Tag: Yosep Adi Prasetyo

  • Ketua Dewan Pers : Masa Depan Jurnalisme Ada di online, Konvensional Akan Punahetak

    Ketua Dewan Pers : Masa Depan Jurnalisme Ada di online, Konvensional Akan Punahetak

    Jakarta (SL) – Ketua Dewan Pers, Yosef Adi Prasetyo menyebut Indonesia negara paling banyak media. Tercatat 47 ribu media yang didata dewan Pers.

    “Ada 47 ribu media. Kami punya datanya, karena mudahnya membuat media,” kata Stanley sapaan Yosef diacara, Rakernas III Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) ‘Indonesia Optimis Menghadapi Revolusi Digital’, di Jakarta, Kamis 26 Juli 2018.

    Menurut Stanley, rinciannya, ada sekitar 2000 media cetak, 321 yang sudah terverifikasi, 43.300 media online, 674 radio, 523 media televisi. Sedangkan untuk wartawan. “Masa depan jurnalisme ada di online. Media cetak dan televisi mengalami kepunahanan,” ujarnya.

    Ia mengatakan, Dewan Pers mempunyai data sekitar 12 ribu wartawan yang sudah berkompetensi, media online saat ini masih berebut ‘isu’ (berita politik) nasional, padahal kata dia, banyak isu lokal yang lebih baik. “Isu lokal yang konek dengan UKM, perusahaan dan lainnya,” imbuhnya.

    Dengan mengangkat isu-isu lokal dengan sendirinya media online itu dikunjungi pembaca, jika sering dikunjungi pembaca kata dia, maka dengan sendirinya iklan akan banyak yang memasang iklan untuk pemasukan perusahaan.

    Si kesempatan itu, Stanley memaparkan tiga Upaya Dewan Pers yaitu, mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada berita. Kemudian, mengembalikan otoritas kebenaran faktual media arus utama. Dan mengembalikan kepercayaan pada profesi jurnalis.

    “Wartawan itu profesi cerdas, kita itu harus belajar jangan pernah putus, wartawan itu mahasiswa seumur hidup, jika ingin membuat berita harus ada refrensi sumber lain, wartawan harus belajar jangan pernah berhenti. Kita harus bisa menulis karena publik harus tahu. Karena itu hakikat kita (menulis),” kata dia. (red/jun)

  • Pemilik Media Harus Bertanggungjawab Terhadap Kasus Wartawan

    Pemilik Media Harus Bertanggungjawab Terhadap Kasus Wartawan

    Jakarta (SL) – Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyampaikan saat ini masih banyak perusahaan pers yang belum memenuhi ketentuan. “Ada banyak media tidak memenuhi ketentuan undang-undang pers dan ketentuan perusahaan pers, ada kasus wartawan terkena kasus hukum. Yang harus bertanggung jawab harus pemilik media, ada yang menyalahkan Dewan Pers. Kebanyakan kasusnya bukan ditangani Dewan Pers, namun ditangani Polisi. Dewan Pers tidak boleh mengintervensi penyidikan, itu melanggar hukum,” kata Yosep saat menjadi narasumber dalam Rapat Kerja Nasional ke III Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) di Hotel Sari Pasifik Jakarta, Kamis (26/7/2018).

    Jika terjadi kasus terhadap wartawan, Yosep menegaskan yang bisa dilakukan Dewan Pers adalah menerima pengaduan dari pemilik media, kemudian koordinasi dan menggunakan dasar Sema Nomor 13 tahun 2008. Yosep mengaku pernah menangani kasus wartawan yang bermula dari tidak dilibatkannya Dewan Pers dalam menangani kasus wartawan.

    Namun kemudian pemilik media mengadu ke Dewan Pers dan utusan Dewan Pers hadir di persidangan sebagai saksi ahli, akhirnya wartawan tersebut bebas.

    “Jadi harus koordinasi yang baik, jangan tiba-tiba membuli Dewan Pers,” tegas Yosep memberikan arahan. (Bengkulutoday.com)

  • Ketua Dewan Pers: Banyak Perusahaan Media Tidak Menggaji Wartawannya

    Ketua Dewan Pers: Banyak Perusahaan Media Tidak Menggaji Wartawannya

    Bengkulu (SL) – Banyak perusahaan media massa di Indonesia yang tidak menggaji wartawannya. Karena itu, profesionalitas tugas jurnalistik yang dilakukan wartawan dapat terganggu.

    Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo saat menjadi narasumber dalam Seminar Penguatan Kapasitas Hak Atas Kemerdekaan Pers Dalam Mendukung Program Pembangunan di Provinsi Bengkulu, Selasa (24/7/2018) di Raffles City Hotel, Pantai Panjang.

    “Jadi jangan heran jika ada wartawan yang menulis berita tiba-tiba minta dibayar. Karena mereka disuruh medianya untuk mencari gaji sendiri,” kata Yosep Adi Prasetyo.

    Pria yang akrab dipanggil Stanley ini juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap keberlangsungan konglomerasi media massa di Indonesia. Menurutnya, Kongkalingkong politik dan ekonomi sangat mengancam independensi media massa dan kepercayaan publik.

    “Secara ekonomi masih berlangsung konglomerasi media dan ketergantungan media pada kelompok kuat, baik pemerintah daerah maupun swasta,” katanya.

    Untuk menjaga independensi, sampainya, Dewan Pers selalu mendorong agar perusahaan media massa memiliki kemandirian ekonomi. Hal ini sangat diperlukan agar media massa tidak hanya bergantung pada anggaran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang relatif terbatas.

