainnya yang menonjol, kasus penambangan pasir di Lampung Timur yang mengkriminalisasi para nelayan. Kemudian kasus illegal loging di Taman Hutan Raya Wah Abdul Rahman, terdapat dua kasus yang memotong ratusan pohon,” kata Irfan Tri Musri saat ekspos catatan akhir tahun 2020, Selasa 19 Januari 2021.

    Selanjutnya ada eksploitasi alih fungsi lahan mangroove di Lampung Selatan. Catatan sementara Walhi, ada sekitar 2.000 hektar hutan mangroove di Lampung. Junlah ini jika dikalkulasikan 30 persen garis pantainya, harusnya mininal ada 4.000 hektar hutan mangroove di Lampung.

    “Selain itu, alih fungsi ini akan semakin memperparah kerusakan iklim global. Hal ini dikarenakan pohon mangroove, memiliki cadangan karbon lebih banyak dari tumbuhan dan pepohonan biasanya,” ujar Irfan Tri Musri seperti dilansir lampungpro.co.

    Terkait potensi bencana alam di Lampung, saat ini cukup beragam mulai besaran iklim yang berpotensi menimbulkan bencana kekeringan, kebanjiran, hingga abrasi pantai. Kemudian kenaikan permukaan air laut dan lainnya, terutama di Bandar Lampung potensi banjir cukup masif.

    Terkait zona merah bencana alam secara spesifik Walhi belum memetakan, tapi yang menjadi perhatian tentu wilayah pesisir Lampung yang berpotensi.