    “Wartawan itu tugasnya cari berita, bukan cari iklan. Yang bertugas mencari iklan itu bagian marketing. Jika wartawan mencari iklan, itu keliru,” tegasnya.

    Selain itu, dia juga menegaskan bahwa wartawan tidak boleh berprofesi rangkap, seperti, selain wartawan seseorang itu juga sebagai anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan juga seorang pengacara.

    “Wartawan tidak boleh berprofesi rangkap. Bahkan untuk menjadi calon legislatif, wartawan harus berhenti sementara atau non aktif sebagai wartawan. Dewan Pers sudah mengeluarkan edaran itu,” ujarnya.

    Untuk diketahui, seminar ini sebelumnya dibuka oleh Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu yang diwakili Asisten Bidang Administrasi Umum Setprov Gotri Suyanto. Kegiatan ini diikuti oleh 100 orang wartawan dari berbagai media yang ada di Provinsi Bengkulu, dan ASN Humas dan Dinas Kominfo dari Pemerintah Kota Bengkulu dan kabupaten se-Provinsi Bengkulu. (net)

  • Perkembangan Media Massa di Indonesia Tidak Dibarengi Dengan Profesionalitas

    Perkembangan Media Massa di Indonesia Tidak Dibarengi Dengan Profesionalitas

    Bengkulu (SL) – Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyebut, jumlah perusahaan media di Indonesia mencapai 47.000. Jumlah ini menempatkan Indonesia menjadi negara dengan total media terbesar di dunia. Dari jumlah tersebut, media online menjadi penyumbang terbanyak dengan jumlah 43.000, disusul media cetak sebanyak 2.000 lalu radio dengan 674 serta televisi yang berjumlah 523 media.

    Yosep mengatakan, salah satu hal yang melatarbelakangi menjamurnya media di Indonesia adalah Indek Kemerdekaan Pers (IKP) yang berada di posisi agak bebas, baik pada bidang politik, ekonomi dan hukum. Kemerdekaan pers di Indonesia juga menempati posisi pertama se Asia Tenggara.

    “Kebebasan pers di Indonesia paling baik, Timor Leste cukup baik, tapi media masih terbelakang. Sementara Kebebasan pers di Filipina dan Thailand mengalami kemunduran,” katanya dalam seminar Penguatan Kapasitas Hak atas Kemerdekaan Pers dalam Mendukung Program Pembangunan di Provinsi Bengkulu, di salah satu hotel Pantai Panjang, Senin (24/7/2018).

    Ditambahkan Yosep, dari segi cakupan wilayah terdapat 12 provinsi (46%) yang tergolong ‘Cukup Bebas’. Sedangkan 18 provinsi (60%) lainnya dalam tataran sedang/agak bebas. Lima provinsi seperti, Banten, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan beranjak ke kondisi yang lebih baik, dari yang sebelumnya ‘agak bebas’ menjadi ‘Bebas’.

    Papua Barat dan Bengkulu yang tahun sebelumnya termasuk yang terendah meningkat dari kurang bebas menjadi ‘agak bebas’. Sementara NTB, Lampung dan Sumatera Utara menempati posisi terakhir dengan kategori pers ‘Kurang Bebas’.

    Tren media siber atau media online yang menduduki posisi terbanyak saat ini, lanjut Yosep memang tengah digandrungi pembaca. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan 500 persen jumlah pembaca dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Persentase ini berbanding terbalik dengan peminat media cetak yang cenderung menurun hingga 25 persen.

    Sayangnya, kata Yosep, jumlah yang besar ini tidak diikuti dengan tingkat profesionalitas perusahaan. Lantaran dalam data yang dirangkum Dewan Pers tahun 2015, jumlah media yang memenuhi persyaratan sebagai media profesional tidak mencapai setengah dari jumlah total.

    “Seperti pada media online, hanya 168 media saja yang ditetapkan sebagai media profesional. Lalu media cetak, hanya 321 media,” ujar Yosep dalam pemaparannya di hadapan puluhan jurnalis yang hadir.

    Kurangnya angka profesionalitas media ini dipicu oleh beberapa faktor. Dari hasil Survei, Dewan Pers menemukan konglomerasi media dan ketergantungan media pada kelompok kuat masih dominan. Baik itu dari pemda maupun swasta, diantaranya penambang Batu Bara dan industri ekstraksi lainnya.

    Selain itu, di banyak provinsi ditemukan bahwa keragaman media di provinsi setempat merupakan bagian atau jaringan dari media nasional besar. Paduan antara kendali konglomerat media secara nasional dan pemilik media yang sebagian juga menjadi pimpinan partai politik inilah yang seringkali mengancam independensi ruang redaksi.

    Tidak hanya itu, kebebasan ruang redaksi juga dipengaruhi oleh ketergantungan pada iklan dan program publikasi dari pemerintah daerah setempat, terutama media-media yang berada di luar pulau Jawa. Bahkan, di beberapa provinsi, ditemukan bahwa sejumlah wartawan berperan juga sebagai marketing untuk mencari iklan bagi medianya.

    “Muara dari kondisi ini adalah pada sajian berita yang menunjukkan keberpihakan media pada salah satu kandidat di saat pilkada,” jelas Yosep.

    Kondisi ini membuat masyarakat yang haus akan informasi terdorong untuk mencari alternatif lain. Salah satunya melalui media sosial yang belum tentu menyajikan berita yang valid.

    “Seperti yang terjadi pada periode 2016 saat Pilkada DKI Jakarta, informasi hoax di media sosial seringkali menjadi sumber informasi yang dipercaya oleh masyarakat sebagai akibat dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap berita yang disampaikan oleh media tertentu,” demikian Yosep. (net)